“Aku tidak tahu, kapan aku bisa melupakan dendamku, kapan aku bisa menghapus Zaffya dari hidupku, dan kapan aku berhenti bersikap brengsek padamu. Mungkin butuh waktu satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun, atau bahkan lebih. Tapi aku yakin suatu saat aku bisa hidup bahagia dengan anak kita. Tanpa mengingat semua kehancuran ini dan memenuhi ingatanku dengan semua kebahagiaan di setiap detik dalam hariku. Sampai saat itu tiba, aku ingin kau dan anakkulah yang ada di sampingku. Merawat semua luka-lukaku. Aku berjanji akan mencukupi kalian dengan kasih sayang tanpa kalian merasa kurang sedikit pun.”“Yang kutahu, aku tidak punya keyakinan untuk bahagia tanpamu dan anak kita. Jadi maukah kau meyakinkanku jika suatu saat nanti aku merasa terpuruk? Dan jangan merasa lelah untuk mengingatkanku bahwa aku memiliki kalian berdua sebagai alasan untuk bahagia suatu hari nanti.”Kata-kata Dewa kembali berputar di benaknya. Dewa mengucapkan janji itu dengan ketulusan dan sungguh-sungguh. Meski pria
Dewa merasa kehampaan menyambutnya begitu membuka pintu kamar dan menemukan hanya kegelapan di dalam sana. Kamarnya sunyi dan ia tahu Dania tak ada di ruangan ini. Sekali lagi ia mencoba menghubungi nomor Dania sambil menyalakan lampu kamar. Untuk kesekian kalinya, nomor Dania tidak aktif. Padahal siang tadi ia masih berbincang dengan Dania. Dewa pikir ponsel Dania kehabisan daya hingga ia memperkirakan wanita itu sudah ada di rumah, dan ponsel Dania tetap tak bisa dihubungi. Bahkan wanita itu belum sampai di rumah.Apa yang terjadi? Dewa membuka pintu kamar mandi yang kosong. Bergegas ia menyambar kunci mobilnya dan kembali keluar kamar. Meskipun tak tahu harus ke mana mencari Dania di luar sana.“Bik, apa istriku sudah pulang?” tanya Dewa menemukan salah satu pelayan yang sedang melintasi ruang tengah.“Dewa,” panggil Monica sebelum pelayan itu sempat menjawab pertanyaan Dewa.Dewa menoleh, melihat mamanya berdiri di depan pintu ruang kerja papanya yang terbuka.“Masuklah. Mama perl
Dania tak tahu apa yang menyebabkan morning sicknessnya lebih parah dari pada sebelum-sebelumnya. Semua makan malam yang bisa ia lahap tadi malam hanya bertahan selama beberapa jam di perutnya. Raya mengusap punggung Dania dengan sabar dan sesekali ikut meringis mengingat kembali rasa sakit yang harus ia lewati sewaktu hamil Richard dan Dania dulu. Tanpa sosok seorang suami, beban akan terasa berkali-kali lipat lebih berat daripada seharusnya. Terlihat jelas di manik kosong Dania.“Apa perutmu masih mual?” tanya Raya menyeka keringat di dahi Dania dengan tisu ketika napas Dania mulai kembali normal.Dania mengangguk. Membiarkan mamanya membantunya berdiri dan memapahnya ke kasur. Memberinya segelas air putih yang ia tolak.“Apa kauingin teh hangat?”Dania menggeleng, mencari posisi nyaman di bantal dan menjawab, “Dania ingin tidur lagi.”“Baiklah. Mama akan membangunkanmu satu jam lagi untuk membawa sarapanmu. Kau harus tetap makan untuk bayimu.”Dania tak menjawab. Memejamkan matanya
Keduanya berdiri sangat lama, hingga Dania mulai merasakan pegal di kaki dan hendak terjatuh. Dewa menangkap pinggan Dania, menarik kepalanya dan berputar mulai mencari sesuatu untuk duduk. Kursi di samping kakinya menjadi pilihan, ia menarik Dania dan mendudukkan wanita itu di pangkuannya. Memeluk tubuh rapuh itu dengan erat-erat dan tetap akan melakukannya meski Dania berniat menolak.Dania tak pernah menyangka pelukan Dewa akan senyaman dan sehangat ini. Semua perasaan yang bercampur aduk di dadanya kini mengurai dan memberinya ruang kosong yang sangat melegakan.“Aku tidak bisa kehilangan kalian, Dan. Kumohon, jangan tinggalkan aku lagi.”Tangisan dalam suara Dewa membuat mata Dania memanas. Tangan Dania terangkat, mengalung di leher Dewa dan telapak tangannya mengelus rambut di kepala Dewa yang masih lembut meski terlihat kusut. “Maaf, aku pergi tanpa memberitahumu.”“Kenapa kau menandatangi surat sialan itu?” desis Dewa geram.“Aku tidak bisa kembali ke rumahmu, Dewa.”Dewa meng
Monica mengekor di belakang Dewa yang masuk ke kamar pria itu. Setelah hampir seminggu putra bungsunya itu tak pulang, tentu Monica merasa sangat senang melihat kedatangan Dewa. Dengan senyum lebarnya, Monica bertanya, “Raka bilang kau tidak ke kantor selama dua hari. Ke mana saja kau?”“Dewa akan kembali bekerja mulai besok,” jawab Dewa datar. “Bagaimana persiapan pernikahan?”Monica tak langsung menjawab. Raka bersikeras menolak kesepakatan di balik perjanjian yang sudah Dewa tanda tangani. “Kakakmu menolaknya.”“Kalau begitu dia pasti punya cara lain untuk menyelamatkan perusahaan, kan?”“Kau harus bercerai dengan Dania.”“Dan menikahi Alra?” sengit Dewa sinis. “Omong kosong apa ini, Ma?”“Kau yang menandatangani kesepakatan itu.”“Baiklah, Dewa akan menikahi Alra. Tapi Dewa tak akan pernah menceraikan Dania. Katakan itu pada Toni Wardhana.”“Dewa!”Dewa tak memedulikan panggilan keresahan mamanya. Berjalan masuk ke walk in closet dan menarik koper besarnya ke arah almari pakaian.
“Apa yang dia katakan hingga membuatmu begitu resah, Dan?” Pertanyaan Dewa menghentikan Dania yang hendak berbalik memunggunginya. Entah berapa puluh kali ia menghitung Dania yang berganti-ganti posisi di sampingnya. Ia mengabaikannya, mungkin karena pengaruh kehamilan sehingga perut wanita itu bermasalah dan mengganggu tidurnya. Namun, semakin lama gerak keresahan Dania mulai mengganggunya. Dan sungguh, ia merasa bersalah telah menegur Dania. Kepalanya sangat pusing karena pekerjaan kantor yang menumpuk, perutnya yang lapar sudah terisi dan badannya yang lengket sudah segar. Sekarang ia ingin memejamkan mata untuk beristirahat untuk menghadapi pekerjaan yang masih menggunung dengan otaknya yang jernih.“Apa ... apa aku mengganggumu?”Ya, batin Dewa dalam hati. Pemikiran tentang Raka yang mampu memengaruhi Dania hingga tak bisa tidur seperti ini, tentu saja mengganggu pikiran Dewa. “Apa yang kaupikirkan?”‘Apa kau akan menikahi Alra?’ Pertanyaan itu sudah diujung lidah, tapi kepala Da
Senyum Dania mengembang ketika dinding kaca ruangan Dewa sudah terlihat. Ia mempercepat langkahnya tapi harus berhenti ketika melihat seseorang di ruangan Dewa. Seorang wanita dengan rambut bergelombang hitam, tengah berdiri didepan meja Dewa. Sepertinya mereka sedang terlibat pembicaraan yang serius. Dania memundurkan langkahnya, menyembunyikan diri dari jangkauan pandangan Dewa.Menunggu di kursi sepertinya hanya akan membuatnya canggung, Dania pun memilih berbalik dan berjalan kembali ke arah lift di sebelah utara. “Kenapa kau kembali, Dan?”Dania menghentikan langkahnya. Kepalanya menoleh dan melihat Raka bersandar di pinggiran pintu ruangan pria itu. Ya, jarak ruangan Dewa dan Raka memang hanya terpisah oleh ruang meeting di tengah, dan lift yang di terletak di sebelah utara. Dengan ruangan Dewa yang ada di sebelah selatan, tentu Raka bisa melihat kedatangannya yang melintasi ruangan pria itu saat menuju ruangan Dewa dan kembali hanya dalam hitungan detik.Dania memaksa satu sen
Dewa menepuk pelan pipi Dania. Menunggu respon dengan panik. “Dan? Dania,” panggilnya dengan lembut.Bulu mata Dania bergerak, matanya perlahan membuka dengan pusing ringan di kepala menyambut kesadarannya. Dania meringis, menyentuh kepalanya dan menggumamkan erangan lirih.“Minumlah.” Dewa mengangkat sedikit kepala Dania dan menyodorkan secangkir teh hangat ke bibir Dania.Dania menyesapnya dua kali dan kehangatan yang melewati tengorokannya seketika melenyapkan rasa pusing di kepalanya. “Kau benar-benar membuatku khawatir, Dan. Apa kau merasa pusing? Atau sesak?”Dania mengangkat badannya dan duduk mencari posisi yang nyaman. “Wajahmu.” Dania mengangkat tangannya dan menyentuh lebam di bawah mata kiri Dewa serta sudut bibir yang pecah dengan darah yang sudah mengering.“Aku baik-baik saja.” Dewa menurunkan tangan Dania dari wajahnya.“Lukamu harus diobati, Dewa. Katakan pada sekretarismu untuk membawa kotak obat kemari.”“Aku akan ....”“Sekarang,” tegas Dania dan hendak berdiri d