“Abang mau menyita tanah Mang Somad, ya?” Sofia mendekat pada Wira yang langsung menyambutnya ke dalam pelukan.
“Dia harus membayar utangnya, Sayang.”
“Tapi apa harus disita, Bang? Kasian Mang Somad, dia dan keluarganya bergantung pada hasil panen kebun mereka.”
Wira menghela napas. Wajahnya menjadi serius, persis seperti yang dikenal Sofia selama ini.
“Dia harus tanggung jawab atas utang-utangnya, gimanapun caranya.” Wira melepas pelukan dari bahu Sofia, dan kembali mematut diri di depan cermin.
“Apa nggak bisa dibicarakan dulu? Siapa tahu Mang Somad punya cara lain untuk menyicil, Bang.”
“Nggak bisa, dia sudah gagal panen selama lima bulan berturut-turut. Kamu sendiri yang bilang, mereka nggak punya penghasilan selain dari hasil kebun.”
“Maka dari itu, Bang, kasihlah mereka tenggat waktu.” Sofia memelas pada ujung jas mewah Wira.
Wira menangkup pipi istrinya, lalu berkata lembut, “Abang sudah kasih dia waktu lima bulan, lebih lama dari tenggat waktu yang Abang kasih pada orangtuamu.”
Sofia terdiam. Ia membiarkan Wira mengecup bibirnya sebelum bergegas pergi.
“Abang pergi dulu, ya. Tidak akan lama.” Wira mencium kepala Sofia sebelum mengenakan kacamata gayanya yang membuat ia tampak semakin gagah.
Sofia menggigit bibir bimbang, lalu dengan cepat ia berbalik mengejar suaminya.
“Bang! Abang!”
Wira menghentikan langkah di balkon utama, dan berbalik menyambut istri kecilnya yang berlarian dari dalam rumah.
“Ada apa?”
“Bang, tolong jangan sita tanah Mang Somad, ya. Aku … akan jadi jaminannya,” pinta Sofia, menggenggam tangan Wira memohon.
“Ngapain kamu jadi jaminan dia? Memangnya Somad siapa kamu?” Wira melepas kacamatanya dan menatap Sofia lekat-lekat.
Sofia menunduk, tidak terbiasa memandang berlama-lama wajah seorang Mahawira Anggabaya secara langsung.
“Itu … aku tahu keadaan mereka, Bang. Mang Somad punya penyakit. Itulah yang menyebabkan Mang Somad agak lamban dalam mengurus kebun akhir-akhir ini.” Sofia menggigit bibir gelisah.
“Bang, aku mohon berilah Mang Somad waktu untuk melunasi utang-utangnya. Kalau bisa, hapuskan juga bunganya, biar Mang Somad bayar utang pokoknya saja. Aku mohon, Bang, kalau Abang bersedia, aku akan menyerahkan diriku sebagai gantinya.”
Wira terbeliak mendengar tawaran terbuka Sofia.
“Sofia, kamu nggak boleh bicara seperti itu di sembarang tempat.” Wira berbisik panik, seraya menggiring Sofia ke dalam rumah.
“Tapi ini kan rumah Abang, nggak ada siapapun bisa dengar.”
“Kecuali Brian dan Ajat, ajudanku,” ucap Wira mengingatkan.
Sofia baru ingat dua penghuni lain di rumah itu. Ia tertunduk malu.
“Maaf,” lirih Sofia merasa bersalah.
Wira mengusap sayang kepala Sofia, dan mengajaknya ke dalam kamar.
“Sofia, benarkah yang kamu katakan tadi, kalau aku tangguhkan pembayaran utang-utang si Somad, kamu akan ….” Wira menghentikan ucapannya, dan menatap ujung sepatu gugup. Ia terlihat seperti pemuda yang baru jatuh cinta di hadapan kekasih pertamanya.
Sofia mengangguk. “Iya, Bang. Asalkan Abang tidak menyita kebun Mang Somad, dan menghapus bunga dendanya.”
Wira mengerutkan kening. “Soal kebun, aku bisa menambah batas waktu pembayaran, tapi soal bunga denda, maaf, Somad harus tetap membayarnya secara penuh. Itu perjanjian tertulisnya, Sayang, hitam di atas putih, dan sah di mata hukum.”
Sofia menghela napas. “Baiklah, tidak apa-apa.”
Wira tertawa lebar. “Aku tidak akan pergi kemana-mana hari ini,” katanya ceria, “Apa yang kamu inginkan, Sofia kekasihku, aku akan memberikannya untukmu.”
Sofia terdiam. Ia berpikir keras sebelum akhirnya berkata penuh tekad, “Aku ingin Abang memberiku uang saku, bolehkah?”
“Oh, itu hakmu yang pasti akan kau dapatkan tanpa harus diminta,” ucap Wira enteng. Ia menunjuk laci meja nakas, dan melanjutkan, “Di sana sudah kusiapkan kartu debit yang bisa kamu gunakan, Sofia.”
“B-benarkah? Terima kasih,” ucap Sofia tidak percaya. Sofia tidak terbiasa mendapatkan kemudahan dalam meminta uang. Sejak dulu, ia harus membantu orangtuanya di kebun sebelum mendapatkan uang saku yang jumlahnya tidak seberapa.
“Maksud Abang, jika kamu menginginkan sesuatu untuk dirimu sendiri seperti mobil misalnya, katakan saja, Sayang.”
Sofia menimang-nimang sejenak, kemudian menggeleng lemah. Sofia tidak ingin memberi Brian alasan untuk mengolok-oloknya lagi.
“Sementara ini, cukuplah itu saja yang aku minta,” ucap Sofia lembut. Ditatapnya Wira yang tidak mengalihkan pandang darinya.
“Kamu cantik, Sofia,” bisik Wira bahagia. Ia mengusap pipi Sofia dengan jemari, dan memajukan wajah tak sabar ingin menjelajah raga sang istri.
“Bisa kita mulai sekarang?” tanya Wira pelan. Ia menyurukan wajah ke leher Sofia yang jenjang dan wangi.
Sofia yang sudah kadung basah menjadikan dirinya jaminan atas penangguhan utang warga, mengangguk malu-malu.
“Berbaringlah, Sayang, kita akan melakukannya pelan-pelan.” Wira menyentuh lengan Sofia, dan merebahkannya di atas ranjang.
“A-apa … ini akan terasa sakit?” tanya Sofia lugu.
Wira menggeleng, “Entahlah … ini pertama kalinya juga bagiku.”
Kedua mata indah Sofia membeliak.
“P-pertama kalinya? Bukannya Abang pernah melakukan ini dengan ibunya Brian?”
Pertanyaan lugu Sofia menghentikan gerakan Wira yang sempat hilang akal dalam buaian keindahan sang gadis.
“Eh … itu, yeah, ehm … aku ….” Wira kelimpungan mencari alasan. Pasalnya, ia sendiri tidak sadar telah mengatakan pernyataan tadi. “Maksud Abang, ini pertama kalinya Abang melakukannya dengan kamu, Sofia.”
Kali ini Sofia yang terdiam. Wajahnya memerah karena malu.
Wira kembali menenggelamkan diri dalam sahara cinta Sofia. Bak musafir gurun nan dahaga menemukan oasenya. Wira betul-betul memperlakukan Sofia dengan lemah lembut, hingga Sofia tidak tersiksa rasa nyeri saat Wira memetik kembang kegadisannya.
“Kamu kesakitan?” bisik Wira setengah sadar. Sofia membuatnya nyaris gila dimabuk asmara.
Gadis itu hanya bergumam tidak jelas. Wira menggagahinya dengan cara pria sejati, tanpa melukai, tak ada yang tersakiti hingga keduanya merebah lemah, bermandi peluh.
Wira mengecup kening Sofia yang mengerut di bawah lengannya. “Terima kasih, Sofia.”
***
“Memasak itu hobiku, Bang,” ucap Sofia sambil memotong bawang.
Saat itu sudah menjelang petang, dan mereka bersiap untuk makan malam.
“Iya, nggak apa-apa. Tapi ingat, semua ini bukan kewajiban kamu. Memasak, bersih-bersih rumah, mencuci … semua biar asisten rumah tangga yang urus.” Wira bersandar santai di meja dapur, sambil memperhatikan sang istri memasak.
“Lagi motong bawang pun, kamu cantik banget, sih,” goda Wira, menjawil rambut Sofia yang masih setengah basah.
Sofia tertawa. “Gombal,” seloroh Sofia sambil memanaskan wajan dan mulai mengoseng sawi putih, hasil bagi panen dari warga kampung.
“Lho, kok gombal, sih. Besok Abang beliin cermin yang besar, biar kamu bisa ngaca!” Wira memeluk istrinya dari belakang, dan menciumi leher Sofia hingga gadis itu terkikik geli.
“Aduh, Bang, jangan ganggu, dong. Nanti masakanku gosong!” keluh Sofia sambil menggeliat, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.
“Kamu bikin candu, sih,” ujar Wira, membuat wajah Sofia merah padam.
Sofia menatap Brian tanpa berkedip. Degup jantungnya seperti genderang perang, keras dan tak beraturan. Tatapan pemuda itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangkap ibu tirinya mengintip rahasia suci sang ayah.“Kau tahu tentang ini semua?” tanya Sofia, suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.Brian menyandarkan bahunya ke kusen pintu. “Sudah lama.”“Dan kau diam saja?”Brian tertawa pendek, tanpa humor. “Aku belajar dari Papa. Diam lebih aman. Diam itu kekuasaan.”Sofia mengepalkan jemarinya. “Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?”“Lebih baik kamu nggak tahu,” ucap Brian. “Karena begitu tahu, kamu nggak akan bisa balik jadi Sofia yang dulu.”Sofia melangkah maju, menembus jarak di antara mereka. “Aku sudah bukan Sofia yang dulu sejak aku masuk rumah ini. Sejak aku dinikahkan dengan lelaki sepertinya.”Brian mendongak, menatap wajah Sofia yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. “Kamu berani ngomong kayak gitu ke dia?”“Kalau perlu, ya.”Brian mencibir, tapi ada ke
Sofia meninggalkan ingar-bingar drama pengusiran dan melangkah lunglai ke dalam rumah. Ditatapnya tumpukan sate dan nasi yang sudah dingin.Selera makannya sudah sirna terganti mual di ulu hati. Teriakan dan tangis warga seolah telah meninjunya berulang kali hingga nuraninya babak belur.“Maaf, makan malam kita jadi terganggu.” Tiba-tiba Wira muncul dari balik punggung Sofia. Pria itu membelai bahu isterinya sejenak sebelum kembali duduk.Wajahnya masih merah, dan senyumannya tidak segera memudarkan amarah yang tadi merajai.Dari sekian besar ganjalan hatinya, yang keluar dari bibir mungil Sofia adalah sebuah senyuman hambar. Ia ikut duduk berhadapan dengan suaminya dan menuang nasi tanpa emosi sama sekali.Mereka makan dalam diam bak diorama nan indah namun menyimpan sejuta kepedihan. Denting alat makan mewah membawa butir-butir pertanyaan ke dalam benak Sofia.Apa ia sudah mulai tidak peduli dengan ketidak-adilan yang terjadi di kampung? Apa dirinya mulai terbiasa melihat penindasan
“Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.
“Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,
Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per
“Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi