Share

Menikahi Adik Musuh
Menikahi Adik Musuh
Penulis: Luisana Zaffya

1. Pernikahan?

Pesta itu berlangsung sangat meriah. Nadia Farick memastikan semua yang terbaik, tapi Zaffya lebih memilih menyendiri di balkon yang sepi. Ia sudah terlalu banyak memasang senyum palsu malam ini. Sudah cukup bosan mendengarkan segala macam pujian yang dilontarkan atas keberhasilan membuka cabang rumah sakit terbaru mereka di pulau seberang. Keberhasilan yang entah keberapa kali dalam setahun belakangan ini.

Selalu saja, hidupnya berjalan dengan amat sangat lancar. Kerajaan bisnis keluarga yang diturunkan pada Zaffya membuat dirinya memiliki segalanya, tapi anehnya, memiliki segalanya nyatanya membuat Zaffya tak cukup mampu menginginkan apa yang diangankan dalam hati. Di antara meriahnya pesta yang sedang berlanjut di belakang, ia tak merasakan secuil pun emosi yang mampu membuat bibir Zaffya bergerak membentuk sebuah senyuman. Senyuman yang tak bisa lagi dilengkungkan sejak beberapa tahun terakhir, kecuali senyum palsu yang selalu dipasang ketika media menyorot dirinya. Klasik, kisahnya seperti pemeran utama dalam drama-drama yang sering dimainkan di televisi yang ditonton oleh Vynno.

"Mama ingin bertemu denganmu." Suara seorang pria yang berjalan menghampiri tak membuat Zaffya tertarik untuk menoleh. Ia tahu siapa pemilik suara itu bahkan tanpa memastikannya. Menyodorkan segelas sampanye padanya.

Zaffya menerima gelas itu dan menyesap sedikit. Ia butuh sesuatu yang lebih keras daripada ini. Setidaknya untuk merayakan keberhasilannya, bukan?

"Apakah pestanya begitu membosankan?"

Zaffya hanya mendesah kecil dan mengedikkan bahu sebagai jawaban ya atas pertanyaan itu. terlalu malas bahkan hanya untuk menjawab iya.

"Tahanlah sebentar lagi, mamaku hanya ingin bertemu denganmu lima menit."

Zaffya menoleh. Menatap wajah tampan itu sambil memutar bola matanya bosan. Lima menit itu berarti lima jam jika mamanya Dewa yang mengajak bicara, karena ia tahu apa yang akan dibahas oleh wanita paruh baya itu.

Tentang pertunangan mereka yang masih saja tak menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih serius. Ia harus segera mengakhiri drama yang mereka mainkan secepatnya sebelum semua orang benar-benar mendesaknya dan ia benar-benar berakhir sebagai pendamping hidup pria ini.

Akan tetapi, bagaimana mungkin hubungan yang berjalan dengan sangat lancar dan baik-baik saja tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba mendatangkan petir bagi siapa pun yang mendengarnya.

"Ayolah, hanya lima menit." Dewa meraih pundak Zaffya dan membalikkan badan wanita itu. Membawanya kembali ke dalam hiruk pikuk pesta yang semakin ramai.

Zaffya tak punya pilihan selain menurut. Ia butuh cepat pulang, dan ia tahu ia tak akan bisa pulang tanpa menemui wanita paruh baya yang telah melahirkan tunangannya tersebut.

"Mama hanya ingin menyapa," tambah Dewa lagi, "setelahnya aku akan mengantarmu pulang."

"Berdoalah mamamu tak membahas sesuatu yang membuatku pergi di detik itu juga," bisik Zaffya pelan. Sekalipun ada nada mengancam yang terselip di antara kalimatnya yang membuat Dewa tersenyum miris.

Zaffya tak pernah berubah. Sekalipun ia sudah berhasil mengikat wanita itu dengan pertunangan mereka, tapi ia tak pernah berhasil mengikat hati wanita itu. Mungkin tak akan pernah bisa.

***

"Ada apa lagi, Sat?" tanya Zaffya ketus pada asisten yang masih berdiri di depan mejanya. Beberapa berkas yang diminta tanda tangan oleh pria itu sudah ia tanda tangani. Lalu, sekarang ia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Memikirkan pertunangannya dengan Dewa. Memikirkan scenario untuk mengakhiri pertunangan mereka dalam waktu dekat.

Sialan ....

Sejak tadi Zaffya tak bisa menenangkan hati dan pikirannya mengingat percakapan tadi malam yang sebenarnya sudah ia ketahui akan berakhir seperti apa. Sekalipun tidak secara gamblang mamanya Dewa dan mamanya yang menyuruh segera menentukan kapan tanggal pernikahan, ia tahu pembicaraan mereka mengarah ke sana. Menyudutkannya dengan Dewa untuk segera menikah.

"Tuan Rehardi ingin Anda memeriksa dokumen ini." Satya menunjukkan map berwarna biru itu pada Zaffya. Meminta ijin sebelum meletakkan di meja. Wanita itu tidak suka dirinya meletakkan sembarang dokumen yang belum diketahui dengan pasti di atas meja kerja.

"Dokumen apa?" tanya Zaffya malas.

"Dokter yang akan bekerja di CMC ...."

Zaffya berdecak malas, memotong kalimat Satya sebelum berlanjut lebih panjang lagi, "Kenapa harus aku yang memeriksanya? Bukankah tanggung jawab rumah sakit urusan Vynno?"

"Tuan Rehardi hanya ingin Anda memeriksanya sekali lagi."

"Kalau dia merasa bagus untuk CMC, kenapa aku harus repot-repot? Aku memberikannya pekerjaan bukan untuk merepotkanku," gerutu Zaffya lagi. Tak memberikan isyarat apa pun agar Satya meletakkan berkas itu di atas meja.

"Tuan Rehardi pergi dengan tuan Sebastian ke Amerika untuk ..."

"Aku sudah tahu." Zaffya mengibaskan tangan malas. Tahu apa yang dilakukan kedua sahabatnya di sana. Meninggalkannya sendirian dengan permasalahan yang menumpuk, meskipun ia tak sepenuhnya kecewa. Ia sedang tidak membutuhkan kedua orang itu, tahu benar nasehat apa yang akan diberikan keduanya dengan permasalahan pelik yang sedang ia hadapi.

Mencoba menjalani apa yang ada di hadapannya, dan sayangnya hati Zaffya tidak semudah jalan pikiran mereka. Selalu memilih jalan yang lebih rumit. Tak peduli, jika hatinya berkata A maka ia akan melakukan A, dan jika hatinya berkata B maka ia akan melakukan B. Sudah cukup ia mengikuti sandiwara hidup selama ini.

"Kau periksa, apa yang diinginkan Vynno, kalau ada yang tidak beres terserah mau diapakan," perintah Zaffya akhirnya.

Satya diam, menggerutu dalam hati sambil meletakkan kembali map biru itu bercampur dengan tumpukan berkas yang ada di pelukannya dan mengangguk patuh. Suasana hati bosnya sedang buruk dan dia tidak mau mencari gara-gara.

"Batalkan meeting siang ini dan atur jadwalnya kembali. Siang ini aku tidak ingin diganggu siapa pun," tambah Zaffya lagi. Lalu menekan tombol di remote yang ada di atas meja untuk memburamkan kaca. Membatasi dirinya dari hiruk pikuk bawahannya di lantai yang sama.

Sekali lagi Satya mengangguk, lalu berbalik dan melangkah keluar.

Zaffya memutar kursi, menatap pemandangan kota melewati dinding kaca dengan desahan yang keras dan berat melewati kedua bibirnya. Ingin mengosongkan pikirannya sejenak, tapi tetap saja sesak yang terasa kosong itu membuat kepalanya terasa berputar dan penuh sumpalan. Kemudian ia memilih menyandarkan punggung dan memejamkan mata untuk sejenak menghilangkan penat.

Namun, belum sempat matanya benar-benar terpejam, suara pintu yang terbuka membuatnya mengumpat dalam hati. Dua langkah kaki yang tertangkap indera pendengarannya, satu dengan langkah tenangnya dan satunya lagi dengan langkah panik. Membuat Zaffya kembali mengembuskan napas dengan berat. Tahu benar siapa yang berani menganggu dan kebal atas perintah yang tak terbantahkan pada Satya.

"Maafkan saya, Nyonya. Tuan Sagara ...." Suara khawatir Satya terdengar dari balik punggung Zaffya.

Zaffya mengibaskan tangan kanan sebagai isyarat agar Satya keluar. Tak menunggu lama, pria itu melangkah keluar dan menutup pintu. Membiarkan kedua orang itu. Seperti biasanya.

Zaffya masih tak bergerak dari tempatnya. Memejamkan mata setelah melihat bayangan sosok yang berdiri di belakangnya lewat dinding kaca. Tak begitu jelas tapi ia tahu betul siapa sosok yang kini melangkah menghampirinya. Ia tak suka waktunya diganggu oleh Dewa, tapi sepertinya ia juga butuh bicara dengan Dewa. Semakin lama ditunda, masalah akan semakin menumpuk dan membesar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status