Share

004. Permintaan Sederhana

“Papa nggak pernah ajari kamu bersikap tidak sopan sama yang lebih tua.” Wira mengedikan kepala ke arah tangan Brian yang masih teracung di depan wajah Sofia.

“Turunkan tanganmu,” perintah Wira tegas dan tenang.

“Dia nggak lebih tua dariku, Pa!” ucap Brian membela diri.

Wira bersidekap dengan rahang mengeras. “Tetap saja sekarang ini dia ibumu, Brian! Minta maaf, cepat!”

Brian melirik Sofia yang tidak bisa menahan senyuman. Sambil membuang napas kasar, Brian balik badan dan berkata tajam, “Nggak sudi!”

“Brian!”

“Sudah, nggak apa-apa.” Sofia menahan lengan Wira yang hendak menghentikan Brian. “Dia memang terbiasa bersikap seperti itu.”

“Anak itu memang sering bertindak berlebihan,” ucap Wira menggelengkan kepala. Ditatapnya Sofia yang masih memegang lengannya.

“Apa yang tadi dia ucapkan padamu?”

“Eh?” Sofia bergerak gelisah di tempatnya. “Itu … bukan apa-apa.”

“Bukan apa-apa gimana? Aku lihat, tadi Brian hampir saja memukul kamu.”

Sofia tertawa. “Dia memang begitu, suka mengancam. Tapi dia tidak pernah benar-benar memukul, kok.”

Wira terdiam. Dilihatnya Sofia dari atas sampai bawah. Gadis itu mengenakan piyama sutra berwarna pastel, dengan rambut panjang halus tergerai di punggungnya, membangkitkan hasrat pagi Wira yang tertahan sejak semalam.

“Aku minta maaf atas sikap Brian, ya.” Wira mengalihkan pandangannya ke arah dapur.

“Nggak apa-apa.”

“Kamu mau sarapan, ya?” Wira merangkul Sofia ke arah dapur.

“Heem. Tadinya aku mau masak sarapan, cuma rumah ini terlalu besar, jadi aku sempat tersesat saat mencari dapur.”

“Tersesat? Ya ampun!” Wira terkekeh.

Ia sepenuhnya menjadi pribadi asing di hadapan Sofia. Mahawira yang selama ini terkenal karena keangkuhan dan sikap sewenang-wenang, ternyata merupakan sosok murah senyum dan lembut di dalam rumahnya.

“Sini, biar kubuatkan roti panggang.”

“Aku nggak suka roti,” kata Sofia, mengikuti Wira ke area kitchen set.

“Sukanya apa, dong? Aku?” Wira bersandar ke sisi lemari buffet, dan nyengir ke arah Sofia.

Mau tidak mau Sofia ikut tertawa. Keramahan Wira menghilangkan perasaan sungkan yang menggelayuti Sofia sejak hari pertama pernikahan mereka.

“Abang mau kubuatkan nasi goreng? Ini kesukaan bapak sebelum berangkat ke ladang, lho!” tawar Sofia.

Wira mengangguk bersemangat. “Mau!”

“Tunggu sebentar, ya.”

“Oke. Aku panggil Brian dulu, biar kita makan sama-sama.”

Wira mengecup pipi Sofia sekilas, sebelum pergi menuju kamar Brian.

Wira mengetuk pintu kamar Brian yang terkunci.

“Brian? Nak, buka pintunya.” Wira mengetuk berulang kali pintu kamar yang tidak kunjung terbuka.

“Brian? Kamu dengar Papa, kan?” Wira mengeraskan suaranya.

Pintu kamar terbuka sedikit, wajah lesu Brian mengintip di baliknya.

“Kenapa, Pa? Brian capek, mau tidur.”

“Biarkan Papa masuk, ya?”

Brian membuka pintu lebih lebar, memberi ruang agar Wira bisa masuk ke dalam kamarnya.

Wira duduk di sisi ranjang Brian yang berantakan. Nampaknya Brian memang sedang tidur tadi.

“Kamu kemana semalam? Papa pulang kamu nggak ada.”

“Trekking sama anak-anak, Pa.”

Wira mengangguk penuh pengertian.

“Seharian? Kamu nggak menghadiri pernikahan Papa karena ada jadwal trekking sejak pagi sama kawan-kawanmu, kan?”

Brian menghempaskan diri di ranjang, dan menyelundup ke balik selimut bergambar klub sepak bola favoritnya.

“Brian pergi ke Bukit Sinaran, treknya panjang di sana, jadi kami semua pulang larut.”

Wira mengangguk lagi.

“Sarapan, yuk.” Wira menarik selimut Brian, dan menepuk paha anak laki-lakinya itu.

Brian mendengus kasar. “Nggak mau.”

“Brian ….”

“Papa duluan saja sama Sofia, Brian nggak laper.”

“Brian, jangan panggil Sofia dengan namanya begitu. Dia ibumu sekarang!” ucap Wira tegas.

Brian mencibir di atas bantalnya.

“Papa nggak ngerti kenapa kamu segini marahnya karena Papa menikahi Sofia.”

“Brian nggak marah,” ujar Brian berkelit.

“Tapi sikapmu sangat tidak ramah padanya, Brian.”

“Itu karena Sofia memang nyebelin, Pa, dari dulu! Papa aja nggak tahu,” kata Brian kesal.

Wira tertawa kecil. Ia lupa bahwa Brian baru saja lulus SMU dan usianya tidak terpaut jauh dari Sofia.

“Sudahlah, kamu harus membiasakan diri menerima dia sebagai ibumu mulai hari ini. Ayo bangun, mamamu sudah bikin nasi goreng, tuh,” bujuk Wira lembut.

Brian menutup wajahnya dengan bantal. “Nggak mau!”

“Oke, teruslah bersikap menjengkelkan seperti itu. Papa akan sita sepeda kamu, sampai kamu mau bersikap layak di rumah ini.”

“Pa!” Brian tersentak duduk. Ditatapnya Wira yang sudah berdiri di ambang pintu.

“Ayo sarapan, bersopansantunlah pada mamamu. Papa pastikan kamu masih bisa balap downhill dengan sepedamu itu.”

Brian berdecak gusar. Ia menendang selimut sampai merosot jatuh ke kaki ranjang, dan bergegas mendului ayahnya ke dapur.

Aroma lezat menguar dari penggorengan di hadapan Sofia. Gadis itu memasak dengan cekatan, dan saat Wira bergabung di meja makan, Sofia sudah selesai dengan hidangan nasi goreng bawang putih andalannya.

“Wah, wangi sekali aromanya! Abang jadi laper,” ucap Wira bergembira.

Brian duduk menekuk wajah, cemberut pada piring kosong di hadapannya.

Sofia membawa bakul nasi berisi nasi goreng panas dan menyendokkannya ke atas piring Wira.

“Coba, deh, Abang pasti suka.” Sofia sengaja bermanja di hadapan Brian, karena ia suka melihat temannya itu memasang wajah sebal.

“Terima kasih, Sayang, Abang pasti suka apapun yang kamu buat, Sofia.” Wira mencium pipi Sofia mesra.

Brian membuat gestur pura-pura muntah saat Sofia mencuri pandang ke arahnya, membuat Sofia ingin terbahak.

Sofia menyendokan nasi ke piring Brian yang melotot galak padanya.

“Aku bisa sendiri,” katanya sewot.

Wira menatap tajam puteranya itu, membuat Brian langsung terdiam.

Sofia nyengir lebar penuh kemenangan mendapati Brian yang biasa mengolok-oloknya, mati kutu di hadapan sang ayah.

“Bilang apa sama mamamu, Brian?” ucap Wira lembut.

Brian mengerutkan kening kebingungan. “Apa?” katanya pada Wira.

“Bilang, terima kasih, dong. Kan, Mama sudah bikinin kita sarapan lezat.” Wira menatap penuh cinta pada Sofia yang terkikik di sisinya.

“Astaga, Pa!” Brian membeliak tidak percaya. Wira membuat Brian kembali seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru belajar adab sopan santun.

“Ayo bilang, Sayang,” bujuk Wira lemah lembut pada Brian yang tampak sangat tersiksa.

“Brian bukan anak kecil, Pa,” sanggah Brian malu karena Wira memperlakukannya sedemikian halus.

“Kalau bukan anak kecil, masa bilang terima kasih saja harus diajarin?”

Brian memandang Sofia sebal. “Terima kasih,” katanya kasar.

“Sama siapa?” timpal Wira menahan senyum.

Brian kembali menatap Wira kebingungan.

“Hah?”

“Terima kasih⸻siapa?” Wira memiringkan kepala, menunggu.

Brian menghela napas panjang, dan berdecak tidak sabar. “Terima kasih, Ma!”

***

Kejadian saat sarapan tadi cukup membangkitkan semangat Sofia yang padam sejak hari pernikahannya berlangsung.

Melihat Brian sedemikian tersiksa karena terpaksa menghormati Sofia sebagai ibu barunya, sungguh membuat Sofia gembira.

Sofia memilih untuk menghabiskan waktu sehabis sarapan di dalam kamar utama. Terlebih lagi, Wira memiliki banyak koleksi buku di ruang kerja yang tersambung langsung dengan kamar utama.

“Sofia?”

“Aku di sini, Bang, di ruang kerjamu.” Sofia yang tengah membaca sebuah buku, bangkit ke arah kamar utama.

Wira tengah bersiap dengan jas mahal yang biasa ia kenakan saat berkeliling kampung memeriksa keadaan setiap ladang dan kebun, dan mengontrol gudang penyimpanan hasil panen sebelum dikirim ke kota.

Sofia menatap punggung suaminya yang gagah. Mahawira memang tampan dan rupawan, kalau saja ia mau bersikap ramah.

“Mau ke mana, Bang?” tanya Sofia.

Wira menoleh, dan tersenyum hangat. Senyuman menawan yang tidak lagi tampak mencemooh di mata Sofia.

“Abang mau pergi ke kebun si Somad, Sayang. Dia menunggak utang lima bulan, bunganya saja sudah seharga satu hektar ladang rempahnya.”

Sofia terdiam. Kisah lama yang kerap terulang di kampung mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status