Share

Menikahi Ayah Temanku
Menikahi Ayah Temanku
Penulis: Juni Rev

001. Pernikahan tak Diinginkan

“Dulu kamu selalu bilang ingin jadi seperti dia, sekarang kamu berkesempatan jadi istrinya!” Dasimah, ibu Sofia, menekan dahi sang anak dengan ujung telunjuk.

“Sofia ingin kuliah ke luar negri kayak dia, bukan jadi istrinya, Bu! Lagian, dia sudah bangkotan, Sofia nggak mau!”

“Bangkotan dari mana, jaga mulutmu, Fia! Usianya baru tiga puluh sembilan, lagi matang-matangnya itu, sembarangan saja kalau ngomong!” omel Dasimah kesal.

Sofia jauh lebih kesal lagi. Ia melirik tidak senang pada pantulan wajahnya yang tertutup riasan tebal pengantin di balik cermin.

“Kita beruntung karena Juragan Wira tidak mengusir kita dari kampung ini, Fia.” Dasimah berlemah lembut lagi. Pasalnya, ia harus segera menggiring Sofia ke luar kamar karena penghulu dan pengantin pria sudah siap di ruang tengah, menunggu kehadiran sang mempelai wanita yang masih merajuk.

“Fia, Ibu minta maaf karena telah melibatkan kamu ke dalam masalah keluarga. Kalau kamu nggak mau, ya nggak apa-apa. Kita bisa batalkan pernikahan ini,” desah Dasimah, seraya bangkit dari sisi Sofia yang masih cemberut.

Air muka Sofia berubah cepat. Diraihnya lengan sang ibu yang menjauh. “Lalu, utang kita sama Juragan Wira bagaimana, Bu?”

Dasimah menatap Sofia dengan kesenduan yang memilukan hati.

“Itu … biar jadi urusan bapakmu. Kamu bisa pergi kuliah ke luar negri seperti impianmu, nggak perlulah memikirkan dua manula di rumah ini. Lagipula, Ibu dan Bapak akan mati juga, entah karena usia atau kuasa Juragan Wira.”

“Bu!” Sofia bangkit cepat, dan memeluk Dasimah yang tidak bisa menahan cengiran lebih lama.

“Ibu jangan bicara begitu. Memangnya Juragan Wira betul-betul akan menghabisi orang yang nggak bisa bayar utang sama dia, ya, Bu?” tanya Sofia lugu.

Dasimah buru-buru menelan rasa geli, dan menampilkan wajah muram sambil mengangguk.

Sofia menggigit bibir cemas. “B-baiklah, Sofia mau menikah sama dia. Asal Bapak dan Ibu selamat.”

“Nah!” Dasimah melonjak kegirangan. Ia kembali sumringah saat menuntun Sofia keluar kamar. “Ini baru anak Ibu!”

Obrolan di ruang tengah berdengung di telinga Sofia kala ia berjalan menunduk menuju meja ijab kabul.

“Akhirnya datang juga sang pengantin wanita,” sambut salah satu saksi, disambut tawa sang mempelai pria, Mahawira Anggabaya, seorang juragan tanah sekaligus penguasa kampung Cibuni.

Sofia mengernyit tidak senang. Ia terbiasa mendengar tawa mengintimidasi Wira setiap kali pria itu tengah menindas para warga.

“Duduk di sini, Dik Sofia, di samping suamimu. Alhamdulillah, akadnya berjalan lancar. Sekarang, kalian resmi sebagai suami istri,” ucap penghulu.

Sofia duduk di samping pria dewasa yang kini telah menjadi suaminya. Mahawira tampil sempurna dalam balutan jas mahal. Ia begitu menawan kalau saja bukan pria berusia tiga puluh sembilan tahun untuk Sofia yang baru saja menginjak usia sembilan belas!

Semua warga Cibuni mengatakan Sofia yang cantik sangat beruntung karena sang juragan tanah mengharuskan dia membayar utang dengan sebuah pernikahan, sementara warga lain yang terlibat kasus serupa, harus rela angkat kaki dari kampung sebagai bayarannya.

“Dik Sofia?”

“Eh?” Sofia mengangkat wajah saat penghulu memanggil namanya. Semua orang terkekeh akan tingkah linglung Sofia yang dianggap sebagai sikap malu-malu pengantin baru.

“Ayo, dicium tangan suamimu, Nak,” tuntun sang penghulu sabar hati.

Sofia menelan ludah. Ia menoleh ke samping dan mendapati Mahawira Anggabaya tersenyum ke arahnya.

Ia tidak bisa menahan rasa mual yang mendadak terasa. Senyuman mencemooh yang biasa dilempar Wira pada seluruh warga kampung, bathin Sofia sebal.

Gadis itu mengangkat tangan Wira, dan menciumnya cepat. Terdengar riuh-rendah para warga yang hadir sebagai saksi.

Tanpa diduga, Wira menyentuh kepala Sofia dan menariknya ke depan.

Cup! Ia mengecup dahi Sofia, lama dan lembut.

Sofia merasakan getaran aneh di dada, sampai ia harus menyentuh bagian muka baju pengantinnya yang dihiasi manik-manik.

“Alhamdulillah,” seru penghulu, melihat keromantisan sang mempelai.

Setelah acara ijab selesai, tiba saatnya sesi ramah-tamah. Mahawira Anggabaya tidak main-main soal pesta yang ia janjikan akan dihelat di hari pernikahan mereka.

Seluruh warga kampung hadir dalam jamuan internasional yang dihadirkan Wira. Alunan musik lembut, menyambut kedatangan para warga yang berpenampilan kontras dengan warna-warna pastel dekorasi.

“Selamat, ya, Juragan!” Mang Baim, pemilik warung kopi yang dimodali Wira, menjabat tangan Wira sambil membungkuk.

Mahawira menyambut semua warganya dengan sumringah. Sofia nyaris lupa bahwa pria di sampingnya itu adalah tirani kejam yang sering menindas orang dengan semena-mena.

“Sofia, kamu cantik sekali!” seloroh Ceu Yeyeh, ketika menjabat tangan Sofia. “Kamu beruntung!”

Sofia cemberut. ‘Beruntung apanya! Sebentar lagi aku akan tinggal satu atap dengan penjajah ini!’

Karena sikap bengisnya, Wira yang pergi bertahun-tahun ke negeri Belanda untuk menimba ilmu kerap dijuluki penjajah oleh para warga.

“Minum ini,” Wira menyodorkan gelas air mineral pada Sofia yang terlonjak kaget. Ia belum terbiasa mendapati kehadiran Wira sedekat ini.

“Nggak usah, aku nggak haus,” kata Sofia, seraya menggeser kakinya mengambil jarak.

Wira ikut bergeser, menempatkan mereka tetap rapat.

“Aku laper, pengin makan,” kata Wira lagi. Ia menunjuk tenda VIP yang dikhususkan untuk keluarga inti, “Kita makan di sana, yuk!”

Sofia menggeleng. “Aku nggak laper. Om Juragan makan duluan aja.”

Wira mengernyit mendengar Sofia tetap memanggilnya Om, kendatipun saat Sofia masih kecil dan ia sudah beranjak dewasa, Sofia dan anak-anak kampung lain terbiasa memanggil dirinya Om Juragan.

“Kok masih panggil Om, aku kan sudah jadi suamimu. Panggil saja Abang.”

Bibir mungil Sofia mengerucut. “Iya, Bang.”

Wira mengangguk puas. “Nah, begitu kan lebih enak didengar.”

Setelah berjam-jam pesta berlangsung, akhirnya Sofia bisa melepas atribut pengantin yang membuatnya pusing.

Sofia menghapus riasan tebal yang menutup wajah dengan pembersih, dan segera mandi. Ia sudah tidak sabar untuk mengenakan pakaian kaos yang biasa dikenakannya.

Alangkah terkejutnya Sofia saat ia kembali dari kamar mandi hanya berbalut handuk, didapatinya Wira tengah berbaring santai sambil memainkan ponsel di atas ranjang.

“Astagfirullah! Om!”

Wira terlonjak kaget mendengar jeritan Sofia.

“K-kenapa, Dek?” katanya tergagap.

Sofia menunjuk Wira dengan jari gemetar, “K-kenapa Om di sini! Keluar! Keluar!”

Wira melompat dari atas ranjang dengan tangan terulur panik. “Eh, eh, jangan teriak! Aduh, kamu kenapa, sih? Sstt!”

Sofia mundur cepat hingga punggungnya menabrak daun pintu. Ia menatap ngeri Wira yang datang mendekat.

“Jangan dekati aku!”

“Lho, kenapa?” Wira balik menatap Sofia bingung. “Aku suamimu!”

Sofia memejamkan mata, menyesal telah diingatkan. “Benar, Om sekarang suamiku.”

“Jangan panggil Om,” keluh Wira keberatan.

“Baiklah, Abang.”

“Nah, begitu lebih baik.”

Tatapan Wira beralih pada tubuh segar Sofia yang hanya berbalut handuk. Gadis itu segera mencengkram simpul handuknya di depan dada defensif.

“A-aku mau pakai baju dulu, Om, eh, Bang. Abang bisa keluar sebentar?”

“Keluar? Kenapa aku harus keluar?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status