Share

2. Putus?

"Seharusnya kau menghilangkan kebiasaan burukmu ini." Dewa membungkuk, mencium puncak kepala Zaffya sebelum bersandar di meja kerja wanita itu dan lengan di puncak sandaran kursi Zaffya. Ikut menghadap pemandangan kota yang terhampar.

Zaffya hanya mendengkus malas. Tak membuka matanya karena masih menimbang-nimbang apa yang akan dikatakan pada Dewa.

Dewa memandang bosan ke arah kaca dinding yang menampakkan pemandangan kota di siang hari itu. Melirik sejenak sisi wajah Zaffya yang masih tak bergeming dengan mata terpejam. "Apa kau sakit?"

Zaffya tak menjawab.

Dewa mengangkat tangan dan memegang dahi Zaffya untuk memeriksa suhu badan wanita itu.

Zaffya membuka mata, menarik badannya berdiri sambil mengibaskan tangan Dewa dari dahinya. "Berhenti bersikap seperti tunanganku, Dewa," katanya sambil melangkah menuju set sofa yang ada di sudut ruangan, "kita butuh bicara."

"Setahuku ... aku memang tunanganmu." Dewa mengangkat bahu sekilas dan menegaskan, lalu ikut berjalan menuju sofa yang diduduki Zaffya.

"Apa kau sudah makan siang?" tanyanya lagi begitu sudah mengambil tempat duduk di sisi Zaffya.

Zaffya menggeleng. "Aku ingin bicara tentang pertunangan kita."

Dewa tertegun. Matanya menatap manik mata Zaffya yang balas menatap dengan tatapan tak terbantahkan. "Aku sudah memesan makan siang kita," Dewa melirik jam tangannya sekilas. "Lima menit lagi akan datang," katanya mengalihkan pembicaraan. Tahu benar ke mana arah pembicaraan mereka akan berlanjut jika wanita itu sudah menyangkut pautkan masalah pertunangan.

"Kita harus mengakhiri pertunangan ini." Zaffya tak memedulikan kata-kata Dewa sama seperti pria itu tak memedulikan kata-katanya. Yang terpenting ia sudah mengatakan yang ingin ia katakan pada Dewa, dan kali ini ia tak mau menuruti keinginan Dewa. Lagi.

Dewa kembali tertegun. Ia tak punya topik pembicaan lain untuk mengalihkan apa yang diucapkan Zaffya. Ini sudah kesekian kalinya wanita itu meminta memutuskan pertunangan mereka, kesekian kalinya dalam setahun, dan ia berhasil meyakinkan wanita itu hingga pertunangan mereka berumur hampir delapan tahun. "Apakah alasannya masih sama?" tanyanya.

Zaffya terdiam. Cukup lama sampai akhirnya ia mengembuskan napas panjang dan menjawab, "Kau tahu suatu saat pertunangan ini harus berakhir, Dewa. Aku sudah bosan bersikap munafik hanya untuk menuruti keinginan orang tua kita dan media."

"Apa kau masih belum bisa melupakannya?"

"Mungkin ya, tapi bukan itu alasan utamaku," Zaffya menjawab seadanya.

"Apa kau masih mengharapkannya kembali?"

"Itu bukan urusanmu." Zaffya mulai tak suka dengan interogasi yang diberikan Dewa. Ia tak suka siapa pun mengorek-ngorek informasi pribadinya.

"Atau kau berniat mencarinya?"

"Hentikan, Dewa," geram Zaffya, "bukan urusanmu sekalipun aku mencarinya."

"Mungkin saja diluar sana dia sudah menemukan wanita lain, menikah dan bahkan sudah mempunyai anak. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu, Zaf. Kehidupannya pasti terus berlanjut. Tidak seperti dirimu yang hanya bisa terjebak di sini saja. Sampai kapan kau akan terus terlihat menyedihkan seperti ini?"

"Jangan ikut campur urusanku lebih jauh lagi!" hardik Zaffya. Raut wajahnya mengeras dan tatapannya menajam. Ada gemuruh kecemburuan yang menyerbu dadanya dengan kalimat yang diucapkan Dewa.

Sejujurnya, ia juga telah berusaha keras untuk menghapus pria itu dari dadanya. Akan tetapi, semuanya selalu berakhir dengan sia-sia dan semakin menyiksa. Ia memang benar-benar berniat untuk mencari pria itu, tapi lagi-lagi ketakutan yang bercokol di kepala mengalahkannya.

Ketakutan akan menemukan kebenaran dalam kemungkinan yang diucapkan Dewa tentang pria itu.

Bagaimana kalau pria itu sudah melupakannya dan menemukan wanita lain yang dicintai?

Bagaimana kalau pria itu sudah menikah?

Sudah mempunyai anak?

Ia terlalu takut menghadapi kenyataan itu, membuatnya selalu berpikir ulang ketika berniat mencari pria itu.

"Sejak awal, pertunangan ini hanya kesepatakan yang kau berikan padaku agar orang tuaku tidak terus menerus memojokkanku. Kau tahu semuanya pasti berakhir. Sesuai kesepakatan kita," Zaffya memperingatkan. Sambil berusaha mengabaikan pertanyaan yang masih berkeliaran di kepala tentang pria itu.

"Tidak pernahkah sedikit pun kau membuka hatimu selama tujuh tahun lebih kita bertunangan? Untukku?"

"Aku tak pernah melibatkan perasaan untuk pertunangan kita."

"Kau tak pernah mencobanya," tandas Dewa.

"Apakah aku harus?" tanya Zaffya mulai bersikap ketus. Dari awal pertunangan mereka, ia sudah mengatakan tidak akan melibatkan perasaan apa pun pada Dewa.

"Sekali saja, apakah kau pernah mencoba untuk menyukaiku?"

Zaffya terdiam. Bukan hanya sekali Zaffya mencoba untuk menyukai pria tampan yang ada di hadapannya ini, ketika ia benar-benar putus asa menghapus pria itu. Zaffya tetap tak bisa memiliki perasaan yang ia miliki untuk pria itu kepada Dewa. Atau mungkin Zaffya yang tidak ingin. Zaffya tidak tahu. Yang Zaffya tahu, perasaannya untuk Richard tak pernah berubah sedikit pun. Masih sekokoh dulu dan semakin menggila. Bercokol dari dasar hati yang terdalam.

Tok ... tok ... tok ....

Suara pintu yang diketuk dari luar memecahkan ketegangan di antara keduanya.

"Kita makan siang dulu," kata Dewa. Beranjak dari duduknya dan melangkah membuka pintu.

***

"Hallo, sepupu!" Suara nyaring Vynno langsung menyerbu telinga Zaffya dengan sangat tidak siap ketika ia mengangkat panggilan yang membangunkan tidurnya pagi ini.

Zaffya mengernyit tapi tetap kembali memejamkan mata ketika mengenali pemilik suara itu adalah sepupu sialannya. Membiarkan ponsel tertempel di telinga tanpa merasa perlu bersuara.

"Seharusnya kau ikut dengan kami, Zaf. Kau perlu menghilangkan stresmu sebentar saja."

Zaffya hanya menanggapi dengan gumaman tak jelas. Ia bisa menebak dengan jelas pembicaraan Vynno selanjutnya. Pria itu akan menceritakan bagaimana liburan mereka berakhir. Jadi, ia hanya perlu mengangkat telfon dan membiarkan durasi berjalan. Mematikan panggilan pria itu bukanlah pilihan, Vynno akan menyerbunya dengan panggilan-panggilan lainnya dan tak berhenti sampai ia mengangkatnya. Seharusnya Vynno cepat-cepat menemukan wanita yang bisa ditumpahi segala macam sampah yang keluar dari mulut sepupunya itu. Ryffa tentu saja sangat senang karena tidak ikut direcoki telinganya dengan semua itu.

"Zaf?! Apa kau masih di sana?"

Sekali lagi Zaffya menggumam sebagai jawaban, dan jika Vynno sudah bertanya seperti ini, maka celotehan panjang petualangan pria itu sudah berakhir. "Bisakah aku melanjutkan tidurku sekarang?"

"Ya."

"Bye."

Zaffya akan menarik turun ponsel dari telinga ketika teriakan Vynno yang memanggil namanya sekali lagi di ujung sana membatalkan niatnya. "Ada apa lagi?" Suaranya yang serak diikuti desahan gusar. Demi apa, bahkan pengurus apartemennya belum bangun dan sepupu sialannya itu lebih giat mengganggunya.

"Hampir saja kami lupa. Selamat dariku dan Ryffa."

Mata Zaffya yang terpejam seketika membuka.

Selamat?

Untuk apa?

Untuk keberhasilannya membuka cabang rumah sakit terbaru?

Vynno tak pernah mengucapkan selamat untuk setiap keberhasilannya. Sama sekali jika Zaffya boleh menambahkan.

Lalu, seketika perasaan janggal yang terasa tak mengenakkan itu muncul ke permukaan ketika Vynno melanjutkan kalimatnya.

"Kami senang akhirnya kau bisa melanjutkan hidupmu. Kalau saja kau mendengarkan nasehat kami sejak dulu, kau tidak perlu membuang waktu sia-siamu untuk menikmati hidupmu. Bahkan mungkin kami sudah memiliki keponakan."

Zaffya beranjak dari rebahannya. Duduk sambil memegang ponsel di telinga dan bertanya tak mengerti, "Apa maksudmu?"

"Hah ...." Sesaat Vynno terdiam di ujung sana. "Apa kau tidak tahu?"

"Aku tidak tahu apa maksud ucapan selamatmu. Aku juga tidak tahu apa maksudmu dengan melanjutkan hidup, apalagi keponakana," kata Zaffya semakin bengong. Sekalipun ada sudut hatinya yang lain yang mencoba menerka maksud kalimat Vynno baru saja.

"Apa kau juga tidak tahu mengenai tanggal pernikahanmu dan Dewa yang diumumkan di media?"

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ika Agustina
keren banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status