แชร์

6 | Membangun Rutinitas

ผู้เขียน: Erlin Natawiria
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-07-05 15:16:56

Selama menjadi asisten pribadi Galuh, Rayyi senantiasa bersiap sebelum matahari menampakkan diri di ufuk timur. Selain menghindari kemacetan ibu kota, dia harus menyiapkan keperluan sang atasan di rumahnya. Kadang, Rayyi menemaninya seharian, di lain waktu dia diterjunkan untuk menjalankan misi-misi tertentu.

Kepindahannya ke apartemen baru bersama Luna pun tak mengubah banyak rutinitas tersebut.

Pagi ini, selepas salat Subuh, Rayyi sudah membereskan perlengkapan kerja. Diambilnya jas yang tersimpai di kursi, lalu melangkah keluar untuk menyantap sarapan ala kadarnya. Setelah mencuci piring, pria itu mengambil sepatu di rak. Tepat saat tangannya hendak membuka pintu, sebuah pesan dari Galuh masuk ke ponsel.

<apa kamu sudah mengantar luna untuk belanja bulanan?>

Keningnya mengernyit. Matanya lantas mengerling ke pintu yang dijadikan sekat.

<maaf, pak, luna tidak minta saya menemaninya>

Bukannya menjawab lewat pesan, Galuh malah meneloponnya. Rayyi mengembuskan napas panjang sebelum menerima panggilan tersebut.

“Selamat pagi, Pak Galuh.”

“Kamu enggak perlu datang ke rumahku,” tanpa basa-basi, Galuh memberi instruksi. “Hari ini, temani Luna belanja. Dia selalu pergi setiap tanggal 5. Aku bakal transfer uang, tapi jangan katakan aku yang memberikannya. Paham?”

Rayyi sampai bingung, apa dia harus senang atau sebal mendengar perintah itu. “Baik, Pak, tapi Luna belum bangun.”

“Tunggu sampai pukul 7 atau 8. Biasanya dia bangun lebih siang di akhir pekan.” Hubungan mereka pasti sangat dekat sampai hafal masing-masing kebiasaan. “Kabari aku saat kalian pergi. Oh, pastikan dia pergi ke supermarket di mal dekat hotel tempat kita bekerja.”

Mendengar detailnya, Rayyi curiga Galuh tengah merencanakan sesuatu. Namun, dia hanya asisten pribadi yang ditugaskan untuk patuh padanya.

“Baik, Pak, akan saya laksanakan.”

*

Wajah gusar Luna menyambut Rayyi kala pintu sekat terbuka. Masih mengenakan setelan piama, perempuan itu menyelidiknya yang terlihat rapi dengan kemaja dan celana bahan. Dia lantas menggeser pintu lebih lebar; isyarat untuk mempersilakannya masuk.

“Urgensi apa yang mendorong kamu harus bicara denganku?” todong Luna sembari menggelung rambutnya.

“Hari ini, saya berencana pergi ke supermarket. Apa—” Rayyi berdeham. Ini kali pertama baginya mengajak seseorang keluar untuk urusan di luar bisnis. “Apa kamu mau sekalian menumpang untuk belanja?”

Luna membelalak ke arahnya. Kemudian perlahan, salah satu sudut bibirnya terangkat. “Pasti Mas Galuh yang menyuruhmu.”

Untuk apa pula Rayyi menyanggah. Dia tak sedang berupaya menggoda Luna. “Kata Pak Galuh, kamu selalu belanja bulanan setiap tanggal 5.”

Perempuan di hadapannya beranjak dari kursi, lalu berbeluk menuju dapur. Dari tempatnya duduk, Rayyi mendengar tawa sinis beserta gumaman yang diasumsikan sebagai umpatan. Seketika, dia teringat kado dari Naura. Memang sebaiknya pemberian itu disembunyikan dari radar Luna.

“Karena kamu udah dandan rapi, aku bakal ikut,” celetuk Luna kala kembali dari dapur bersama secangkir teh hangat. “Enggak keberatan buat tunggu aku mandi, kan? Sekitar 10 atau 20 menit. Setelah itu kita pergi sambil cari sarapan.”

*

Supermarket yang dimaksud Galuh baru buka pukul 10 pagi. Maka, wajar bila Luna mengajaknya sekalian sarapan di luar mengingat mereka berangkat lebih awal. Meski raut wajahnya tertekuk, perempuan itu sempat menanyakan santap pagi yang dia inginkan. Rayyi, yang sedang fokus menyetir, menyerahkan pilihannya pada Luna.

“Gara-gara sibuk ngurus kamar kemarin, aku sampai enggak sempat mampir ke sini,” ujar Luna sesampainya mereka di gerobak lontong kari yang berjualan di belakang hotel. “Kamu mau yang pedas atau biasa?”

“Biasa saja.” Rayyi menyerahkan piring-piring kotor pada perempuan yang mendampingi penjual lontong kari. “Perut saya agak sensitif dengan rasa pedas.”

Luna berdecak prihatin. “Kamu melewatkan banyak kesenangan di dunia kuliner.”

Sambil menunggu pesanan, keduanya disibukkan masing-masing urusan. Luna sedang mengetik sesuatu pada ponsel, sementara Rayyi meninjau jadwal Galuh seminggu ke depan. Cukup lengang. Itu berarti, dia akan mendapatkan waktu istirahat lebih panjang.

Rayyi dan Luna bertolak menuju supermarket selepas sarapan. Tepat saat keduanya mendapatkan lokasi parkir, mal dibuka. Luna lantas berjalan mendahuluinya untuk mengambil troli yang berada di samping pintu ke arah lokasi yang dituju.

“Mau sekalian belanja juga?” tanya Luna saat mereka menelusuri lemari pendingin berisi sayuran segar. “Trolinya besar, pasti muat banyak barang.”

“Tidak perlu, saya….” Di sinilah Rayyi menyadari bila dia jarang belanja kebutuhan. Dia hanya mampir ke pasar atau minimarket saat isi kulasnya kosong melompong. “Saya hanya belanja sesekali. Lagi pula, ada jatah konsumsi dari Pak Galuh.”

“Kenapa aku enggak kaget,” gumam Luna. “Tapi kalau kamu mau belanja sesuatu, silakan simpan di troliku. Nanti di apartemen kita bisa pisahin sekalian itung pengeluarannya.”

‘Bukannya saya tidak mau,’ batin Rayyi. Sejujurnya, ada beberapa barang yang perlu dibeli selagi berada di supermarket. Namun, perintah Galuh seakan mengisyaratkan untuk menunggu instruksi berikutnya.

Benar saja. Saat berbelok ke arah area daging, Rayyi menangkap sosok tinggi berkemeja navy blue dengan celana hitam menghampiri mereka. Kala pandangan mereka bertemu, Rayyi otomatis berhenti dan mundur. Luna, yang menyadari perubahan sikap tersebut, menatapnya keheranan.

Namun, belum sempat Luna bertanya, Galuh sudah berdiri di belakangnya.

*

<tinggalkan kami selama 15 menit>

<aku datang bersama naura, tapi dia sedang di salon>

Kedua pesan itu masuk ke ponsel Rayyi setelah dia meninggalkan Galuh dan Luna. Sambil menunggu, dia mengambil keranjang di dekat pintu masuk untuk mengambil barang-barang yang tadi ditandai. Akan tetapi, entah mengapa benaknya malah tersangkut pada sejoli yang mungkin sudah pindah dari area daging.

Apa orang-orang yang telanjur diperbudak cinta selalu bertindak senekat Galuh dan Luna?

Rayyi menepis pertanyaan-pertanyaan aneh itu. Bukan urusannya. Sebaiknya juga dia tak perlu banyak tingkah demi menjaga jaminan kebebasan ayahnya.

Langkahnya terhenti depan kardus-kardus berisi sereal. Pada saat itulah Rayyi teringat perlu membeli sekotak oat dan sebungkus roti gandum untuk sarapan kilatnya. Matanya memindai produk di hadapannya seraya berjalan, lalu berhenti kala menemukan incaran.

Kemudian, saat hendak mengambil kotak oat favoritnya, sebuah tangan muncul dari samping; mengarah ke barang yang sama.

Rayyi menoleh ke samping. Tangannya hampir melepas keranjang saat menyadari siapa sosok yang berdiri di sana.

“Lho, Rayyi?” Naura tersenyum hangat. “Ternyata kamu lagi belanja juga.”

*

<pak galuh, merpati keluar dari sangkarnya>

<saya ada di tempat roti dan kue>

Cepat-cepat, Rayyi menaruh ponsel di saku celana kala Naura membawa muffin cokelat pesanannya. Mengapa dia ada di supermarket alih-alih salon? Pria itu perlu memikirkan cara bertanya tanpa mengundang kecurigaan.

“Kamu sendiri? Ke mana istrimu?” Naura menancapkan sedotan pada kap macha latte-nya.

“Dia sedang belanja, kami berpencar.” Bagus, Rayyi bisa masuk lewat topik ini. “Ibu sendiri tidak ditemani Pak Galuh?”

He’s here too, cuma aku enggak tahu dia kelayapan ke mana,” sahutnya santai. “Harusnya aku lagi treatment, tapi terapis langgananku harus antar ibunya dulu ke rumah sakit. Jadi ya udah, aku mampir ke sini buat ganjel perut sama lihat-lihat .”

“Ibu sudah telepon Pak Galuh?” Rayyi memindai orang-orang yang lalu lalang di sekitar mereka. Belum ada tanda-tanda kemunculan Luna maupun Galuh. “Atau perlu saya telepon supaya—”

“Enggak perlu, Rayyi,” Naura menolak. “Masa kamu lagi me time sama istri malah ngurus suamiku? Aku bisa cari sendiri, kok.”

Rayyi tak punya alasan mendesak untuk menahan Naura. Perempuan itu membawa kantung belanjaan, lalu pamit padanya. Awalnya, Rayyi berniat mengawasi istri sang atasan dari kejauhan, tetapi mengurungkannya begitu menangkap sosok Luna muncul dari rak produk skincare sambil mendorong troli.

Seumur hidup, baru kali ini Rayyi lega melihat kehadiran perempuan yang masih asing baginya.

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    36 | Kecurigaan Naura

    Luna akhirnya dapat mengembuskan napas lega kala masuk ke lift. Mengutus pengunjung dari luar negeri kerap menguras energi, apalagi saat bahasa menjadi salah satu kendala. Syukurnya salah satu dari wisatawan Belanda yang bermalam fasih berbahasa Inggris meski sama-sama terbata.Barangkali hanya kelelahan, tetapi pesan Brenda membuat matanya berkaca-kaca. Belakangan Luna makin kesulitan bertemu kedua sahabatnya, bahkan buat sekadar tegur sapa. Perhatian simpel ini bak pengingat bila mereka belum melupakannya.Tak sampai semenit, Brenda membalas.Ding!Luna termenung sesaat kala pintu lift terbuka. Sepanjang hari nyaris tak berpapasan, Rayyi malah sempat mampir buat membelikan camilan. Bukan perkara yang perlu dia pusingkan, tetapi mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan…“Eh, Luna?” Suara perempuan itu mengejutkannya. “Benar, kan, Luna? Istrinya Rayyi.”‘Aduh, kenapa juga aku harus melamun?’Di hadapannya, Naura melambai sembari mengembangkan senyum. Namun, sosok di belak

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    35 | Menjaga Jarak

    “Maaf, Bapak malah menyusahkanmu, Rayyi. Seandainya Bapak lebih hati-hati dan teliti, masa depanmu tak bakal suram.”Kala Guntur ditangkap atas tuduhan penggelapan dana, Rayyi merasa kehilangan pijakan untuk melangkah. Tanpa sosok ibu yang telah lama lesap dalam kehidupan, hari-harinya terasa hampa. Bahkan pekerjaan sebagai asisten pribadi Galuh yang penghasilannya menggiurkan tak serta-merta memperbaiki suasana hati.Karena satu-satunya yang Rayyi inginkan adalah membebaskan Guntur. Jauh dalam lubuk hati, pria itu yakin ayahnya hanya dijebak.Maka wajar bila Rayyi mengambil tawaran Galuh untuk jadi suami sementara Luna. Toh, dia sudah terlalu kebal untuk jatuh cinta. Namun, semestinya dia juga mengingat pesan Guntur sebelum dijebloskan ke dalam penjara:“Jangan ulangi kesalahan Bapak,” katanya. “Saat berurusan dengan orang-orang beduit, tetap pertahankan akal dan nuranimu. Imbangi langkah mereka supaya kamu tak gampang ditekan.”Kata-kata itu terngiang kala Rayyi memutuskan menyematk

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    34 | Harta, Tahta, Wanita

    ‘Mas Galuh kenapa makin nekat, sih?’Kedatangan Galuh saat Rayyi mengantar Puspa ke stasiun tak hanya mengejutkan Luna. Perempuan itu was-was tamunya bakal bertindak macam-macam. Apalagi kemarin dia tak sungkan menyentuhnya walau hanya berbeda ruangan dengan sang ibu.“Ngapain kamu di sini, Mas?” Luna sadar pertanyaan itu terdengar bodoh, terutama saat Galuh mengeluarkan sesuatu dari kantung celana.“Kamu lupa aku yang membeli properti ini?” Pria itu menunjukkan kunci cadangan unit apartemen. “Aku bisa leluasa menemuimu tanpa perlu minta akses pada Rayyi.”Jika hal ini terjadi tahun lalu, Luna tak bakal memprotes. Justru dia akan menyambut Galuh dengan penuh suka cita karena mereka punya waktu bersama lebih banyak.Namun, tekanan yang Galuh berikan padanya—mungkin juga pada Rayyi tanpa sepengetahuannya—mulai mengganggu. Membayangkan Naura yang tengah hamil anak kedua saat suaminya bersama perempuan terasa salah walau selama ini Luna yang jadi prioritas pria itu.“Hari ini aku mau isti

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    33 | Ban Serep

    Ban serep. Rayyi tertawa hambar kala mengingat percakapannya dengan Luna tempo hari. Mengibaratkan dirinya sebagai ban serep sungguh terdengar tragis. Namun, kenyataannya begitu, bukan? Galuh memakainya sementara waktu supaya Luna terus bersamanya. Apalagi saat berkunjung ke apartemen, Galuh kembali mengingatkannya akan satu hal penting. “Apa kabar ayahmu?” tanya Galuh selepas membahas dokumen. “Kudengar tahun ini dia dapat remisi karena bersikap baik dan produktif selama di tahanan.” Semestinya Rayyi tak kaget sang atasan tahu mengenai aktivitas Guntur. Mata dan telinganya tersebar di banyak tempat. Namun, dia hanya bakal mengungkitnya kalau Rayyi melakukan sesuatu yang dianggap tak tercantum dalam kesepakatan mereka. “Alhamdulillah, terakhir saya jenguk, Bapak sehat.” Sebisa mungkin Rayyi menjaga sikap agar Galuh tak makin curiga. “Syukurlah, aku juga senang kalau nanti kalian sama-sama bertemu dalam keadaan baik-baik saja.” Penekanan pada kata-kata terakhir terdengar bak perin

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    32 | Dari Hati ke Hati

    “Kamu enggak perlu sampai keluar uang juga buat beliin tiket Ambu. Biar aku yang urus.”“Enggak apa-apa, Luna. Ini hari Minggu. Perjalanan ke Bandung pasti lebih macet, jadi saya belikan tiket kereta cepat supaya Ambu enggak kelamaan di jalan.”Meski sedang di luar kota, Puspa tetap bangun sebelum Subuh untuk salat. Kemudian, tanpa bertanya pada Luna maupun Rayyi, perempuan itu menyediakan sarapan untuk mereka. Suasana hatinya membaik walau irit bicara.“Bu, nanti saya antarkan ke stasiun, ya,” Rayyi membuka pembicaraan saat mereka berkumpul di meja makan. “Pulangnya pakai kereta cepat. Cuma sejam kurang kalau ke Bandung.”Mata Puspa membulat. “Kereta yang berhentinya di stasiun deket masjid besar itu?”“Iya. Ibu nanti bisa, kan, naik feeder? Atau—”“Enggak usah, Ambu mau jalan-jalan dulu begitu sampai di Bandung.” Wajahnya seketika semringah. Puspa bahkan sampai menggenggam tangan Rayyi. “Makasih, mantu Ambu yang paling baik.”Luna memutar bola matanya. Padahal baru kemarin mereka ri

  • Menikahi Asisten Sang Presdir    31 | Tamu yang Tak Diinginkan

    “Aduh, pangling pisan lihat kamu sekarang, Galuh. Bener, kan, kata Ambu. Kamu bakal jadi orang sukses! Sayang almarhum suami enggak mau dengar—”“Ambu, enggak boleh bicara gitu! Kejadiannya udah lama juga.”“Tapi, Ambu yakin bapakmu bakal nyesel pernah ngerendahin Galuh di depan keluarga.”“Cukup, Ambu, tolong hormati pria yang aku pilih jadi suamiku sekarang!”Seketika, ruangan menjadi hening. Luna, dengan napas tersengal, memandangi satu per satu figur yang menempati meja makan. Dari Rayyi yang duduk di hadapannya, lalu Galuh di samping sang suami, dan berakhir pada Puspa di sebelahnya.Makan malam yang awalnya canggung karena kehadiran mendadak Puspa makin tak mengenakan kala Galuh ikut bergabung. Luna yakin pria itu sengaja menerima ajakan ibunya untuk memperkeruh suasana. Apakah ancaman di kamar hotel tempo hari belum cukup baginya?“Pak Galuh sendiri ada keperluan apa kemari?” Rayyi mengambilalih percakapan. Diam-diam, Luna berterimakasih padanya.“Oh, ya, tadi aku mau menanyaka

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status