“Hah? Makan lagi? Emang perut karet?” sahut Sekar. Seumur-umur, aturan di rumahnya, ya kalau sudah makan bakso, siomay, mie ayam, atau apalah ya artinya sudah makan. Bukan sudah jajan, masih makan lagi. “Sudahlah. Aku sudah mau pingsan!” ujar Gilang sambil menghentikan motornya depan warung warung itu. Lalu ia memarkirnya berjajar dengan motor lainnya. Terpaksa Sekar pun harus turun. “Bakso sama es teh dua, Mas!” pesan Gilang. Pria itu lalu duduk di kursi plastik berhadapan dengan Sekar. “Ngapain, sih, Faras pake nelpon Mas Gilang? Aku nggak suka kalian masih membicarakan Sakina,” protes Sekar. Malas sebenarnya ia membahas itu. Tapi, dia ingin meyakinkan suaminya kalau dia tidak suka apa pun yang berhubungan dengan Sakina. Gilang harus move on. Sementara bagi Gilang, dia sudah lama merasa move on. Meski kadang kepikiran juga. Bukan kepikiran karena masih suka dengan Sakina, tapi penasaran dengan nasibnya. Bagaimanapun Sakina adalah teman SMAnya. Tidak salah bukan, jika hanya seke
Cafe yang terletak di pusat kota itu cukup ramai. Sakina sudah memesan tempat untuk bertemu dengan Gilang. Sesuai kesepakatan dengan istrinya, Gilang hanya akan datang jika Sekar ikut. Gilang sudah tak ingin terpenjara dengan masalahnya yang semakin rumit. Biarlah hatinya segera move on. Bukannya seharusnya lelaki lebih gampang move on dan tak terjebak rasa? Sakina sudah duduk duluan. Dia memilih di pojok, agar tak terganggu oleh lalu lalang pengunjung cafe lainnya. Matanya terbelalak saat melihat Gilang dengan mesra menggandeng Sekar. Gilang memang hanya bilang akan datang, tapi ia tak mengatakan jika akan datang dengan Sekar. Gilang ingin, agar Sekar sudah tak termakan api cemburu lagi. Gilang ingin membuktikan bahwa ketika dia sudah menentukan pilihan, dia akan berusaha keras mempertahankan pilihannya, meski berat harus dijalani. Itulah pria sejati. “Maaf, Mbak. Aku ikut,” ujar Sekar datar.Sakina membalas dengan ekspresi datar juga. Tidak sehangat saat pertama kali mereka ber
Sakina terdiam. Lalu ia menatap Gilang, meski dengan mata berkaca-kaca. “Aku tak tahu kalau selama ini Gilang menyukaiku,” ucap Sakina terbata. Mata Sekar seketika membulat. Tak salah dengan apa yang didengarnya? Untuk apa Sakina mengatakannya? Tak cukupkah selama ini dia mengombang-ambingkan perasaan Gilang? Gilang menggeleng. Dia tak ingin mengakui, karena dia juga sudah berusaha keras untuk melupakannya.“Gilang, maaf aku tak tahu. Seandainya aku tahu....” “Cukup! Mas, ayo kita pulang!” potong Sekar sambil bangkit dari duduknya. Tangannya dengan sigap mencengkeram tangan Gilang dan menariknya.“Sekar, dengarkan aku dulu,” sergah Sakina. Tangannya memegang lengan Sekar agar mengurungkan niat hendak pergi.“Betul, Sekar. Ingat tadi niat kita ke sini, bukankah kita hendak mendengar apa yang hendak Sakina sampaikan, sebelum dia pindah dari kota ini?” sela Gilang. “Jadi kamu ingin agar aku menjadi saksi pengakuan cinta kalian?” Mata Sekar nyalang menatap keduanya bergantian. Tapi,
Sakina dan Gilang saling berpandangan. Tak lama, Gilang pun berdiri. Hatinya tak dapat berbohong, ada rasa tak nyaman. “Gilang, aku ingin bicara....” Sakina menghalangi Gilang untuk pergi. Dulu, dia sering menghabiskan waktu bersama Gilang. Tapi, sejak Gilang menikah, pemuda selalu menghindar, bahkan pria yang diakui sebagai sahabatnya itu memblokir nomornya. Ditemui di kantornya pun menolak. Sakina sangat kehilangan. Separuh hatinya seolah pergi. Dulu, dia selalu memiliki teman berbagi. Tapi, kini teman itu telah pergi. Bahkan, di saat dia sangat membutuhkannya. Di saat dia sedang menghadapi keputusan besarnya, dia harus sendiri. Dan dia terlambat menyadari, bahwa perginya Gilang bersamaan dengan pengakuannya menerima perjodohan itu dengan senang hati. Dia baru menyadari bahwa selama ini cinta Gilang lebih tulus dibandingkan perjodohannya. Bahkan, Sakina tak tahu bagaimana dia harus menjalani hari ke depan dengan Fajar, pria yang entah kapan sudah membagi hatinya dengan wanita p
Bahkan, Sekar tak terlihat khawatir dengan kegaduhan yang baru saja terjadi yang menyebabkan pipi kirinya terasa nyeri. Sambil memegang pipinya, Gilang mendekat. “Dik, ayo kita pulang,” ujar Gilang seolah ingin menunjukkan eksistensinya pada pria yang sedang berbicara dengan Sekar, sekaligus menunjukkan betapa menderita dirinya sehabis kena tonjok. “Eh, Mas. Udah?” tanya Sekar, seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan raut mukanya sangat riang. Bukan terlihat habis berantem dengan Sakina. Ditambah Sekar seolah tak mau tahu dengan kondisi Gilang yang sedang memegang pipi kirinya yang terasa nyeri. “Kita duluan, ya, Kak!” ujar Sekar sambil melambaikan tangannya. Akrab!Demikian juga lelaki itu. Dia membalas lambaian tangan Sekar, lalu masuk ke salah satu mobil yang terparkir di depan cafe. Rupanya salah satu pengunjung cafe juga. Darah Gilang terasa mendidih. Dia merasa diabaikan. Bahkan, Sekar seperti tak punya niat memperkenalkan lelaki yang barusan berbicara dengannya itu pada Gilan
“Mas....” panggil Sekar. Meskipun Gilang hanya bercanda, tapi ternyata dipikirkan juga oleh Sekar kata-kata Gilang tadi. Apalagi, tampaknya Gilang masih enggan mengakui statusnya sebagai istrinya di hadapan teman-temannya, meski temannya sudah tahu kalau Gilang sudah menikah. “Hemmm...” sahut Gilang malas. Matanya sudah terpejam. Seharian dia sungguh lelah. Habis antri beli bubur, ke dokter kandungan, ke pasar, dan malamnya berakhir dengan prahara bertemu dengan Sakina. Hari yang melelahkan. “Aku jelek,ya?” tanya Sekar sambil memainkan ujung selimut yang menutupi hingga batas lehernya. Sementara Gilang di sebelahnya sudah hendak terpejam. “Heem...” “Jadi, beneran aku jelek?” Sekar langsung memiringkan badannya. Matanya menatap Gilang yang ogah-ogahan menjawab pertanyaannya. “Iya....” jawab Gilang setengah bergumam. “Jadi, karena aku jelek, sampai kamu ajak ke klinik, biar aku ngga malu-maluin?” tanya Sekar lagi. Dia teringat Gilang yang rela merogoh kocek sangat dalam, dem
Bergegas Gilang meninggalkan Sekar yang masih membereskan barang bawaannya. Ada beberapa jajanan yang tidak mudah ditemui di Jakarta yang ingin dia bawa. "Dasar orang ngidam, aneh-aneh saja," dengus Gilang saat tahu Sekar membeli banyak jajan saat ke pasar kemarin. Lelaki itu menatap tamu yang sudah duduk di kursi tamu dengan tatapan tak suka. “Suaminya Sekar?” tanya Arfan sambil berdiri, berniat berkenalan dengan Gilang. Bukan menyambutnya dengan ramah, Gilang malah menatap uluran tangan itu, meski kemudian menyambutnya dan berjabat tangan dengan dingin. Sekar buru-buru ke depan. Ia khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apalagi, semalam Gilang sudah kena tonjok Fajar, dan Sekar pura-pura tak tahu. Salah sendiri bermain api, itulah akibatnya, batin Sekar tatkala melihat Gilang memegangi wajahnya malam itu, tanpa berniat bertanya seberapa sakitnya. Sekar lalu ikut duduk di sebelah Gilang. Suaminya itu menampilkan wajah juteknya seperti kemarin-kemarin tatkala melihat ses
"Kalau lelaki itu sudah mengenal Sekar dan keluarganya, bukankah lebih tepat kalau yang dijodohkan adalah pria itu, bukan aku?"Seolah Gilang sudah kehilangan akal. Dia lupa kalau dia justru dia yang menolak perjodohan Sekar dengan Fajar. Otaknya mulai ruwet mengingat puzle-puzle yang berserakan. “Nanti kamu nyesel....” ledek Pak Sidik sambil menaik-turunkan satu alisnya, tersenyum menyentil Gilang. Pria itu menatap menantunya yang ekspresinya mulai gelisah. "Tak masuk akal jika tak ada hubungan apa-apa, Sekar dan keluarganya bisa sedekat itu. Apalagi, sampai mengirim hadiah segala," gumam Gilang dalam hati. Mau bertanya, gengsi juga.Sementara Sekar malah asik membuka kardus hadiah dari mamanya Arfan. “Masyaallah! Satu set alat masak!” Ada rasa senang saat pertama melihatnya. Alat masak yang super mewah terbuat dari bahan berkualitas yang sekarang lagi in dipromosikan di mana-mana. Dia pernah melihatnya sekilas di iklan saat dia harus googling mencari bahan kerjaan kantornya.Ta