Galuh Devantara adalah nama yang selama ini Luna Nadiandra ingin sebut sebagai pasangan sehidup sematinya. Namun, kenyataan malah memaksanya menikahi Rayyi Aksara, asisten dari pria yang dicintainya. Hanya dua tahun, Galuh berjanji, dan mereka akan bersatu sesuai mimpi yang telah lama mereka menjalin kasih di bangku kuliah. Hanya dua tahun, Luna yakin mampu menjalankan peran sebagai istri kontrak Rayyi. Meski begitu, Luna tak bisa berbohong. Dia lelah harus menelan pahit setiap kali menyaksikan Galuh menggandeng istri dan anaknya. Dia lelah menjadi kekasih bayangan selama bertahun-tahun. Saat itulah, kehadiran Rayyi yang mulanya terkesan seperti rutinitas perlahan mengisi kekosongan dalam ruang hati Luna. Pria yang tampak kaku bak robot itu rupanya menawarkan kehangatan yang telah lama absen. Kemudian, saat percik-percik yang semestinya tak boleh muncul itu terasa, pertahanan Luna mulai goyah. Sayangnya, saat Luna merasa perasaannya berbalas, Rayyi malah mengungkap rahasia yang menyakiti hatinya. Sementara Galuh belum kunjung menunjukkan tanda akan kembali padanya. Haruskah Luna berhadapan dengan dilema yang sama: meninggalkan atau ditinggalkan?
もっと見る“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Rayyi Aksara bin Guntur Aksara dengan putri saya yang bernama Luna Nadiandra beserta mas kawin berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah beserta seperangkat alat salat, tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Luna Nadiandra binti Dikta Nadiandra dengan mas kawin tersebut, tunai.” “Bagaimana, para saksi, sudah sah?” “Saaah!” Ketika orang-orang di sekitarnya menggumamkan doa, Luna sadar peluangnya untuk membatalkan pernikahan ini sudah lenyap. Dengan napas tersekat, perempuan berwajah bulat itu menadahkan tangan. Alih-alih mengikuti doa selepas ijab kabul, dia merapalkan permohonan dikuatkan untuk menghadapi masa depannya yang semakin kabur. Meski di sisi lain, keputusan tersebut dapat memberikan ketenangan kepada sang ayah yang ingin menikahkannya sebelum— “Luna, boleh saya minta tanganmu?” Bisikan dari suara berat itu menyeret Luna dari lamunan. Di sampingnya, seorang pria berkulit kuning langsat menyodorkan tangan. Menunggunya. Tak ada desir, apalagi sensasi menggelitik kala jemari mereka bersentuhan. Ketika cincin terpasang di jari manisnya, Luna melakukan hal yang sama pada sang suami, Rayyi. Kemudian, penghulu menyodorkan berkas dokumen pada pasutri itu. Bukan buku nikah, melainkan surat keterangan terkait pernikahan siri. Rayyi mengambil pulpen, membaca isi surat sekilas, lalu membubuhkan tanda tangan sebelum menyerahkannya pada Luna. Setenang itukah Rayyi menghadapi situasi ini? Oh, tentu saja, dia bukan Luna yang panik mencari uang untuk biaya pengobatan kanker yang diderita ayahnya. Bukan juga orang yang terpaksa menerima penawaran Galuh untuk mengadakan pernikahan ini karena Luna tak mau dimadu olehnya. Bukan Rayyi yang bakal merasakan kehilangan hebat kalau sang ayah kelak berpulang. “Baiklah, karena acara sudah selesai, saya pamit dulu,” ujar penghulu sembari menyalami kedua mempelai, wali, dan para saksi. “Selamat menempuh hidup baru. Semoga sakinah, mawwadah, dan warahmah.” Luna tak butuh doa tersebut, tetapi tetap menyunggingkan senyum simpul. “Alhamdulillah,” gumam Dikta sambil mendekati putri dan menantunya. Jemarinya yang kini hanya tulang berbalut kulit meraih tangan mereka. “Tugas terakhir Abah sudah terpenuhi. Maaf kalau terkesan mendadak dan harus dilaksanakan sederhana.” “Abah, jangan dibahas lagi.” Perlahan, Luna menggenggam tangan ringkihnya. “Kami bawa uang buat meneruskan pengobatan. Kalau perlu, kita besok ke rumah sakit di Bandung, ya? Dokter sama kamarnya juga lebih bagus.” Sang ayah menggeleng lemah. “Daripada dipakai buat Abah, tabung saja buat kalian beli kebutuhan rumah tangga di Jakarta.” Luna meringis. “Abah—” “Udah, udah, bapakmu mau istirahat.” Sang ibu, Puspa, muncul dari arah dapur dengan secangkir teh hangat. Sembari menggerutu, dia membantu suaminya bangkit. “Sebentar lagi jam makan siang. Bantu Ambu siapkan bahan-bahan sup di dapur.” Setelah kedua orangtuanya masuk kamar, Luna menyingkirkan kain putih dari bagian belakang kepala. Tangannya tanpa sengaja mengenai wajah Rayyi dan hampir mencolok matanya. “Ma—maaf.” Cepat-cepat, Luna menarik kain tersebut. Syukurnya, Rayyi hanya mengangguk maklum. “Kalau mau istirahat, kamu masuk ke kamar aja duluan.” Lawan bicaranya menerawang sejenak. “Apa saya boleh ikut kamu ke dapur?” “Enggak perlu, bisa-bisa aku kena ceramah Ambu kalau kamu bantu masak.” “Saya bukan mau membantumu,” sahut Rayyi yang membuat Luna malu. “Saya butuh tempat di luar area rumah untuk menelepon atasan.” Tak perlu penjelasan tambahan saat Luna menyadari adanya penakanan pada atasan. “Dari dapur, kamu bisa ke area belakang rumah lewat pintu dekat rak piring.” “Terima kasih.” Keduanya berdiri canggung kala hampir berjalan beriringan menuju dapur. Rayyi mempersilakan Luna mendahuluinya sembari mengecek ponsel. Namun, belum sampai kakinya meninggalkan ruangan tengah, pekikan Ambu seketika mengoyak ketenangan rumah. “Astagfirullah, Abaaah!” * Parongpong, seperti kawasan lain di Kabupaten Bandung Barat, mengalami perubahan yang cukup signifikan sejak kali terakhir Luna menginjakkan kaki di sana. Masih ada bentangan sawah dan kebun di sejumlah titik, tetapi sebagian di antaranya telah menjelma jadi tempat wisata kekinian. Meski begitu, ada satu lokasi yang tampak tak pernah tersentuh kemajuan zaman: pemakaman di samping perkebunan teh. Satu-satunya perubahan yang terjadi hanya bertambahnya jumlah nisan yang menempatinya. Termasuk nisan milik makam Dikta. Di bawah sinar matahari pagi, Luna mengamati warga setempat menyiapkan liang lahat untuk sang ayah. Di sampingnya, Puspa sesegukan tanpa air mata yang telah lama mengering. Sementara Rayyi memayungi mereka sekaligus memastikan para pelayat tak berdesakan ke depan. “Luna,” bisikan Rayyi kembali mengejutkannya, “apa saya boleh membantu menurunkan jenazah ayahmu?” Sebelum Luna sempat menanggapi, Puspa, di tengah isaknya, menyahut cepat, “Kamu menantunya, memang sebaiknya kamu ikut turun.” Maka saat keranda Dikta dipindahkan ke samping liang kubur, Rayyi bergabung bersama warga sekitar untuk memindahkannya. Pemandangan itu terlihat tak nyata bagi Luna. Rayyi memperlakukan Dikta seperti ayahnya sendiri. Hati-hati, dia memastikan setiap jengkal tubuhnya tak terbentur. Kemudian setelah menempatkannya di dasar, pria itu membisikkan sesuatu pada ustaz yang menjadi saksi pernikahan mereka kemarin. Keduanya lantas bertukar tempat, lalu, tanpa Luna duga, Rayyi mengumandangkan azan terakhir untuk Dikta. Pada saat itu pula Luna merasakan sekujur tubuhnya begetar. Lemas. Kemudian, hal terakhir yang diingatnya adalah pandangan mengabur yang diikuti tangis memilukan. * “Baik, Pak. Kami akan berangkat selepas makan siang.” Setelah timbul tenggelam di antara kesadaran yang mengawang, Luna akhirnya mampu menguatkan dirinya untuk terjaga. Pada beberapa menit pertama, perempuan itu menyimak percakapan Rayyi dengan seseorang yang kemudian disadarinya adalah Galuh. Ingin sekali dia merebut ponsel suaminya, tetapi pria itu keburu menoleh padanya. “Apa kamu tidak keberatan kita pergi ke Braga hari ini?” “Braga?” Kepalanya berdenyut. Luna kira mereka akan langsung bertolak ke Jakarta. “Buat apa kita ke sana? Kamu ada kerjaan?” Ekor mata Rayyi mengerling ke arah pintu kamar yang tertutup rapat, lalu menjawab setengah berbisik, “Pak Galuh ingin menemui kita.” Luna membelalak. Sesungguhnya, dia berat harus meninggalkan rumah secepat ini. Selain masih memproses kepergian Dikta, ada Puspa yang pasti memerlukan bantuannya untuk mengurus tahlilan dan keperluan lain selama beberapa hari ke depan. Di sisi lain, hatinya tak bisa berdusta. Di tengah kesedihan dan kekecewaan, bertemu Galuh pasti dapat meredam gejolak emosinya yang tak keruan. “Aku—” Luna meringis saat menopang tubuhnya untuk duduk. “Aku harus tanya Ambu dulu. Dia bakal kerepotan seandainya kita pergi hari ini.” “Soal itu,” Rayyi berdeham, “saya sudah mengurusnya. Ibumu memberi izin. Katanya, adikmu yang dari Singapura pulang sore nanti bersama istrinya, jadi mereka yang akan membantu.” Jemari Luna mencengkeram sprei kasur. Dimas. Adiknya yang selama lima tahun terakhir bekerja di Singapura dan menikah dengan perempuan asal negara tersebut. Adiknya yang tak pernah salah di mata Puspa. Adiknya yang selalu mendapat puja-puji keluarga besar. Adiknya yang seharusnya mengafani dan mengazani ayah mereka kemarin. “Luna, apa kamu butuh sesuatu?” Ketika Luna mendongak, pandangannya berserobok dengan Rayyi. Sulit dipercaya pria di hadapannya itu menjadi satu-satunya sosok yang dapat diandalkan sekarang. Sementara mereka yang selama bertahun-tahun menyebut dirinya ‘keluarga’ justru menganggap keberadaannya bak hantu. Sekuat apa pun keinginan Luna untuk tinggal, menjauhi orang-orang yang tak menghargainya menjadi pilihan terbaik saat ini. ‘Maafkan aku, Abah,’ batinnya. ‘Satu hari nanti, akan kembali menemui Abah sebagai sosok yang dapat dibanggakan.’ ***Luna akhirnya dapat mengembuskan napas lega kala masuk ke lift. Mengutus pengunjung dari luar negeri kerap menguras energi, apalagi saat bahasa menjadi salah satu kendala. Syukurnya salah satu dari wisatawan Belanda yang bermalam fasih berbahasa Inggris meski sama-sama terbata.Barangkali hanya kelelahan, tetapi pesan Brenda membuat matanya berkaca-kaca. Belakangan Luna makin kesulitan bertemu kedua sahabatnya, bahkan buat sekadar tegur sapa. Perhatian simpel ini bak pengingat bila mereka belum melupakannya.Tak sampai semenit, Brenda membalas.Ding!Luna termenung sesaat kala pintu lift terbuka. Sepanjang hari nyaris tak berpapasan, Rayyi malah sempat mampir buat membelikan camilan. Bukan perkara yang perlu dia pusingkan, tetapi mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan…“Eh, Luna?” Suara perempuan itu mengejutkannya. “Benar, kan, Luna? Istrinya Rayyi.”‘Aduh, kenapa juga aku harus melamun?’Di hadapannya, Naura melambai sembari mengembangkan senyum. Namun, sosok di belak
“Maaf, Bapak malah menyusahkanmu, Rayyi. Seandainya Bapak lebih hati-hati dan teliti, masa depanmu tak bakal suram.”Kala Guntur ditangkap atas tuduhan penggelapan dana, Rayyi merasa kehilangan pijakan untuk melangkah. Tanpa sosok ibu yang telah lama lesap dalam kehidupan, hari-harinya terasa hampa. Bahkan pekerjaan sebagai asisten pribadi Galuh yang penghasilannya menggiurkan tak serta-merta memperbaiki suasana hati.Karena satu-satunya yang Rayyi inginkan adalah membebaskan Guntur. Jauh dalam lubuk hati, pria itu yakin ayahnya hanya dijebak.Maka wajar bila Rayyi mengambil tawaran Galuh untuk jadi suami sementara Luna. Toh, dia sudah terlalu kebal untuk jatuh cinta. Namun, semestinya dia juga mengingat pesan Guntur sebelum dijebloskan ke dalam penjara:“Jangan ulangi kesalahan Bapak,” katanya. “Saat berurusan dengan orang-orang beduit, tetap pertahankan akal dan nuranimu. Imbangi langkah mereka supaya kamu tak gampang ditekan.”Kata-kata itu terngiang kala Rayyi memutuskan menyematk
‘Mas Galuh kenapa makin nekat, sih?’Kedatangan Galuh saat Rayyi mengantar Puspa ke stasiun tak hanya mengejutkan Luna. Perempuan itu was-was tamunya bakal bertindak macam-macam. Apalagi kemarin dia tak sungkan menyentuhnya walau hanya berbeda ruangan dengan sang ibu.“Ngapain kamu di sini, Mas?” Luna sadar pertanyaan itu terdengar bodoh, terutama saat Galuh mengeluarkan sesuatu dari kantung celana.“Kamu lupa aku yang membeli properti ini?” Pria itu menunjukkan kunci cadangan unit apartemen. “Aku bisa leluasa menemuimu tanpa perlu minta akses pada Rayyi.”Jika hal ini terjadi tahun lalu, Luna tak bakal memprotes. Justru dia akan menyambut Galuh dengan penuh suka cita karena mereka punya waktu bersama lebih banyak.Namun, tekanan yang Galuh berikan padanya—mungkin juga pada Rayyi tanpa sepengetahuannya—mulai mengganggu. Membayangkan Naura yang tengah hamil anak kedua saat suaminya bersama perempuan terasa salah walau selama ini Luna yang jadi prioritas pria itu.“Hari ini aku mau isti
Ban serep. Rayyi tertawa hambar kala mengingat percakapannya dengan Luna tempo hari. Mengibaratkan dirinya sebagai ban serep sungguh terdengar tragis. Namun, kenyataannya begitu, bukan? Galuh memakainya sementara waktu supaya Luna terus bersamanya. Apalagi saat berkunjung ke apartemen, Galuh kembali mengingatkannya akan satu hal penting. “Apa kabar ayahmu?” tanya Galuh selepas membahas dokumen. “Kudengar tahun ini dia dapat remisi karena bersikap baik dan produktif selama di tahanan.” Semestinya Rayyi tak kaget sang atasan tahu mengenai aktivitas Guntur. Mata dan telinganya tersebar di banyak tempat. Namun, dia hanya bakal mengungkitnya kalau Rayyi melakukan sesuatu yang dianggap tak tercantum dalam kesepakatan mereka. “Alhamdulillah, terakhir saya jenguk, Bapak sehat.” Sebisa mungkin Rayyi menjaga sikap agar Galuh tak makin curiga. “Syukurlah, aku juga senang kalau nanti kalian sama-sama bertemu dalam keadaan baik-baik saja.” Penekanan pada kata-kata terakhir terdengar bak perin
“Kamu enggak perlu sampai keluar uang juga buat beliin tiket Ambu. Biar aku yang urus.”“Enggak apa-apa, Luna. Ini hari Minggu. Perjalanan ke Bandung pasti lebih macet, jadi saya belikan tiket kereta cepat supaya Ambu enggak kelamaan di jalan.”Meski sedang di luar kota, Puspa tetap bangun sebelum Subuh untuk salat. Kemudian, tanpa bertanya pada Luna maupun Rayyi, perempuan itu menyediakan sarapan untuk mereka. Suasana hatinya membaik walau irit bicara.“Bu, nanti saya antarkan ke stasiun, ya,” Rayyi membuka pembicaraan saat mereka berkumpul di meja makan. “Pulangnya pakai kereta cepat. Cuma sejam kurang kalau ke Bandung.”Mata Puspa membulat. “Kereta yang berhentinya di stasiun deket masjid besar itu?”“Iya. Ibu nanti bisa, kan, naik feeder? Atau—”“Enggak usah, Ambu mau jalan-jalan dulu begitu sampai di Bandung.” Wajahnya seketika semringah. Puspa bahkan sampai menggenggam tangan Rayyi. “Makasih, mantu Ambu yang paling baik.”Luna memutar bola matanya. Padahal baru kemarin mereka ri
“Aduh, pangling pisan lihat kamu sekarang, Galuh. Bener, kan, kata Ambu. Kamu bakal jadi orang sukses! Sayang almarhum suami enggak mau dengar—”“Ambu, enggak boleh bicara gitu! Kejadiannya udah lama juga.”“Tapi, Ambu yakin bapakmu bakal nyesel pernah ngerendahin Galuh di depan keluarga.”“Cukup, Ambu, tolong hormati pria yang aku pilih jadi suamiku sekarang!”Seketika, ruangan menjadi hening. Luna, dengan napas tersengal, memandangi satu per satu figur yang menempati meja makan. Dari Rayyi yang duduk di hadapannya, lalu Galuh di samping sang suami, dan berakhir pada Puspa di sebelahnya.Makan malam yang awalnya canggung karena kehadiran mendadak Puspa makin tak mengenakan kala Galuh ikut bergabung. Luna yakin pria itu sengaja menerima ajakan ibunya untuk memperkeruh suasana. Apakah ancaman di kamar hotel tempo hari belum cukup baginya?“Pak Galuh sendiri ada keperluan apa kemari?” Rayyi mengambilalih percakapan. Diam-diam, Luna berterimakasih padanya.“Oh, ya, tadi aku mau menanyaka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント