Aku segera pura-pura sibuk membentangkan baju kotorku agar keringat yang menempel di sana mengering terkena AC, saat terdengar gemericik air di kamar mandi sudah terhenti. Baju ini masih akan kupakai saat pulang nanti. Aku tak suka memakai baju bekas keringat. Tapi, bagaimana lagi, Mas Gilang mengajakku kemari tanpa berkabar dulu. Padahal, di kantor aku masih punya stok baju bersih.Saat pintu kamar mandi dibuka, refleks aku melihat ke arah sana. Mas Gilang keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk yang terlilit di pinggang.Deg, aku baru kali ini melihatnya begitu di siang bolong. Aku langsung memalingkan pandanganku saat tak sengaja kulihat dia tersenyum mengejek padaku.Aishhh, dalam kondisi seperti ini dia masih saja begitu.Meski tetanggaan, aku nggak pernah melihatnya dalam kondisi seperti itu. Dia termasuk rapi dalam menutup aurat meskipun laki-laki. Bahkan, kalau pun main dengan tetanggaku yang lain, misal main air di kali, tetap saja dia masih pakai kaos lengkap.Huff, piki
Hari ini tidak ada pesan dari Mas Gilang masuk ke ponselku. Aku pun tak menuntut banyak dia mengirimkan pesan. Mungkin karena aku sudah mengenalnya dari kecil, menjadi istrinya tidak membuatku berubah rasa terlalu berlebihan. Apalagi, kami belum tinggal serumah. Sore ini, Renita, teman satu devisiku, mengajak jalan-jalan. Tentu saja aku senang. Dia memang satu-satunya sahabatku di kantor ini karena sama-sama anak kos. Jadi, sejak kami sama-sama mulai kerja, kami sering jalan sepulang kerja untuk membunuh waktu.Tapi, tiba-tiba aku sedikit ragu, mesti ijinkah? Sekarang statusku sudah berubah. Meskipun Renita belum tahu status baruku. Seperti kesepakatan, aku hanya lapor dengan HRD dan atasanku saja. Lagi pula aku dan Mas Gilang juga tak tinggal serumah.Segera kuputuskan ijin saja dulu ke Mas Gilang. Bagaimanapun dia suamiku. Takut tiba-tiba dia mencariku. Apalagi, dia itu mirip jelangkung. Kadang-kadang tahu-tahu sudah berdiri di belakang kantor, area yang selalu kulewati saat pulang
“Kenapa Sekar?” tanya Renita saat langkahku terhenti. Pandanganku masih tertuju pada laki-laki yang berdiri di sebelah perempuan dengan setelan baju kerja yang sedang memilih-milih sepatu. Beberapa kali perempuan itu mencoba sepatu itu di kakinya. Lalu ia menoleh ke lelaki yang berdiri di sebelahnya, seolah ingin meminta pendapat. Dan lelaki itu menanggapinya dengan senyum lembut. Sesekali pria terlihat memberikan pendapatnya. Aku menjadi kesal melihatnya. Tapi, mataku tetap terus mengamatinya, hingga tepukan halus menyentakku. “Siapa, Sekar?” tanya Renita lagi. Aku baru tersadar jika pertanyaan pertama Renita tadi belum kujawab. “Apakah kamu mengenalnya?” sambungnya sambil ikut melihat kemana aku menatap. Aku menggeleng lemah. Lalu kualihkan pandangan ke tempat lain karena tak ingin membuat Renita penasaran.“Mungkin hanya mirip,” gumanku pelan, berharap Renita mendengarnya. Lalu tangan Renita kutarik menjauh, mencari posisi yang terlindung, tidak terlihat oleh kedua orang itu.
Sakina. Sakina. Aku terus bergumam dalam hati. Jadi, wanita ini yang bernama SKN. Jadi, SKN itu namanya Sakina? Jadi chattingan dia yang selalu membuatmu sumringah? Jadi, panggilan telpon dari dia yang selalu membuatmu bahagia?“Sekar! Jadi, nggak?” Tiba-tiba terdengar suara Renita dari rak di sebelah. Dia sedang sibuk mencari diskonan model lainnya. Gegas kutinggalkan kedua orang itu. Bodo amat sama Sakina. Aku tak mengingatnya sama sekali. Mungkin memang memoriku sudah terlampau kacau. Hatiku kesal luar biasa pada lelaki bernama Gilang!Setelah mendapatkan sepatu yang kuincar, aku dan Renita meninggalkan mall itu. Meski hatiku kebat-kebit tak karuan, ingin mencakar Mas Gilang yang malah pura-pura tak mengenalku, tapi masih dapat kutahan, karena aku sedang bersama Renita. Kami memilih menyusuri warung tenda di sekitar mall untuk mengisi perut terlebih dahulu, sebelum pulang ke kosan masing-masing. Masih kusembunyikan rasa campur aduk. Perutku harus terisi. Aku harus sehat. Karena m
Kupejamkan mata ini. Benarkah mas Gilang menyimpan hatinya untuknya? Lalu, buat apa dia menikah denganku. Dadaku bergemuruh. Ada rasa cemburu, bercampur kesal. Tapi, aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bukannya memang Mas Gilang mengatakan padaku jika dia memang mau menikah bukan denganku. Bukannya pernikahan denganku pun lantaran desakan ibuku dan mamanya.Aku menghela nafas. Kepalaku terasa pening. Apalagi, diam-diam, sejak beberapa hari terakhir, perasaanku padanya mulai berubah. Ternyata, baru kali ini rasanya sakit dicampakkan, meski sebenarnya aku sudah tahu, kalau Mas Gilang sudah punya rencana lain, sebelum memutuskan menikah denganku. Kenapa, dia harus menyelesaikan masalahku, jika pada akhirnya menambah masalah baru padaku? Tanganku masih bergerilya di layar ponsel, entah informasi apalagi yang ingin kucari, sementara hal yang paling menyakitkan telah kutemukan. Namun, tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk.[Aku di bawah]Aku menghela nafas, saat menyadari pesan itu b
Sesampai di kosannya, Mas Gilang menggandeng tanganku. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Kami berjalan menuju sebuah ruangan yang ada di lantai bawah. Sebelum mengetuk pintu yang bertuliskan “ruang pengelola”, Mas Gilang mengeluarkan sesuatu dari map plastik. Selembar kertas fotokopian. “Permisi, Pak!” sapa Mas Gilang saat pintu dibuka usai diketuk. Tampak seseorang dengan seragam warna biru navy keluar dari balik pintu. “Ya, Mas Gilang. Ada yang bisa dibantu?” tanya petugas itu setelah mempersilahkan kami masuk. Dalam ruangan itu terdapat satu buah meja kerja, dan satu set sofa. Lalu ada pintu, mungkin kamar atau toilet. Entahlah. Mas Gilang tersenyum ramah padanya, lalu ia menyuruhku duduk di sofa. Sementara, dia duduk di depan meja kerja si bapak petugas tadi.Entah apa yang dibicarakannya, aku tak dapat mendengarnya dengan jelas. Sepertinya dia sedang melapor karena aku akan menginap. Karena kulihat dia mengisi sebuah buku tamu dan memberikan lembar kertas fotokopian yan
Kusandarkan kembali badanku ke kepala ranjang. Kubiarkan kakiku slonjor di kasur Mas Gilang yang tidak begitu lebar. Hanya berukuran 140x200 meter. Cukuplah untuk berdua. “Kamu sudah nggak sabar?” Tiba-tiba suara Mas Gilang yang baru keluar dari kamar mandi dengan kerlingan menggoda menyentakkan lamunanku. Lelaki itu masih sama seperti kemarin. Keluar hanya dengan handuknya saja. Dasar bar-bar! Apa begini orang kalau hidup sendiri. Seenaknya saja tidak langsung memakai baju dari kamar mandi? Aku langsung memalingkan pandanganku darinya. Meskipun tak dipungkiri kalau aku menyukainya. Menyukai pemandangan indah itu tepatnya. Tidak! Aku masih marah padanya. Aku tidak mau lemah. Bisikku dalam hati. Untungnya, dia segera memakai baju rumahnya. Celana training dan kaos oblong bahan katun yang tipis. Lumayan nyaman sepertinya. Mas Gilangtersenyum cerah dan berjalan mendekatiku. Berbeda dengan hari biasanya yang selalu dingin dan jutek. Apakah ada angin yang membuatnya berubah?Meskipun
Gilang berdiri mematung di depan kosan Sakina. Baru saja Sakina menelponnya, bahwa besok dia harus pulang ke Yogya, karena orang tuanya akan menjodohkannya dengan anak kawannya. Tak dapat dipungkiri, kabar ini membuat Gilang shock. Dua hari lalu, dia baru saja mengucapkan selamat ke Sakina yang promosi naik jabatan di kantornya. Prestasi yang luar biasa karena dia baru dua tahun bekerja di perusahaan itu. Dan kini, Sakina mengabarkan bahwa dia akan dilamar. Berita yang amat mendadak ini membuat Sakina kaget. Juga Gilang. Sakina belum bisa menebak, dengan siapa dia akan dijodohkan. Tapi, tentu saja ini bukan main-main lagi. Kalau kemarin-kemaren Sakina masih putus sambung dengan pacar-pacarnya dan tidak ditarget kapan menikah, kini orang tuanya mulai mengambil peran. Artinya, ini sangat serius. Lalu, apa hubungannya dengan Gilang? Sakina adalah teman Gilang sejak di bangku SMA. Mereka satu angkatan. Sama-sama aktif di OSIS. Sakina yang cantik dan pintar, tentu saja menjadi inca