“Dulu kamu selalu bilang ingin jadi seperti dia, sekarang kamu berkesempatan jadi istrinya!” Dasimah, ibu Sofia, menekan dahi sang anak dengan ujung telunjuk.
“Sofia ingin kuliah ke luar negri kayak dia, bukan jadi istrinya, Bu! Lagian, dia sudah bangkotan, Sofia nggak mau!”
“Bangkotan dari mana, jaga mulutmu, Fia! Usianya baru tiga puluh sembilan, lagi matang-matangnya itu, sembarangan saja kalau ngomong!” omel Dasimah kesal.
Sofia jauh lebih kesal lagi. Ia melirik tidak senang pada pantulan wajahnya yang tertutup riasan tebal pengantin di balik cermin.
“Kita beruntung karena Juragan Wira tidak mengusir kita dari kampung ini, Fia.” Dasimah berlemah lembut lagi. Pasalnya, ia harus segera menggiring Sofia ke luar kamar karena penghulu dan pengantin pria sudah siap di ruang tengah, menunggu kehadiran sang mempelai wanita yang masih merajuk.
“Fia, Ibu minta maaf karena telah melibatkan kamu ke dalam masalah keluarga. Kalau kamu nggak mau, ya nggak apa-apa. Kita bisa batalkan pernikahan ini,” desah Dasimah, seraya bangkit dari sisi Sofia yang masih cemberut.
Air muka Sofia berubah cepat. Diraihnya lengan sang ibu yang menjauh. “Lalu, utang kita sama Juragan Wira bagaimana, Bu?”
Dasimah menatap Sofia dengan kesenduan yang memilukan hati.
“Itu … biar jadi urusan bapakmu. Kamu bisa pergi kuliah ke luar negri seperti impianmu, nggak perlulah memikirkan dua manula di rumah ini. Lagipula, Ibu dan Bapak akan mati juga, entah karena usia atau kuasa Juragan Wira.”
“Bu!” Sofia bangkit cepat, dan memeluk Dasimah yang tidak bisa menahan cengiran lebih lama.
“Ibu jangan bicara begitu. Memangnya Juragan Wira betul-betul akan menghabisi orang yang nggak bisa bayar utang sama dia, ya, Bu?” tanya Sofia lugu.
Dasimah buru-buru menelan rasa geli, dan menampilkan wajah muram sambil mengangguk.
Sofia menggigit bibir cemas. “B-baiklah, Sofia mau menikah sama dia. Asal Bapak dan Ibu selamat.”
“Nah!” Dasimah melonjak kegirangan. Ia kembali sumringah saat menuntun Sofia keluar kamar. “Ini baru anak Ibu!”
Obrolan di ruang tengah berdengung di telinga Sofia kala ia berjalan menunduk menuju meja ijab kabul.
“Akhirnya datang juga sang pengantin wanita,” sambut salah satu saksi, disambut tawa sang mempelai pria, Mahawira Anggabaya, seorang juragan tanah sekaligus penguasa kampung Cibuni.
Sofia mengernyit tidak senang. Ia terbiasa mendengar tawa mengintimidasi Wira setiap kali pria itu tengah menindas para warga.
“Duduk di sini, Dik Sofia, di samping suamimu. Alhamdulillah, akadnya berjalan lancar. Sekarang, kalian resmi sebagai suami istri,” ucap penghulu.
Sofia duduk di samping pria dewasa yang kini telah menjadi suaminya. Mahawira tampil sempurna dalam balutan jas mahal. Ia begitu menawan kalau saja bukan pria berusia tiga puluh sembilan tahun untuk Sofia yang baru saja menginjak usia sembilan belas!
Semua warga Cibuni mengatakan Sofia yang cantik sangat beruntung karena sang juragan tanah mengharuskan dia membayar utang dengan sebuah pernikahan, sementara warga lain yang terlibat kasus serupa, harus rela angkat kaki dari kampung sebagai bayarannya.
“Dik Sofia?”
“Eh?” Sofia mengangkat wajah saat penghulu memanggil namanya. Semua orang terkekeh akan tingkah linglung Sofia yang dianggap sebagai sikap malu-malu pengantin baru.
“Ayo, dicium tangan suamimu, Nak,” tuntun sang penghulu sabar hati.
Sofia menelan ludah. Ia menoleh ke samping dan mendapati Mahawira Anggabaya tersenyum ke arahnya.
Ia tidak bisa menahan rasa mual yang mendadak terasa. Senyuman mencemooh yang biasa dilempar Wira pada seluruh warga kampung, bathin Sofia sebal.
Gadis itu mengangkat tangan Wira, dan menciumnya cepat. Terdengar riuh-rendah para warga yang hadir sebagai saksi.
Tanpa diduga, Wira menyentuh kepala Sofia dan menariknya ke depan.
Cup! Ia mengecup dahi Sofia, lama dan lembut.
Sofia merasakan getaran aneh di dada, sampai ia harus menyentuh bagian muka baju pengantinnya yang dihiasi manik-manik.
“Alhamdulillah,” seru penghulu, melihat keromantisan sang mempelai.
Setelah acara ijab selesai, tiba saatnya sesi ramah-tamah. Mahawira Anggabaya tidak main-main soal pesta yang ia janjikan akan dihelat di hari pernikahan mereka.
Seluruh warga kampung hadir dalam jamuan internasional yang dihadirkan Wira. Alunan musik lembut, menyambut kedatangan para warga yang berpenampilan kontras dengan warna-warna pastel dekorasi.
“Selamat, ya, Juragan!” Mang Baim, pemilik warung kopi yang dimodali Wira, menjabat tangan Wira sambil membungkuk.
Mahawira menyambut semua warganya dengan sumringah. Sofia nyaris lupa bahwa pria di sampingnya itu adalah tirani kejam yang sering menindas orang dengan semena-mena.
“Sofia, kamu cantik sekali!” seloroh Ceu Yeyeh, ketika menjabat tangan Sofia. “Kamu beruntung!”
Sofia cemberut. ‘Beruntung apanya! Sebentar lagi aku akan tinggal satu atap dengan penjajah ini!’
Karena sikap bengisnya, Wira yang pergi bertahun-tahun ke negeri Belanda untuk menimba ilmu kerap dijuluki penjajah oleh para warga.
“Minum ini,” Wira menyodorkan gelas air mineral pada Sofia yang terlonjak kaget. Ia belum terbiasa mendapati kehadiran Wira sedekat ini.
“Nggak usah, aku nggak haus,” kata Sofia, seraya menggeser kakinya mengambil jarak.
Wira ikut bergeser, menempatkan mereka tetap rapat.
“Aku laper, pengin makan,” kata Wira lagi. Ia menunjuk tenda VIP yang dikhususkan untuk keluarga inti, “Kita makan di sana, yuk!”
Sofia menggeleng. “Aku nggak laper. Om Juragan makan duluan aja.”
Wira mengernyit mendengar Sofia tetap memanggilnya Om, kendatipun saat Sofia masih kecil dan ia sudah beranjak dewasa, Sofia dan anak-anak kampung lain terbiasa memanggil dirinya Om Juragan.
“Kok masih panggil Om, aku kan sudah jadi suamimu. Panggil saja Abang.”
Bibir mungil Sofia mengerucut. “Iya, Bang.”
Wira mengangguk puas. “Nah, begitu kan lebih enak didengar.”
Setelah berjam-jam pesta berlangsung, akhirnya Sofia bisa melepas atribut pengantin yang membuatnya pusing.
Sofia menghapus riasan tebal yang menutup wajah dengan pembersih, dan segera mandi. Ia sudah tidak sabar untuk mengenakan pakaian kaos yang biasa dikenakannya.
Alangkah terkejutnya Sofia saat ia kembali dari kamar mandi hanya berbalut handuk, didapatinya Wira tengah berbaring santai sambil memainkan ponsel di atas ranjang.
“Astagfirullah! Om!”
Wira terlonjak kaget mendengar jeritan Sofia.
“K-kenapa, Dek?” katanya tergagap.
Sofia menunjuk Wira dengan jari gemetar, “K-kenapa Om di sini! Keluar! Keluar!”
Wira melompat dari atas ranjang dengan tangan terulur panik. “Eh, eh, jangan teriak! Aduh, kamu kenapa, sih? Sstt!”
Sofia mundur cepat hingga punggungnya menabrak daun pintu. Ia menatap ngeri Wira yang datang mendekat.
“Jangan dekati aku!”
“Lho, kenapa?” Wira balik menatap Sofia bingung. “Aku suamimu!”
Sofia memejamkan mata, menyesal telah diingatkan. “Benar, Om sekarang suamiku.”
“Jangan panggil Om,” keluh Wira keberatan.
“Baiklah, Abang.”
“Nah, begitu lebih baik.”
Tatapan Wira beralih pada tubuh segar Sofia yang hanya berbalut handuk. Gadis itu segera mencengkram simpul handuknya di depan dada defensif.
“A-aku mau pakai baju dulu, Om, eh, Bang. Abang bisa keluar sebentar?”
“Keluar? Kenapa aku harus keluar?”
Sofia menatap Wira ketakutan. “K-karena aku harus pakai baju.”“Pakai saja.”“T-tapi Om gak boleh lihat.”“Om lagi!” keluh Wira menggaruk kepalanya gusar.Sofia menunduk. Ia ingin berlari keluar kamar, dan bersembunyi di balik punggung orangtuanya seperti biasa ia lakukan setiap kali dimarahi oleh ajudan Juragan Wira saat menghalangi jalan sang juragan yang tengah keliling kampung kala tengah bermain.“Sofia, aku ini suamimu. Jangankan cuma lihat, aku bahkan berhak atas seluruh tubuh kamu.” Wira balik badan, dan kembali naik ke atas ranjang tidur Sofia yang berkeriut lemah ketika tubuh tegap Wira merebah.Wira menepuk ruang kosong di sisinya, dan tersenyum. “Kemarilah, Sofia, berbaring di sisiku.”Sofia semakin merapat ke daun pintu, berharap bisa menembus ke baliknya.“A-aku … belum siap, Om, maksudku … Bang.”Wira berdecak tidak sabar.“Sofia, aku akan melakukannya dengan lembut. Kemari, Sayang.”“Nggak mau.”“Kok nggak mau? Itu kewajiban kamu!” suara Wira kembali meninggi, persis s
Rean menghela napas. Ia hanya bisa menatap hampa ke arah Sofia yang dipaksa Wira masuk ke dalam mobil.Setelah memastikan kedua tuannya masuk, barulah ajudan itu kembali ke balik kemudi dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi, menyisakan kepulan debu di hadapan Rean yang merana.Sofia menatap ke luar jendela sambil sesekali mengusap air mata.Wira mengenakan kacamata yang menyembunyikan sorot tegas matanya, dan mendengus keras-keras.“Kamu nggak boleh berhubungan lagi dengan anak itu!” kata Wira tajam.Sofia tidak menjawab. Ia tahu, pucuk cintanya pada Rean harus ditebang habis.Setibanya mereka di rumah mewah Wira, Sofia langsung dibawa ke dalam kamar utama. Inilah pertama kali Sofia masuk ke dalam rumah kendatipun separuh hidupnya ia sering datang berkunjung untuk menemani sang ibu membayar cicilan utang. Seperti warga lainnya yang datang dengan keperluan serupa, ia hanya diizinkan masuk sampai batas balkon depan.“Sekarang ini rumahmu juga,” ucap Wira, merangkul Sofia ke dalam dek
“Papa nggak pernah ajari kamu bersikap tidak sopan sama yang lebih tua.” Wira mengedikan kepala ke arah tangan Brian yang masih teracung di depan wajah Sofia.“Turunkan tanganmu,” perintah Wira tegas dan tenang.“Dia nggak lebih tua dariku, Pa!” ucap Brian membela diri.Wira bersidekap dengan rahang mengeras. “Tetap saja sekarang ini dia ibumu, Brian! Minta maaf, cepat!”Brian melirik Sofia yang tidak bisa menahan senyuman. Sambil membuang napas kasar, Brian balik badan dan berkata tajam, “Nggak sudi!”“Brian!”“Sudah, nggak apa-apa.” Sofia menahan lengan Wira yang hendak menghentikan Brian. “Dia memang terbiasa bersikap seperti itu.”“Anak itu memang sering bertindak berlebihan,” ucap Wira menggelengkan kepala. Ditatapnya Sofia yang masih memegang lengannya.“Apa yang tadi dia ucapkan padamu?”“Eh?” Sofia bergerak gelisah di tempatnya. “Itu … bukan apa-apa.”“Bukan apa-apa gimana? Aku lihat, tadi Brian hampir saja memukul kamu.”Sofia tertawa. “Dia memang begitu, suka mengancam. Tapi
“Abang mau menyita tanah Mang Somad, ya?” Sofia mendekat pada Wira yang langsung menyambutnya ke dalam pelukan.“Dia harus membayar utangnya, Sayang.”“Tapi apa harus disita, Bang? Kasian Mang Somad, dia dan keluarganya bergantung pada hasil panen kebun mereka.”Wira menghela napas. Wajahnya menjadi serius, persis seperti yang dikenal Sofia selama ini.“Dia harus tanggung jawab atas utang-utangnya, gimanapun caranya.” Wira melepas pelukan dari bahu Sofia, dan kembali mematut diri di depan cermin.“Apa nggak bisa dibicarakan dulu? Siapa tahu Mang Somad punya cara lain untuk menyicil, Bang.”“Nggak bisa, dia sudah gagal panen selama lima bulan berturut-turut. Kamu sendiri yang bilang, mereka nggak punya penghasilan selain dari hasil kebun.”“Maka dari itu, Bang, kasihlah mereka tenggat waktu.” Sofia memelas pada ujung jas mewah Wira.Wira menangkup pipi istrinya, lalu berkata lembut, “Abang sudah kasih dia waktu lima bulan, lebih lama dari tenggat waktu yang Abang kasih pada orangtuamu.
Walaupun selama memasak Wira terus menggoda Sofia, ia tetap berhasil memasak sayur sawi putih, ayam goreng sederhana dan sambal lezat.“Wah, Abang nggak sabar ingin menyantap habis semuanya!” Wira menggosok tangan penuh semangat saat Sofia menyajikan sepiring penuh nasi dan lauk pauk ke hadapannya.“Jangan dong, Brian kan belum makan. Sisakan buat dia,” ucap Sofia mengingatkan.Wira berdecak, “Ah, dia bilang akan pulang terlambat karena ada acara trekking sama teman-teman sepedanya. Biar saja anak itu beli nasi goreng di tempat si Mamat kalau pulang nanti.”Sofia tersenyum, namun ia tetap menyisihkan sepotong ayam goreng dan semangkuk sayur untuk Brian.“Sayang, Abang ada urusan di kota malam ini, mungkin baru pulang besok siang. Kamu nggak apa-apa, kan, tidur sendiri malam ini?”Sofia kembali tersenyum. “Nggak apa-apa, Bang.”“Kamu jangan senyum terus, nanti Abang nggak mau pergi.”“Lho, ya nggak usah pergi saja,” timpal Sofia santai. Ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan menggoda d
“Dia pakai ini untuk kasih sumbangan ke warga, Pa!” ucap Brian yang mendadak muncul dari lorong kamarnya.Wira bangkit berdiri, dan mengambil kartu debit Sofia dari tangan Brian.“Benar itu, Sofia?”Sofia menunduk. Air matanya menggenang lagi tanpa bisa ditahan. Hinaan Brian semalam, kembali menggaung di telinganya.“Sofia, kamu nggak boleh asal memberi seperti itu pada warga kampung. Nanti mereka ngelunjak! Kamu harus menjaga nama baik Abang di kampung ini, Sofia.”Brian tertawa mengejek. Ia berdiri jumawa di sisi sang ayah, dengan tangan menyuruk saku celana tidurnya.Melihat Sofia menangis, Wira memeluk istrinya tersebut dan berbisik penuh kasih, “Jangan menangis, Sofia, asal tidak kamu ulangi perbuatan itu, Abang maafkan.”Wira menyodorkan kartu debit ke tangan Sofia yang langsung menola
Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini
“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.Brian hanya berdecak mengejek.Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”“Sudahlah, Ban