“Ah sial, aku terlambat bekerja.”
Shani buru-buru turun dari kasurnya, berjalan terhuyung ke keluar dengan kesadaran yang baru terkumpul setengah. Alarm yang sudah Shani siapkan tidak berhasil membangunkannya, padahal ia harus kembali bekerja. Alhasil, ia jadi terlambat bangun.
Kecemasan mulai menggerogotinya, membuat Shani tak bisa tenang dan ingin segera pergi. Ia mempercepat langkahnya hingga tanpa sadar melengos begitu saja di hadapan Gideon yang sedang menyantap sarapannya.
Alis Gideon seketika terangkat melihat tingkah Shani pagi ini, ia dengan gerakan cepat menarik lengan Shani dari belakang membuat pergerakan Shani seketika terhenti.
“Kamu mau kemana?” Tanya Gideon.
“Saya sudah terlambat pergi bekerja, Pak.” Jawab Shani dengan napas memburu.
Gideon menaikkan alisnya. Dia menatap Shani dari atas hingga bawah. Pasalnya, saat ini wanita di hadapannya itu masih mengenakan baju tidurnya. Rambutnya pun masih acak-acakan dan tanpa riasan sedikit pun di wajahnya.
“Tak usah bekerja, hari ini libur.”
“L-libur? Tapi kan hari ini bukan tanggal merah.”
“Libur karena kita baru menikah kemarin, saya kan CEO jadi suka-suka saya.”
Shani pun terdiam sejenak, menggaruk lehernya yang tak gatal. “Kalau begitu, ya sudah.” Mungkin ini keuntungan menjadi istri CEO. Ia dapat menentukan hari liburnya sendiri.
Gideon lalu menggeleng pelan, ia melepaskan pegangannya di lengan SHani kemudian segera mengambil paper bag yang terletak di meja makan. Ia lalu menyodorkannya kepada Shani.
“Mandi dan pakai itu.” Titah Gideon.
Shani menoleh, mengambil paper bag itu lalu memeriksa sekilas isinya.
“Huh? Kenapa saya harus pakai ini? Lagian sepertinya pakaian ini sangat mahal, tidak cocok untuk saya.” Protes Shani. Ia kembali menyodorkan paper bag itu kepada Gideon.
“Kamu ini, sudahlah banyak tanya, banyak protes juga. Kalau sudah disiapkan ya tinggal pakai saja!” Bentak Gideon sebelum berlalu meninggalkan Shani.
Shani mengendus kesal melihat reaksi Gideon, ia memutar bola matanya jengah.
“Dasar orang tua! Darah tinggi baru tahu.” Umpat Shani dalam hatinya.
Shani pun segera kembali ke kamarnya. Setelah selesai mandi, ia langsung ingin mengenakan pakaian yang diberikan Gideon. Shani mengeluarkan pakaian tersebut dari paper bag. Alisnya mengkerut ketika melebarkan pakaian tersebut.
“Aku benar-benar harus pakai ini?” Shani bergumam pelan.
Pakaian itu diluar ekspektasi Shani, gaun pendek berwarna putih seperti ini tentu saja tidak cocok di pakai untuk sehari-hari, bukan? Gaun ini lebih cocok di pakai untuk acara formal, bahkan jika Shani gunakan ini untuk pergi ke kantornya, Shani dapat merasakan kesenjangan sosial di antara para rekan kerjanya.
“Apa dia bercanda, ya?” Lanjut Shani.
Namun, Shani dibuat semakin terkejut saat melihat price tag yang masih tertempel di paper bag itu.
“Dua puluh lima juta!?”
Shani sedikit memekik, lalu mendekap mulutnya sendiri. Matanya melotot sejadi-jadinya. Dia terrmenung sejenak.
“Kenapa si tua itu membiarkan aku memakai pakaian yang sangat mahal ini?” Kini Shani bertanya-tanya, alisnya ikut terangkat saat memikirkan alasan mengapa Gideon membelikan Shani pakaian semahal ini.
Kemudian, Shani segera memakai gaun tersebut. Tak lupa, Shani merias wajahnya pula. Ia lalu turun ke bawah untuk mencari Gideon. Shani ingin bertanya mengapa ia menyuruhnya untuk menggunakan gaun mahal ini.
Saat baru saja menuruni anak tangga, Shani dapat melihat ada seorang lelaki yang terlihat familiar sedang memunggunginya. Ia berdiri menghadap seorang pelayan, mereka terlihat sedang berbincang. Saat menyadari keberadaan Shani, pelayan itu pun menyapa dengan senyuman hangat.
“Nah, ini Nyonya sudah selesai.” Ucap pelayan itu yang diikuti dengan lelaki itu yang menoleh ke arah Shani.
Alangkah terkejutnya Shani saat mendapati bahwa lelaki itu adalah Daroll. Ia terbelalak, langkahnya pun terhenti seketika. Sedangkan, Daroll memasang wajah kebingungan, alisnya pun ikut terangkat.
“Shani?”
“Daroll?”
Dari arah lain, Gideon pun muncul. Membawa beberapa barang di tangannya.
“Oh, sudah datang ya, nak”
“Nak?” Ucap Shani mengulang. Ia kemudian terdiam sejenak sambil melihat Gideon dan Daroll secara bergantian.
“Kalian saling kenal?” Tanya Shani.
“Dia anakku, Shani.” Jawab Gideon seraya melirik singkat Daroll.
Shani langsung mendekap mulutnya, tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Sedangkan, Daroll yang mulai mengerti dengan situasi saat ini langsung memasang tatapan tajam untuk Gideon dan Shani.
Halo, para pembaca! Semoga kalian menikmati cerita saya. Instagram: @tarunika.herbras
“Kamu menikah dengan ayahku, Shani?” Tanya Daroll dingin.Shani membeku, kepalanya jadi tertunduk. Tak berani menatap wajah Daroll saat ini. “Jawab!” Desak Daroll. Dia kini sudah berpindah ke hadapan Shani.Gideon yang dari tadi hanya memperhatikan kini mulai maju, meletakkan tangannya di atas dada Daroll agar anaknya itu dapat memberi sedikit jarak untuk Shani. “Daroll…” “Dari beribu wanita di dunia ini, kenapa harus temanku yang ayah nikahi!?” Seru Daroll memotong.“Ayah tak tahu bahwa dia temanmu, Daroll. Maafkan ayah.” “Itu berarti ayah sama sekali tak peduli padaku, kan? Hal-hal kecil seperti itu saja ayah tak tahu!” Daroll semakin meninggikan nada suaranya. “Seluruh ucapan ayah padaku adalah omongan kosong, saat ayah berkata bahwa ayah peduli padaku…semuanya omong kosong!” Lanjutnya. Emosi Daroll sudah memuncak, matanya tajam menatap Gideon, urat lehernya pun ikut menegang. Sekilas, Gideon dapat melihat mata Daroll yang sedikit memerah dan berkaca-kaca sebelum anaknya itu m
“Ah sial, aku terlambat bekerja.” Shani buru-buru turun dari kasurnya, berjalan terhuyung ke keluar dengan kesadaran yang baru terkumpul setengah. Alarm yang sudah Shani siapkan tidak berhasil membangunkannya, padahal ia harus kembali bekerja. Alhasil, ia jadi terlambat bangun.Kecemasan mulai menggerogotinya, membuat Shani tak bisa tenang dan ingin segera pergi. Ia mempercepat langkahnya hingga tanpa sadar melengos begitu saja di hadapan Gideon yang sedang menyantap sarapannya. Alis Gideon seketika terangkat melihat tingkah Shani pagi ini, ia dengan gerakan cepat menarik lengan Shani dari belakang membuat pergerakan Shani seketika terhenti.“Kamu mau kemana?” Tanya Gideon.“Saya sudah terlambat pergi bekerja, Pak.” Jawab Shani dengan napas memburu.Gideon menaikkan alisnya. Dia menatap Shani dari atas hingga bawah. Pasalnya, saat ini wanita di hadapannya itu masih mengenakan baju tidurnya. Rambutnya pun masih acak-acakan dan tanpa riasan sedikit pun di wajahnya.“Tak usah bekerja,
Sekitar tiga puluh menit, waktu yang mereka habiskan dalam perjalanan tanpa berbicara sedikit pun. Mobil kini berhenti pada salah satu hotel bintang lima yang terkenal di kota ini. Gideon segera turun, meninggalkan Shani yang kebingungan. Namun tak lama, Gideon membuka pintu mobilnya. Wajah garangnya sedikit menunduk untuk menyejajarkan pandangannya dengan Shani.“Mau turun sendiri atau saya seret?”Shani menyeringai kesal, memutar bola matanya jengah. “Dasar arogan.” Gumam Shani amat pelan sebelum turun dari mobil dan berlari kecil mengejar Gideon yang sudah lebih dulu masuk ke dalam hotel itu.Sesampainya didalam, mereka disambut oleh beberapa lelaki dengan pakaian yang sangat rapi. “Selamat malam, tuan Gideon. Silahkan ikuti saya.” Ucap lelaki itu sambil mempersilahkan Shani dan Gideon. Gideon pun sepertinya sudah mengerti dengan maksud lelaki itu, tetapi tidak dengan Shani. Ia menarik lengan Gideon sebelum Gideon sempat melangkah.“Bapak tidak berniat untuk melakukan hal aneh, k
Gideon harus berhenti menatap wajah tidur Shani saat sang puan mulai membuka matanya. Dia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.“Oh, sudah sampai.” Ucap Shani sambil mengosok matanya. Ia lalu membenarkan posisi duduknya. Sedangkan, Gideon hanya terdiam, dia kembali menatap lamat-lamat wajah Shani dengan ekspresi yang tak bisa Shani artikan.“K-kenapa?” Shani bertanya tergegu saat ditatap begitu, ia balik menatap Gideon dengan kebingungan.Belum sempat mendapatkan jawaban, bibir Shani sudah dibungkam oleh Gideon. Shani yang tiba-tiba saja dicium itu refleks memundurkan wajahnya hingga tautan bibir mereka terputus. Ia terdiam sejenak karena kebingungan. Untuk alasan yang tidak dapat ia pahami itu, jantungnya malah berdetak tak karuan.“K-kenapa bapak m-mencium saya?” Tanya Shani tergegu lagi.Namun, Gideon yang mendapatkan penolakan itu seketika jadi tersulut emosi. Wajahnya berubah seketika, menampakkan ekspresi marah, urat lehernya ikut menegang.Dan saat melihat itu, Shani me
Ini sudah dua hari setelah konferensi pers, berita terkait hubungan Shani dan Gideon mulai banyak bermunculan hanya dalam beberapa jam dan menjadi yang paling sering dicari dalam dua hari. Wajar saja, karena kisah si orang biasa memiliki hubungan dengan si orang paling kaya sangatlah jarang terjadi. Hari ini juga sudah dua hari pula sejak ia dan Daroll bertemu.“Kamu bukan hanya berarti, kamu adalah segalanya untukku. Jadi, jika kamu terluka, maka aku akan lebih terluka.”Shani ingat dengan sangat jelas bagaimana wajah khawatir Daroll saat mengatakan hal itu padanya, wajah Shani seketika memerah seperti kepiting rebus dan senyumnya pun juga merekah saat mengingat kejadian itu. Namun, saat ingatan sifat arogan Gideon lewat di pikirannya. Shani jadi tersulut emosi lagi.“Arogan, mentang-mentang kaya.” Gumam Shani pelan seraya melirik sekilas nakas disamping kasurnya. Jam beker diatasnya sudah menunjukan pukul 7 pagi, sudah waktunya bagi Shani untuk bersiap pergi ke kantornya. “Huft, ha
“Sudah siap?”Shani menoleh ke sumber suara, Gideon yang telah rapi dengan setelannya melirik Shani sekedarnya. Mereka saat ini masih berada di dalam mobil, sedangkan di depannya terdapat kerumunan wartawan yang sedang menunggu.“Siap tak siap.” Shani menjawab datar.“Jangan melakukan hal aneh, kamu cukup diam disamping saya.”Shani tak merespon, dia sudah tahu dengan apa yang harus dilakukan saat konferensi pers. Cukup diam dan memasang senyuman palsu agar semua orang percaya dengan skenario palsu hubungan mereka.“Bagaimana dengan ibu, ya?” Shani bergumam amat pelan. Namun tetap saja dapat didengar oleh Gideon yang duduk disampingnya.“Tinggal jelaskan, tidak sulit.”Shani melirik Gideon sekilas lalu menghela napas berat.“Bapak mau membantu untuk menjelaskannya pada ibu saya?”“Tentu saja tidak.” Jawab Gideon singkat.Shani tersenyum kecut, “Saya bisa pastikan dia akan bertanya banyak hal mengenai ini, saya khawatir tidak bisa menjawabnya.” Pikiran Shani saat ini cukup berantakan,