Home / Rumah Tangga / Menikahi Ayah Temanku / 004. Permintaan Sederhana

Share

004. Permintaan Sederhana

Author: Juni Rev
last update Huling Na-update: 2024-02-02 11:17:56

“Papa nggak pernah ajari kamu bersikap tidak sopan sama yang lebih tua.” Wira mengedikan kepala ke arah tangan Brian yang masih teracung di depan wajah Sofia.

“Turunkan tanganmu,” perintah Wira tegas dan tenang.

“Dia nggak lebih tua dariku, Pa!” ucap Brian membela diri.

Wira bersidekap dengan rahang mengeras. “Tetap saja sekarang ini dia ibumu, Brian! Minta maaf, cepat!”

Brian melirik Sofia yang tidak bisa menahan senyuman. Sambil membuang napas kasar, Brian balik badan dan berkata tajam, “Nggak sudi!”

“Brian!”

“Sudah, nggak apa-apa.” Sofia menahan lengan Wira yang hendak menghentikan Brian. “Dia memang terbiasa bersikap seperti itu.”

“Anak itu memang sering bertindak berlebihan,” ucap Wira menggelengkan kepala. Ditatapnya Sofia yang masih memegang lengannya.

“Apa yang tadi dia ucapkan padamu?”

“Eh?” Sofia bergerak gelisah di tempatnya. “Itu … bukan apa-apa.”

“Bukan apa-apa gimana? Aku lihat, tadi Brian hampir saja memukul kamu.”

Sofia tertawa. “Dia memang begitu, suka mengancam. Tapi dia tidak pernah benar-benar memukul, kok.”

Wira terdiam. Dilihatnya Sofia dari atas sampai bawah. Gadis itu mengenakan piyama sutra berwarna pastel, dengan rambut panjang halus tergerai di punggungnya, membangkitkan hasrat pagi Wira yang tertahan sejak semalam.

“Aku minta maaf atas sikap Brian, ya.” Wira mengalihkan pandangannya ke arah dapur.

“Nggak apa-apa.”

“Kamu mau sarapan, ya?” Wira merangkul Sofia ke arah dapur.

“Heem. Tadinya aku mau masak sarapan, cuma rumah ini terlalu besar, jadi aku sempat tersesat saat mencari dapur.”

“Tersesat? Ya ampun!” Wira terkekeh.

Ia sepenuhnya menjadi pribadi asing di hadapan Sofia. Mahawira yang selama ini terkenal karena keangkuhan dan sikap sewenang-wenang, ternyata merupakan sosok murah senyum dan lembut di dalam rumahnya.

“Sini, biar kubuatkan roti panggang.”

“Aku nggak suka roti,” kata Sofia, mengikuti Wira ke area kitchen set.

“Sukanya apa, dong? Aku?” Wira bersandar ke sisi lemari buffet, dan nyengir ke arah Sofia.

Mau tidak mau Sofia ikut tertawa. Keramahan Wira menghilangkan perasaan sungkan yang menggelayuti Sofia sejak hari pertama pernikahan mereka.

“Abang mau kubuatkan nasi goreng? Ini kesukaan bapak sebelum berangkat ke ladang, lho!” tawar Sofia.

Wira mengangguk bersemangat. “Mau!”

“Tunggu sebentar, ya.”

“Oke. Aku panggil Brian dulu, biar kita makan sama-sama.”

Wira mengecup pipi Sofia sekilas, sebelum pergi menuju kamar Brian.

Wira mengetuk pintu kamar Brian yang terkunci.

“Brian? Nak, buka pintunya.” Wira mengetuk berulang kali pintu kamar yang tidak kunjung terbuka.

“Brian? Kamu dengar Papa, kan?” Wira mengeraskan suaranya.

Pintu kamar terbuka sedikit, wajah lesu Brian mengintip di baliknya.

“Kenapa, Pa? Brian capek, mau tidur.”

“Biarkan Papa masuk, ya?”

Brian membuka pintu lebih lebar, memberi ruang agar Wira bisa masuk ke dalam kamarnya.

Wira duduk di sisi ranjang Brian yang berantakan. Nampaknya Brian memang sedang tidur tadi.

“Kamu kemana semalam? Papa pulang kamu nggak ada.”

“Trekking sama anak-anak, Pa.”

Wira mengangguk penuh pengertian.

“Seharian? Kamu nggak menghadiri pernikahan Papa karena ada jadwal trekking sejak pagi sama kawan-kawanmu, kan?”

Brian menghempaskan diri di ranjang, dan menyelundup ke balik selimut bergambar klub sepak bola favoritnya.

“Brian pergi ke Bukit Sinaran, treknya panjang di sana, jadi kami semua pulang larut.”

Wira mengangguk lagi.

“Sarapan, yuk.” Wira menarik selimut Brian, dan menepuk paha anak laki-lakinya itu.

Brian mendengus kasar. “Nggak mau.”

“Brian ….”

“Papa duluan saja sama Sofia, Brian nggak laper.”

“Brian, jangan panggil Sofia dengan namanya begitu. Dia ibumu sekarang!” ucap Wira tegas.

Brian mencibir di atas bantalnya.

“Papa nggak ngerti kenapa kamu segini marahnya karena Papa menikahi Sofia.”

“Brian nggak marah,” ujar Brian berkelit.

“Tapi sikapmu sangat tidak ramah padanya, Brian.”

“Itu karena Sofia memang nyebelin, Pa, dari dulu! Papa aja nggak tahu,” kata Brian kesal.

Wira tertawa kecil. Ia lupa bahwa Brian baru saja lulus SMU dan usianya tidak terpaut jauh dari Sofia.

“Sudahlah, kamu harus membiasakan diri menerima dia sebagai ibumu mulai hari ini. Ayo bangun, mamamu sudah bikin nasi goreng, tuh,” bujuk Wira lembut.

Brian menutup wajahnya dengan bantal. “Nggak mau!”

“Oke, teruslah bersikap menjengkelkan seperti itu. Papa akan sita sepeda kamu, sampai kamu mau bersikap layak di rumah ini.”

“Pa!” Brian tersentak duduk. Ditatapnya Wira yang sudah berdiri di ambang pintu.

“Ayo sarapan, bersopansantunlah pada mamamu. Papa pastikan kamu masih bisa balap downhill dengan sepedamu itu.”

Brian berdecak gusar. Ia menendang selimut sampai merosot jatuh ke kaki ranjang, dan bergegas mendului ayahnya ke dapur.

Aroma lezat menguar dari penggorengan di hadapan Sofia. Gadis itu memasak dengan cekatan, dan saat Wira bergabung di meja makan, Sofia sudah selesai dengan hidangan nasi goreng bawang putih andalannya.

“Wah, wangi sekali aromanya! Abang jadi laper,” ucap Wira bergembira.

Brian duduk menekuk wajah, cemberut pada piring kosong di hadapannya.

Sofia membawa bakul nasi berisi nasi goreng panas dan menyendokkannya ke atas piring Wira.

“Coba, deh, Abang pasti suka.” Sofia sengaja bermanja di hadapan Brian, karena ia suka melihat temannya itu memasang wajah sebal.

“Terima kasih, Sayang, Abang pasti suka apapun yang kamu buat, Sofia.” Wira mencium pipi Sofia mesra.

Brian membuat gestur pura-pura muntah saat Sofia mencuri pandang ke arahnya, membuat Sofia ingin terbahak.

Sofia menyendokan nasi ke piring Brian yang melotot galak padanya.

“Aku bisa sendiri,” katanya sewot.

Wira menatap tajam puteranya itu, membuat Brian langsung terdiam.

Sofia nyengir lebar penuh kemenangan mendapati Brian yang biasa mengolok-oloknya, mati kutu di hadapan sang ayah.

“Bilang apa sama mamamu, Brian?” ucap Wira lembut.

Brian mengerutkan kening kebingungan. “Apa?” katanya pada Wira.

“Bilang, terima kasih, dong. Kan, Mama sudah bikinin kita sarapan lezat.” Wira menatap penuh cinta pada Sofia yang terkikik di sisinya.

“Astaga, Pa!” Brian membeliak tidak percaya. Wira membuat Brian kembali seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru belajar adab sopan santun.

“Ayo bilang, Sayang,” bujuk Wira lemah lembut pada Brian yang tampak sangat tersiksa.

“Brian bukan anak kecil, Pa,” sanggah Brian malu karena Wira memperlakukannya sedemikian halus.

“Kalau bukan anak kecil, masa bilang terima kasih saja harus diajarin?”

Brian memandang Sofia sebal. “Terima kasih,” katanya kasar.

“Sama siapa?” timpal Wira menahan senyum.

Brian kembali menatap Wira kebingungan.

“Hah?”

“Terima kasih⸻siapa?” Wira memiringkan kepala, menunggu.

Brian menghela napas panjang, dan berdecak tidak sabar. “Terima kasih, Ma!”

***

Kejadian saat sarapan tadi cukup membangkitkan semangat Sofia yang padam sejak hari pernikahannya berlangsung.

Melihat Brian sedemikian tersiksa karena terpaksa menghormati Sofia sebagai ibu barunya, sungguh membuat Sofia gembira.

Sofia memilih untuk menghabiskan waktu sehabis sarapan di dalam kamar utama. Terlebih lagi, Wira memiliki banyak koleksi buku di ruang kerja yang tersambung langsung dengan kamar utama.

“Sofia?”

“Aku di sini, Bang, di ruang kerjamu.” Sofia yang tengah membaca sebuah buku, bangkit ke arah kamar utama.

Wira tengah bersiap dengan jas mahal yang biasa ia kenakan saat berkeliling kampung memeriksa keadaan setiap ladang dan kebun, dan mengontrol gudang penyimpanan hasil panen sebelum dikirim ke kota.

Sofia menatap punggung suaminya yang gagah. Mahawira memang tampan dan rupawan, kalau saja ia mau bersikap ramah.

“Mau ke mana, Bang?” tanya Sofia.

Wira menoleh, dan tersenyum hangat. Senyuman menawan yang tidak lagi tampak mencemooh di mata Sofia.

“Abang mau pergi ke kebun si Somad, Sayang. Dia menunggak utang lima bulan, bunganya saja sudah seharga satu hektar ladang rempahnya.”

Sofia terdiam. Kisah lama yang kerap terulang di kampung mereka.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menikahi Ayah Temanku   025. Di Balik Jeruji Hati

    Sofia menatap Brian tanpa berkedip. Degup jantungnya seperti genderang perang, keras dan tak beraturan. Tatapan pemuda itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangkap ibu tirinya mengintip rahasia suci sang ayah.“Kau tahu tentang ini semua?” tanya Sofia, suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.Brian menyandarkan bahunya ke kusen pintu. “Sudah lama.”“Dan kau diam saja?”Brian tertawa pendek, tanpa humor. “Aku belajar dari Papa. Diam lebih aman. Diam itu kekuasaan.”Sofia mengepalkan jemarinya. “Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?”“Lebih baik kamu nggak tahu,” ucap Brian. “Karena begitu tahu, kamu nggak akan bisa balik jadi Sofia yang dulu.”Sofia melangkah maju, menembus jarak di antara mereka. “Aku sudah bukan Sofia yang dulu sejak aku masuk rumah ini. Sejak aku dinikahkan dengan lelaki sepertinya.”Brian mendongak, menatap wajah Sofia yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. “Kamu berani ngomong kayak gitu ke dia?”“Kalau perlu, ya.”Brian mencibir, tapi ada ke

  • Menikahi Ayah Temanku   024. Luka yang Disembunyikan Malam

    Sofia meninggalkan ingar-bingar drama pengusiran dan melangkah lunglai ke dalam rumah. Ditatapnya tumpukan sate dan nasi yang sudah dingin.Selera makannya sudah sirna terganti mual di ulu hati. Teriakan dan tangis warga seolah telah meninjunya berulang kali hingga nuraninya babak belur.“Maaf, makan malam kita jadi terganggu.” Tiba-tiba Wira muncul dari balik punggung Sofia. Pria itu membelai bahu isterinya sejenak sebelum kembali duduk.Wajahnya masih merah, dan senyumannya tidak segera memudarkan amarah yang tadi merajai.Dari sekian besar ganjalan hatinya, yang keluar dari bibir mungil Sofia adalah sebuah senyuman hambar. Ia ikut duduk berhadapan dengan suaminya dan menuang nasi tanpa emosi sama sekali.Mereka makan dalam diam bak diorama nan indah namun menyimpan sejuta kepedihan. Denting alat makan mewah membawa butir-butir pertanyaan ke dalam benak Sofia.Apa ia sudah mulai tidak peduli dengan ketidak-adilan yang terjadi di kampung? Apa dirinya mulai terbiasa melihat penindasan

  • Menikahi Ayah Temanku   023. Kue Keju, Susu, dan Taman Bacaan

    “Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.

  • Menikahi Ayah Temanku   022. Jalan Bareng

    “Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,

  • Menikahi Ayah Temanku   021. Silih Asuh

    Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per

  • Menikahi Ayah Temanku   020. Distraksi

    “Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status