Share

BAB 4

Author: Tagetesnim
last update Huling Na-update: 2023-07-10 22:58:46

Segalanya terasa seperti mimpi bagi Luna. Orang paling berharga yang dia miliki tiba-tiba saja pergi. Tanpa mengucapkan kata pamit dengan benar.  Tanpa memberikan waktu bagi Luna untuk sedikitnya bisa belajar memahami situasi yang terjadi.

"Mami, Luna. Sebentar lagi hujan, kita harus pulang."

Di dekapan Vika, ibunya, Luna duduk diam menatap pusara yang masih baru bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah kering, tetapi lukanya masih basah, sama seperti tanah kuburan Okta.

Luna menatap Cale. Mendapati kakaknya memberikan anggukan kecil, isyarat agar Luna lekas berdiri. Sebagai anak, mereka harus tetap kuat agar Vika juga kuat.

Luna menyadari betapa Cale berusaha untuk tetap tegar sebagai seorang putra dan anak pertama. Meski tidak bisa setegar Cale, Luna pikir setidaknya dia tidak terlihat begitu rapuh.

Luna membantu ibunya berdiri. Bertekad untuk lebih kuat demi kakaknya, demi ibunya. Namun begitu melihat pigura berisi foto Okta yang tersenyum, Luna seakan kembali ditarik pada pusaran rasa sedih yang mendalam.

"Pi!" Luna memekik. Bersimpuh di depan tempat peristirahatan terakhir Okta. "Aku tidak mau pergi. Papi pasti sendirian. Papi pasti kesepian. Bagaimana jika Papi kedinginan? Aku mau di sini, memeluk Papi. Aku mau pergi bersama Papi."

Pada akhirnya Luna gagal. Sekuat apa pun usahanya, dia tidak bisa berpura-pura tetap kuat. Kepergian ayahnya bukan hanya menyisakan kesedihan yang pekat bagi Luna, tetapi juga rasa sesal yang mendalam.

Andai saja, perjodohan tidak pernah terjadi. Andai saja, Luna tidak bersikeras melanjutkan perjodohan saat awalnya Liam menolak. Andai saja, Liam tidak dengan egois meninggalkan pernikahan begitu saja. Andai saja, mereka tidak pernah terlibat sejak awal.

***

Hujan turun sesaat setelah Cale berhasil membawa Luna pulang. Meski begitu, tidak serta merta Luna baik-baik saja. Perempuan itu masih terlihat murung. Sepasang matanya sembab dan bengkak karena terlalu sering menangis.

"Luna, Mbak Vika."

Baik Luna mau pun ibunya seketika menoleh begitu mendengar panggilan seseorang. Berbeda dengan Luna yang hanya berdiri diam dengan tatapan lelah, Vika langsung berlari menghampiri wanita yang memanggil namanya.

"Bawa suamiku pulang! Bawa dia pulang!" Vika menarik-narik tangan Tania, ibu dari Liam. "Dia baik-baik saja sebelumnya. Dia begitu antusias dengan pernikahan Luna. Tapi dia pulang dalam keadaan tak bernyawa karena anakmu!"

"Maafkan kami, Mbak. Ini semua memang salah kami." 

Adi dan Tania memohon maaf dengan sungguh. Namun hal itu sama sekali tidak membuat Vika merasa lebih baik. Wanita tersebut masih menangis, meraung-raung menyesali kepergian suami tercinta. Sayangnya, yang pergi akan tetap pergi, sekeras apa pun tangis yang kita beri.

Luna dan Cale mendekat untuk membawa ibu mereka masuk. Sebelum benar-benar meninggalkan Adi dan Tania, Luna berbicara untuk terakhir kalinya pada mereka berdua.

"Om, Tante," panggil Luna pelan. "Aku sudah menganggap kalian berdua sebagai orang tuaku sendiri. Aku menghormati kalian layaknya aku menghormati Papi dan Mami."

"Luna ...."

 "Tapi Om, Tante, mohon beri kami waktu untuk memulihkan diri. Kehilangan Papi sudah cukup membuat kami semua merasa menderita," lanjut Luna lirih.

Tania mendekat perlahan, lantas memeluk tubuh Luna. Membiarkan Luna meletakkan kepala di atas pundaknya, untuk sejenak meredakan lelah dan capai yang dia punya.

"Tante paham," ucap Tania. "Sekali lagi maafkan Tante dan Om karena telah membiarkan kekacauan ini terjadi."

"Ya, dan maafkan Mami jika dia menyalahkan Liam atas kematian Papi. Dia hanya merasa terpukul dan tidak tahu harus melampiaskan ke mana rasa marahnya."

"Kami mengerti," balas Tania, melerai pelukan lantas mengusap setitik air mata yang lagi-lagi menetes di pipi Luna. "Tante dan Om juga marah atas tindakan gegabah yang dilakukan Liam sehingga menyebabkan semua kekacauan ini terjadi, apalagi dengan Mami kamu? Kami sama sekali tidak marah dan memahami semuanya, Luna."

Luna mengangguk pelan. "Kalau begitu, aku pamit masuk. Jangan lupa beristirahat dan makan dengan baik, Om, Tante," pesan Luna.

Dapat Luna lihat Tania dan Adi sedih mendengar ucapannya tersebut. Seolah, mimpi-mimpi mereka untuk bisa menjadikannya menantu telah sirna. Jangankan untuk menjadikan menantu, menjadikan Luna sebagai anak dari sahabatnya yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri saja kini rasanya sudah tidak bisa. Tapi Luna juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini bukan keadaan yang bisa dia pilih sendiri.

Di dalam kamar, di dekat jendela, Luna melihat ibunya duduk diam dengan tatapan kosong. Tampak jelas betapa terluka hatinya harus merelakan suami yang paling dia cintai. Cale juga masih di sana, berdiri di belakang ibunya dengan tatapan sedih.

"Mi," panggil Luna. Vika menoleh. Namun tidak ada reaksi berarti darinya. "Mami pasti sangat lelah. Kenapa Mami tidak beristirahat?" tanyanya seraya melingkarkan tangannya di leher Vika dan merebahkan kepala di atas kepala ibunya.

"Meskipun ingin, tetapi Mami tidak bisa," jawab Vika lemah.

Luna menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan tangis. "Maaf, Mi. Ini semua karenaku. Semua tidak akan terjadi jika aku tidak bersikukuh dengan perjodohan ini."

Menggeleng, Vika menggenggam lembut tangan Luna. "Ini bukan salah siapa pun, Sayang. Bukan salah kamu, salah Liam, atau salah siapa pun. Mami tahu hal itu."

"Mi ...."

"Mungkin sudah ditakdirkan umur Papi kamu hanya sampai hari kemarin. Dengan atau tanpa kejadian kemarin pun, jika takdirnya sudah mengatakan Papi harus meninggal kemarin malam, dia akan tetap meninggal."

Cale dan Luna sama-sama tidak menyangka dengan jawaban tak terduga yang diberikan oleh Vika. Jauh dengan apa yang mereka lihat, Vika rupanya lebih kuat.

Vika menoleh, membuat Luna harus melerai pelukannya. "Sesaat, Mami hanya emosi. Mami terlalu sedih sampai ingin menyalahkan siapa pun atas kematian Papi kalian. Padahal, tidak ada yang patut disalahkan atas kematiannya. Semuanya murni hanya karena Mami terlalu kehilangan."

Tangis Luna pecah mendengar apa yang ibunya katakan. Meski lega, tapi entah mengapa dia lebih senang jika ibunya mengamuk dan menyalahkan Liam atau dirinya atas hal ini. Dia lebih senang ibunya meluapkan seluruh emosi padanya atau pada siapa pun. Dengan begitu ... bebannya tidak akan terlalu berat. Beban penyesalan yang mendalam.

***

Suara rintik air yang jatuh terdengar semakin riuh. Tampaknya hujan mulai turun deras di luar. Liam memandangi Raisa yang baru saja bangun dan tengah menikmati teh hangat yang dia buatkan.

"Sudah merasa lebih baik sekarang?" Liam tanya dengan hangat.

Raisa mengangguk menanggapi Liam. "Ya, aku baik-baik saja," gumam wanita itu.

"Bagaimana dengan mualnya?" Tatapan Liam turun pada perut Raisa yang masih datar.

"Jauh lebih baik sejak kamu datang." Raisa tersenyum penuh cinta seraya menatap Liam intens. Lantas meraih tangan Liam dan menggenggamnya. "Terima kasih karena sudah memilihku."

Liam menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Kau tahu seberapa besar cinta yang aku punya, serta aku tidak akan sebrengsek itu dengan mencampakkan calon buah hatiku sendiri."

Senyum Raisa semakin lebar. "Kita berangkat sekarang?" dia tanya.

Liam melirik pada kaca jendela, di mana air mengalir deras di sana. "Masih hujan, tapi kita tidak punya waktu, jadi ayo!" jawabnya, tersenyum.

Liam meraih mantel tebal milik Raisa dan memakaikannya pada wanita itu. Lantas keduanya berjalan keluar, meninggalkan kota, meninggalkan negara tempat mereka lahir. Keduanya memilih memulai kehidupan baru di tempat yang benar-benar asing dan jauh dari keluarga Liam. Lari dari semua tuntutan keluarga dan apa pun yang berkaitan dengan hal itu.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menikahi CEO Duda   BAB 41

    Pikiran Luna seketika kosong. Tiba-tiba saja, saat ini dia duduk di hadapan Liam dan Nic, dengan suka rela. Oh, padahal sebelumnya dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mulai membatasi interaksi dengan mereka berdua. Namun yang terjadi malah sebaliknya.Sementara itu, Nic mengamati dua orang dewasa si sekitarnya. Jelas terlihat situasi yang canggung di antara mereka, dan Nic harus mencari cara untuk mencairkan kecanggungan tersebut."Aunty," panggil Nic.Luna menatap bocah tampan yang wajahnya amat menyerupai Liam. Benar-benar hampir keseluruhan wajahnya diwarisi anak tersebut dari ayahnya."Dad membelikan sesuatu untukmu," gumam Nic kembali dengan senyuman lebarnya. Anak tersebut lantas menoleh ke arah ayahnya, seolah memberikan kode kepada Liam. Mengerti apa yang Nic katakan, Liam segera mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemejanya. Sebuah kotak beludru yang bisa Luna tebak isinya."Nic yang mengusulkan aku memberikan ini padamu." Liam mengatakan hal tersebut seolah-olah

  • Menikahi CEO Duda   BAB 40

    BAB 40 Firasat Cale tidak pernah salah. Setiap kali dia merasa sesuatu terjadi, maka memang benar ada yang terjadi. Namun sesungguhnya, Cale tidak berharap firasat buruknya menjadi kenyataan. Sejauh ini, dia hanya ingin hidupnya baik-baik saja. Cukup. Namun, takdir tak pernah sejalan dengan alur yang dia inginkan. Seperti saat ini, saat tiba-tiba dia duduk berhadapan dengan Levin di kafetaria rumah sakit. “Apa kabar, Cale?” Pertanyaan yang seharusnya tak pernah terucap dari bibir Levin terdengar, membuat Cale menghela napas pelan seraya membuang pandang ke mana pun, asal bukan pada wajah Levin di hadapannya. Levin lantas terkekeh sumbang beberapa lama kemudian. Mungkin sadar bahwa pertanyaan yang dia ajukan terlalu konyol meskipun hanya untuk basa-basi. “Aku tidak sengaja melihatmu di meja administrasi tadi, lalu mengikutimu. Tahu, kau pasti akan mengabaikan aku jika aku memanggilmu di jalan,” tandas Levin kembali. Matanya masih menatap Cale lurus, membaca ekspresi wajah lela

  • Menikahi CEO Duda   BAB 39

    Pertunangan Luna dan Liam terjadi begitu saja beberapa waktu setelahnya. Cale berkali-kali bertanya pada Liam, bagaimana menurutnya mengenai pertunangan ini, dan berkali-kali pula Liam menjawab dengan mengambang. Cale tidak mendapat jawaban pasti, apakah ini benar atas dasar keputusannya dari hati yang tulus atau tidak. Cale sampai tidak tahu bagaimana harus menyikapi semuanya."Kau sudah resmi menjadi tunangan adikku sekarang," pungkas Cale saat itu. Sehari setelah acara pertunangan yang meriah selesai digelar.Liam, dengan wajah yang terlihat tidak senang tapi juga tidak sedih itu mengangguk ringan. "Pada akhirnya kau sudah memutuskan?" tanya Cale.Namun diamnya Liam justru membuat Cale agak cemas. Terlebih, saat menangkap ekspresi kebingungan yang mampir di wajahnya."Liam, kau tahu betul bahwa Luna adalah adik kesayanganku, bukan?" Cale menatapnya dengan serius.Liam menelan saliva dengan susah payah. Tampak sulit bagi lelaki itu untuk menjawab. Cale juga sedikitnya tahu bahwa bel

  • Menikahi CEO Duda   LOHA!

    HALO! Di sini ada orang, kan? Coba absen dulu di bawah, biar aku tahu!:) Ehm. Kalian nemu cerita ini di mana? Terus, kenapa bisa suka dan ngikutin cerita MENIKAHI CEO DUDA sampai sejauh ini? Tokoh favoritnya siapa? Tokoh yang bikin kalian penasaran, ada? Atau tokoh yang bikin kalian sebel? O ya, aku mau tanya juga, sejauh ini ceritanya membingungkan kah? Terutama di bab sebelumnya? Itu kayak flashback, ya, tapi dituliskan tidak secara gamblang sebagai flashback. Atau apakah ceritanya bertele-tele? Tolong jawabannya supaya aku bisa berbenah dan bab selanjutnya akan lebih baik. Terima kasih! Masukan dari kalian semua sangat berarti buatku!^^ dan maaf sebelumnya karena aku pernah jarang update huhuhu.

  • Menikahi CEO Duda   BAB 38

    Cale, Liam, dan Levin, berteman sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Membuat mereka dekat bak saudara. Apalagi orang tua mereka merupakan rekan bisnis. Terutama orang tua Liam dan Cale yang juga saling mengenal secara pribadi sejak lama. Saat kuliah, meski mereka memilih kampus dan jurusan berbeda, tidak lantas membuat hubungan ketiganya menjadi renggang. Mereka masih sering berkumpul, bahkan membawa teman dekat mereka yang lain, seperti Dylan dan Calvin.Calvin bilang, mereka itu adalah takdir. Cale yang dewasa, Liam yang cerdas, Levin yang dingin tetapi selalu dapat diandalkan, Dylan si biang onar, dan Calvin yang pelawak. Mereka ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Meski hubungan ketiganya cukup erat, bukan berarti mereka tidak pernah bermasalah. Sesekali mereka bertengkar. Dari pertengkaran kecil hingga nyaris besar, semuanya pernah terjadi. Dan yang paling sering berseteru adalah Dylan dan Levin. Karakter mereka yang berbanding terbalik seratus delapan pu

  • Menikahi CEO Duda   BAB 37

    Cale menatap anaknya yang kini tengah terlelap dengan Bianca di atas ranjang rumah sakit. Sementara dirinya baru saja menyelesaikan pekerjaan kantor yang dia kerjakan sambil menunggu istrinya. Lelaki itu merapikan meja lalu berjalan mendekat pada Aurora. Anak tersebut tampaknya begitu kepanasan, sehingga keringat membuat kening dan rambutnya basah. Ia yakin, begitu bangun nanti, rambut anak tersebut akan berubah sangat lepek dan dia harus membuatnya keramas. Cale tersenyum kecil. Meski agak lelah karena dia harus bekerja seraya mengurus Bianca, tetapi lelah tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bisa menemani secara langsung setiap perkembangan kesehatan Bianca dan calon bayi di perut wanita itu. "Selamat malam, Sayang." Cale mengecup kening Bianca dengan sayang. Siapa pun yang menyaksikan hal itu, pastinya akan bisa merasakan sebesar apa perasaan yang dipunya lelaki itu atas istrinya. "Lekas sembuh. Maaf, kau tidak bisa berbagi kesakitanmu denganku. Jika saja bisa, aku

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status