Share

BAB 4

Segalanya terasa seperti mimpi bagi Luna. Orang paling berharga yang dia miliki tiba-tiba saja pergi. Tanpa mengucapkan kata pamit dengan benar.  Tanpa memberikan waktu bagi Luna untuk sedikitnya bisa belajar memahami situasi yang terjadi.

"Mami, Luna. Sebentar lagi hujan, kita harus pulang."

Di dekapan Vika, ibunya, Luna duduk diam menatap pusara yang masih baru bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah kering, tetapi lukanya masih basah, sama seperti tanah kuburan Okta.

Luna menatap Cale. Mendapati kakaknya memberikan anggukan kecil, isyarat agar Luna lekas berdiri. Sebagai anak, mereka harus tetap kuat agar Vika juga kuat.

Luna menyadari betapa Cale berusaha untuk tetap tegar sebagai seorang putra dan anak pertama. Meski tidak bisa setegar Cale, Luna pikir setidaknya dia tidak terlihat begitu rapuh.

Luna membantu ibunya berdiri. Bertekad untuk lebih kuat demi kakaknya, demi ibunya. Namun begitu melihat pigura berisi foto Okta yang tersenyum, Luna seakan kembali ditarik pada pusaran rasa sedih yang mendalam.

"Pi!" Luna memekik. Bersimpuh di depan tempat peristirahatan terakhir Okta. "Aku tidak mau pergi. Papi pasti sendirian. Papi pasti kesepian. Bagaimana jika Papi kedinginan? Aku mau di sini, memeluk Papi. Aku mau pergi bersama Papi."

Pada akhirnya Luna gagal. Sekuat apa pun usahanya, dia tidak bisa berpura-pura tetap kuat. Kepergian ayahnya bukan hanya menyisakan kesedihan yang pekat bagi Luna, tetapi juga rasa sesal yang mendalam.

Andai saja, perjodohan tidak pernah terjadi. Andai saja, Luna tidak bersikeras melanjutkan perjodohan saat awalnya Liam menolak. Andai saja, Liam tidak dengan egois meninggalkan pernikahan begitu saja. Andai saja, mereka tidak pernah terlibat sejak awal.

***

Hujan turun sesaat setelah Cale berhasil membawa Luna pulang. Meski begitu, tidak serta merta Luna baik-baik saja. Perempuan itu masih terlihat murung. Sepasang matanya sembab dan bengkak karena terlalu sering menangis.

"Luna, Mbak Vika."

Baik Luna mau pun ibunya seketika menoleh begitu mendengar panggilan seseorang. Berbeda dengan Luna yang hanya berdiri diam dengan tatapan lelah, Vika langsung berlari menghampiri wanita yang memanggil namanya.

"Bawa suamiku pulang! Bawa dia pulang!" Vika menarik-narik tangan Tania, ibu dari Liam. "Dia baik-baik saja sebelumnya. Dia begitu antusias dengan pernikahan Luna. Tapi dia pulang dalam keadaan tak bernyawa karena anakmu!"

"Maafkan kami, Mbak. Ini semua memang salah kami." 

Adi dan Tania memohon maaf dengan sungguh. Namun hal itu sama sekali tidak membuat Vika merasa lebih baik. Wanita tersebut masih menangis, meraung-raung menyesali kepergian suami tercinta. Sayangnya, yang pergi akan tetap pergi, sekeras apa pun tangis yang kita beri.

Luna dan Cale mendekat untuk membawa ibu mereka masuk. Sebelum benar-benar meninggalkan Adi dan Tania, Luna berbicara untuk terakhir kalinya pada mereka berdua.

"Om, Tante," panggil Luna pelan. "Aku sudah menganggap kalian berdua sebagai orang tuaku sendiri. Aku menghormati kalian layaknya aku menghormati Papi dan Mami."

"Luna ...."

 "Tapi Om, Tante, mohon beri kami waktu untuk memulihkan diri. Kehilangan Papi sudah cukup membuat kami semua merasa menderita," lanjut Luna lirih.

Tania mendekat perlahan, lantas memeluk tubuh Luna. Membiarkan Luna meletakkan kepala di atas pundaknya, untuk sejenak meredakan lelah dan capai yang dia punya.

"Tante paham," ucap Tania. "Sekali lagi maafkan Tante dan Om karena telah membiarkan kekacauan ini terjadi."

"Ya, dan maafkan Mami jika dia menyalahkan Liam atas kematian Papi. Dia hanya merasa terpukul dan tidak tahu harus melampiaskan ke mana rasa marahnya."

"Kami mengerti," balas Tania, melerai pelukan lantas mengusap setitik air mata yang lagi-lagi menetes di pipi Luna. "Tante dan Om juga marah atas tindakan gegabah yang dilakukan Liam sehingga menyebabkan semua kekacauan ini terjadi, apalagi dengan Mami kamu? Kami sama sekali tidak marah dan memahami semuanya, Luna."

Luna mengangguk pelan. "Kalau begitu, aku pamit masuk. Jangan lupa beristirahat dan makan dengan baik, Om, Tante," pesan Luna.

Dapat Luna lihat Tania dan Adi sedih mendengar ucapannya tersebut. Seolah, mimpi-mimpi mereka untuk bisa menjadikannya menantu telah sirna. Jangankan untuk menjadikan menantu, menjadikan Luna sebagai anak dari sahabatnya yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri saja kini rasanya sudah tidak bisa. Tapi Luna juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini bukan keadaan yang bisa dia pilih sendiri.

Di dalam kamar, di dekat jendela, Luna melihat ibunya duduk diam dengan tatapan kosong. Tampak jelas betapa terluka hatinya harus merelakan suami yang paling dia cintai. Cale juga masih di sana, berdiri di belakang ibunya dengan tatapan sedih.

"Mi," panggil Luna. Vika menoleh. Namun tidak ada reaksi berarti darinya. "Mami pasti sangat lelah. Kenapa Mami tidak beristirahat?" tanyanya seraya melingkarkan tangannya di leher Vika dan merebahkan kepala di atas kepala ibunya.

"Meskipun ingin, tetapi Mami tidak bisa," jawab Vika lemah.

Luna menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan tangis. "Maaf, Mi. Ini semua karenaku. Semua tidak akan terjadi jika aku tidak bersikukuh dengan perjodohan ini."

Menggeleng, Vika menggenggam lembut tangan Luna. "Ini bukan salah siapa pun, Sayang. Bukan salah kamu, salah Liam, atau salah siapa pun. Mami tahu hal itu."

"Mi ...."

"Mungkin sudah ditakdirkan umur Papi kamu hanya sampai hari kemarin. Dengan atau tanpa kejadian kemarin pun, jika takdirnya sudah mengatakan Papi harus meninggal kemarin malam, dia akan tetap meninggal."

Cale dan Luna sama-sama tidak menyangka dengan jawaban tak terduga yang diberikan oleh Vika. Jauh dengan apa yang mereka lihat, Vika rupanya lebih kuat.

Vika menoleh, membuat Luna harus melerai pelukannya. "Sesaat, Mami hanya emosi. Mami terlalu sedih sampai ingin menyalahkan siapa pun atas kematian Papi kalian. Padahal, tidak ada yang patut disalahkan atas kematiannya. Semuanya murni hanya karena Mami terlalu kehilangan."

Tangis Luna pecah mendengar apa yang ibunya katakan. Meski lega, tapi entah mengapa dia lebih senang jika ibunya mengamuk dan menyalahkan Liam atau dirinya atas hal ini. Dia lebih senang ibunya meluapkan seluruh emosi padanya atau pada siapa pun. Dengan begitu ... bebannya tidak akan terlalu berat. Beban penyesalan yang mendalam.

***

Suara rintik air yang jatuh terdengar semakin riuh. Tampaknya hujan mulai turun deras di luar. Liam memandangi Raisa yang baru saja bangun dan tengah menikmati teh hangat yang dia buatkan.

"Sudah merasa lebih baik sekarang?" Liam tanya dengan hangat.

Raisa mengangguk menanggapi Liam. "Ya, aku baik-baik saja," gumam wanita itu.

"Bagaimana dengan mualnya?" Tatapan Liam turun pada perut Raisa yang masih datar.

"Jauh lebih baik sejak kamu datang." Raisa tersenyum penuh cinta seraya menatap Liam intens. Lantas meraih tangan Liam dan menggenggamnya. "Terima kasih karena sudah memilihku."

Liam menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Kau tahu seberapa besar cinta yang aku punya, serta aku tidak akan sebrengsek itu dengan mencampakkan calon buah hatiku sendiri."

Senyum Raisa semakin lebar. "Kita berangkat sekarang?" dia tanya.

Liam melirik pada kaca jendela, di mana air mengalir deras di sana. "Masih hujan, tapi kita tidak punya waktu, jadi ayo!" jawabnya, tersenyum.

Liam meraih mantel tebal milik Raisa dan memakaikannya pada wanita itu. Lantas keduanya berjalan keluar, meninggalkan kota, meninggalkan negara tempat mereka lahir. Keduanya memilih memulai kehidupan baru di tempat yang benar-benar asing dan jauh dari keluarga Liam. Lari dari semua tuntutan keluarga dan apa pun yang berkaitan dengan hal itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status