“Kalau sakit, nggak usah kerja. Di kosan aja,” ujar Gilang sambil mengancingkan lengan bajunya. Pria itu setiap hari mengenakan setelan baju polos lengan panjang serta celana bahan. Tak lupa ikat pinggang warna hitam menambah kesan elegan. Setiap pagi mereka memang tidak sarapan. Gilang tak terbiasa sarapan pagi. Berbeda dengan Sekar yang tidak bisa berpikir jika perutnya kosong. Tapi, dengan Gilang tak mau sarapan, tandanya Sekar tak perlu repot menyiapkan sarapan untuknya. Sekar sendiri bisa mengisi perut di kantin. “Aku kerja nggak papa. Nanti kalau kira-kira nggak kuat, bisa pulang pakai taksi,” ujar Sekar sambil merapikan pasminanya. Di kamar Gilang hanya ada satu cermin di daun pintu lemarinya. Jadilah Sekar harus antri setelah Gilang kalau mau memasang jilbabnya. Untung dia tak perlu bermake up. Hanya krim siang yang sudah dibeli dari klinik yang kini masih dipakai, dipadu bedak tabur setelah luka bekas facialnya mengering. “Tapi kabari lho, kalau kamu nanti kenapa-kena
“Sori, Ren. Aku sebenarnya sudah menikah dua minggu lalu. Maaf ya, aku nggak bisa ngasih tahu kamu. Soalnya mendadak.” Sekar bicara dengan nada penyesalan. Keduanya duduk berdampingan di bangku tukang siomay.Gilang sudah menyingkir usai dikenalkan dengan Renita karena sudah melihat gelagat, sepertinya sahabat istrinya itu kurang bersahabat dengannya. Lagi pula, selama ini, Gilang juga canggung bercakap-cakap dengan perempuan yang baru dikenalnya. Mungkin, Sakina lah satu-satunya wanita yang bisa akrab dengannya. Sekar saja yang tetangganya habis kena jutek. “Kok bisa mendadak. Kayak orang sudah MBA aja….” Renita melirik Sekar sekilas, lalu tatapannya turun ke sekitar perut Sekar, hingga membuat sahabatnya gelapapan.Bibir Renita mencebik karena kecewa pada sahabatnya itu. Ada rasa tak terima karena sahabatnya sama sekali tak melibatkannya dalam keputusan besar itu. Bercerita pun tidak pernah. Padahal, dulu saja sama-sama penghalu ingin mendapatkan lelaki shalih yang entah bagaiman
Pemuda tampan itu serta merta memalingkan pandangannya saat tak sengaja bertatapan dengan Renita yang menatapnya penuh dengan tatapan tak suka. “Dia tetanggaku. Kalau masalah agama jangan ditanya lah. Pinteran dia dibanding aku.” Sekar menjawab dengan malu-malu. Bagaimana tidak, sejak TK sudah ngaji bareng di mushola. Meskipun seringnya dia malah jadi bahan bulian. Bahkan sampai SMA pun tetap saja seperti itu. Apakah ada rasa padanya? Yang ada rasa kesal! “Jadi, kamu cinta sama dia?” tanya Renita sambil menatap lekat wajah Sekar. Ia menatap setiap inci wajah sahabatnya dengan tatapan menyelidik. Sekar mengedikkan bahunya. Mulutnya mencebik. Dia sendiri tak mengerti. Dibilang cinta, mungkin iya. Mungkin tidak. Mungkin karena tetangga dan berteman sudah lama. Jadi seperti tak ada rasa. Biasa saja. Kadang ya suka. Kadang ya jengkel. Kadang ya benci. Semua campur aduk. “Ehm. Udah suap-suapan. Mana mungkin nggak cinta!” gerutu Renita sambil melirik ke Sekar, setengah menyindir. “
Mata Gilang melebar. Hari pernikahan Fajar dan Sakina sudah dekat. Tapi, justru di depannya dia melihat Fajar sedang jalan mesra dengan Daniar. “Sudah, yuk. Pulang!” ajak Sekar. Sekarang gantian lamunan Gilang yang buyar oleh tepukan halus Sekar di pundak Gilang. “Kamu kenapa, Mas?” tanya Sekar saat melihat Gilang masih bengong melamun. “Cemburu?” tanya Sekar lagi. Mata Sekar menatap lekat wajah Gilang yang kini berubah murung.“Nggak. Siapa yang cemburu. Ayo, ah!” Gilang memasang pengait helmnya sebelum mengenakan sarung tangannya. Meskipun berpura-pura biasa saja. Hati kecil Gilang masih meronta. Bukan cemburu. Lebih tepatnya tak rela jika Sakina diduakan oleh Fajar. Mereka berdua lalu memutuskan membeli makan dibungkus sebelum akhirnya pulang.“Beli apaan sih tadi?” tanya Sekar sambil melepas kaus kakinya. Gadis itu lalu melepas kerudungnya sebelum akhirnya mengambil ganti untuk mandi. Gerah terasa jika baru masuk rumah, meskipun sudah menyalakan AC. “Mandi sono buruan. Suda
Sekar segera menyeka bulir bening dari sudut matanya tatkala mendengar Gilang mematikan kran shower. Tak lama, pria itu sudah keluar dari kamar mandi dengan setelan baju pergi. Kaos berkerah dan celana jins. Sekar mengernyitkan dahinya. Memang sejak Sekar tinggal bersamanya, lelaki itu sudah meninggalkan kebiasaan buruknya, keluar kamar mandi dengan hanya terbalut handuk. Tapi, mengenakan baju pergi di malam hari sepulang kerja, justru tidak lazim. “Aku pergi sebentar. Kamu makan dulu. Nggak usah nunggu aku pulang. Aku bawa kunci sendiri,” ujar lelaki itu sambil menyemprotkan parfum beraroma maskulin itu. Sekar menahan nafas sejenak. Perutnya terasa teraduk saat aroma menyengat itu memenuhi ruangan berukuran 4x3 meter persegi itu. Sekar menatap kepergian Gilang dengan penuh tanya di kepala. Ingin rasanya mengikuti, tapi dia tak tahu Gilang pergi ke mana. Tak mungkin memesan ojek tanpa tujuan yang jelas. Apalagi, pasti Gilang akan meninggalkannya sebelumnya ojek pesanannya datang.
“Kamu sudah pikir masak-masak?” Renita menemani Sekar hingga ruang tunggu stasiun. Sahabatnya itu datang tak lama setelah Sekar mengabarkan dia hendak pulang. Padahal baru sore tadi mereka bertemu dan Sekar mengabarkan tentang pernikahan mendadaknya. “Dia tidak mencintaiku, Ren.” Wajah Sekar kembali bersemu merah. Matanya mulai mengembun. Meski tak ingin menceritakan masalah rumah tangga, namun, Sekar terpaksa menceritakan garis besar masalahnya pada sahabatnya itu. “Siapa bilang. Kamu jangan bermain dengan prasangka. Sebaiknya kamu tanyakan dulu kebenarannya,” sahut Renita. “Dia bukan tipe lelaki yang bisa mengatakan rasanya. Aku sudah mengenalnya sejak kecil,” jawab Sekar. Tak mungkin baginya mencecar Gilang dan menanyakan apakah lelaki itu mencintainya. Ah! Konyol. Bahkan Gilang pun sudah mengatakan kalau dia memilihnya. Tapi, Sekar tetap tak percaya. Buktinya, lelaki itu tetap pergi begitu saja, tanpa mengatakan kemana dia akan pergi. Apa susahnya mulutnya berucap mengatakan
Daniar meninggalkan Gilang begitu saja. Ia masuk ke dalam kosan tanpa permisi ke lelaki yang mengajaknya ngobrol. Sementara Gilang hanya mampu menatap punggung Daniar hingga hilang dibalik pintu. Pemuda itu masih terdiam mematung. Ia memikirkan kata-kata Danir. Benarkah dia masih memikirkan orang lain selain istrinya? Benarkah dia tak ada bedanya dengan Fajar? Gilang mengepalkan tangannya karena kesal. Kesal dengan kata-kata Daniar yang menyamakan dirinya dengan Fajar. Tapi, dia tak bisa berbuat apa-apa. Gilang membalikkan tubuhnya, lalu berjalan gontai menuju motornya. Sayangnya sebelum ia sampai ke motornya....BUGG! Sebuah pukulan telak mengenai pipinya. Kerah bajunya ditarik paksa oleh lelaki yang kini berdiri di hadapannya. “Fajar!” guman Gilang.“Ngapain kamu malam-malam menemui Daniar? Ha? Matamu buta? Sudah aku peringatkan sejak dulu. Jangan pernah dekati dia. Kamu lupa? Ha?” BUG! Bogem mentah kembali mengenai pipi kiri Gilang. “Ini untuk yang kamu perbuat kepada Sakina
Gilang segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan tergesa menuju meja Daniar. Sekretaris bosnya itu menyunggingkan senyum mengejek pada Gilang, lelaki yang beberapa menit lalu menerima pesan singkat darinya. “Apa maksud kamu?” Gilang membungkukkan badannya, menumpukkan kedua telapak tangannya pada meja kerja Daniar. Belum sempat Daniar menjawab, matanya sudah menatap tajam ke belakang Gilang, memberi kode pada Gilang kalau ada seseorang di belakangnya.“Gilang, ke ruangan sebentar...” Pak Prio, atasan Gilang menepuk pundaknya dan memberi kode masuk ke ruangan. Gilang segera bangkit dari posisinya, setelah melirik tajam ke Daniar dengan sorot tidak suka, lalu bergegas masuk ke ruangan atasannya. “Nanti kita bicarakan lagi,” desis Gilang sebelum meninggalkan meja Daniar. Tak sampai lima belas menit, Gilang sudah keluar dengan membawa tugas yang diberikan atasannya. “Taraaa!” dengan senyum mengembang, Daniar menampilkan cincin bermata berlian di jari manisnya. Langkah Gilang sonta