Share

BAB 8 : Tinggal Bersama

Damar benar-benar menepati janjinya untuk menghabiskan akhir pekannya bersama Shanna. Benar-benar melupakan bahwa mereka pernah bertengkar. Namun berbeda dengan Shanna yang masih merasa canggung dan bersalah atas sikapnya kepada pria itu selama dua bulan terakhir.

“Baba, ayo kita pulang!” Shanna menatap arloji di tangan kirinya menunjukkan pukul tiga sore.

“Sekarang masih jam tiga. Kenapa buru-buru pulang?”

“Aku harus bekerja. Aku nggak mau telat.”

“Kerja?” Damar menatap Shanna dengan alis terangkat tinggi. “Kenapa kamu masih kerja? Lebih baik kamu berhenti kerja. Baba tidak mengizinkan kamu untuk bekerja.”

“Baba, aku sudah mengikuti keinginan baba untuk tinggal bersama. Tapi aku nggak janji untuk berhenti kerja. Terserah baba mengizinkan atau nggak, aku tetap akan bekerja.”

“Kamu boleh bekerja, tetapi tidak di mini market. Apalagi jam kerjamu di malam hari yang membuatmu harus pulang malam. Baba tidak mau kamu kelelahan. Baba ingin kamu fokus dengan kuliahmu. Lagi pula apa uang saku yang baba berikan kurang? Jika kamu menginginkan apa-apa, kamu bisa minta langsung kepada baba. Tidak perlu bekerja. Baba tidak kekurangan uang.”

“Ini bukan masalah uang atau apa pun, Baba. Ini keinginanku sendiri untuk bekerja. Aku hanya ingin hidup mandiri. Kalau baba tidak mau pulang, ya sudah. Aku pulang sendiri aja.”

Shanna pun meninggalkan Damar yang ternyata dengan cepat mengikuti Shanna.

“Oke, oke. Ayo baba antar kamu ke tempat kerja.” Damar mengalah dan mengantar Shanna langsung ke tempat kerja dan menunggu Shanna hingga pulang bekerja seperti biasanya.

Damar benar-benar menepati janjinya untuk membuat hubungan mereka seperti semula. Berbeda dengan Shanna yang masih sulit untuk bersikap bahwa tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Faktanya perasaan canggung masih menggelayuti dirinya meski sudah empat hari mereka tinggal bersama. Tanpa Shanna sadari, dirinya telah menjaga jarak dengan mengurangi kontak fisik dengan Damar.

Damar sendiri tidak protes dengan sikap Shanna. Dia justru semakin menunjukkan perhatiannya yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.

“Tadi aku melihatmu di gerbang kampus bersama Om Damar. Memangnya kamu udah baikan sama babamu?” Neila membuka obrolan setelah mereka mendapat tempat duduk.

“Hm! Sekarang aku sudah tinggal serumah lagi dengan baba. Benar apa yang kalian katakan. Daripada aku rugi dua kali, lebih baik aku tinggal bersama baba meski cintaku nggak terbalas. Seenggaknya aku bisa melihat baba setiap saat.”

Viona dan Neila mengacungkan ke dua jempol mereka kepada Shanna.

“Cobalah kamu membuka hatimu untuk orang lain. Siapa tahu saja dengan begitu kamu bisa menghilangkan perasaanmu kepada Om Damar,” saran Deva.

Shanna menghela napas pelan. “Aku akan mencobanya.”

Bukannya Shanna tidak mau, tetapi hatinya entah kenapa selalu bertaut kepada ayahnya. Mungkin memang tidak seharusnya dia memiliki perasaan kepada ayahnya.

“Kamu nggak perlu memaksakan diri. Lakukan saja secara perlahan.” Viona pun memberi dukungan.

“Hm! Terima kasih untuk saran kalian semua.” Shanna menatap satu per satu ke tiga sahabatnya.

“Apa yang kamu katakan? Kita ini sahabat dan sudah semestinya saling membantu,” ucap Neila.

Shanna tersenyum kecil. Dia bersyukur memiliki sahabat seperti mereka bertiga. Sahabat yang selalu ada kala dirinya susah ataupun senang. Yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya selama ini dan tidak pernah bosan memberikan semangat dan dukungan untuknya.

Dulu Shanna berpikir bahwa mereka akan menjauhinya ketika dia memberitahu mereka mengenai dirinya yang menyukai Damar yang merupakan ayah angkatnya. Dia bahkan sudah menyiapkan mentalnya jika mereka bertiga akan menghujatnya. Namun ternyata mereka bertiga menerima dirinya dengan tangan terbuka.

“Aku pulang duluan, ya,” ucap Shanna setelah melihat waktu di arlojinya menunjukkan pukul 11.30 siang. “Soalnya tadi pagi aku sudah janji sama baba mau makan siang bareng.”

Shanna segera meninggalkan kantin dengan langkah lebar menuju ke gerbang usai mendapatkan jawaban dari ke tiga sahabatnya.

“Baba kemana, Om?” tanya Shanna bingung ketika dirinya justru mendapati Adara yang menjemput dirinya dan bukannya Damar.

“Pak Damar masih rapat dan tadi beliau sudah berpesan supaya om menjemputmu jika beliau belum selesai.”

Shanna mengangguk dan segera memasuki mobil.

Sesampainya di perusahaan, Shanna memutuskan untuk menunggu Damar di ruang kerjanya. Tanpa mengetuk pintu, Shanna membuka pintu ruang kerja Damar. Matanya membulat ketika netranya justru mendapati Diana dan Damar berada di dalam dan duduk berhadapan di meja kerja Damar.

“Maaf, Bibi, Baba. Kupikir baba masih rapat, jadi aku langsung masuk aja. Aku nggak tahu kalau bibi dan baba ada di dalam,” ucap Shanna kepada ke dua orang yang menatapnya dengan pandangan yang berbeda.

Damar tersenyum kecil. “Kamu sudah datang.” Damar beralih menatap Diana. “Kakak, kalau tidak ada lagi yang kakak bicarakan, maka kami mau pergi makan siang dulu.”

Diana menatap tajam Damar. “Lebih baik kamu mendidik dia lebih tegas lagi supaya tidak mempermalukan nama keluarga Adipramana.”

Usai berkata seperti itu, Diana pergi dengan pandangan tajam yang di arahkan kepada Shanna.

Shanna hanya bisa menundukkan pandangannya. Dia tahu dirinya salah karena tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Keluarga Adipramana memang ketat dalam segala hal, terutama etika sopan santun. Tidak heran jika Diana marah kepadanya. Apalagi keluarga besar Adipramana memang tidak ada yang menyukainya sejak dulu.

Damar bangkit dari duduknya dan menghampiri Shanna yang masih setia berdiri di dekat pintu. Tangannya mengusap kepala Shanna lembut dan penuh kasih sayang.

“Kamu tidak perlu memasukkan ke hati ucapan bibimu. Lebih baik sekarang kita pergi makan siang. Baba sudah sangat lapar sekali.”

Damar menggandeng tangan Shanna meninggalkan ruang kerjanya dan menuju ke lift. Damar membawa Shanna ke sebuah restoran tidak jauh dari perusahaannya.

“Damar?” seorang wanita menyapa, nadanya terdengar sedikit ragu-ragu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status