Damar benar-benar menepati janjinya untuk menghabiskan akhir pekannya bersama Shanna. Melupakan bahwa mereka pernah bertengkar. Namun, berbeda dengan Shanna yang masih merasa canggung dan bersalah atas sikapnya kepada pria itu selama dua bulan terakhir.
“Baba, ayo kita pulang!” Shanna menatap arloji di tangan kirinya yang menunjukkan pukul tiga sore.
“Sekarang masih jam tiga. Kenapa buru-buru pulang?”
“Aku harus bekerja. Aku nggak mau telat.”
“Kerja?” Damar menatap Shanna dengan alis terangkat tinggi. “Kenapa kamu masih kerja? Lebih baik kamu berhenti kerja. Baba tidak mengizinkan kamu untuk bekerja.”
“Baba, aku sudah mengikuti keinginan baba untuk tinggal bersama. Tapi aku nggak janji untuk berhenti kerja. Terserah baba mengizinkan atau nggak, aku tetap akan bekerja.”
“Kamu boleh bekerja, tetapi tidak di mini market. Apalagi jam kerjamu di malam hari yang membuatmu harus pulang malam. Baba tidak mau kamu kelelahan. Baba ingin kamu fokus dengan kuliahmu. Lagi pula apa uang saku yang baba berikan kurang? Kalau kamu menginginkan sesuatu, kamu bisa minta langsung pada baba. Tidak perlu bekerja. Baba tidak kekurangan uang.”
“Ini bukan masalah uang atau apa pun, Ba. Ini keinginanku sendiri untuk bekerja. Aku hanya ingin hidup mandiri. Kalau baba nggak mau pulang, ya sudah. Aku pulang sendiri aja.”
Shanna pun meninggalkan Damar yang ternyata dengan cepat mengikuti Shanna.
“Oke, oke. Ayo baba antar kamu ke tempat kerja.” Damar mengalah dan mengantar Shanna langsung ke tempat kerja. Damar bahkan menunggu Shanna bekerja hingga pulang bekerja seperti biasanya.
Damar benar-benar menepati janjinya untuk membuat hubungan mereka seperti semula. Berbeda dengan Shanna yang masih sulit untuk bersikap bahwa tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Faktanya, perasaan canggung masih menggelayuti dirinya meski sudah empat hari mereka tinggal bersama. Tanpa Shanna sadari, dirinya telah menjaga jarak dengan mengurangi kontak fisik dengan Damar.
Damar sendiri tidak protes dengan sikap Shanna. Dia justru semakin menunjukkan perhatiannya yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.
“Tadi aku melihatmu di gerbang kampus bersama Om Damar. Memangnya kamu sudah baikan sama babamu?” Neila membuka obrolan setelah mereka mendapat tempat duduk.
“Hm! Sekarang aku sudah pulang. Benar apa yang kalian katakan. Daripada aku rugi dua kali, lebih baik aku tinggal bersama baba meski cintaku nggak terbalas. Seenggaknya aku bisa melihat baba setiap saat.”
Sejak dirinya kembali, Shanna menyadari bahwa apa yang dikatakan sahabat-sahabatnya itu benar. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa hatinya menderita.
Viona dan Neila mengacungkan kedua jempol mereka kepada Shanna.
“Cobalah kamu membuka hatimu untuk orang lain. Siapa tahu aja dengan begitu kamu bisa menghilangkan perasaanmu pada Om Damar,” saran Deva.
Shanna menghela napas pelan. “Aku akan mencobanya.”
Bukannya Shanna tidak mau, tetapi hatinya entah kenapa selalu bertaut kepada ayahnya. Mungkin memang tidak seharusnya dia memiliki perasaan kepada ayahnya.
“Kamu nggak perlu memaksakan diri. Lakukan saja secara perlahan.” Viona pun memberi dukungan.
“Hm! Terima kasih untuk saran kalian. Mulai sekarang aku akan berusaha mendengarkan semua saran kalian.” Shanna menatap satu per satu ketiga sahabatnya.
“Apa yang kamu katakan? Kita ini sahabat dan sudah semestinya saling membantu,” ucap Neila.
Shanna tersenyum kecil. Dia bersyukur memiliki sahabat seperti mereka bertiga. Sahabat yang selalu ada kala dirinya susah ataupun senang. Yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya selama ini. Mereka juga tidak pernah bosan memberikan semangat dan dukungan untuknya.
Dulu, Shanna berpikir bahwa mereka akan menjauhinya ketika dia memberi tahu mereka mengenai dirinya yang menyukai Damar yang merupakan ayah angkatnya. Dia bahkan sudah menyiapkan mentalnya jika mereka bertiga akan menghujatnya. Namun, itu semua hanya ketakutannya yang tidak berdasar. Nyatanya mereka bertiga menerima dirinya dengan tangan terbuka.
“Aku pulang duluan, ya,” ucap Shanna setelah melihat waktu di arlojinya menunjukkan pukul 11.30 siang. “Soalnya tadi pagi aku sudah janji sama baba mau makan siang bersama.”
Shanna segera meninggalkan kantin dengan langkah lebar menuju ke gerbang usai mendapatkan jawaban dari ketiga sahabatnya.
“Baba ke mana, Paman?” tanya Shanna bingung ketika dirinya justru mendapati Adara yang menjemput dirinya dan bukannya Damar.
“Tuan masih rapat. Tapi tadi beliau sudah berpesan supaya saya menjemput Anda kalau beliau belum selesai.”
Shanna mengangguk dan segera memasuki mobil.
Sesampainya di perusahaan, Shanna memutuskan untuk menunggu Damar di ruang kerjanya. Tanpa mengetuk pintu, Shanna membuka pintu ruang kerja Damar. Matanya membulat ketika netranya justru mendapati Diana dan Damar berada di dalam, duduk berhadapan di meja kerja Damar.
“Maaf, Bibi, Baba. Kupikir baba masih rapat, jadi aku langsung masuk aja. Aku nggak tahu kalau Bibi dan baba ada di dalam,” ucap Shanna kepada kedua orang yang menatapnya dengan pandangan yang berbeda.
Damar tersenyum kecil. “Kamu sudah datang.” Damar beralih menatap Diana. “Kakak, kalau tidak ada lagi yang kakak bicarakan, maka kami mau pergi makan siang dulu.”
Diana menatap tajam Damar. “Lebih baik kamu mendidik dia lebih tegas lagi supaya tidak mempermalukan nama keluarga Adipramana.”
Usai berkata seperti itu, Diana pergi dengan pandangan tajam yang di arahkan kepada Shanna.
Shanna hanya bisa menundukkan pandangannya. Dia tahu dirinya salah karena tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Keluarga Adipramana memang ketat dalam segala hal, terutama etika sopan santun. Tidak heran jika Diana marah kepadanya. Apalagi keluarga besar Adipramana memang tidak ada yang menyukainya sejak dulu.
Damar bangkit dari duduknya, menghampiri Shanna yang masih setia berdiri di dekat pintu. Tangannya mengusap kepala Shanna lembut dan penuh kasih sayang.
“Kamu tidak perlu memasukkan ke hati ucapan bibimu. Lebih baik sekarang kita pergi makan siang. Baba sudah sangat lapar sekali.”
Damar menggandeng Shanna meninggalkan ruang kerjanya dan menuju ke lift. Damar membawa Shanna ke sebuah restoran tidak jauh dari perusahaan.
“Damar?” seorang wanita menyapa mereka yang hendak memasuki restoran, nadanya terdengar sedikit ragu-ragu.
Pagi-pagi sekali Damar meninggalkan rumah bersama Shanna dan Tessa. Sementara Ardo sudah menunggu mereka di bandara.Damar yakin orang yang mengawasi mereka tahu kalau di rumah hanya ada mereka bertiga. Mereka pasti akan curiga kalau melihat mereka pergi berempat. Karena itulah, untuk menghindari kecurigaan para pengintai itu, malam tadi Damar meminta Ardo untuk berangkat lebih dulu ke bandara sambil membawa barang-barang mereka.Sesampainya di bandara, Damar langsung mengajak Shanna ke terminal keberangkatan. Di mana Ardo menunggu mereka.“Pak, ini kunci mobilnya.” Ardo menyerahkan kunci mobil kepada Damar. “Koper bapak dan Shanna sudah saya masukkan di bagasi mobil.”“Terima kasih.” Damar menatap Shanna. “Sayang, ayo kita ganti pakaian.”Damar dan Shanna pun bergantian untuk berjaga-jaga. Setelah itu mereka meninggalkan terminal ke berangkatan dan menuju parkiran bandara, di mana Ardo memarkir mobil sewaan yang diminta Damar malam tadi.“Aku nggak menyangka akan seribet ini hanya u
Setelah mendengarkan keluhan serta melakukan pemeriksaan, dokter menyarankan Shanna untuk menjaga pola makannya. Dokter meminta Shanna untuk memakan makanan yang kaya akan vitamin dan nutrisi yang diperlukan janin.Shanna lega mendengarnya. Begitu juga dengan Damar yang ikut senang sebab istrinya tidak harus tersiksa karena meminum susu ibu hamil.“Kita makan siang dulu sebelum pulang,” ucap Damar begitu mereka keluar dari rumah sakit.Damar membawa Shanna ke sebuah restoran. Mereka mengikuti pelayan yang membawa ke ruang private room. Shanna terkejut saat memasuki ruangan dan mendapati Galang dan Devara sudah berada di sana. Tapi dia senang, mengingat hari ini adalah ulang tahun suaminya. Di mana Damar memang selalu mengajak Galang dan Devara makan bersama di setiap hari ulang tahunnya.“Kamu kelihatan bahagia sekali, Dam?” ucap Galang begitu Damar duduk di hadapan mereka.“Apa terlihat jelas?” bukannya menjawab, Damar justru memberikan pertanyaan kepada Galang.“Ya.”“Tentu aja Baba
Sejak kecil, Shanna tidak suka minum susu. Tidak jarang Shanna suka membuang susu yang selalu dia buatkan. Sebagai gantinya, Damar terpaksa memberikan Shanna suplemen setelah berkonsultasi dengan dokter. Dan kemarin pagi, Damar merasa aneh saat mendapati bubuk susu di toples saat dia hendak membuat minum. Ditambah dia juga tidak sengaja melihat kotak susu ibu hamil di tempat sampah. Karena itulah Damar tahu kalau Shanna sedang hamil saat ini. Sebab tidak ada perempuan lain di rumah mereka selain Shanna.Shanna menghela napas, kecewa. Niat awalnya ingin memberi kejutan, tetapi justru gagal karena keteledorannya. Seharusnya dia langsung membuang kotak itu ke tempat sampah depan.“Padahal aku ingin memberimu kejutan, tapi selalu saja berakhir gagal,” gumam Shanna penuh keluhan.Shanna tidak mengerti, kenapa dirinya begitu sulit untuk memberikan kejutan atau hadiah kepada suaminya itu. Dulu, setiap kali Shanna ingin memberikan kejutan di malam ulang tahun Damar, pria itu selalu berhasil me
Ardo yang mendapat perintah dari Damar, meminta orang kenalannya untuk membelikan perangkat CCTV dan mengirimnya malam itu juga. Dan malam itu juga Ardo memasang semua CCTV di setiap tempat untuk memantau di sekitar rumah.Begitu juga dengan Adara. Pria itu datang ke rumah mereka pagi-pagi buta dengan tiga orang pria yang akan bertugas menjaga rumah mereka. Tidak lupa Damar meminta Adara menyelidiki semua musuh-musuh bisnisnya. Sedangkan untuk Nadia dan Darian, dia meminta Ardo yang menyelidikinya.“Ba, apa ini nggak berlebihan?” tanya Shanna saat mereka berada di meja makan untuk sarapan. Dia merasa tidak nyaman melihat begitu banyak pria di rumah mereka.“Tidak. Ini semua demi keamananmu.”“Tapi aku merasa nggak nyaman, Ba,” ucap Shanna jujur. “Sekarang di rumah banyak diisi laki-laki, hanya aku sendiri yang perempuan. Aku merasa nggak nyaman, Ba.”Damar tersentak. Ditatapnya Shanna lekat-lekat untuk beberapa detik sebelum berkata dengan lemah, “Bagaimana lagi? Ini semua demi kebaik
Sesampainya di rumah, Shanna langsung istirahat. Selain karena perintah Damar, Shanna juga tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Tadi dokter memang memintanya untuk lebih banyak istirahat dan tidak melakukan aktivitas berat yang menguras tenaga, sebab kandungannya yang lemah.Saat Shanna bersantai menonton televisi, dia dikejutkan dengan kedatanag Devara yang tiba-tiba. Kekhawatiran tampak jelas di wajah cantik Devara.Shanna mengubah posisis berbaringnya di sofa menjadi duduk kala Devara menghampirinya. “Tante.”“Tadi Damar meneleponku. Dia memberitahuku kalau kamu sakit,” ucap Devara cepat.“Baba?” ulang Shanna.“Iya. Damar bilang kamu sakit karena kecapekan. Dia memintaku untuk tidak mengajakmu bepergian dulu.”Pelipis Shanna berkedut, kesal. Suaminya itu sangat berlebihan.“Tante, aku baik-baik aja. Aku nggak sakit, kok. Aku cuma kecapekan aja. Aku juga sudah periksa ke dokter, nggak ada yang serius.” Shanna berusaha menghibur Devara yang mengkhawatirkan dirinya. “Tante nggak usah de
Damar membantu Shanna duduk di kursi. Kekhawatiran tampak jelas di wajahnya. Pasalnya sudah tiga hari Shanna selalu memuntahkan setiap makanan yang dimakannya.“Kita pergi ke rumah sakit, ya? Kalau kamu terus mengeluarkan makanan yang kamu makan, kamu bisa sakit nanti. Lihat penampilanmu sekarang, kamu kelihatan kuyu,” ucap Damar.“Ya, nanti aku pergi ke rumah sakit sama Kak Ardo,” jawab Shanna patuh. Badannya memang sangat lemas karena hampir tidak ada makanan yang bisa masuk, kecuali buah-buahan.“Bukan nanti, tapi sekarang,” ucap Damar tegas. “Ayo!”Shanna menatap Damar dengan mata sayunya. “Ba, sekarang masih terlalu pagi. Aku janji aku akan periksa ke dokter nanti jam sembilan sama Kak Ardo. Sekarang sudah jam setengah delapan, lebih baik kamu berangkat kerja aja. Bukannya mala tadi kamu bilang kalau pagi ini ada rapat?”“Rapat bisa ditunda, tapi kesehatanmu tidak bisa ditunda. Ayo kita pergi ke dokter sekarang!”Damar takut Shanna tidak akan pergi ke dokter, karena itu dia ingin