Share

Part 4

Setengah jam berlalu. Principal masuk ruang kerjanya dan mendapati Karenia tertidur pulas di atas sofa. Ia meminta Indri mengambilkan selimut dan guling untuk Karenia. Tak berapa lama, Indri datang membawa selimut dan guling untuk Karenia.

“Selimuti dia, kasihan masih capek kelihatannya!” perintah principal.

Indri pun menyelimuti tubuh Karenia dan meletakkan guling di sampingnya.

Begitu selimut hinggap di tubuh Karenia secara tidak sadar, ia meraih guling yang berada dekat di tangannya.

Principal tersenyum melihatnya.

“Apakah Mas mau menunggunya hingga bangun sendiri atau saya bangunkan setelah satu jam?”

“Biarkan saja dia bangun sendiri. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Oh iya? Bagaimana dengan Abiandra? Apakah sudah didaftarkan untuk perawatan medis di rumah sakit?”

“Sudah Mas. Tinggal berangkat saja kata dokter Himawan. Beliau juga telah merawat Abiandra untuk sementara waktu agar Abiandra tidak banyak bergerak.”

“Makasih ya? Kalo begitu Kamu ikut menunggui Bu Karenia bersama saya di sini.”

“Baik Mas.” Indri pun keluar ruangan untuk mengambil laptopnya, kemudian  duduk di kursi dekat sofa. Sementara principal langsung melakukan panggilan telepon.

“Assamu’alaikum Pak Salim!” principal menyapa dengan ramah.

“Wa’alaikumsalam. Di mana Karenia sekarang?” tanya Salim.

Principal mengarahkan kamera handphone ke sofa di mana Karenia masih terlelap dengan tidurnya.

“Ingat pesanku ya? Jangan terlalu kaku atau tegas dengan Karenia, dia orangnya keras kepala dan sulit untuk menerima saran dari orang lain.”

“Siap, Pak. Ini saya nunggu sampai dia bangun sendiri.”

“Terus Abiandra gimana kalo terlalu lama menunggu, apakah tidak semakin parah sakitnya?”

“Tenang, Pak. Dokter sekolah sudah merawat sementara agar tidak banyak bergerak dulu.”

“Syukurlah kalo begitu. Makasih ya? “

“Sama-sama Pak Salim”

“Udahan dulu, aku masih ada kerjaan yang harus diselesaikan hari ini. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam, Pak Salim.”

Principal mendesah pelan. Dia jadi teringat dengan semua kebaikan Pak Salim. Ya, pengusaha garmen yang memutuskan mualaf itu telah banyak membantu hidupnya. Mungkin jika tak ada bantuan dari Pak Salim, hidupnya tidak akan senyaman sekarang.

Bagaimana mungkin dia yang hanya anak tukang ojek pangkalan bisa menjadi principal di sekolah alam yang besar dan elite ini.

Tak hanya itu, Indri yang merupakan adiknya pun bisa bekerja di sekolah ini karena permintaan  Pak Salim juga.

Hampir tiga jam Karenia tertidur dengan nyenyak. Indri menyarankan principal untuk membangunkan saja karena kalau tidak nanti akan masuk waktu sholat dhuhur. 

“Biarkan saja dia bangun sendiri. Itu akan membuatnya lebih nyaman daripada dibangunkan paksa oleh orang asing yang baru  saja dikenalnya di lingkungan baru.”

“Tapi, Mas? Abiandra harus masuk rumah sakit sebelum pukul satu. Jika tidak maka akan diisi oleh pasien lain kamarnya.”

“Baiklah kalo begitu. Biar dia tidak malu aku akan ke kamar mandi dulu pura-pura membersihkan wajah.”

“Baik Mas.”

Indri pun mendekatkan diri ke telinga Karenia.

“Ibuk … maaf,  bangun ya Buk?” Suara pelan Indri di dekat telinga Karenia.

Tangan Indri menepuk-nepuk pelan bahu Karenia sambil mengulangi perkataannya. Beberapa saat kemudian Karenia tersadar dari tidurnya. Matanya yang merah mengerjap untuk beberapa saat. Ia lalu bangkit dari tidurnya dan duduk sejenak. Ia singkap selimut dan menjauhkan guling dari tangannya.

“ Aku tertidur lama ya?” tanya Karenia.

“Iya, Bu. Hampir tiga jam lebih.”

“Mengapa aku dibiarkan tidur selama itu?”

“Principal yang memintanya. Kata beliau akan sangat tidak nyaman jika sedang tidur dalam keadaan capek dibangunkan dalam waktu yang singkat.”

“Terus dimana principal sekarang?”

“Beliau sedang di kamar mandi, baru basuh muka.”

Tak berapa lama pintu kamar mandi terbuka. Terlihatlah principal berjalan keluar. Indri bisa melihatnya, tetapi Karenia tidak. Kamar mandi itu membelakangi sofa tempat Karenia duduk. Begitu principal duduk di depan Karenia, Indri langsung ikut duduk di sampingnya.

“Mana principalnya?” tanya Karenia penasaran.

“Saya Bu. Perkenalkan saya principal di sini. Tadi saya udah mengenalkan nama saya.”

“ Bukankah Kamu  Bagus yang ngantar aku kemari? Kamu principal merangkap penerima tamu? Kamu ingin mempermainkan aku? Belum tahu siapa aku ya? ” Karenia mulai kesal karena merasa dipermainkan.

Harusnya Bagus langsung bilang kalau dia principal dan bukan penerima tamu saat tadi pagi. 

“Maaf Bu Karenia. Bukan maksud saya mau mempemainkan Ibu. Tapi emang kebetulan yang jadi penerima tamu sedang ada tugas di luar. Selain itu, saya juga diminta langsung oleh Pak Salim untuk menjamu Ibu dengan baik.”

“Ya udah kalo begitu. To the point aja. Ini maunya gimana?”

“Saya ingin menceritakan kronologi mengapa Abiandra bisa patah kaki dan tangannya, Ibu.”

“Ah, nggak usah sekarang gapapa. Nggak penting itu. Aku ingin segera menemui Abiandra sekarang.”

“Baiklah kalo itu permintaan Ibu. Mari saya antarkan ke poli kesehatan sekolah. Abiandra untuk sementara dirawat di sana.”

“Jangan bilang harus jalan jauh lagi ya?” ucap Karenia ketus.

“Kalo Ibu tidak kuat berjalan lagi, biar saya dorong menggunakan kursi roda, atau mau saya bopong?”

“Jangan mulai kurang ajar ya? Saya laporkan ke Pak Salim nanti!” ancam Karenia.

Bagus hanya tersenyum dengan wajah sewot Karenia. Ternyata perempuan cantik kalau sedang marah semakin cantik saja di matanya.

*******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status