Rean menghela napas. Ia hanya bisa menatap hampa ke arah Sofia yang dipaksa Wira masuk ke dalam mobil.
Setelah memastikan kedua tuannya masuk, barulah ajudan itu kembali ke balik kemudi dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi, menyisakan kepulan debu di hadapan Rean yang merana.
Sofia menatap ke luar jendela sambil sesekali mengusap air mata.
Wira mengenakan kacamata yang menyembunyikan sorot tegas matanya, dan mendengus keras-keras.
“Kamu nggak boleh berhubungan lagi dengan anak itu!” kata Wira tajam.
Sofia tidak menjawab. Ia tahu, pucuk cintanya pada Rean harus ditebang habis.
Setibanya mereka di rumah mewah Wira, Sofia langsung dibawa ke dalam kamar utama. Inilah pertama kali Sofia masuk ke dalam rumah kendatipun separuh hidupnya ia sering datang berkunjung untuk menemani sang ibu membayar cicilan utang. Seperti warga lainnya yang datang dengan keperluan serupa, ia hanya diizinkan masuk sampai batas balkon depan.
“Sekarang ini rumahmu juga,” ucap Wira, merangkul Sofia ke dalam dekapannya. Sofia menahan diri, namun ia tidak cukup kuat melawan lengan kokoh Wira yang melingkari bahu.
Wira melepas jasnya dan duduk di sisi ranjang bertiang empat. Ranjang yang sangat luas bahkan jika seluruh keluarga Sofia ikut tidur bersamaan.
Wira menggiring Sofia duduk di sisinya, dan mengangkat dagu Sofia yang sejak tadi terus menunduk.
“Adakah yang kamu inginkan, Sofia?” tanya Wira kemudian.
Itulah pertama kalinya Sofia menatap wajah Wira secara langsung begitu dekat. Sampai-sampai Sofia bisa merasakan embusan napas Wira yang terasa panas di wajahnya.
“M-maksud Abang?”
“Katakan saja, kamu mau mobil? Bisa kamu pakai keliling kampung, atau pergi jalan-jalan ke kota.” Wira mengatakan itu sambil menatap lekat setiap lekuk wajah Sofia yang menawan.
Sofia tahu wajahnya memerah karena malu, tapi ia tidak bisa menyingkirkan tangan Wira di dagunya karena ketampanan Wira membuat seluruh saraf Sofia melemah.
Garis wajah Wira yang sempurna bergerak semakin dekat ke arah Sofia, dan saat permukaan lembut bibir Wira mendarat di bibirnya, pandangan Sofia mulai mengabur.
“Jangan menangis,” bisik Wira, ia memagut kelopak bibir ranum Sofia semakin lama semakin membara.
Sofia tidak melawan, tidak juga merespon. Ia membiarkan Wira mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk saat suaminya itu mengangkat tubuh Sofia ke atas ranjang dan menjamahnya penuh kelembutan.
“Katakan jika ini terasa sakit, ya,” ucap Wira dalam selaan napas berat.
Sofia memejamkan mata erat, memasrahkan diri seutuhnya. Wira menjelajah setiap jengkal kulit Sofia yang lembut dan segar dengan sangat perlahan.
Sofia yang merasa nyaman, membuka mata untuk mendapati Wira tengah tersenyum padanya.
“Aku ingin kamu menikmatinya juga, Sofia.” Wira yang sejak tadi berada di atas Sofia, berguling ke sisi ranjang dan berkata tenang, “Kita akan melakukannya hanya jika kamu sudah merasa siap.”
Sofia mengatur napas, dan berkata lirih, “T-terima kasih, Bang.”
Karena lelah sehabis pesta sepanjang hari, Sofia tertidur dengan cepat. Ranjang empuk dan nyaman milik Wira membuai Sofia ke dalam tidur nyenyak tanpa mimpi.
Keesokan harinya, Sofia bangun lebih dulu dari Wira. Pria itu terlelap di sisi Sofia, dengan lengan memeluk tubuh Sofia erat.
Sofia menyingkirkan lengan kokoh Wira dari pinggangnya, dan berjingkat menuju kamar mandi. Sehabis membersihkan diri dan menunaikan shalat, Sofia berinisiatif untuk membuat sarapan.
Ia hilir mudik di dalam rumah luas itu, mencari arah yang benar menuju dapur, hingga akhirnya ia tiba di satu ruangan besar menuju sebuah pintu yang terbuka.
Tanpa pikir panjang, Sofia masuk ke dalamnya dan sangat terkejut saat melihat Brian Mahesa tengah bertelanjang dada.
“Aaargh!” jerit Sofia mengejutkan Brian yang baru saja membuka kausnya.
“Aaargh!” Brian ikut berteriak. Ia sangat kaget melihat kehadiran Sofia yang begitu mendadak di ambang pintu kamarnya.
“Ngapain kamu ke sini!” bentak Brian, seraya mengenakan kembali kausnya yang bau keringat sehabis balapan sepeda tadi malam.
“B-brian?”
“Iya, ini aku!” sungut Brian ketus. Diliriknya Sofia yang tercengang, “Kenapa kaget begitu? Ini kan rumahku!”
Sofia yang baru sadar akan hal ini, memalingkan wajah dengan perasaan kacau. Ia telah menikahi seorang pria yang memiliki anak seusia dirinya.
“Maaf … aku tadi mau ke dapur,” ucap Sofia salah tingkah.
Brian berjalan mendekatinya, dan mendengus keras. “Dapur ada di bagian belakang rumah, ngapain kamu ke kamarku! Lagian, kenapa nggak tanya Papa, sih?”
“Itu … um, Abang masih tidur … eh.” Wajah Sofia memerah karena memanggil Wira dengan sebutan Abang di depan teman sekaligus anak tirinya sendiri.
Brian tertawa mengejek. Ia berkacak pinggang superior seperti kebiasaannya, dan berkata sinis, “Gimana rasanya menikahi Papaku? Enak dong sekarang kamu bisa pamer keliling kampung pakai harta Papa! Sudah minta apa kamu sama Papa? Mobil? Kartu kredit?”
“Aku nggak minta apa-apa sama Papamu! Lagipula, aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini!” balas Sofia sengit. Ucapan Brian telah melukai harga dirinya.
Brian tertawa lebih keras membuat Sofia jengkel. “Nggak ingin tapi kok nggak protes?”
Sofia menatap Brian tajam. “Kamu tahu Papamu, Brian! Dia bisa memaksa kita melakukan semua keinginannya! Sebagai warga biasa, aku nggak bisa mengelak!”
“Nah, itu tahu!” Sebelah alis Brian menukik naik. “Tanpa Papa, kamu memang warga biasa! Jadi jelas, kan, sekalipun kamu sudah menikahi Papa, jangan harap bisa mengaturku seperti anakmu sendiri!”
Sofia tercengang, namun dengan cepat bisa mengendalikan diri. Ini bukanlah pertama kalinya ia terlibat adu mulut dengan Brian. Sejak dulu, Brian memang kerap membuat onar dan menindas anak-anak seusianya di kampung.
“Jangan khawatir, aku nggak akan mengurusi hidupmu, dan alangkah lebih baiknya kamu juga tidak mencampuri urusanku.” Sofia mengangkat wajah, sebelum balik badan menuju bagian belakang rumah.
Brian mengikutinya cepat, dan saat Sofia menoleh, Brian melotot galak padanya.
“Apa? Ini rumahku, terserah aku dong mau ke mana!” hardik Brian galak.
“Memang terserah, tapi kamu nggak boleh mengikutiku.” Sofia mengibas rambutnya ke balik bahu.
Brian terkekeh menyebalkan, “Ngikutin kamu? Dih, ngapain? Males banget!”
“Dari dulu kamu memang suka ngikutin aku, kan?” ucap Sofia menghapus cengiran di wajah Brian.
“Jaga mulut kamu!”
“Kamu yang seharusnya jaga sikap!” balas Sofia tidak mau kalah. Ia sudah mahir meladeni sikap menyebalkan Brian yang sering kumat jika Sofia mengungkit masa lalu mereka.
“Aku bisa kasih tahu papamu kapanpun, tentang anaknya yang kasih bunga sebagai kado valentine sama teman kelasnya!”
“Sofia! Jangan ungkit cerita lama!” Brian mengangkat tangan sebagai ancaman.
“Lama? Itu kan kamu lakukan tahun lalu, Yan. Sayang aku sudah punya Rean, jadi, dengan berat hati kutolak hadiahmu.”
“Brengsek kamu!” Brian siap menyerang Sofia, namun sebuah suara menghentikannya.
“Brian! Sopan sedikit sama ibumu!” bentak Wira yang baru saja bangun. Ia berdiri tegap di belakang Brian dan Sofia yang langsung terdiam seperti dua anak ketahuan berbuat nakal oleh ayahnya.
Jantung Sofia nyaris copot saat mendengar suara Wira yang tegas, begitu juga Brian. Mereka saling melempar tatap, takut jika percakapan tadi terdengar Wira.
“Papa nggak pernah ajari kamu bersikap tidak sopan sama yang lebih tua.” Wira mengedikan kepala ke arah tangan Brian yang masih teracung di depan wajah Sofia.“Turunkan tanganmu,” perintah Wira tegas dan tenang.“Dia nggak lebih tua dariku, Pa!” ucap Brian membela diri.Wira bersidekap dengan rahang mengeras. “Tetap saja sekarang ini dia ibumu, Brian! Minta maaf, cepat!”Brian melirik Sofia yang tidak bisa menahan senyuman. Sambil membuang napas kasar, Brian balik badan dan berkata tajam, “Nggak sudi!”“Brian!”“Sudah, nggak apa-apa.” Sofia menahan lengan Wira yang hendak menghentikan Brian. “Dia memang terbiasa bersikap seperti itu.”“Anak itu memang sering bertindak berlebihan,” ucap Wira menggelengkan kepala. Ditatapnya Sofia yang masih memegang lengannya.“Apa yang tadi dia ucapkan padamu?”“Eh?” Sofia bergerak gelisah di tempatnya. “Itu … bukan apa-apa.”“Bukan apa-apa gimana? Aku lihat, tadi Brian hampir saja memukul kamu.”Sofia tertawa. “Dia memang begitu, suka mengancam. Tapi
“Abang mau menyita tanah Mang Somad, ya?” Sofia mendekat pada Wira yang langsung menyambutnya ke dalam pelukan.“Dia harus membayar utangnya, Sayang.”“Tapi apa harus disita, Bang? Kasian Mang Somad, dia dan keluarganya bergantung pada hasil panen kebun mereka.”Wira menghela napas. Wajahnya menjadi serius, persis seperti yang dikenal Sofia selama ini.“Dia harus tanggung jawab atas utang-utangnya, gimanapun caranya.” Wira melepas pelukan dari bahu Sofia, dan kembali mematut diri di depan cermin.“Apa nggak bisa dibicarakan dulu? Siapa tahu Mang Somad punya cara lain untuk menyicil, Bang.”“Nggak bisa, dia sudah gagal panen selama lima bulan berturut-turut. Kamu sendiri yang bilang, mereka nggak punya penghasilan selain dari hasil kebun.”“Maka dari itu, Bang, kasihlah mereka tenggat waktu.” Sofia memelas pada ujung jas mewah Wira.Wira menangkup pipi istrinya, lalu berkata lembut, “Abang sudah kasih dia waktu lima bulan, lebih lama dari tenggat waktu yang Abang kasih pada orangtuamu.
Walaupun selama memasak Wira terus menggoda Sofia, ia tetap berhasil memasak sayur sawi putih, ayam goreng sederhana dan sambal lezat.“Wah, Abang nggak sabar ingin menyantap habis semuanya!” Wira menggosok tangan penuh semangat saat Sofia menyajikan sepiring penuh nasi dan lauk pauk ke hadapannya.“Jangan dong, Brian kan belum makan. Sisakan buat dia,” ucap Sofia mengingatkan.Wira berdecak, “Ah, dia bilang akan pulang terlambat karena ada acara trekking sama teman-teman sepedanya. Biar saja anak itu beli nasi goreng di tempat si Mamat kalau pulang nanti.”Sofia tersenyum, namun ia tetap menyisihkan sepotong ayam goreng dan semangkuk sayur untuk Brian.“Sayang, Abang ada urusan di kota malam ini, mungkin baru pulang besok siang. Kamu nggak apa-apa, kan, tidur sendiri malam ini?”Sofia kembali tersenyum. “Nggak apa-apa, Bang.”“Kamu jangan senyum terus, nanti Abang nggak mau pergi.”“Lho, ya nggak usah pergi saja,” timpal Sofia santai. Ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan menggoda d
“Dia pakai ini untuk kasih sumbangan ke warga, Pa!” ucap Brian yang mendadak muncul dari lorong kamarnya.Wira bangkit berdiri, dan mengambil kartu debit Sofia dari tangan Brian.“Benar itu, Sofia?”Sofia menunduk. Air matanya menggenang lagi tanpa bisa ditahan. Hinaan Brian semalam, kembali menggaung di telinganya.“Sofia, kamu nggak boleh asal memberi seperti itu pada warga kampung. Nanti mereka ngelunjak! Kamu harus menjaga nama baik Abang di kampung ini, Sofia.”Brian tertawa mengejek. Ia berdiri jumawa di sisi sang ayah, dengan tangan menyuruk saku celana tidurnya.Melihat Sofia menangis, Wira memeluk istrinya tersebut dan berbisik penuh kasih, “Jangan menangis, Sofia, asal tidak kamu ulangi perbuatan itu, Abang maafkan.”Wira menyodorkan kartu debit ke tangan Sofia yang langsung menola
Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini
“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.Brian hanya berdecak mengejek.Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”“Sudahlah, Ban
“Hm?”“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih
“Brian laper! Sudah boleh makan?” Brian Mahesa mengempaskan diri di kursi dapur dan menatap hasil masakan Sofia yang mulai dingin sambil cemberut.“Brian!” Wira terlonjak kaget dan menjauh dari wajah Sofia yang semakin padam. “Maaf, kami ….”“Nggak apa-apa, aku nggak lihat.” Brian menjawil tahu goreng dan melahapnya acuh. “Makan, Pa.”Tanpa mempedulikan dua insan yang salah tingkah di hadapannya, Brian memenuhi piring dengan nasi dan lauk hasil masakan Sofia lalu makan.Wira bergerak grogi persis seperti remaja yang tertangkap basah bermesraan dengan kekasih di koridor kelas.“Kamu pulang, kok, nggak bilang-bilang.” Wira mengambil tempat di hadapan Brian dan membalik piring kosong yang tergelincir di jemarinya yang licin.“Hati-hati, Bang.” Sofia dengan sigap menahan pi