Share

BAB 5

Enam tahun kemudian

Suasana sibuk sudah menjadi hal yang biasa di kantor perusahaan Majalah Fashion Diezze. Namun dalam sebulan, selalu saja ada satu dua hari yang terasa lebih hectic daripada biasanya. Dan itu, kebetulan, adalah hari ini. Masalahnya, tidak seperti kantor lain, kantor tersebut juga dipenuhi oleh lalu lalang orang yang membawa stand hanger baju, tas-tas mahal, sepatu, dan properti-properti lain untuk pemotretan atau sesuatu yang lain. Mereka semua sibuk berlarian, berlomba-lomba dengan waktu. Atau, dengan atasan yang selalu ribet dan ingin selalu sat set sat set tanpa mau tahu kendala apa yang mereka alami. Seperti apa yang sedang dirasakan Luna sekarang.

Di balik mejanya, Luna tengah disibukkan dengan tampilan majalah yang harus diterbitkan minggu ini. Pemimpin redaksi mereka yang baru tiba-tiba saja mengatakan untuk mengubah tampilan, alasannya agar tidak monoton. Padahal, hei! Luna sudah melakukan upaya terbaiknya dengan tim. Kemarin, atasannya juga sudah menyetujui. Tapi di waktu yang hampir mepet, dia mengubah keputusan. Hal itu tentu tidak hanya berpengaruh untuk Luna, tetapi para editor yang mengerjakannya. Meski bekerja di tengah tekanan karena waktu yang mepet, untungnya editor berhasil mengerjakan sesuai tenggat waktu yang dia berikan. Hal tersebut mengingatkannya pada beberapa tahun lalu, saat dia masih menjadi seorang editor magang.

Bekerja di bawah tekanan Kepala Editor yang cerewet serta Pemimpin Redaksi yang ribet, membuat Luna harus mati-matian tetap waras. Jika saja mentalnya tidak kuat, mungkin dalam kurun waktu kurang dari satu bulan dia akan mengundurkan diri. Jika tidak begitu, bisa saja dia bekerja, tetapi sebulan kemudian gila.

Rasanya, Luna ingin resign saja. Namun berkat pekerjaan itu pula, dia bisa melupakan patah hatinya. Bekerja seperti robot, tidak memiliki waktu untuk bersantai dan sendiri, membuat Luna lelah dan selalu pulang hanya untuk tidur. Dia tidak memiliki waktu untuk meratapi nasib atau pun menyesali hal-hal yang membuatnya kembali terluka.

Jika dibilang Luna telah lupa, tentu tidak. Sesibuk apa pun, terkadang ingatan menyakitkan itu mampir untuk menyapa. Namun Luna selalu berusaha menepis semua kenangan buruk itu dengan berusaha fokus.

Dering ponsel di meja membuat lamunan Luna buyar. Perempuan itu lekas mengambil benda pipih tersebut dan menggeser tombol hijau di layar. Tak berapa lama, terdengar suara lelaki di seberang sana.

"Kamu lembur lagi hari ini?"

Sambil memeriksa kembali pekerjaannya, Luna berbicara dengan orang di seberang telepon. "Aku akan berusaha untuk pulang secepatnya, jangan khawatir."

"Jadi kamu lembur?" cecar lawan bicara Luna lagi.

Luna menghela napas sebal. "Tidak, Kak Cale. Aku akan pulang sebentar lagi. Bisakah kau berhenti untuk merecokiku?" balas Luna.

"Aku tidak sedang merecokimu. Tapi kamu ingat ini hari apa?"

"Jum'at?" Luna berpikir sejenak. "Besok aku libur dan akan istirahat total, okay?"

"Luna," ucap Cale, terdengar agak menekan. "Kamu benar-benar lupa dengan hari ini?" dia kembali bertanya dengan nada yang, yah, seolah menegaskan sesuatu.

Luna menghentikan aktivitasnya meninjau pekerjaan, lantas terdiam selama beberapa sekon sebelum akhirnya membuat ekspresi terkejut. "Astaga!" dia memekik seketika. "Kak, aku lupa!"

Cale terdengar menghela napas dengan keras. "Lekaslah datang. Kamu tahu sendiri bagaimana Ola. Tinggal satu jam sebelum acara dimulai."

Luna lekas menyelesaikan pekerjaannya. "Baik, aku akan pulang secepat-cepatnya."

Tanpa menunggu jawaban Cale, Luna langsung menutup sambungan telepon. Lalu bergegas merapikan barang-barangnya dan pulang.

***

Luna mampir di sebuah toko mainan di perjalanan menuju rumah kakaknya, Cale. Pasalnya, dia melupakan hari paling penting untuk keponakan manisnya, Aurora. Astaga, padahal Luna sudah berencana untuk membuat kue ulang tahun untuk Ola dengan tangannya sendiri. Tapi dia malah lupa. Ini semua gara-gara pekerjaan yang setiap harinya selalu menggunung, sampai dia melupakan banyak hal. Karena sudah tidak ada waktu lagi, Luna tidak bisa membuat kue. Dia memutuskan untuk membeli kado berupa mainan saja.

Sialnya, toko mainan itu begitu besar. Rak-rak berjejer dengan area tertentu diisi oleh mainan tertentu. Saking besarnya, Luna jadi bingung sendiri.

"Permisi!" Luna memanggil karyawan toko.

Wanita dengan kemeja hitam rapi menghampiri dirinya dengan segera. "Aku ingin membeli mainan untuk keponakan perempuanku," gumamnya.

"Oh, tentu. Mari, saya antar."

"Tunggu." Luna menghentikan karyawan tersebut saat hendak mengajaknya menuju jajaran rak boneka. "Keponakanku agak tomboy," gumamnya dengan cengiran polos.

Karyawan wanita itu tersenyum maklum. "Kalau begitu, Mbak tahu apa yang dia sukai?"

Luna berpikir sejenak. "Dia suka boneka Barbie. Tapi biasanya hanya untuk dimutilasi." Lagi-lagi perempuan itu tersenyum, kali ini dengan ekspresi agak meringis. "Dia suka robot atau mobil-mobilan, tetapi dalam kurun waktu satu hari mainannya bisa hancur."

"Bagaimana dengan jam tangan? Ada banyak jenis jam tangan canggih dan unik untuk anak-anak."

Luna merenung sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk setuju. "Baiklah. Semoga saja ada yang cocok."

Dia berjalan mengikuti karyawan toko sambil melihat-lihat barangkali ada inspirasi lain untuk kado. Karena terlalu asyik melihat-lihat, tak sadar Luna menabrak seorang anak sampai anak lelaki itu hampir jatuh tersungkur.

"Hei, kamu tidak apa-apa?" lekas Luna berjongkok. Memegang kedua lengan atas bocah tampan tersebut.

Ia menggeleng. "Ya, aku baik-baik saja." Tersenyum hingga menunjukkan gigi depannya yang ompong, anak itu memiringkan wajah saat menatap Luna. "Wah! Kau cantik sekali. Apa kau menyukai anak-anak?"

Luna mengerutkan kening tak mengerti, tapi kemudian tersenyum kecil. "Ya, bisa dibilang begitu. Tapi, aku hanya menyukai anak-anak baik."

"Aku anak yang baik. Jadi, kau akan menyukaiku 'kan?"

Luna terkekeh mendengar celotehan bocah lelaki itu. "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau adalah anak yang baik?" dia bertanya dengan nada agak jenaka.

Bocah itu meletakkan telunjuknya di depan dagu. "Aku bisa mandi sendiri, makan sendiri, belajar sendiri, bahkan pergi ke sekolah sendiri. Selain itu, aku anak yang tampan. Apa kau yakin tidak akan menyukaiku?"

Perkataan penuh percaya diri yang diucapkan oleh anak itu membuat Luna terhibur. "Ya, sepertinya aku memang sudah menyukaimu," gumamnya. Dengan gemas, dia mencubit pelan pipi tembam anak tersebut. "Jadi, siapa namamu?"

"Nic!" Tiba-tiba terdengar suara bariton memanggil bocah itu.

Bocah tersebut dan Luna seketika menoleh ke asal suara. Dan seketika itu pula, Luna mematung. Hal yang tidak pernah dia duga, tiba-tiba saja terjadi di depan matanya.

"Ya, Nic adalah namaku." Anak bernama Nic itu tersenyum lebar. Kemudian berjalan menghampiri pria tinggi yang berjalan ke arahnya. "Dad! Aku sudah menemukan Mommy baru!" lanjut anak itu dengan lantang sambil menunjuk ke arah Luna.

Dan pada detik itu, saat Luna dan ayah dari Nic saling berpandangan, dunia rasanya berhenti berotasi. Di sana, di dalam tempat itu, keduanya terdiam dengan dada yang bergemuruh.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status