Share

003. Tersesat

Rean menghela napas. Ia hanya bisa menatap hampa ke arah Sofia yang dipaksa Wira masuk ke dalam mobil.

Setelah memastikan kedua tuannya masuk, barulah ajudan itu kembali ke balik kemudi dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi, menyisakan kepulan debu di hadapan Rean yang merana.

Sofia menatap ke luar jendela sambil sesekali mengusap air mata.

Wira mengenakan kacamata yang menyembunyikan sorot tegas matanya, dan mendengus keras-keras.

“Kamu nggak boleh berhubungan lagi dengan anak itu!” kata Wira tajam.

Sofia tidak menjawab. Ia tahu, pucuk cintanya pada Rean harus ditebang habis.

Setibanya mereka di rumah mewah Wira, Sofia langsung dibawa ke dalam kamar utama. Inilah pertama kali Sofia masuk ke dalam rumah kendatipun separuh hidupnya ia sering datang berkunjung untuk menemani sang ibu membayar cicilan utang. Seperti warga lainnya yang datang dengan keperluan serupa, ia hanya diizinkan masuk sampai batas balkon depan.

“Sekarang ini rumahmu juga,” ucap Wira, merangkul Sofia ke dalam dekapannya. Sofia menahan diri, namun ia tidak cukup kuat melawan lengan kokoh Wira yang melingkari bahu.

Wira melepas jasnya dan duduk di sisi ranjang bertiang empat. Ranjang yang sangat luas bahkan jika seluruh keluarga Sofia ikut tidur bersamaan.

Wira menggiring Sofia duduk di sisinya, dan mengangkat dagu Sofia yang sejak tadi terus menunduk.

“Adakah yang kamu inginkan, Sofia?” tanya Wira kemudian.

Itulah pertama kalinya Sofia menatap wajah Wira secara langsung begitu dekat. Sampai-sampai Sofia bisa merasakan embusan napas Wira yang terasa panas di wajahnya.

“M-maksud Abang?”

“Katakan saja, kamu mau mobil? Bisa kamu pakai keliling kampung, atau pergi jalan-jalan ke kota.” Wira mengatakan itu sambil menatap lekat setiap lekuk wajah Sofia yang menawan.

Sofia tahu wajahnya memerah karena malu, tapi ia tidak bisa menyingkirkan tangan Wira di dagunya karena ketampanan Wira membuat seluruh saraf Sofia melemah.

Garis wajah Wira yang sempurna bergerak semakin dekat ke arah Sofia, dan saat permukaan lembut bibir Wira mendarat di bibirnya, pandangan Sofia mulai mengabur.

“Jangan menangis,” bisik Wira, ia memagut kelopak bibir ranum Sofia semakin lama semakin membara.

Sofia tidak melawan, tidak juga merespon. Ia membiarkan Wira mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk saat suaminya itu mengangkat tubuh Sofia ke atas ranjang dan menjamahnya penuh kelembutan.

“Katakan jika ini terasa sakit, ya,” ucap Wira dalam selaan napas berat.

Sofia memejamkan mata erat, memasrahkan diri seutuhnya. Wira menjelajah setiap jengkal kulit Sofia yang lembut dan segar dengan sangat perlahan.

Sofia yang merasa nyaman, membuka mata untuk mendapati Wira tengah tersenyum padanya.

“Aku ingin kamu menikmatinya juga, Sofia.” Wira yang sejak tadi berada di atas Sofia, berguling ke sisi ranjang dan berkata tenang, “Kita akan melakukannya hanya jika kamu sudah merasa siap.”

Sofia mengatur napas, dan berkata lirih, “T-terima kasih, Bang.”

Karena lelah sehabis pesta sepanjang hari, Sofia tertidur dengan cepat. Ranjang empuk dan nyaman milik Wira membuai Sofia ke dalam tidur nyenyak tanpa mimpi.

Keesokan harinya, Sofia bangun lebih dulu dari Wira. Pria itu terlelap di sisi Sofia, dengan lengan memeluk tubuh Sofia erat.

Sofia menyingkirkan lengan kokoh Wira dari pinggangnya, dan berjingkat menuju kamar mandi. Sehabis membersihkan diri dan menunaikan shalat, Sofia berinisiatif untuk membuat sarapan.

Ia hilir mudik di dalam rumah luas itu, mencari arah yang benar menuju dapur, hingga akhirnya ia tiba di satu ruangan besar menuju sebuah pintu yang terbuka.

Tanpa pikir panjang, Sofia masuk ke dalamnya dan sangat terkejut saat melihat Brian Mahesa tengah bertelanjang dada.

“Aaargh!” jerit Sofia mengejutkan Brian yang baru saja membuka kausnya.

“Aaargh!” Brian ikut berteriak. Ia sangat kaget melihat kehadiran Sofia yang begitu mendadak di ambang pintu kamarnya.

“Ngapain kamu ke sini!” bentak Brian, seraya mengenakan kembali kausnya yang bau keringat sehabis balapan sepeda tadi malam.

“B-brian?”

“Iya, ini aku!” sungut Brian ketus. Diliriknya Sofia yang tercengang, “Kenapa kaget begitu? Ini kan rumahku!”

Sofia yang baru sadar akan hal ini, memalingkan wajah dengan perasaan kacau. Ia telah menikahi seorang pria yang memiliki anak seusia dirinya.

“Maaf … aku tadi mau ke dapur,” ucap Sofia salah tingkah.

Brian berjalan mendekatinya, dan mendengus keras. “Dapur ada di bagian belakang rumah, ngapain kamu ke kamarku! Lagian, kenapa nggak tanya Papa, sih?”

“Itu … um, Abang masih tidur … eh.” Wajah Sofia memerah karena memanggil Wira dengan sebutan Abang di depan teman sekaligus anak tirinya sendiri.

Brian tertawa mengejek. Ia berkacak pinggang superior seperti kebiasaannya, dan berkata sinis, “Gimana rasanya menikahi Papaku? Enak dong sekarang kamu bisa pamer keliling kampung pakai harta Papa! Sudah minta apa kamu sama Papa? Mobil? Kartu kredit?”

“Aku nggak minta apa-apa sama Papamu! Lagipula, aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini!” balas Sofia sengit. Ucapan Brian telah melukai harga dirinya.

Brian tertawa lebih keras membuat Sofia jengkel. “Nggak ingin tapi kok nggak protes?”

Sofia menatap Brian tajam. “Kamu tahu Papamu, Brian! Dia bisa memaksa kita melakukan semua keinginannya! Sebagai warga biasa, aku nggak bisa mengelak!”

“Nah, itu tahu!” Sebelah alis Brian menukik naik. “Tanpa Papa, kamu memang warga biasa! Jadi jelas, kan, sekalipun kamu sudah menikahi Papa, jangan harap bisa mengaturku seperti anakmu sendiri!”

Sofia tercengang, namun dengan cepat bisa mengendalikan diri. Ini bukanlah pertama kalinya ia terlibat adu mulut dengan Brian. Sejak dulu, Brian memang kerap membuat onar dan menindas anak-anak seusianya di kampung.

“Jangan khawatir, aku nggak akan mengurusi hidupmu, dan alangkah lebih baiknya kamu juga tidak mencampuri urusanku.” Sofia mengangkat wajah, sebelum balik badan menuju bagian belakang rumah.

Brian mengikutinya cepat, dan saat Sofia menoleh, Brian melotot galak padanya.

“Apa? Ini rumahku, terserah aku dong mau ke mana!” hardik Brian galak.

“Memang terserah, tapi kamu nggak boleh mengikutiku.” Sofia mengibas rambutnya ke balik bahu.

Brian terkekeh menyebalkan, “Ngikutin kamu? Dih, ngapain? Males banget!”

“Dari dulu kamu memang suka ngikutin aku, kan?” ucap Sofia menghapus cengiran di wajah Brian.

“Jaga mulut kamu!”

“Kamu yang seharusnya jaga sikap!” balas Sofia tidak mau kalah. Ia sudah mahir meladeni sikap menyebalkan Brian yang sering kumat jika Sofia mengungkit masa lalu mereka.

“Aku bisa kasih tahu papamu kapanpun, tentang anaknya yang kasih bunga sebagai kado valentine sama teman kelasnya!”

“Sofia! Jangan ungkit cerita lama!” Brian mengangkat tangan sebagai ancaman.

“Lama? Itu kan kamu lakukan tahun lalu, Yan. Sayang aku sudah punya Rean, jadi, dengan berat hati kutolak hadiahmu.”

“Brengsek kamu!” Brian siap menyerang Sofia, namun sebuah suara menghentikannya.

“Brian! Sopan sedikit sama ibumu!” bentak Wira yang baru saja bangun. Ia berdiri tegap di belakang Brian dan Sofia yang langsung terdiam seperti dua anak ketahuan berbuat nakal oleh ayahnya.

Jantung Sofia nyaris copot saat mendengar suara Wira yang tegas, begitu juga Brian. Mereka saling melempar tatap, takut jika percakapan tadi terdengar Wira.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status