Gesa merasa terjebak dalam satu mobil bersama Evan. Andai saja Pak Andre tidak memaksa Evan untuk mengantar Gesa pulang, tentu gadis itu lebih memilih pulang sendiri.
Berada dalam mobil mewah bersama seseorang yang tidak tahu cara menghargai orang lain dan sangat menyebalkan itu tidak ada artinya. Ia tak mengerti kenapa Evan belum jua melajukan mobilnya sementara area parkir sudah tampak sepi. Evan menoleh pada Gesa yang membisu seribu bahasa. "Dengar Gesa, aku terpaksa menerima perjodohan kita karena aku berpikir realistis. Aku tak ingin kehilangan kedudukanku dan aku masih ingin menjadi bagian dari keluargaku." Evan menegaskan kata-katanya dan menatap Gesa dengan sorot tertajamnya. Gesa menghela napas. Ia melirik Evan sepintas. "Tanpa kamu bicara seperti ini, aku sudah paham, Evan. Posisi kita sama, aku pun terpaksa." "Wow, baru sehari aku jadi bosmu, kamu sudah berani memanggilku dengan nama." Evan tersenyum miring. Baru saja dijodohkan dan belum resmi, gadis itu merasa berada di atas angin. Gesa tersenyum miring. "Kamu ingin tetap dipanggil "Bapak"?" Evan tak menjawab. Ia hanya ingin mereka tetap berjarak. "Setelah menikah nanti, aku tak akan memanggilmu "Bapak"," ucap Gesa. "Rupanya sudah ada yang tidak sabar untuk menikah," balas Evan sekenanya, tanpa menoleh. Gesa melirik Evan yang menatap lurus ke depan. "Mungkin aku perlu mencari pekerjaan di tempat lain setelah menikah denganmu." Gesa menelan ludah. Ia tak bisa membayangkan sepanjang hari harus bertemu Evan, tak hanya di kantor, tapi juga di rumah. "Coba saja, aku jamin tidak ada perusahaan yang mau menerimamu. Kamu masuk ke perusahaan ini juga karena beruntung. Kamu tidak cukup kompeten." Kata-kata Evan terdengar begitu pedas dan menyakitkan. "Sampai kapan kita di sini? Apa mau bermalam di tempat parkir?" Gesa melirik jam di layar ponsel. Ia ingin cepat tiba di rumah. Ia ingin minta penjelasan pada ibunya kenapa menyetujui perjodohan ini. Mobil itu pun akhirnya melaju. Tak ada perbincangan berarti. Evan hanya bertanya alamat rumah Gesa. Dia memang tidak pernah tahu di mana Gesa tinggal dan tidak penting baginya. Gesa memandang ke arah luar jendela mobil. Sebenarnya ada satu hal yang ingin ia tanyakan sejak lama. Namun, ia ragu. Ia melirik Evan yang tengah fokus menyetir. Pria itu yang dulu begitu memahaminya. Yang selalu menuliskan pesan 'have a nice dream' sebelum tidur. Yang selalu dapat Gesa andalkan. Namun, sikapnya berubah drastis setelah pertemuan itu. Ini yang membuat Gesa bertanya-tanya. Selama ini Gesa selalu menduga jika Evan menjauh darinya karena merasa Gesa tak memenuhi standar kriteria idamannya. "Evan...." Gesa memberanikan diri untuk membuka obrolan. Keheningan ini akan serasa lebih bermakna jika dipecahkan. "Apa?" tanya Evan ketus. Ia tak menoleh dan masih memusatkan perhatian pada kemudinya. "Aku ingin tanya tentang sikap kamu dulu. Kenapa kamu menjauh setelah pertemuan kita?" Evan menarik napas panjang lalu menghembuskannya kembali. "Masih saja membahas masa lalu," sahut Evan masih dengan nada bicaranya yang ketus. "Tentu ini perlu dibahas. Karena takdir kembali mempertemukan kita dan bahkan sebentar lagi kita menikah. Jadi wajar jika aku ingin tahu." Gesa melirik Evan sekali lagi. Gesa tahu, daya pesona Evan luar biasa. Dari samping wajah laki-laki itu tetap terlihat seperti pahatan sempurna. Hidung yang mancung, garis rahang yang tegas, alis tebal dan simetris, bulu mata yang lentik, mata setajam elang, dan cambang tipis yang menambah kesan manly. Namun, Gesa pun menyadari, Evan terlalu tampan untuk dirinya yang bahkan tak bisa membedakan mana lipstik nude, mana lipstik mauve. "Menurutmu kenapa? Kamu mungkin punya jawabannya." Evan selalu seperti itu. Kadang menjadikan semua hal sebagai teka-teki. Gesa menghela napas sejenak. "Mungkin karena aku gak memenuhi standar. Aku nggak cantik, nggak populer, dan dekat denganku hanya akan menurunkan levelmu." "Tidak semua hal harus dinilai dari fisik dan popularitas. Kalau memang aku gila fisik, aku akan mati-matian menolak perjodohan kita karena secara fisik, kamu bukan tipeku dan tidak menarik." Lagi-lagi perkataan Evan menusuk hingga jantung. "Lalu kenapa kamu menjauh waktu itu? Tinggal jawab saja, apa susahnya?" Gesa menatap Evan sekali lagi. Evan menoleh Gesa sekilas. "Lupakan saja. Meski kamu nanya seribu kali, aku nggak akan jawab." Gesa mencelos. Ia mengunci bibirnya lagi. Rasanya ia malas mengajak Evan berbincang karena ujung-ujungnya laki-laki itu akan membuatnya kesal. Tak terasa mereka tiba juga di depan rumah Gesa. Gesa menghembuskan napas lega. Ia berusaha melepas sabuk pengaman, tapi sabuk itu tidak terlepas juga. Evan inisiatif membantunya. Hal ini membuat jaraknya dan Gesa kian terpangkas. Wajah Evan hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah Gesa. Untuk sesaat netra mereka beradu. Hembusan napas Evan serasa menyapu wajah Gesa. Aroma mint yang menyegarkan. Gesa berdebar tak menentu menatap Evan yang juga menatapnya. Jarak sedekat ini buncahkan sensasi yang membuat Gesa deg-degan bukan kepalang. Debaran itu semakin merajai tatkala Evan mendekatkan wajahnya.Gesa bingung hendak berbuat apa. Jika ia bergeser, ia malah takut dirinya akan bersentuhan dengan Evan. Baru aja dijodohkan, masa iya bosnya mau mencium bibirnya? Apa yang harus ia lakukan jika Evan benar-benar melakukannya? Sementara dia belum pernah berpengalaman soal ini. Evan melepas pengait sabuk itu dan berhasil. Evan kembali menjauhkan wajahnya. Gesa bisa bernapas lega. Ia sempat salah duga. Atau dia terlalu berharap? Tidak, Gesa tahu dirinya tak boleh lemah. Ia tak akan berharap apa pun pada pernikahannya dan Evan karena ini pernikahan perjodohan yang dipaksakan. "Kamu ingin terus di sini bersamaku? Atau kamu sudah sangat menghayati peranmu sebagai istriku? Hingga tak ingin jauh dariku." Evan bicara dengan nada yang sewot. Tatapan yang seolah mengintimidasi itu selalu menjadi ciri khasnya. "Maaf... Aku akan turun secepatnya. Maaf juga, karena sudah malam aku nggak akan menawari kamu untuk mampir ke rumah." Gesa tersenyum tipis, bukan senyum tulus untuk berterima kasih. Evan
Gesa merasa terjebak dalam satu mobil bersama Evan. Andai saja Pak Andre tidak memaksa Evan untuk mengantar Gesa pulang, tentu gadis itu lebih memilih pulang sendiri. Berada dalam mobil mewah bersama seseorang yang tidak tahu cara menghargai orang lain dan sangat menyebalkan itu tidak ada artinya. Ia tak mengerti kenapa Evan belum jua melajukan mobilnya sementara area parkir sudah tampak sepi. Evan menoleh pada Gesa yang membisu seribu bahasa. "Dengar Gesa, aku terpaksa menerima perjodohan kita karena aku berpikir realistis. Aku tak ingin kehilangan kedudukanku dan aku masih ingin menjadi bagian dari keluargaku." Evan menegaskan kata-katanya dan menatap Gesa dengan sorot tertajamnya. Gesa menghela napas. Ia melirik Evan sepintas. "Tanpa kamu bicara seperti ini, aku sudah paham, Evan. Posisi kita sama, aku pun terpaksa." "Wow, baru sehari aku jadi bosmu, kamu sudah berani memanggilku dengan nama." Evan tersenyum miring. Baru saja dijodohkan dan belum resmi, gadis itu merasa berada
Seharian Gesa mengerjakan revisi rancangannya. Gesa hanya beristirahat saat jam istirahat. Hingga petang berlalu, Gesa masih berkutat dengan pekerjaannya.Satu per satu rekan kerja Gesa telah pulang lebih dulu. Sementara, Gesa masih terpaku pada layar laptop. Evan masih ada di ruangannya. Gesa berpikir apakah Evan sedang menunggunya menyetor rancangan yang sudah ia revisi? Gesa berencana menyerahkan hasil revisi meski belum sempat mem-print. Biar Evan melihat langsung dari laptopnya. Evan memberinya waktu hingga hari ini saja.Gesa membawa laptopnya menuju ruangan Evan. Gesa mengetuk pintu. Terdengar jawaban dari dalam."Silakan masuk."Gesa membuka pintu dan melangkah masuk dengan sedikit ragu. Ia terperanjat melihat Pak Andre, CEO perusahaan sekaligus ayah dari Evan ada di ruangan itu juga."Kebetulan kamu datang, Gesa. Ada hal penting yang akan saya bicarakan." Andre tersenyum menatap Gesa.Gesa membeku sekian detik. Dadanya tiba-tiba berdebar. Ia takut Pak Andre akan mempermasal
Gesa mencoba menstabilkan napas, menenangkan diri, dan menguatkan hati. Ia membawa map berisi rancangan rebranding perusahaan. Jari tangannya gemetar. Dia kesulitan mengendalikan degup jantung yang terus berloncatan. Rasanya seperti akan menghadapi monster.Ketika Gesa masuk ke ruangan Evan, laki-laki itu menatapnya dingin. Tak ada ekspresi berarti. Ia mempersilakan Gesa duduk dengan bahasa yang begitu formal, seolah mereka tak pernah saling mengenal.Gesa menyerahkan map coklat pada Evan dengan debaran yang masih merajai. Bahkan Gesa tak sanggup menatapnya."Kamu yang bertanggung jawab membuat rancangan branding perusahaan, 'kan? Saya akan mengeceknya," ucap Evan datar.Gesa hanya mengangguk pelan. Suasana begitu menegangkan. Ingatan Gesa melayang ke masa kuliah ketika dirinya menyerahkan hasil desain logo ekstrakurikuler art design. Evan merobek rancangannya dan mencemooh karyanya seperti karya anak SD. Kini Gesa dihadapkan pada situasi yang sama. Sesaat Gesa merasa semesta seolah
Seperti biasa Gesa terburu-buru menuju kantor. Kota besar ini tidak lagi memberikan ruang yang cukup untuk bernapas. Setiap hari harus bergelut dengan lalu lintas yang padat, kendaraan yang berlalu lalang, dan orang-orang yang berjalan dengan tergesa-gesa.Hari ini perusahaan akan mengenalkan Chief Creative Officer yang baru. Gesa berharap bosnya kali ini bisa lebih memahami karyawan dan tidak asal memberikan tugas tanpa tahu batas kelelahan seorang karyawan.Tiba di kantor dengan napas tersengal-sengal adalah hal yang biasa. Gesa ingin memberikan kesan yang baik di depan bosnya yang baru.Gesa meletakkan tasnya di meja. Dia menghirup napas sejenak untuk menetralkan deru napas yang masih terdengar memburu. Suara Amy, rekan kerjanya memecah keheningan."Bersiaplah teman-teman untuk rapat. Hari ini kita akan dikenalkan dengan CCO kita yang baru."Semua staf bersiap memasuki ruangan untuk menghadiri rapat internal divisi kreatif. Atmosfer ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. Rasan