Ketika tak sengaja menangkap Galuh mengecup pipi Luna di ruang kerjanya, Rayyi tak menduga momen tersebut bakal membawanya pada sebuah kesepakatan besar.
Kadang, Rayyi bertanya-tanya, apakah keputusannya menerima tawaran Galuh untuk menjadi asisten pribadinya adalah sebuah kekeliruan? Salahkah dia mengambilnya demi bertahan hidup, terutama setelah ayahnya ditahan karena kasus korupsi yang menjebaknya sebagai tersangka?
“Mas Rayyi, permisi,” panggil seorang pria berseragam yang tengah mengetuk jendela mobilnya. “Ini area parkir buat petugas. Silakan pindah ke dekat pintu keluar.”
“Oh, maaf. Saya pasti tidak lihat tandanya.” Padahal Rayyi rutin mampir ke sini, tetapi baru sekarang dia melamun sampai salah ambil tempat parkir. Maka setelah membawa mobilnya ke area yang tepat, pria itu meluangkan waktu untuk menyisihkan pikiran-pikiran yang mengusiknya sejak pagi.
Pasalnya, Rayyi tak mau membuat sang ayah cemas.
*
“Waduh, bawa apa kamu hari ini? Apa enggak kebanyakan?”
“Cuma donat sama roti. Bapak bagikan saja sama teman-teman.”
Guntur menyingkirkan bungkusan makanan yang dibawakan Rayyi, lalu mengamati putra semata wayangnya lekat-lekat. “Dari tadi Bapak perhatikan kamu kelihatan khawatir. Sedang ada masalah di kantor?”
Ternyata usaha Rayyi memasang ekspresi wajah datar tak berhasil. “Mungkin kelelahan. Minggu lalu saya harus ikut Pak Galuh dinas ke luar kota.”
“Oooh, pantas. Padahal kalau datang minggu lalu, kamu bakal ketemu sama putrinya Pak Cahyono. Cantik, lho. Seumuran kamu pula,” celoteh sang ayah sambil terkekeh. “Kamu tuh terlalu sibuk sama kerjaan sampai lupa cari pasangan.”
“Saya lebih baik fokus mengurus Bapak,” Rayyi berdalih. “Bapak bilang mau garap lahan sama ternak di kampung begitu keluar dari sini. Saya nanti ikut bantu, ya?”
Pria berkumis tebal di hadapannya menggumam tak setuju. “Kariermu sedang bagus-bagusnya, pertahankan. Kalau mau main ternak nanti saja kalau udah kenyang cari uang.”
Inilah alasan yang menahan Rayyi menceritakan pernikahannya dengan Luna pada Guntur. Sang ayah pasti bakal semakin mendorongnya mengumpulkan uang untuk keluarga. Kemudian, menasehatinya supaya hati-hati mencari klien atau bakal berujung seperti dirinya.
“Pak,” Rayyi mengerling ke arah jam dinding. Waktu besuknya tinggal sepuluh menit lagi. “Kalau saya ajak Bapak pindah ke luar negeri, apa Bapak mau ikut?”
“Lho, ke mana? Kenapa kita harus pergi dari Indonesia?”
‘Karena saya tidak mau berurusan lagi dengan Pak Galuh maupun Luna saat pernikahan kontrak ini selesai,’ batinnya.
“Ke Jepang,” jawabnya cepat. “Ada—ada teman yang menawari pekerjaan di sana. Tempatnya juga di pinggiran kota. Kita beli rumah sama lahan. Bapak bisa bertani di sana sambil ketemu WNI yang sudah lama menetap.”
Sekali lagi, Guntur mengeluarkan gumaman protes. “Rayyi, Bapak masih sehat bugar, enggak bakal sakit-sakitan ditinggal lama. Toh di kampung ada teman-teman lama Bapak yang siap bantu. Kalau kamu mau lanjut berkarier di Jepang, berangkat saja. Bapak enggak mau menghalangi cita-citamu.”
Ternyata, pendirian Guntur belum tergoyahkan. Sayang, Rayyi belum bisa membagikan alasannya mengajak sang ayah pergi jauh.
Seorang petugas menghampiri meja mereka; mengingatkan jam besuk yang hampir habis. Rayyi lantas memutuskan berpamitan pada Guntur. Pria paruh baya itu, seperti biasa, memberikan pelukan hangat yang selalu menjadi penyemangatnya.
“Bapak enggak tahu masalah apa yang belum pengen kamu ceritakan,” bisik sang ayah yang mengejutkan Rayyi. “Satu yang pasti, jangan lupa berdoa dan ibadah, ya, Nak?”
*
<selamat siang, pak, mobil sudah siap>
<asistan bu naura juga bilang mereka sedang di jalan menuju restoran>
Rayyi membukakan pintu penumpang kala Galuh berjalan keluar dari lobi utama hotel. Sudah menjadi rutinitas bagi sang presdir muda untuk menikmati santap siang bersama istri, kadang keluarga besar, di awal bulan.
Meski seringnya ditujukan untuk kunjungan bisnis ke restoran rekanan, mereka sesekali memanfaatkannya untuk menjaga imej sebagai power couple di depan para klien.
“Bagaimana kabar Luna?” tanya Galuh begitu mobil meluncur meninggalkan hotel. “Sepertinya dia masih marah gara-gara aku promosikan.”
“Terakhir dia titip pesan untuk tidak memberi pertolongan berlebih.”
“Berlebih?” Pria di belakangnya tergelak singkat. “Kinerjanya memang bagus. Kurasa dua tahun adalah waktu yang cukup untuk mengangkatnya jadi supervisor. Aku juga jadi punya wadah untuk memberikan bantuan finansial.”
Seperti inikah tipe pria yang membuat Luna bersedia menunggu bertahun-tahun? Barangkali gara-gara belum pernah kasmaran sampai lupa logika, Rayyi tak bisa memahami cara seseorang mencintai secara, mengutip tim content creator di hotel, ugal-ugalan.
“Kamu sendiri bagaimana, Rayyi, tidak canggung tinggal di apartemen bersama Luna?”
“Sejauh ini, kami bisa hidup berdampingan.” Lagi pula, mereka hanya bertemu saat hendak pergi dan pulang kerja.
“Lalu, apa kabar ayahmu? Kamu masih rutin menjenguknya?”
Rayyi bersyukur mereka sedang berada di lampu merah. Kalau tidak, dia bakal kehilangan fokus menyetir. Apalagi pria itu tahu saat menyinggung kondisi Guntur, Galuh sebenarnya ingin memastikan hal lain.
Kepatuhannya dalam menjalani perjanjian.
“Bapak sehat, tadi pagi saya mampir untuk kasih makanan.” Untuk menanggap pertanyaan tersebut, Rayyi pun harus tenang. “Sejauh ini, dia belum pernah sakit parah.”
“Syukurlah, kamu juga tidak mau ada kejadian-kejadian buruk menimpanya sebelum bebas, kan?” Tepukan yang Galuh berikan di pundaknya nyaris memecah konsentrasi Rayyi. “Ingat, hanya dua tahun dan, sesuai kesepakatan, aku akan bantu ayahmu keluar lebih cepat.”
*
Tujuh tahun bekerja sebagai asisten pribadi Galuh melatih Rayyi membiasakan diri menghadapi berbagai hal. Dari kehidupan old money yang jarang tersorot publik. Pengelolaan bisnis yang profitnya terus mengalir sampai tujuh turunan. Sampai mengikuti tata cara fine dining supaya tak dianggap norak.
Oh, tentu ada banyak intrik rumah tangga yang disaksikan langsung oleh Rayyi. Namun, dia tak pernah menduga bakal diseret masuk menjadi salah satu pemain dramanya.
“Rayyi, apa kabar?” Seorang perempuan berpostur tinggi semampai bak model tersenyum menghampirinya. Dialah Naura Argadana, istri Galuh. “Aku dengar kamu menikah weekend kemarin. Selamat, ya!”
“Terima kasih, Bu Naura.” Sebanyak apa telinga yang mendengar dan mulut yang menyebarkan kabar tersebut? “Maaf, saya dan istri tidak sempat mengundang keluarga Ibu.”
“No problem, aku paham kalian mungkin pengen bikin acara yang intimate. Tapi,” Naura mengisyaratkan asistennya membawakan sebuah kantung berpita emas, “kalian tetap harus terima hadiah ini. Bisa dipakai kapan saja asal sebut namaku.”
Dari bahan kantungnya saja, Rayyi dapat membayangkan harga hadiahnya yang pasti melampaui penghasilannya selama setahun. “Saya—saya jadi merepotkan.’
“Hmm, bukannya suamiku yang sering bikin kamu repot?” Gurauan itu tanpa Naura sadari menancap ke ulu hati Rayyi. “By the way, don’t tell him about this gift, okay? Semuanya aku yang siapkan, Galuh enggak terlibat.”
Syukurnya, Galuh pergi bersama Naura selepas makan siang; memberi kesempatan pada Rayyi membawa bingkisan tersebut ke apartemen. Mulanya dia ingin memberitahu Luna perihal hadiah tersebut sebelum teringat sejarah hubungannya dengan Galuh.
Perempuan mana yang mau menerima hadiah dari istri pria yang dicintainya?
***
Luna akhirnya dapat mengembuskan napas lega kala masuk ke lift. Mengutus pengunjung dari luar negeri kerap menguras energi, apalagi saat bahasa menjadi salah satu kendala. Syukurnya salah satu dari wisatawan Belanda yang bermalam fasih berbahasa Inggris meski sama-sama terbata.Barangkali hanya kelelahan, tetapi pesan Brenda membuat matanya berkaca-kaca. Belakangan Luna makin kesulitan bertemu kedua sahabatnya, bahkan buat sekadar tegur sapa. Perhatian simpel ini bak pengingat bila mereka belum melupakannya.Tak sampai semenit, Brenda membalas.Ding!Luna termenung sesaat kala pintu lift terbuka. Sepanjang hari nyaris tak berpapasan, Rayyi malah sempat mampir buat membelikan camilan. Bukan perkara yang perlu dia pusingkan, tetapi mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan…“Eh, Luna?” Suara perempuan itu mengejutkannya. “Benar, kan, Luna? Istrinya Rayyi.”‘Aduh, kenapa juga aku harus melamun?’Di hadapannya, Naura melambai sembari mengembangkan senyum. Namun, sosok di belak
“Maaf, Bapak malah menyusahkanmu, Rayyi. Seandainya Bapak lebih hati-hati dan teliti, masa depanmu tak bakal suram.”Kala Guntur ditangkap atas tuduhan penggelapan dana, Rayyi merasa kehilangan pijakan untuk melangkah. Tanpa sosok ibu yang telah lama lesap dalam kehidupan, hari-harinya terasa hampa. Bahkan pekerjaan sebagai asisten pribadi Galuh yang penghasilannya menggiurkan tak serta-merta memperbaiki suasana hati.Karena satu-satunya yang Rayyi inginkan adalah membebaskan Guntur. Jauh dalam lubuk hati, pria itu yakin ayahnya hanya dijebak.Maka wajar bila Rayyi mengambil tawaran Galuh untuk jadi suami sementara Luna. Toh, dia sudah terlalu kebal untuk jatuh cinta. Namun, semestinya dia juga mengingat pesan Guntur sebelum dijebloskan ke dalam penjara:“Jangan ulangi kesalahan Bapak,” katanya. “Saat berurusan dengan orang-orang beduit, tetap pertahankan akal dan nuranimu. Imbangi langkah mereka supaya kamu tak gampang ditekan.”Kata-kata itu terngiang kala Rayyi memutuskan menyematk
‘Mas Galuh kenapa makin nekat, sih?’Kedatangan Galuh saat Rayyi mengantar Puspa ke stasiun tak hanya mengejutkan Luna. Perempuan itu was-was tamunya bakal bertindak macam-macam. Apalagi kemarin dia tak sungkan menyentuhnya walau hanya berbeda ruangan dengan sang ibu.“Ngapain kamu di sini, Mas?” Luna sadar pertanyaan itu terdengar bodoh, terutama saat Galuh mengeluarkan sesuatu dari kantung celana.“Kamu lupa aku yang membeli properti ini?” Pria itu menunjukkan kunci cadangan unit apartemen. “Aku bisa leluasa menemuimu tanpa perlu minta akses pada Rayyi.”Jika hal ini terjadi tahun lalu, Luna tak bakal memprotes. Justru dia akan menyambut Galuh dengan penuh suka cita karena mereka punya waktu bersama lebih banyak.Namun, tekanan yang Galuh berikan padanya—mungkin juga pada Rayyi tanpa sepengetahuannya—mulai mengganggu. Membayangkan Naura yang tengah hamil anak kedua saat suaminya bersama perempuan terasa salah walau selama ini Luna yang jadi prioritas pria itu.“Hari ini aku mau isti
Ban serep. Rayyi tertawa hambar kala mengingat percakapannya dengan Luna tempo hari. Mengibaratkan dirinya sebagai ban serep sungguh terdengar tragis. Namun, kenyataannya begitu, bukan? Galuh memakainya sementara waktu supaya Luna terus bersamanya. Apalagi saat berkunjung ke apartemen, Galuh kembali mengingatkannya akan satu hal penting. “Apa kabar ayahmu?” tanya Galuh selepas membahas dokumen. “Kudengar tahun ini dia dapat remisi karena bersikap baik dan produktif selama di tahanan.” Semestinya Rayyi tak kaget sang atasan tahu mengenai aktivitas Guntur. Mata dan telinganya tersebar di banyak tempat. Namun, dia hanya bakal mengungkitnya kalau Rayyi melakukan sesuatu yang dianggap tak tercantum dalam kesepakatan mereka. “Alhamdulillah, terakhir saya jenguk, Bapak sehat.” Sebisa mungkin Rayyi menjaga sikap agar Galuh tak makin curiga. “Syukurlah, aku juga senang kalau nanti kalian sama-sama bertemu dalam keadaan baik-baik saja.” Penekanan pada kata-kata terakhir terdengar bak perin
“Kamu enggak perlu sampai keluar uang juga buat beliin tiket Ambu. Biar aku yang urus.”“Enggak apa-apa, Luna. Ini hari Minggu. Perjalanan ke Bandung pasti lebih macet, jadi saya belikan tiket kereta cepat supaya Ambu enggak kelamaan di jalan.”Meski sedang di luar kota, Puspa tetap bangun sebelum Subuh untuk salat. Kemudian, tanpa bertanya pada Luna maupun Rayyi, perempuan itu menyediakan sarapan untuk mereka. Suasana hatinya membaik walau irit bicara.“Bu, nanti saya antarkan ke stasiun, ya,” Rayyi membuka pembicaraan saat mereka berkumpul di meja makan. “Pulangnya pakai kereta cepat. Cuma sejam kurang kalau ke Bandung.”Mata Puspa membulat. “Kereta yang berhentinya di stasiun deket masjid besar itu?”“Iya. Ibu nanti bisa, kan, naik feeder? Atau—”“Enggak usah, Ambu mau jalan-jalan dulu begitu sampai di Bandung.” Wajahnya seketika semringah. Puspa bahkan sampai menggenggam tangan Rayyi. “Makasih, mantu Ambu yang paling baik.”Luna memutar bola matanya. Padahal baru kemarin mereka ri
“Aduh, pangling pisan lihat kamu sekarang, Galuh. Bener, kan, kata Ambu. Kamu bakal jadi orang sukses! Sayang almarhum suami enggak mau dengar—”“Ambu, enggak boleh bicara gitu! Kejadiannya udah lama juga.”“Tapi, Ambu yakin bapakmu bakal nyesel pernah ngerendahin Galuh di depan keluarga.”“Cukup, Ambu, tolong hormati pria yang aku pilih jadi suamiku sekarang!”Seketika, ruangan menjadi hening. Luna, dengan napas tersengal, memandangi satu per satu figur yang menempati meja makan. Dari Rayyi yang duduk di hadapannya, lalu Galuh di samping sang suami, dan berakhir pada Puspa di sebelahnya.Makan malam yang awalnya canggung karena kehadiran mendadak Puspa makin tak mengenakan kala Galuh ikut bergabung. Luna yakin pria itu sengaja menerima ajakan ibunya untuk memperkeruh suasana. Apakah ancaman di kamar hotel tempo hari belum cukup baginya?“Pak Galuh sendiri ada keperluan apa kemari?” Rayyi mengambilalih percakapan. Diam-diam, Luna berterimakasih padanya.“Oh, ya, tadi aku mau menanyaka