Share

002. Sentuhan Pertama

Sofia menatap Wira ketakutan. “K-karena aku harus pakai baju.”

“Pakai saja.”

“T-tapi Om gak boleh lihat.”

“Om lagi!” keluh Wira menggaruk kepalanya gusar.

Sofia menunduk. Ia ingin berlari keluar kamar, dan bersembunyi di balik punggung orangtuanya seperti biasa ia lakukan setiap kali dimarahi oleh ajudan Juragan Wira saat menghalangi jalan sang juragan yang tengah keliling kampung kala tengah bermain.

“Sofia, aku ini suamimu. Jangankan cuma lihat, aku bahkan berhak atas seluruh tubuh kamu.” Wira balik badan, dan kembali naik ke atas ranjang tidur Sofia yang berkeriut lemah ketika tubuh tegap Wira merebah.

Wira menepuk ruang kosong di sisinya, dan tersenyum. “Kemarilah, Sofia, berbaring di sisiku.”

Sofia semakin merapat ke daun pintu, berharap bisa menembus ke baliknya.

“A-aku … belum siap, Om, maksudku … Bang.”

Wira berdecak tidak sabar.

“Sofia, aku akan melakukannya dengan lembut. Kemari, Sayang.”

“Nggak mau.”

“Kok nggak mau? Itu kewajiban kamu!” suara Wira kembali meninggi, persis seperti yang biasa Sofia dengar saat Wira memarahi warga kampung.

Sofia menunduk takut. Ia masih mencengkram balutan handuk dengan tangan gemetar.

“Baiklah, aku akan beri kamu waktu. Malam ini, kita pulang ke rumahku, dan kita akan melakukannya di sana.” Wira bangkit dari ranjang, dan mendekat ke arah pintu.

Sofia mengerut di tempat, terlebih saat Wira memajukan tubuh begitu dekat hingga Sofia bisa menghidu aroma maskulin yang menguar dari lehernya.

Wira mencium puncak kepala Sofia, dan berbisik lembut, “Menyingkirlah, aku tidak bisa membuka pintu kalau kamu nangkring terus di situ!”

***

“Aduh! Hati-hati, hey! Budak baong! (anak nakal!)”

Lagi-lagi umpatan yang hanya berani digumamkan warga, terdengar malam itu. Kelebatan segerombol remaja di atas sepeda downhill, saling melesat menuruni lereng curam menuju kaki bukit.

Beberapa di antaranya tidak sengaja menyenggol warga yang tengah panen hasil kebun, dan para pedagang kaki lima. Namun semua orang tahu, siapa yang tengah mereka hadapi. Tidak ada yang berani dengan lantang menegur para pembalap sepeda tersebut.

Brian Mahesa memacu pedal sepeda menuruni jalan terjal yang terus melandai. Keringatnya turun ke pelipis, dan kering seketika tersapu angin malam.

Ia melepas amarah yang sejak pagi mangkal di hati. Saat ia tiba di kaki bukit, Brian dengan lihai melompati gundukan tanah dan mengerem sepeda tepat waktu, menyisakan cipratan lumpur ke sisi jurang.

“Keren, Yan!” seru teman-temannya yang tak lama datang menyusul.

Brian membanting sepeda di tanah, dan melepas helm. Ia menyambut kepalan tangan teman-temannya yang adu tos sebagai apresiasi satu sama lain.

“Ayahmu menikah hari ini, kan, Yan? Kok kamu malah keluyuran turun gunung sama kita?” tanya Haris, teman baiknya.

“Iya, Yan,” timpal teman-temannya yang lain.

Brian cemberut. Ia menghempaskan diri di tanah dan mendengus kuat-kuat.

“Yang nikah kan dia, bukan aku!”

“Kamu kan anaknya. Kok nggak hadir?” Haris ikut duduk di sisi Brian, tidak menyadari roman kesal di wajah Brian.

“Bukan urusan kamu,” ucap Brian mengkal. Ia kembali naik ke sepedanya dan menatap Haris kesal.

“Aku nginap di rumahmu ya malam ini.”

“Hah? Menginap? Emang dibolehin sama papamu?”

Brian mengedikan bahu. “Dia nggak akan tahu aku nggak pulang.” Brian membayangkan sang ayah tengah asik bermesraan dengan istri barunya.

Haris mengangguk ringan. “Nggak masalah,” katanya sambil ikut naik ke atas sepeda.

Mereka bersepeda santai menuju jalan pulang. Langit temaram membuat kumpulan pembalap sepeda itu harus memasang senter di bagian stang sepeda agar tidak terperosok masuk jurang.

“Omong-omong, keren juga papamu bisa menikahi Sofia. Dia gadis paling cantik di kampung kita, kan.” Haris yang lagi-lagi tidak peka akan rasa marah Brian, berceloteh riang. Mereka sengaja melambatkan laju sepeda, membuat keduanya terpisah jauh dari sisa rombongan.

“Keren apanya! Sofia itu anak petani miskin!” ejek Brian keji. Ia tidak senang dengan kenyataan bahwa ayahnya menikahi gadis belia seusia dirinya.

“Tapi kamu sempat suka, kan, sama dia?” Haris cekikikan.

Dengan marah, Brian menendang sepeda Haris hingga kawannya itu terjatuh.

“Kamu sudah bosan jadi temanku, ya!” hardik Brian berang.

Haris mengusap sikutnya yang tergores. “Eh, sorry, Yan, tapi memang kamu pernah suka sama dia, kan?”

“Haris! Nggak ada yang tahu aku pernah suka sama Sofia, kecuali kamu!”

Haris terkekeh. “Iya, deh … sorry!”

“Jangan pernah ungkit hal ini sama siapapun, ya! Terutama di depan Papa!” ancam Brian sungguh-sungguh.

Haris mengangguk, tapi tak yakin Brian bisa melihatnya karena keadaan sekitar sudah sangat gelap.

“Lebih baik kita ngebut, Yan, langit sudah sangat gelap,” ucap Haris khawatir. Ia kembali naik ke atas sepeda, dan melaju cepat menyusul Brian yang sudah lebih dulu meluncur ke lereng bukit.

***

Sofia membiarkan Wira menyeret kopernya keluar kamar. Pria dewasa yang tampan itu berpamitan pada kedua orangtua Sofia.

“Saya akan bawa Sofia ke rumah, Bu,” ucap Wira seraya mencium tangan Dasimah. Sungguh pemandangan sulit dipercaya, mengingat Wira dikenal sebagai sosok angkuh dan tak tersentuh.

Dasimah tidak bisa menahan cengirannya saat sang juragan tanah membungkuk hormat di hadapannya.

“Hati-hati, ya, Den Juragan, maaf sudah merepotkan,” kata Dasimah ceria. Ia tidak tampak seperti orang yang terpaksa menyerahkan anak gadisnya demi membayar tunggakan utang.

Wira mengangguk, dan bergantian menyalami Susanto. Ayah Sofia terlihat jauh lebih murung ketimbang istrinya.

“Saya pergi dulu, Pak.” Wira mencium punggung tangan keriput Susanto yang legam terbakar matahari.

Susanto hanya mengangguk.

Giliran Sofia berpamitan. Ia memeluk Dasimah, berharap orangtuanya akan menahan kepergian Sofia.

“Bu, Fia pamit.”

“Jangan nakal, turuti perintah suamimu! Jaga diri baik-baik,” ucap Dasimah memberi petuah.

Susanto melepas Sofia dengan satu dekapan erat dan sepenggal kata maaf. Sofia menangis dalam pelukan sang ayah.

“Fia nggak mau pergi, Pak,” rengek Sofia serak.

Susanto menggosok punggung Sofia yang terguncang.

“Maafkan Bapak, Nak.”

“Sudah, sudah! Jangan menangis, nggak enak sama Den Juragan!” Dasimah menarik bahu Sofia dan mendorongnya ke sisi Wira yang menunggu tanpa kata.

Wira melingkarkan tangan di bahu Sofia dan menyeretnya pergi. Mobil gunung mewah milik Wira telah siap di halaman depan rumah. Sopir sekaligus ajudan pribadi Wira, membuka pintu belakang mobil dan mempersilakan tuannya masuk.

“Masuk,” perintah Wira sambil menepi, memberi ruang untuk Sofia memanjat naik ke dalam mobil.

Sofia menghela napas sebelum menuruti perintah suaminya. Namun sebuah panggilan menghentikan langkah Sofia.

“Fia? Fia!”

Sofia menoleh, dan mendapati kekasihnya berlari cepat ke halaman rumah.

“Rean!”

Wira yang tidak senang akan kehadiran Rean, memberi isyarat pada sang ajudan agar menindaklanjuti kehadiran tak diinginkan tersebut.

Dengan sigap, ajudan itu menghadang Rean di muka gerbang rumah, dan memperingatinya tajam.

“Jangan masuk, ini ranah pribadi.”

“Saya hanya ingin bertemu Sofia, Pak,” ucap Rean yang masih mengenakan pakaian koko selepas pengajian bada Isya.

“Juragan tidak mengizinkannya,” ucap ajudan dengan wajah kaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status