"Mau ke mana kau?" Dewa menghalangi pintu ketika bersamaan Dania akan keluar dari kamarnya. Sudah rapi dengan gaun kuning muda dan tas yang sewarna."Bukan urusanmu," ketus Dania sambil mendorong tubuh Dewa minggir. Namun, tubuh pria itu tak bergerak satu senti pun."Kau sudah menjadi seorang istri. Tidak baik seorang gadis sekaligus istri berjalan-jalan saat hari mulai malam tanpa ditemani suami.""Kita hanya menikah, Dewa. Bukan mencampur adukkan hidupku dengan hidupmu. Apalagi saling ikut campur urusan masing-masing."Tatapan Dewa menajam. Penentangan Dania membuat amarahnya tersulut, tapi ia teringat rencananya. Seketika wajahnya melembut dan tersenyum lembut. "Apa kauingin makan malam di rumah kakakmu?"Dania tersentak kaget. Bagaimana Dewa bisa tahu?"Apa kau tidak ingin memperkenalkanku pada kakakmu?"***"Zaf, apa kau sudah menghubungi mamamu?" Ryffa tak membutuhkan sapaan Zaffya ketika panggilan mereka langsung tersambung."Aku akan menyiapkan meja makan." Richard berjalan ke
"Apa kau puas sekarang?" Dania bertanya sinis ketika mereka baru saja keluar dari lift dalam keheningan sejak meninggalkan apartemen kakaknya.Dewa tak menjawab. Kalimat Zaffya masih bergaung dan suara-suara dalam kepalanya meneriakkan kata pengecut pada dirinya. Apakah dia puas setelah membuat Zaffya dan Richard merasakan penderitaan yang ia dapatkan? Sejujurnya ia tak puas, dan ia tahu ia tak akan pernah puas."Kuharap kau puas, Dewa." Dania melangkah mendahului Dewa. Ia tak ingin pulang dan harus menghabiskan waktu dalam ruangan yang sama dengan Dewa. Ia butuh waktu untuk sendiri.Dewa terpaku memandang punggung Dania. Kemarahan dan rasa bersalah yang bergulat dalam hatinya masih belum menemukan pemenangnya. Yang ia tahu hanyalah kesesakan dalam dadanya sama sekali tak berkurang. Malah semakin sempit dan lebih menghimpit dari sebelumnya.****Zaffya ingin menangis, tapi air mata sialannya tak ingin keluar meskipun hanya sekedar melonggarkan gumpalan besar di tenggorokannya. Richard
Dania terbangun karena panas sinar matahari yang menerpa wajahnya. Di antara tubuhnya yang terasa berat, ia mencoba melihat jam di dinding. Lebih satu jam dari seharusnya ia bangun sesuai rutinitasnya. Dengan ketelanjangannya di balik selimut, ia berusaha bangun melepaskan lengan Dewa yang melingkari perutnya."Tetaplah di sini?" Dewa kembali melingkarkan lengannya di perut Dania. Merapatkan tubuh mereka."Aku harus pergi kuliah." Dania beralasan."Aku juga harus pergi ke kantor." Suara Dewa terbenam bantal. "Tapi aku masih menginginkan istriku di ranjang."Dania memilih mengalah. Membiarkan Dewa memeluknya hingga napas pria itu kembali teratur dan terlelap lagi.Semalam, Dewa mengambil apa pun yang bisa diambil darinya. Merenggutnya dengan cara yang tak pernah Dania bayangkan. Menyakiti, tapi terkadang melembut. Lebih banyak sengaja menyakiti dirinya. Kemarahan pria itu pada semua orang diluapkan jadi satu padanya. Setidaknya ia bisa menghalau semua kemurkaan Dewa hanya padanya. Meli
Dania melambai pada mobil Raka yang melaju melewatinya. Bernapas dengan lega akhirnya ia bisa menolak ajakan pria itu untuk mengantarnya pulang. Beberapa kali Dewa muncul di apartemennya dengan sangat tidak terduga. Ia tak mau mengambil resiko Raka akan bertemu dengan Dewa dan baku hantam kedua pria itu.Ponsel Dania bergetar. Merasa tekanan dalam batinnya bertambah satu ton ketika melihat caller id yang tertera."Aku sudah menyuruh orang untuk mengurus barangmu. Kau tak perlu kembali ke apartemenmu sepulang kuliah." Suara Dewa dari seberang menghentikan Dania yang akan menuruni tangga café."Aku sudah bilang ...""Aku tahu. Tapi tidak bisakah kau berterima kasih lebih dulu karena aku meringankan pekerjaanmu?"Dania menghela napas. Kelegaannya tak bertahan lama."Aku ada rapat di sekitar kampusmu. Apakah aku harus menjemputmu?""Tidak!" Dania menjawab dengan cepat.Dewa terdiam sesaat. "Kenapa?""Aa ... ku, aku sudah naik taxi." Dania terpaksa berbohong."Benarkah?"Dania terdiam. Nad
Zaffya berjalan mondar-mandir di tengah ruang tamu. Menatap pintu apartemen dengan jantung berdebar keras. Ia belum pernah segugup ini bertemu ketika menunggu seseorang. Dan memangnya siapa yang berani membuatnya menunggu? Inilah alasan kenapa Zafya sangat benci menunggu. Apalagi dengan perasaan mencekam seperti ini. Segala pemikiran buruk dan perasaan tak mengenakkan selalu mengambang naik di saat-saat seperti ini. Membuatnya merasa lemah dan tak mampu.Zaffya kembali masuk ke dalam kamar. Berdiri mematut tubuhnya di kaca. Entah untuk yang ke berapa kalinya dalam satu jam terakhir. Lalu bertanya, apakah bajunya terlihat bagus? Adakah bagian yang kusut? Di lengan, kerah, di bagian belakang? Atau apakah pakaiannya sopan untuk disebut sebagai menantu yang baik? Apakah ada bagian tubuhnya yang terlihat dengan tidak sopan?Mamanya Richard adalah orang yang menjunjung tinggi adat istiadat dan pakaiannya tertutup serta sopan. Pembawaannya penuh kehangatan dan kelembutan. Bertolak belakang d
"Papa ingin kita berdua menemui mama," beritahu Zaffya pagi itu ketika mobil mereka mulai melaju keluar dari halaman gedung dan masuk ke jalan raya.Richard mendesah. "Dan mama ingin menemui Dania.""Mamamu sudah tahu?"Richard mengangguk.Zaffya merasakan beban dalam pundaknya bertambah satu ton dengan rasa bersalah yang semakin besar."Aku hanya berharap Dania mau mendengarkan mama.""Semoga.""Lalu, kapan kita akan menjenguk mamamku?"Zaffya mengingat-ingat jadwal yang dikirim Satya. "Aku akan menyuruh Satya mengepaskan jadwalku dengan waktu luangmu.""Tidak perlu, Zaf. Aku bisa meminta bantuan Luna menggantikanku jika memang itu perlu."Cubitan di hatinya selalu muncul saat Richard mengucapkan nama itu. "Mungkin lusa, biarkan mama istirahat selama dua hari untuk menenangkan dirinya.""Hm, Baiklah."Zaffya menatap kembali jalanan. Pikirannya melayang mengingat pembicaraannya dengan Luna semalam. Lagi.***Dania terkesiap ketika Raka tiba-tiba muncul di hadapannya. Membuatnya gugup
"Lepaskan dia!" Dewa menarik tangan kiri Dania dan menghentikan langkah Richard.Richard berputar, menggeram marah, dan siap melemparkan satu tinjunya ke wajah Dewa.Dania terperangah, menghadang kakaknya. "Jangan, Kak.""Jangan memohon pada kakak untuk mengampuni pria brengsek sepertinya, Dan," desis Richard."Kami tidak tahu apa pun tentang rencana ini.""Apa kau percaya pada ucapannya?"Dania menggeleng. "Bukan Dewa yang meminta kami ke sini.""Lalu?"Dania meragu sesaat. "Mamanya Dewa."Richard tersentak."Sepertinya ini memang rencana mamanya kak Zaffya dan mamanya Dewa."Richard merasa napasnya tersengal. Derita apalagi yang telah ia berikan pada adik kesayangannya satu ini. "Apa kau sudah bertemu dengan mama?""Ya, tapi Dania tetap pada pilihan Dan.""Kau!!" Richard benar-benar kehilangan kontrol. Melihat Dewa yang berdiri di belakang Dania. Memegang erat tangan Dania. "Apa yang kaulakukan pada adikku hingga dia menjadi seperti ini?""Bolehkah aku mengajukan pertanyaan yang sam
"Jam berapa kau pulang?" tanya Dewa sebelum Dania menarik pengait pintu mobil dan turun.Kenapa Dewa bertanya? Dania ingin tahu tapi memilih menjawab atau mereka akan kembali berdebat sehingga ia terlambat memasuki kelasnya. "Jam tiga sore.""Aku akan menjemputmu, jadi pastikan kau tidak membuat janji dengan siapa pun sepulang kuliah."Dania hanya mengangguk lalu turun. Dewa rela meluangkan waktu di antara kesibukan pria itu untuk menjemputnya karena ingin menunjukkan pada Raka bahwa hanya Dewalah yang berhak atas diri dan waktunya. Dania pikir, waktu mampu menyembuhkan luka hati Dewa. Tetapi ada kalanya waktu semakin membuat seseorang tenggelam dan terbiasa dengan luka tersebut. Setelah sebulan pernikahan, sifat kekanakan dan sikap sinis pria itu tak berkurang sedikit pun pada Raka. Menikmati ketika melihat Raka terusik saat memamerkan permen yang berhasil direbut.Dania merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya. Menekan deretan nomor-nomor yang sudah tertulis di ingatan dan menempelkan