แชร์

Berdebar

ผู้เขียน: Archaeopteryx
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-29 19:03:22

Gesa merasa terjebak dalam satu mobil bersama Evan. Andai saja Pak Andre tidak memaksa Evan untuk mengantar Gesa pulang, tentu gadis itu lebih memilih pulang sendiri.

Berada dalam mobil mewah bersama seseorang yang tidak tahu cara menghargai orang lain dan sangat menyebalkan itu tidak ada artinya. Ia tak mengerti kenapa Evan belum jua melajukan mobilnya sementara area parkir sudah tampak sepi.

Evan menoleh pada Gesa yang membisu seribu bahasa.

"Dengar Gesa, aku terpaksa menerima perjodohan kita karena aku berpikir realistis. Aku tak ingin kehilangan kedudukanku dan aku masih ingin menjadi bagian dari keluargaku." Evan menegaskan kata-katanya dan menatap Gesa dengan sorot tertajamnya.

Gesa menghela napas. Ia melirik Evan sepintas. "Tanpa kamu bicara seperti ini, aku sudah paham, Evan. Posisi kita sama, aku pun terpaksa."

"Wow, baru sehari aku jadi bosmu, kamu sudah berani memanggilku dengan nama." Evan tersenyum miring. Baru saja dijodohkan dan belum resmi, gadis itu merasa berada di atas angin. 

Gesa tersenyum miring. "Kamu ingin tetap dipanggil "Bapak"?"

Evan tak menjawab. Ia hanya ingin mereka tetap berjarak. 

"Setelah menikah nanti, aku tak akan memanggilmu "Bapak"," ucap Gesa.

"Rupanya sudah ada yang tidak sabar untuk menikah," balas Evan sekenanya, tanpa menoleh.

Gesa melirik Evan yang menatap lurus ke depan.

"Mungkin aku perlu mencari pekerjaan di tempat lain setelah menikah denganmu." Gesa menelan ludah. Ia tak bisa membayangkan sepanjang hari harus bertemu Evan, tak hanya di kantor, tapi juga di rumah.

"Coba saja, aku jamin tidak ada perusahaan yang mau menerimamu. Kamu masuk ke perusahaan ini juga karena beruntung. Kamu tidak cukup kompeten." Kata-kata Evan terdengar begitu pedas dan menyakitkan.

"Sampai kapan kita di sini? Apa mau bermalam di tempat parkir?" Gesa melirik jam di layar ponsel. Ia ingin cepat tiba di rumah. Ia ingin minta penjelasan pada ibunya kenapa menyetujui perjodohan ini.

Mobil itu pun akhirnya melaju. Tak ada perbincangan berarti. Evan hanya bertanya alamat rumah Gesa. Dia memang tidak pernah tahu di mana Gesa tinggal dan tidak penting baginya.

Gesa memandang ke arah luar jendela mobil. Sebenarnya ada satu hal yang ingin ia tanyakan sejak lama. Namun, ia ragu. Ia melirik Evan yang tengah fokus menyetir. Pria itu yang dulu begitu memahaminya. Yang selalu menuliskan pesan 'have a nice dream' sebelum tidur. Yang selalu dapat Gesa andalkan. Namun, sikapnya berubah drastis setelah pertemuan itu. Ini yang membuat Gesa bertanya-tanya.

Selama ini Gesa selalu menduga jika Evan menjauh darinya karena merasa Gesa tak memenuhi standar kriteria idamannya. 

"Evan...." Gesa memberanikan diri untuk membuka obrolan. Keheningan ini akan serasa lebih bermakna jika dipecahkan. 

"Apa?" tanya Evan ketus. Ia tak menoleh dan masih memusatkan perhatian pada kemudinya.

"Aku ingin tanya tentang sikap kamu dulu. Kenapa kamu menjauh setelah pertemuan kita?"

Evan menarik napas panjang lalu menghembuskannya kembali.

"Masih saja membahas masa lalu," sahut Evan masih dengan nada bicaranya yang ketus.

"Tentu ini perlu dibahas. Karena takdir kembali mempertemukan kita dan bahkan sebentar lagi kita menikah. Jadi wajar jika aku ingin tahu." Gesa melirik Evan sekali lagi. 

Gesa tahu, daya pesona Evan luar biasa. Dari samping wajah laki-laki itu tetap terlihat seperti pahatan sempurna. Hidung yang mancung, garis rahang yang tegas, alis tebal dan simetris, bulu mata yang lentik, mata setajam elang, dan cambang tipis yang menambah kesan manly. Namun, Gesa pun menyadari, Evan terlalu tampan untuk dirinya yang bahkan tak bisa membedakan mana lipstik nude, mana lipstik mauve. 

"Menurutmu kenapa? Kamu mungkin punya jawabannya." Evan selalu seperti itu. Kadang menjadikan semua hal sebagai teka-teki.

Gesa menghela napas sejenak. "Mungkin karena aku gak memenuhi standar. Aku nggak cantik, nggak populer, dan dekat denganku hanya akan menurunkan levelmu." 

"Tidak semua hal harus dinilai dari fisik dan popularitas. Kalau memang aku gila fisik, aku akan mati-matian menolak perjodohan kita karena secara fisik, kamu bukan tipeku dan tidak menarik."

Lagi-lagi perkataan Evan menusuk hingga jantung. "Lalu kenapa kamu menjauh waktu itu? Tinggal jawab saja, apa susahnya?" Gesa menatap  Evan sekali lagi.

Evan menoleh Gesa sekilas. "Lupakan saja. Meski kamu nanya seribu kali, aku nggak akan jawab."

Gesa mencelos. Ia mengunci bibirnya lagi. Rasanya ia malas mengajak Evan berbincang karena ujung-ujungnya laki-laki itu akan membuatnya kesal.

Tak terasa mereka tiba juga di depan rumah Gesa. Gesa menghembuskan napas lega. Ia berusaha melepas sabuk pengaman, tapi sabuk itu tidak terlepas juga.

Evan inisiatif membantunya. Hal ini membuat jaraknya dan Gesa kian terpangkas. Wajah Evan hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah Gesa. Untuk sesaat netra mereka beradu. Hembusan napas Evan serasa menyapu wajah Gesa. Aroma mint yang menyegarkan. 

Gesa berdebar tak menentu menatap Evan yang juga menatapnya. Jarak sedekat ini buncahkan sensasi yang membuat Gesa deg-degan bukan kepalang. Debaran itu semakin merajai tatkala Evan mendekatkan wajahnya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Menikahi Bos Aroganku   Kesepakatan Tambahan

    Gesa masih saja kesal. Sekuat apa pun usahanya untuk bersikap netral dan tak peduli, nyatanya ia tak bisa membohongi hati kecilnya. Kecemburuan itu ada. Ia tak bisa bersikap seolah-olah dia bukan siapa-siapanya Evan. Pernikahan itu real terlepas dari apa pun latar belakang yang menyebabkan pernikahan itu terjadi.Ia bertambah kesal kala melihat Rivana keluar dari ruangan Evan dan tersenyum miring ketika melintas di hadapannya. Tampak benar gadis itu menyukai kegelisahannya. Gesa tak mau menunjukkan kelemahan maupun rasa cemburunya. Ia akan berpura-pura jika sikap Evan tak berpengaruh apa-apa terhadapnya.Ketika tiba saatnya pulang, Evan mendatanginya dan menatapnya datar. Gesa menatapnya sekilas, tapi buru-buru ia alihkan pada layar laptop yang baru saja ia matikan."Kita pulang bareng, setelah itu mampir makan malam," tukas Evan datar.Gesa tahu, Evan menatap ke arahnya. Namun, Gesa enggan menatap balik. "Tadi pagi aku berangkat sendiri, naik motor. Pulangnya juga naik motor. Masa i

  • Menikahi Bos Aroganku   Menyakitkan

    "Halo Gesa, senang bertemu denganmu. Sudah sekian lama kita tidak bertemu, kamu masih seperti yang dulu." Rivana menatap Gesa di luar ruangan rapat setelah rapat selesai. Tatapannya begitu menelisik dari ujung kepala hingga kaki."Masih seperti yang dulu?" Gesa memicingkan matanya. Ia tak suka berbasa-basi."Ya, masih seperti yang dulu. Yang nggak bisa make up, kurang pinter milih outfit, dan tidak terlihat upgrade di penampilan." Rivana bicara tanpa tedeng aling-aling. Gesa sudah sangat paham akan karakter seniornya yang suka meremehkan orang lain. Sebenarnya, tak jauh dari Evan.Gesa menatap Rivana, sama dengan cara Rivana menatapnya. Ia seakan tengah mengabsen inci demi inci penampilan Rivana. "Apa kamu merasa cukup upgrade? Kamu lebih menarik saat masih kuliah. Maaf, ini jujur dari hati." Gesa mengamati Rivana yang tampak jauh lebih berisi dibanding dulu. Hanya saja Gesa tak ingin berkomentar negatif yang menyinggung fisik orang lain, meski Rivana lebih dulu meremehkannya.Rivana

  • Menikahi Bos Aroganku   Kejutan Pagi

    Gesa gugup bukan main. Degup jantungnya terasa berpacu lebih cepat. Jarak antara dirinya dan Evan semakin terpangkas. Gesa tak lagi bisa mundur. Ujung bibir Evan menyentuh ujung bibirnya. Gemuruh rasa itu kian membakar. Dada Gesa berdebar hebat. Ketika Evan memainkan ritme, Gesa terpaku sekian detik. Ini ciuman pertamanya. Ia tak tahu bagaimana membalasnya. Evan belum ingin menyerah. Ia hentikan ciumannya dan beralih dengan bisikan lirih di telinga istrinya. "Balas ciumanku, ikuti ritmenya."Suara lembut Evan terdengar begitu memikat. Nada suaranya seolah seperti sebuah hasrat yang tengah menanjak. Telinga Gesa meremang. Dadanya semakin berdebar. Getaran seakan merayap di setiap sendi.Evan kembali mendaratkan ujung bibirnya di bibir Gesa. Kali ini, Gesa lebih siap dibanding sebelumnya. Ia mengikuti ritme untuk membalas ciuman Evan.Waktu seolah berhenti. Dunia dan seisinya seakan menjadi milik keduanya. Sensasi ciuman pertama ini begitu manis, hangat, dan membekas. Ketika momen itu

  • Menikahi Bos Aroganku   One Step Closer

    Malam ini atmosfer kembali asing. Hanya keheningan yang mendominasi. Bahkan Gesa pun melewatkan makan malam karena ia tak mood untuk makan malam.Sekitar jam sembilan, Gesa keluar kamar. Ia ingin mengambil air. Ketika ia melangkah keluar, matanya bertemu dengan mata Evan yang tengah duduk di ruang tengah dengan laptop di hadapannya. Keduanya terdiam sekian detik seakan tatapan menjadi satu-satunya cara untuk berbicara. Gesa mengalihkan pandangan ke arah lain. Tanpa suara, ia melangkah menuju dapur untuk mengambil air.Gesa duduk sejenak di ruang makan. Ia meneguk air putih lalu merenungi nasibnya. Gesa menopang dagu dengan tangannya. Ia berpikir ulang, apa keputusan menikahi Evan adalah keputusan terburuk dalam hidupnya? Ia pikir, tak mengapa menjalani pernikahan perjodohan dengan kesepakatan meski tanpa cinta. Nyatanya, jauh di hati kecilnya, ia merindukan pernikahan yang normal.Mendadak hatinya bergerimis. Tiba-tiba ia merindukan kehidupan lamanya. Rumah yang ia tinggali sekarang

  • Menikahi Bos Aroganku   Menjadi Asing

    Pagi ini terasa lebih sibuk dibanding pagi sebelumnya. Orang tua Evan telah pulang, Evan dan Gesa kembali tidur terpisah. Namun, kesibukan sebelum berangkat kerja masihlah sama.Gesa inisiatif bangun lebih pagi. Ia siapkan menu yang praktis untuk sarapan. Roti panggang dioles selai coklat dan buah pisang menjadi pilihan. Dua cangkir kopi tak ketinggalan. Evan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya duduk tenang di ruang makan. Ia melirik sepiring roti panggang di hadapannya. Aroma harum kopi juga menyeruak dan menarik minatnya untuk meneguknya.Gesa duduk di hadapannya tak lama kemudian. Netra mereka kembali bertemu. Setiap menatap Sang Suami selalu ada debaran yang merajai. Namun, Gesa berusaha bersikap setenang mungkin."Kamu menyiapkan semua ini? Good... Makasih," ucap Evan seraya menyuapkan sepotong roti panggang."Gimana rasanya?" tanya Gesa dengan satu senyum manis.Evan berhenti mengunyah lalu menatap Gesa datar. "Hmm tidak bisa dibilang enak, tapi juga nggak bisa dibilang ngg

  • Menikahi Bos Aroganku   Pagi yang Hangat

    Gesa mengerjap lalu perlahan membuka mata. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Gesa berpikir, apa dia kesiangan? Evan sedang mandi itu artinya ia kesiangan. Gesa melirik jam dinding. Ternyata masih jam empat pagi. Namun, Evan sudah mandi sepagi ini?Tak lama kemudian, Evan keluar dari kamar mandi. Handuk terlilit di pinggangnya. Tubuh atletis Evan ditambah perut sixpack-nya membuat dada Gesa bergemuruh tak menentu."Kamu mandi pagi sekali," ucap Gesa. Netranya mengamati Evan yang tengah mengambil baju di lemari. "Iya, soalnya Ayah udah pasti ngajakin Subuhan di Masjid depan. Ayah tahunya kan semalam kita habis cocok tanam. Makanya aku mandi untuk lebih meyakinkan." Gesa mengamati rambut Evan yang memang tampak basah. Evan kembali menoleh ke arah Gesa."Kamu menghadap sana ya. Aku mau ganti baju. Jangan berbalik sebelum aku minta." Evan menegaskan kata-katanya. Gesa menuruti kemauan Evan. Ia membalikkan badan. "Udah belum, Van?""Belum, sebentar lagi." "Udah," ucap Ev

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status