Share

005. Memetik Kembang Kegadisan

“Abang mau menyita tanah Mang Somad, ya?” Sofia mendekat pada Wira yang langsung menyambutnya ke dalam pelukan.

“Dia harus membayar utangnya, Sayang.”

“Tapi apa harus disita, Bang? Kasian Mang Somad, dia dan keluarganya bergantung pada hasil panen kebun mereka.”

Wira menghela napas. Wajahnya menjadi serius, persis seperti yang dikenal Sofia selama ini.

“Dia harus tanggung jawab atas utang-utangnya, gimanapun caranya.” Wira melepas pelukan dari bahu Sofia, dan kembali mematut diri di depan cermin.

“Apa nggak bisa dibicarakan dulu? Siapa tahu Mang Somad punya cara lain untuk menyicil, Bang.”

“Nggak bisa, dia sudah gagal panen selama lima bulan berturut-turut. Kamu sendiri yang bilang, mereka nggak punya penghasilan selain dari hasil kebun.”

“Maka dari itu, Bang, kasihlah mereka tenggat waktu.” Sofia memelas pada ujung jas mewah Wira.

Wira menangkup pipi istrinya, lalu berkata lembut, “Abang sudah kasih dia waktu lima bulan, lebih lama dari tenggat waktu yang Abang kasih pada orangtuamu.”

Sofia terdiam. Ia membiarkan Wira mengecup bibirnya sebelum bergegas pergi.

“Abang pergi dulu, ya. Tidak akan lama.” Wira mencium kepala Sofia sebelum mengenakan kacamata gayanya yang membuat ia tampak semakin gagah.

Sofia menggigit bibir bimbang, lalu dengan cepat ia berbalik mengejar suaminya.

“Bang! Abang!”

Wira menghentikan langkah di balkon utama, dan berbalik menyambut istri kecilnya yang berlarian dari dalam rumah.

“Ada apa?”

“Bang, tolong jangan sita tanah Mang Somad, ya. Aku … akan jadi jaminannya,” pinta Sofia, menggenggam tangan Wira memohon.

“Ngapain kamu jadi jaminan dia? Memangnya Somad siapa kamu?” Wira melepas kacamatanya dan menatap Sofia lekat-lekat.

Sofia menunduk, tidak terbiasa memandang berlama-lama wajah seorang Mahawira Anggabaya secara langsung.

“Itu … aku tahu keadaan mereka, Bang. Mang Somad punya penyakit. Itulah yang menyebabkan Mang Somad agak lamban dalam mengurus kebun akhir-akhir ini.” Sofia menggigit bibir gelisah.

“Bang, aku mohon berilah Mang Somad waktu untuk melunasi utang-utangnya. Kalau bisa, hapuskan juga bunganya, biar Mang Somad bayar utang pokoknya saja. Aku mohon, Bang, kalau Abang bersedia, aku akan menyerahkan diriku sebagai gantinya.”

Wira terbeliak mendengar tawaran terbuka Sofia.

“Sofia, kamu nggak boleh bicara seperti itu di sembarang tempat.” Wira berbisik panik, seraya menggiring Sofia ke dalam rumah.

“Tapi ini kan rumah Abang, nggak ada siapapun bisa dengar.”

“Kecuali Brian dan Ajat, ajudanku,” ucap Wira mengingatkan.

Sofia baru ingat dua penghuni lain di rumah itu. Ia tertunduk malu.

“Maaf,” lirih Sofia merasa bersalah.

Wira mengusap sayang kepala Sofia, dan mengajaknya ke dalam kamar.

“Sofia, benarkah yang kamu katakan tadi, kalau aku tangguhkan pembayaran utang-utang si Somad, kamu akan ….” Wira menghentikan ucapannya, dan menatap ujung sepatu gugup. Ia terlihat seperti pemuda yang baru jatuh cinta di hadapan kekasih pertamanya.

Sofia mengangguk. “Iya, Bang. Asalkan Abang tidak menyita kebun Mang Somad, dan menghapus bunga dendanya.”

Wira mengerutkan kening. “Soal kebun, aku bisa menambah batas waktu pembayaran, tapi soal bunga denda, maaf, Somad harus tetap membayarnya secara penuh. Itu perjanjian tertulisnya, Sayang, hitam di atas putih, dan sah di mata hukum.”

Sofia menghela napas. “Baiklah, tidak apa-apa.”

Wira tertawa lebar. “Aku tidak akan pergi kemana-mana hari ini,” katanya ceria, “Apa yang kamu inginkan, Sofia kekasihku, aku akan memberikannya untukmu.”

Sofia terdiam. Ia berpikir keras sebelum akhirnya berkata penuh tekad, “Aku ingin Abang memberiku uang saku, bolehkah?”

“Oh, itu hakmu yang pasti akan kau dapatkan tanpa harus diminta,” ucap Wira enteng. Ia menunjuk laci meja nakas, dan melanjutkan, “Di sana sudah kusiapkan kartu debit yang bisa kamu gunakan, Sofia.”

“B-benarkah? Terima kasih,” ucap Sofia tidak percaya. Sofia tidak terbiasa mendapatkan kemudahan dalam meminta uang. Sejak dulu, ia harus membantu orangtuanya di kebun sebelum mendapatkan uang saku yang jumlahnya tidak seberapa.

“Maksud Abang, jika kamu menginginkan sesuatu untuk dirimu sendiri seperti mobil misalnya, katakan saja, Sayang.”

Sofia menimang-nimang sejenak, kemudian menggeleng lemah. Sofia tidak ingin memberi Brian alasan untuk mengolok-oloknya lagi.

“Sementara ini, cukuplah itu saja yang aku minta,” ucap Sofia lembut. Ditatapnya Wira yang tidak mengalihkan pandang darinya.

“Kamu cantik, Sofia,” bisik Wira bahagia. Ia mengusap pipi Sofia dengan jemari, dan memajukan wajah tak sabar ingin menjelajah raga sang istri.

“Bisa kita mulai sekarang?” tanya Wira pelan. Ia menyurukan wajah ke leher Sofia yang jenjang dan wangi.

Sofia yang sudah kadung basah menjadikan dirinya jaminan atas penangguhan utang warga, mengangguk malu-malu.

“Berbaringlah, Sayang, kita akan melakukannya pelan-pelan.” Wira menyentuh lengan Sofia, dan merebahkannya di atas ranjang.

“A-apa … ini akan terasa sakit?” tanya Sofia lugu.

Wira menggeleng, “Entahlah … ini pertama kalinya juga bagiku.”

Kedua mata indah Sofia membeliak.

“P-pertama kalinya? Bukannya Abang pernah melakukan ini dengan ibunya Brian?”

Pertanyaan lugu Sofia menghentikan gerakan Wira yang sempat hilang akal dalam buaian keindahan sang gadis.

“Eh … itu, yeah, ehm … aku ….” Wira kelimpungan mencari alasan. Pasalnya, ia sendiri tidak sadar telah mengatakan pernyataan tadi. “Maksud Abang, ini pertama kalinya Abang melakukannya dengan kamu, Sofia.”

Kali ini Sofia yang terdiam. Wajahnya memerah karena malu.

Wira kembali menenggelamkan diri dalam sahara cinta Sofia. Bak musafir gurun nan dahaga menemukan oasenya. Wira betul-betul memperlakukan Sofia dengan lemah lembut, hingga Sofia tidak tersiksa rasa nyeri saat Wira memetik kembang kegadisannya.

“Kamu kesakitan?” bisik Wira setengah sadar. Sofia membuatnya nyaris gila dimabuk asmara.

Gadis itu hanya bergumam tidak jelas. Wira menggagahinya dengan cara pria sejati, tanpa melukai, tak ada yang tersakiti hingga keduanya merebah lemah, bermandi peluh.

Wira mengecup kening Sofia yang mengerut di bawah lengannya. “Terima kasih, Sofia.”

***

“Memasak itu hobiku, Bang,” ucap Sofia sambil memotong bawang.

Saat itu sudah menjelang petang, dan mereka bersiap untuk makan malam.

“Iya, nggak apa-apa. Tapi ingat, semua ini bukan kewajiban kamu. Memasak, bersih-bersih rumah, mencuci … semua biar asisten rumah tangga yang urus.” Wira bersandar santai di meja dapur, sambil memperhatikan sang istri memasak.

“Lagi motong bawang pun, kamu cantik banget, sih,” goda Wira, menjawil rambut Sofia yang masih setengah basah.

Sofia tertawa. “Gombal,” seloroh Sofia sambil memanaskan wajan dan mulai mengoseng sawi putih, hasil bagi panen dari warga kampung.

“Lho, kok gombal, sih. Besok Abang beliin cermin yang besar, biar kamu bisa ngaca!” Wira memeluk istrinya dari belakang, dan menciumi leher Sofia hingga gadis itu terkikik geli.

“Aduh, Bang, jangan ganggu, dong. Nanti masakanku gosong!” keluh Sofia sambil menggeliat, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.

“Kamu bikin candu, sih,” ujar Wira, membuat wajah Sofia merah padam.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status