Sofia menatap Wira ketakutan. “K-karena aku harus pakai baju.”
“Pakai saja.”
“T-tapi Om gak boleh lihat.”
“Om lagi!” keluh Wira menggaruk kepalanya gusar.
Sofia menunduk. Ia ingin berlari keluar kamar, dan bersembunyi di balik punggung orangtuanya seperti biasa ia lakukan setiap kali dimarahi oleh ajudan Juragan Wira saat menghalangi jalan sang juragan yang tengah keliling kampung kala tengah bermain.
“Sofia, aku ini suamimu. Jangankan cuma lihat, aku bahkan berhak atas seluruh tubuh kamu.” Wira balik badan, dan kembali naik ke atas ranjang tidur Sofia yang berkeriut lemah ketika tubuh tegap Wira merebah.
Wira menepuk ruang kosong di sisinya, dan tersenyum. “Kemarilah, Sofia, berbaring di sisiku.”
Sofia semakin merapat ke daun pintu, berharap bisa menembus ke baliknya.
“A-aku … belum siap, Om, maksudku … Bang.”
Wira berdecak tidak sabar.
“Sofia, aku akan melakukannya dengan lembut. Kemari, Sayang.”
“Nggak mau.”
“Kok nggak mau? Itu kewajiban kamu!” suara Wira kembali meninggi, persis seperti yang biasa Sofia dengar saat Wira memarahi warga kampung.
Sofia menunduk takut. Ia masih mencengkram balutan handuk dengan tangan gemetar.
“Baiklah, aku akan beri kamu waktu. Malam ini, kita pulang ke rumahku, dan kita akan melakukannya di sana.” Wira bangkit dari ranjang, dan mendekat ke arah pintu.
Sofia mengerut di tempat, terlebih saat Wira memajukan tubuh begitu dekat hingga Sofia bisa menghidu aroma maskulin yang menguar dari lehernya.
Wira mencium puncak kepala Sofia, dan berbisik lembut, “Menyingkirlah, aku tidak bisa membuka pintu kalau kamu nangkring terus di situ!”
***
“Aduh! Hati-hati, hey! Budak baong! (anak nakal!)”
Lagi-lagi umpatan yang hanya berani digumamkan warga, terdengar malam itu. Kelebatan segerombol remaja di atas sepeda downhill, saling melesat menuruni lereng curam menuju kaki bukit.
Beberapa di antaranya tidak sengaja menyenggol warga yang tengah panen hasil kebun, dan para pedagang kaki lima. Namun semua orang tahu, siapa yang tengah mereka hadapi. Tidak ada yang berani dengan lantang menegur para pembalap sepeda tersebut.
Brian Mahesa memacu pedal sepeda menuruni jalan terjal yang terus melandai. Keringatnya turun ke pelipis, dan kering seketika tersapu angin malam.
Ia melepas amarah yang sejak pagi mangkal di hati. Saat ia tiba di kaki bukit, Brian dengan lihai melompati gundukan tanah dan mengerem sepeda tepat waktu, menyisakan cipratan lumpur ke sisi jurang.
“Keren, Yan!” seru teman-temannya yang tak lama datang menyusul.
Brian membanting sepeda di tanah, dan melepas helm. Ia menyambut kepalan tangan teman-temannya yang adu tos sebagai apresiasi satu sama lain.
“Ayahmu menikah hari ini, kan, Yan? Kok kamu malah keluyuran turun gunung sama kita?” tanya Haris, teman baiknya.
“Iya, Yan,” timpal teman-temannya yang lain.
Brian cemberut. Ia menghempaskan diri di tanah dan mendengus kuat-kuat.
“Yang nikah kan dia, bukan aku!”
“Kamu kan anaknya. Kok nggak hadir?” Haris ikut duduk di sisi Brian, tidak menyadari roman kesal di wajah Brian.
“Bukan urusan kamu,” ucap Brian mengkal. Ia kembali naik ke sepedanya dan menatap Haris kesal.
“Aku nginap di rumahmu ya malam ini.”
“Hah? Menginap? Emang dibolehin sama papamu?”
Brian mengedikan bahu. “Dia nggak akan tahu aku nggak pulang.” Brian membayangkan sang ayah tengah asik bermesraan dengan istri barunya.
Haris mengangguk ringan. “Nggak masalah,” katanya sambil ikut naik ke atas sepeda.
Mereka bersepeda santai menuju jalan pulang. Langit temaram membuat kumpulan pembalap sepeda itu harus memasang senter di bagian stang sepeda agar tidak terperosok masuk jurang.
“Omong-omong, keren juga papamu bisa menikahi Sofia. Dia gadis paling cantik di kampung kita, kan.” Haris yang lagi-lagi tidak peka akan rasa marah Brian, berceloteh riang. Mereka sengaja melambatkan laju sepeda, membuat keduanya terpisah jauh dari sisa rombongan.
“Keren apanya! Sofia itu anak petani miskin!” ejek Brian keji. Ia tidak senang dengan kenyataan bahwa ayahnya menikahi gadis belia seusia dirinya.
“Tapi kamu sempat suka, kan, sama dia?” Haris cekikikan.
Dengan marah, Brian menendang sepeda Haris hingga kawannya itu terjatuh.
“Kamu sudah bosan jadi temanku, ya!” hardik Brian berang.
Haris mengusap sikutnya yang tergores. “Eh, sorry, Yan, tapi memang kamu pernah suka sama dia, kan?”
“Haris! Nggak ada yang tahu aku pernah suka sama Sofia, kecuali kamu!”
Haris terkekeh. “Iya, deh … sorry!”
“Jangan pernah ungkit hal ini sama siapapun, ya! Terutama di depan Papa!” ancam Brian sungguh-sungguh.
Haris mengangguk, tapi tak yakin Brian bisa melihatnya karena keadaan sekitar sudah sangat gelap.
“Lebih baik kita ngebut, Yan, langit sudah sangat gelap,” ucap Haris khawatir. Ia kembali naik ke atas sepeda, dan melaju cepat menyusul Brian yang sudah lebih dulu meluncur ke lereng bukit.
***
Sofia membiarkan Wira menyeret kopernya keluar kamar. Pria dewasa yang tampan itu berpamitan pada kedua orangtua Sofia.
“Saya akan bawa Sofia ke rumah, Bu,” ucap Wira seraya mencium tangan Dasimah. Sungguh pemandangan sulit dipercaya, mengingat Wira dikenal sebagai sosok angkuh dan tak tersentuh.
Dasimah tidak bisa menahan cengirannya saat sang juragan tanah membungkuk hormat di hadapannya.
“Hati-hati, ya, Den Juragan, maaf sudah merepotkan,” kata Dasimah ceria. Ia tidak tampak seperti orang yang terpaksa menyerahkan anak gadisnya demi membayar tunggakan utang.
Wira mengangguk, dan bergantian menyalami Susanto. Ayah Sofia terlihat jauh lebih murung ketimbang istrinya.
“Saya pergi dulu, Pak.” Wira mencium punggung tangan keriput Susanto yang legam terbakar matahari.
Susanto hanya mengangguk.
Giliran Sofia berpamitan. Ia memeluk Dasimah, berharap orangtuanya akan menahan kepergian Sofia.
“Bu, Fia pamit.”
“Jangan nakal, turuti perintah suamimu! Jaga diri baik-baik,” ucap Dasimah memberi petuah.
Susanto melepas Sofia dengan satu dekapan erat dan sepenggal kata maaf. Sofia menangis dalam pelukan sang ayah.
“Fia nggak mau pergi, Pak,” rengek Sofia serak.
Susanto menggosok punggung Sofia yang terguncang.
“Maafkan Bapak, Nak.”
“Sudah, sudah! Jangan menangis, nggak enak sama Den Juragan!” Dasimah menarik bahu Sofia dan mendorongnya ke sisi Wira yang menunggu tanpa kata.
Wira melingkarkan tangan di bahu Sofia dan menyeretnya pergi. Mobil gunung mewah milik Wira telah siap di halaman depan rumah. Sopir sekaligus ajudan pribadi Wira, membuka pintu belakang mobil dan mempersilakan tuannya masuk.
“Masuk,” perintah Wira sambil menepi, memberi ruang untuk Sofia memanjat naik ke dalam mobil.
Sofia menghela napas sebelum menuruti perintah suaminya. Namun sebuah panggilan menghentikan langkah Sofia.
“Fia? Fia!”
Sofia menoleh, dan mendapati kekasihnya berlari cepat ke halaman rumah.
“Rean!”
Wira yang tidak senang akan kehadiran Rean, memberi isyarat pada sang ajudan agar menindaklanjuti kehadiran tak diinginkan tersebut.
Dengan sigap, ajudan itu menghadang Rean di muka gerbang rumah, dan memperingatinya tajam.
“Jangan masuk, ini ranah pribadi.”
“Saya hanya ingin bertemu Sofia, Pak,” ucap Rean yang masih mengenakan pakaian koko selepas pengajian bada Isya.
“Juragan tidak mengizinkannya,” ucap ajudan dengan wajah kaku.
Rean menghela napas. Ia hanya bisa menatap hampa ke arah Sofia yang dipaksa Wira masuk ke dalam mobil.Setelah memastikan kedua tuannya masuk, barulah ajudan itu kembali ke balik kemudi dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi, menyisakan kepulan debu di hadapan Rean yang merana.Sofia menatap ke luar jendela sambil sesekali mengusap air mata.Wira mengenakan kacamata yang menyembunyikan sorot tegas matanya, dan mendengus keras-keras.“Kamu nggak boleh berhubungan lagi dengan anak itu!” kata Wira tajam.Sofia tidak menjawab. Ia tahu, pucuk cintanya pada Rean harus ditebang habis.Setibanya mereka di rumah mewah Wira, Sofia langsung dibawa ke dalam kamar utama. Inilah pertama kali Sofia masuk ke dalam rumah kendatipun separuh hidupnya ia sering datang berkunjung untuk menemani sang ibu membayar cicilan utang. Seperti warga lainnya yang datang dengan keperluan serupa, ia hanya diizinkan masuk sampai batas balkon depan.“Sekarang ini rumahmu juga,” ucap Wira, merangkul Sofia ke dalam dek
“Papa nggak pernah ajari kamu bersikap tidak sopan sama yang lebih tua.” Wira mengedikan kepala ke arah tangan Brian yang masih teracung di depan wajah Sofia.“Turunkan tanganmu,” perintah Wira tegas dan tenang.“Dia nggak lebih tua dariku, Pa!” ucap Brian membela diri.Wira bersidekap dengan rahang mengeras. “Tetap saja sekarang ini dia ibumu, Brian! Minta maaf, cepat!”Brian melirik Sofia yang tidak bisa menahan senyuman. Sambil membuang napas kasar, Brian balik badan dan berkata tajam, “Nggak sudi!”“Brian!”“Sudah, nggak apa-apa.” Sofia menahan lengan Wira yang hendak menghentikan Brian. “Dia memang terbiasa bersikap seperti itu.”“Anak itu memang sering bertindak berlebihan,” ucap Wira menggelengkan kepala. Ditatapnya Sofia yang masih memegang lengannya.“Apa yang tadi dia ucapkan padamu?”“Eh?” Sofia bergerak gelisah di tempatnya. “Itu … bukan apa-apa.”“Bukan apa-apa gimana? Aku lihat, tadi Brian hampir saja memukul kamu.”Sofia tertawa. “Dia memang begitu, suka mengancam. Tapi
“Abang mau menyita tanah Mang Somad, ya?” Sofia mendekat pada Wira yang langsung menyambutnya ke dalam pelukan.“Dia harus membayar utangnya, Sayang.”“Tapi apa harus disita, Bang? Kasian Mang Somad, dia dan keluarganya bergantung pada hasil panen kebun mereka.”Wira menghela napas. Wajahnya menjadi serius, persis seperti yang dikenal Sofia selama ini.“Dia harus tanggung jawab atas utang-utangnya, gimanapun caranya.” Wira melepas pelukan dari bahu Sofia, dan kembali mematut diri di depan cermin.“Apa nggak bisa dibicarakan dulu? Siapa tahu Mang Somad punya cara lain untuk menyicil, Bang.”“Nggak bisa, dia sudah gagal panen selama lima bulan berturut-turut. Kamu sendiri yang bilang, mereka nggak punya penghasilan selain dari hasil kebun.”“Maka dari itu, Bang, kasihlah mereka tenggat waktu.” Sofia memelas pada ujung jas mewah Wira.Wira menangkup pipi istrinya, lalu berkata lembut, “Abang sudah kasih dia waktu lima bulan, lebih lama dari tenggat waktu yang Abang kasih pada orangtuamu.
Walaupun selama memasak Wira terus menggoda Sofia, ia tetap berhasil memasak sayur sawi putih, ayam goreng sederhana dan sambal lezat.“Wah, Abang nggak sabar ingin menyantap habis semuanya!” Wira menggosok tangan penuh semangat saat Sofia menyajikan sepiring penuh nasi dan lauk pauk ke hadapannya.“Jangan dong, Brian kan belum makan. Sisakan buat dia,” ucap Sofia mengingatkan.Wira berdecak, “Ah, dia bilang akan pulang terlambat karena ada acara trekking sama teman-teman sepedanya. Biar saja anak itu beli nasi goreng di tempat si Mamat kalau pulang nanti.”Sofia tersenyum, namun ia tetap menyisihkan sepotong ayam goreng dan semangkuk sayur untuk Brian.“Sayang, Abang ada urusan di kota malam ini, mungkin baru pulang besok siang. Kamu nggak apa-apa, kan, tidur sendiri malam ini?”Sofia kembali tersenyum. “Nggak apa-apa, Bang.”“Kamu jangan senyum terus, nanti Abang nggak mau pergi.”“Lho, ya nggak usah pergi saja,” timpal Sofia santai. Ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan menggoda d
“Dia pakai ini untuk kasih sumbangan ke warga, Pa!” ucap Brian yang mendadak muncul dari lorong kamarnya.Wira bangkit berdiri, dan mengambil kartu debit Sofia dari tangan Brian.“Benar itu, Sofia?”Sofia menunduk. Air matanya menggenang lagi tanpa bisa ditahan. Hinaan Brian semalam, kembali menggaung di telinganya.“Sofia, kamu nggak boleh asal memberi seperti itu pada warga kampung. Nanti mereka ngelunjak! Kamu harus menjaga nama baik Abang di kampung ini, Sofia.”Brian tertawa mengejek. Ia berdiri jumawa di sisi sang ayah, dengan tangan menyuruk saku celana tidurnya.Melihat Sofia menangis, Wira memeluk istrinya tersebut dan berbisik penuh kasih, “Jangan menangis, Sofia, asal tidak kamu ulangi perbuatan itu, Abang maafkan.”Wira menyodorkan kartu debit ke tangan Sofia yang langsung menola
Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini
“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.Brian hanya berdecak mengejek.Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”“Sudahlah, Ban
“Hm?”“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih