Share

BAB 3

H-7 sebelum pernikahan, Luna menatap punggung tegap Liam yang terbungkus oleh hoodie hitam. Liam itu, meski memakai baju apa pun, entah mengapa selalu terlihat menawan. Mungkin, seharusnya dia menjadi model atau bintang film ketimbang bekerja di perusahaan.

Luna melirik ke sekitar Karnaval, tempat mereka sedang berjalan-jalan setelah Luna merengek beberapa waktu lalu. Rupanya, Liam tengah menjadi pusat perhatian para gadis. Ya, ke mana pun Liam pergi, tampaknya, dia selalu mencolok dengan tubuh tinggi, kulit kuning langsat, serta wajahnya yang rupawan. Tak jarang, beberapa gadis secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka secara langsung kepada Liam.

Ah, sial. Luna sadar salah satu hal yang dia sukai dari Liam adalah parasnya. Tapi hal itu pula yang dia benci dari lelaki itu, karena hal itu membuatnya disukai banyak gadis lain.

"Liam!" panggil Luna. Dengan segera perempuan itu mensejajarkan langkah dengan Liam seraya menggandeng tangan lelaki tersebut, seolah sedang membuktikan pada siapa pun yang saat ini tengah terpesona dengan Liam bahwa Liam adalah miliknya.

"Apa yang kau lakukan?" Liam melirik Luna dengan sedikit memicing.

Luna terkekeh pelan. "Sedang memberitahu orang-orang bahwa kamu adalah milikku."

Liam menghela napas pelan. "Jangan kekanakkan," tandasnya lugas.

Luna tidak peduli Liam berkata apa. Toh, meski berkata demikian, Liam tidak benar-benar berusaha untuk melepaskan tangan Luna dari lengannya.

Ya, Liam seperti itu. Antara ucapan dan tindakannya selalu saja tidak sejalan. Terkadang, Luna jadi menerka-nerka tentang apa yang dia pikirkan.

"Nanti, kau ingin punya anak berapa?" tanya Luna. Tiba-tiba saja pertanyaan itu terbersit ketika dia melihat betapa manisnya anak-anak yang tengah bermain di komedi putar.

"Aku tidak berharap memiliki anak," Liam menjawab.

Luna menoleh pada calon suaminya. "Kenapa?"

Liam mengedikkan bahu. "Anak-anak itu berisik, rewel, menyebalkan," katanya.

"Tapi mereka lucu," jawab Luna. Senyumnya mengembang tatkala angannya berkelana pada bayangan masa depan yang dia miliki dengan Liam. "Kamu tidak ingin tahu bagaimana rupa Liam junior, eh? Mungkin dia akan sangat mirip denganmu. Tampan, pintar, cekatan, dan semoga saja dia lebih hangat dari dirimu."

Liam tidak mengatakan hal apa pun lagi. Pria itu hanya menatap datar pada tawa anak-anak yang bahagia menikmati putaran komedi putar dengan cahaya lampu warna-warni yang tampak cantik.

Meski Luna sedikit kecewa dengan jawaban yang Liam berikan, sebab bagaimana pun Luna ingin memiliki buah hati dengan Liam, tetapi Luna tak ambil pusing. Baginya saat itu, bisa bersama Liam pun sudah menjadi anugerah yang luar biasa. Terkait pada akhirnya mereka akan memiliki anak atau tidak, biar waktu saja yang menentukan.

Namun saat ini, pikirannya terasa buntu. Bagaimana bisa, pria yang beberapa waktu lalu mengatakan tidak ingin memiliki anak dengannya, tiba-tiba saja pergi dengan wanita lain dan mengatakan wanita itu mengandung buah hatinya? Bukankah ini lelucon paling tidak lucu yang pernah dia temui?

Sial. Luna terkekeh miris menyadari fakta yang terpampang di depannya.

Liam bukannya tidak ingin memiliki anak. Hanya saja, dia tidak ingin anak darinya. Intinya, pria itu sama sekali tidak mencintai dan berharap bisa hidup bahagia bersamanya. Liam tidak menginginkannya.

"Luna."

Panggilan Tania menyadarkan Luna dari lamunan. Air matanya lagi-lagi menetes tanpa sadar.

"Aku baik-baik saja," gumam Luna pelan. Bohong. Jelas saja dia bohong. Bagaimana bisa Luna baik-baik saja setelah mengetahui semua hal menyakitkan itu?

"Tapi, Tante, sepertinya aku tidak bisa memaafkan Liam atas hal ini," Luna melanjutkan dengan nada sesal.

Tania mengangguk ringan. "Tante paham. Jika Tante berada di posisimu, Tante juga akan berpikiran hal yang sama."

Luna hendak berkata sesuatu sebelum akhirnya pintu UGD terbuka dan seseorang keluar dari sana dengan sebuah pengumuman yang membuat Luna seketika kehilangan kata.

***

Sementara itu, di dalam sebuah kamar apartemen mewah di pusat kota, Liam duduk di sudut ranjang dengan gelisah. Di sisinya, Raisa, terlelap setelah beberapa saat lalu meminum obat untuk meringankan rasa sakit di perutnya.

Liam menaikkan selimut sampai ke dada Raisa. Mengusap puncak kepala wanitanya dengan sayang.

"Maaf, seharusnya aku mengambil keputusan lebih cepat, tidak harus menunggumu menderita sendirian terlebih dulu seperti saat ini."

Dia menghela napas dengan berat. Teringat dengan percakapan yang terjadi antara dirinya dan Raisa beberapa hari lalu. Pada saat itu, Raisa menekan Liam untuk lekas memberi keputusan terkait keberlangsungan hubungan mereka berdua. Namun Liam tidak bisa memutuskan apa pun. Satu sisi, dia mencintai Raisa. Satu sisi lainnya, dia tidak bisa membatalkan perjodohan begitu saja. Bagaimana pun, Liam merasa tidak nyaman dengan keluarga Okta yang sudah dia hormati sejak dulu. Terlebih, keluarganya memiliki utang budi terhadap keluarga Okta, sehingga perusahaan yang dibangun ayahnya bisa berdiri kokoh seperti sekarang ini.

Liam dilanda kegamangan, sampai dia akhirnya berniat untuk meninggalkan Raisa. Namun tiba-tiba saja, Raisa menyatakan bahwa dirinya hamil. Jelas, Liam merasa terjerat. Dia tidak bisa menjadi pria berengsek yang meninggalkan kekasih dan juga calon bayi di perutnya.

Untuk bisa bersama dengannya, Raisa mengorbankan begitu banyak mimpinya sebagai seorang model. Lantas, bagaimana bisa dia menjadi egois dengan meninggalkannya seperti itu?

"Liam."

Panggilan lirih Raisa membuat Liam seketika memusatkan seluruh atensi padanya. "Ya, ada apa, Raisa?" tanyanya. Lekas mengelus kening Raisa yang basah oleh keringat.

Raisa menggeleng, tersenyum lemah. "Tidak. Aku hanya takut kalau kau pergi. Tapi sekarang aku bersyukur kau ada di sini, bersamaku."

Liam hanya menyunggingkan senyum tipis. Namun tidak ada hal apa pun yang dia katakan. Hanya pandangannya yang lurus menatap wanita itu, menyiratkan sejuta perasaan yang sulit untuk dibaca.

Raisa memeluk pinggang Liam. Menyembunyikan wajahnya di sana. Menghidu aroma khas yang dimiliki oleh lelaki itu. "Aku mencintaimu, Liam. Terima kasih karena telah datang dan memilihku," ucapnya kemudian. Mengangkat wajah dan tersenyum padanya.

Dengan lembut, Liam mengusap kening Raisa. "Jangan terlalu banyak bicara dulu. Istirahatlah. Aku akan menjagamu di sini," pungkas Liam.

Raisa menggeleng lemah. "Aku tidak ingin tidur. Bagaimana jika aku membuka mata dan kau pergi seperti sebelumnya?"

"Aku sudah membuat keputusan untuk tetap bersamamu, Raisa. Apa lagi yang kau takutkan?" tanya Liam tenang. "Kita masih memiliki waktu satu jam sebelum bersiap-siap pergi ke Bandara."

Sesaat, Raisa hanya memandangi wajah Liam. Tatapannya begitu intens, seolah Liam adalah benda berharga yang kehilangannya terasa sangat menakutkan untuk Raisa. Namun setelah beberapa saat, kantuk kembali menyerang, sehingga Raisa akhirnya memejamkan mata dan tertidur dengan lelap.

"Istirahatlah. Aku di sini." Liam menggumam pelan. Suaranya terdengar serak dan berat, seolah sebuah beban yang terasa membelenggu tengah dia tanggung di pundak kanan dan kirinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status