Share

Part 6

“Ibu melamun?” Perkataan Indri membuyarkan lamunan Karenia.

“Ah tidak, hanya sedikit memikirkan pekerjaan saja,” ucap spontan Karenia.

 

“Tidak usah dipikirkan dulu Bu! Yang penting sekarang memikirkan kesembuhan Abiandra dulu. Masalah pekerjaan ‘kan ada Pak Salim yang tentu telah meng-handle semuanya.”

“Aku akan diangkat CEO dua minggu lagi. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Begitu Abiandra selesai dioperasi aku akan balik Jakarta.” 

“Tapi, Bu-“

“Urusan perawatan Abiandra biar ditangani sekolah. Toh itu sudah menjadi tanggung jawab sekolah ‘kan?”

“Iya, Bu,” ucap Indri pelan. Dia seakan belum bisa memahami jalan pikiran Karenia. Seperti tidak ada rasa sayang sama sekali terhadap Abiandra.

“Aku mau balik ke sekolah.”

Indri tidak bisa melarang kepergian Karenia dari rumah sakit.

Begitu pula Bagus. Ia tidak berniat untuk mencegah kepergian Karenia.

Karenia telah masuk mobil dan hendak pergi saat tiba-tiba nada panggilan hape-nya bunyi. Karenia malas mengangkat panggilan itu setelah dilihatnya nama opa yang memanggil. Setelah tiga kali panggilan masuk, Karenia baru mengangkat hape-nya.

“Halo, ada apa Opa?”

“Gimana keadaan Abi?”

“Besok mau dioperasi kakinya.”

“Kamu jangan balik ke Jakarta. Ya setidaknya sepekan Kamu temani Abi di sekolah.”

“Nggak, Opa. Aku akan balik ke Jakarta besok pagi.”

“Nia, cobalah sedikit kamu empati pada Abi. Dia itu anakmu, calon pewaris perusahaan opa. Jadi tolong Kamu rawat baik-baik. Jika tidak mau, opa akan coret Kamu dari daftar ahli waris dan juga pembatalan sebagai CEO bulan depan.”

“Please Opa. Biarkan Nia menyelesaikan deal dengan perusahaan rekanan. Habis itu baru aku temani Abi.”

“Tidak usah khawatir dengan pekerjaan. Nanti biar di-handle Nancy, sekretaris pribadimu. Kamu nggak usah pusing-pusing mikir pekerjaan dulu.”

“Ya udah kalo itu maunya Opa. Aku pegang kata-kata Opa. Aku hanya sepekan di sekolah Abi. Setelah itu aku balik Jakarta.”

“Ok, Nia. Makasih ya?”

Karenia langsung mematikan panggilan. Dia keluar dari mobil dan berjalan menuju bangsal tempat di mana Abiandra dirawat. Saat sampai di depan pintu, ia mendengar tawa ceria Abi yang sedang bercanda dengan Bagus dan Indri.

Padahal dulu Abi sangat takut dengan jarum suntik, apalagi ini mau dioperasi. Mengapa Abi bisa seceria itu?

*****

Karenia mengetuk pintu bangsal. Indri membuka pintu dan mempersilakan Karenia masuk.

“Mama!” teriak Abiandra gembira.

“Ibu mau pamitan sama Abi?” tanya Indri.

Karenia menggeleng. Lalu ia duduk di sofa.

“Silakan Pak Bagas dan Mbak Indri kalo mau pulang ke sekolah. Biar Abi, aku yang jaga.”

“Asyik, Mama mau nemenin Abi. Makasih ya Ma?” Abiandra tersenyum riang dan menatap Karenia dengan mata berbinar.

“Baiklah, Bu. Nanti kalo ada keperluan, tinggal menghubungi kami. Insya Allah kami siap membantu,” ucap Indri sopan.

“Iya, terimakasih sebelumnya.” Karenia beranjak untuk membuka pintu bangsal. Bagas dan Indri pamit kepada Abiandra sebelum keluar bangsal.

Karenia berjalan mendekati Abiandra. Dilihatnya lekat-lekat anak semata wayangnya itu. Dalam hati Karenia mengakui ada yang berubah dalam diri anak itu. Sejak pertama kali bertemu tadi siang, Abi seakan mulai mendekati dirinya. 

Padahal dulu sebelum masuk sekolah, Abi dan dirinya tidak pernah akur seperti air dan minyak. Tak ada rasa sayang di hati Karenia terhadap Abiandra. Begitu pula sebaliknya Abiandra juga membenci Karenia.

Karenia mengakui bahwa semua itu adalah salahnya. Abiandra tidak salah dan tidak pantas menerima dendam penderitaan dari Karenia. Yang salah dan menyakiti hatinya adalah Sammy, bukan Abiandra yang tidak tahu apa-apa. Namun, semuanya sudah terjadi. Hampir delapan tahun Karenia telah membenci Abiandra tanpa sebab. Benci itu tumbuh karena pelampiasan kemarahan Karenia kepada Sammy. 

“Ma? Mengapa ngelamun? Mama tidak suka nemenin Abi di sini? “ Perkataan Abiandra membuyarkan lamunan Karenia.

“Bukan begitu, Abi. Mama hanya-.”

“Kalo Mama masih capek dan ingin istirahat, mama boleh pulang ke sekolah kok. Nanti biar Abi ditemani Pak Bagas atau Bu Indri lagi.”

“Abi, mama di sini mau menemani Kamu.”

“Ma, maafkan Abi ya? Selama ini Abi selalu tidak nurut sama Mama. Abi nakal dan tidak mau diatur. Tapi sekarang, Abi janji akan menjadi anak yang sholih, yang nurut sama Mama.”

Deg. Tiba-tiba hati Karenia terasa hampir copot mendengar pengakuan Abiandra. Ternyata benar anak itu telah berubah. Tanpa terasa matanya terasa hangat dan berkaca-kaca. Namun segera ditepisnya hal itu. Ia tidak mau terlihat cengeng di depan Abiandra. Jujur, ia merasa terharu dan seakan baru menyadari bahwa  Abiandra itu adalah darah dagingnya sendiri.

“Udahlah,” ucap Karenia. Ia  jadi teringat dengan masa dahulu kala. Selalu Bi Sum yang mengasuh Abiandra. Bahkan, dari bayi hingga Abiandra kelas tiga SD, Karenia jarang sekali menyentuh Abiandra.

“Ma, apakah Pak Bagas udah cerita tentang Abi di sekolah?” tanya Abiandra.

“Tentang apa?” Karenia balik bertanya.

“Tentang sekolah Abi. Abi merasa senang sekolah di sini. Tidak banyak aturan. Sering jalan-jalan keluar sekolah dan bermain bersama teman-teman.” Abiandra bercerita dengan semangat dan menggebu-gebu.

“Cukup Abi, Mama capek. Mau tiduran di sofa dulu. Kamu mau butuh apa sekarang?”

Abiandra terdiam. Keinginannya bercerita jadi terhenti. Hatinya sedih. Namun, ia teringat janjinya kepada Pak Bagas untuk menjadi anak yang sholih yang menghormati mamanya.

“Boleh minta tolong, Ma? Abi mau pipis.” 

“Di mana pispotnya?”

“Pispot itu apa Ma?”

“Tempat buang air kecil.” Karenia  beranjak menuju kamar mandi. Dilihatnya ada pispot yang tergantung di dinding kamar mandi. Diambilnya pispot itu dan diberikan ke Abiandra.

“Ma, ini diapain?”

“Masukkan air senimu di tempat itu.”

“Caranya?”

Karenia mendengus kesal. Memang Abiandra belum pernah masuk rumah sakit hingga diopname. Makanya dia tidak tahu bagaimana menggunakan pispot.

Mau tidak mau Karenia mengajari Abiandra menggunakan pispot dengan baik. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status