Share

Menikahi CEO Judes
Menikahi CEO Judes
Author: erie sawn

Part 1

“Jenguk  Abiandra, sekarang! Atau Opa akan batalkan penunjukanmu sebagai CEO bulan depan!” titah opa dengan nada suara meninggi.

“Fuck that shit!” Ingin rasanya Karenia meneriakkan kata itu persis di dekat telinga lelaki paruh baya itu.

Dilemparnya hape ke atas springbed. Terduduk  ia di pinggir ranjang dengan menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya yang berminyak. Perlahan diusap wajah itu beberapa kali, juga dahi dan matanya yang sedikit kering dan perih.

Ini kali ketiga dirinya harus membatalkan ngedate-nya dengan Brian, anak direktur perusahaan rekanan bisnis utamanya.  Jika acara itu batal, hangus juga investasi puluhan juta di depan mata. Itulah konsekuensi yang harus diterimanya. 

Setelah sekian lama dan sekian usaha telah diupayakan dengan tim marketing, akhirnya  gagal juga proyek kerjasama itu. Memang rejeki sudah ada yang ngatur, ia percaya itu. Namun, kalau berulang begini apa ia harus selalu kalah dengan keadaan terus?

Hanya dalam hitungan menit setelah mendapatkan deal ideal, kini ia harus gigit jari. Sia-sia semuanya. Ia tahu kerugian yang telah dikeluarkannya akan dimaafkan oleh Opa sebagai pemilik perusahaan yang dikelolanya sekarang. Ia memang tak peduli dengan itu semua. 

Namun, rasanya dadanya nyesek jika akhirnya hanya selalu mengalah dengan keinginan Opa yang otoriter itu. Terlebih, ketika ia harus selalu mengutamakan anak yang tidak diinginkannya. Anak yang selalu membuat onar seperti  Sammy, suaminya yang telah pergi mendahuluinya karena over dosis bersama selingkuhannya di luar negeri.

Karenia sadar diri. Ia hanya menantu yang tidak  memiliki arti penting lagi dalam keluarga besar Salim Admaja. Kepergian Sammy, anak laki-laki penerus imperium perusahaan Salim group itu membuat dirinya hanya dijadikan pengasuh cucu kesayangan Opa.

Siapa lagi kalau bukan Abiandra Admaja? Anak yang katanya baru OTW ke UGD karena patah kaki dan retak tulang tangan kanannya akibat naik pohon di sekolahnya. Itulah  mengapa Opa menyuruhnya pergi ke Jogja, tempat sekolah alam di mana anak itu menikmati hari-harinya bebas tanpa diganggu siapa pun. Tidak Opa, tidak pula dirinya.

Sebuah notifikasi pesan WA masuk ke hape-nya. Dia buka dan baca sekilas.

[Opa udah siapkan driver malam ini. Siapkan baju dari  sekarang! Jam tujuh tepat kamu berangkat.]

Uffh!

Karenia membuang udara kasar lewat mulut tipisnya yang menawan.

Pintu kamar terdengar diketuk dari luar. Ia berdiri dengan malas. Berjalan pelan dan membuka pintu.

“Maaf, Den. Ini bajunya udah bibi-“ ucapan Bi Sum terhenti saat dirinya melihat telunjuk Karenia mengarah ke lemari pakaian.

Karenia lagi malas bicara ketika sedang marah. Itulah yang sering diingatnya dari psikiater yang selalu ia kunjungi di akhir bulan. Satu-satunya jalan  meredakan emosinya yang mudah tersulut, dia harus menahan diri mengeluarkan ekspresinya melalui ucapan  kata-kata verbal.

Sebagai gantinya ia harus banyak melibatkan anggota badan untuk menyalurkan energi negatifnya tersalur.

Untung cuma guling ukuran jumbo yang selalu jadi sasaran pukulan dan emosinya. Ia akan memukulinya membabi buta dan gerakan brutal lainnya. Sebagaimana seorang petarung UFC sedang melancarkan serangan pertarungan bawah yang diakhiri dengan mencekik lawan hingga menyerah.

Tak berapa lama, hape-nya bunyi. Panggilan masuk dengan nada khusus terdengar jelas. Karenia tahu siapa yang memanggilnya itu. Dengan cepat diraihnya benda pipih itu ke pipinya yang sedikit tirus.

“Ya, Halo, Brian?” Karenia berusaha berkata sewajarnya tanpa emosi.

“Gue tunggu dinnernya ya? Udah gue booking tuh kafenya, buat ngerayain kerja mutualan kita.” Suara renyah Brian terdengar seperti petir di siang bolong di telinga Karenia.

Terlebih, ketika dengan bangganya Brian memperlihatkan tempat sekeliling kafe yang telah kosong dari hari-hari weekend sebelumnya melalui layar hape-nya.

“Maafin ya? Gue nggak bisa datang Brian. Barusan Opa nyuruh aku ke Jogja, anakku masuk rumah sakit. Tolong nanti kirim tagihannya, biar gue transfer!” ucap Karenia datar.

“Apa? Gila lo ya? Ok, kalo gitu  maumu. Mulai detik ini, akan gue  hapus namamu dari dalam kehidupan gue selamanya,” balas Brian sengit.

Senyap. Tak ada lagi suara dan wajah Brian dari benda pipih itu. Bahkan kini, Karenia sudah dicampakkan oleh Brian. Gagal total semuanya. Keinginannya mendekati CEO tampan itu sirna.  

Sebenarnya, ia masih berharap, Brian tidak akan pernah semarah ini. Bukankah dua kali gagal ngedate kemarin juga tidak begitu masalah bagi Brian karena memang terbentur jadwal yang sibuk?

 Namun kali ini, praduganya meleset. Brian benar-benar merasa dipermainkan dan marahnya memuncak. Pupus sudah baginya untuk mencoba menjalin relasi dengan lelaki mapan idamannya. Ah, ia juga sadar di luaran sana, banyak cewek dari kalangan atas yang rela antri ingin mendekati putra mahkota PT Intan Mulia itu. 

Tak butuh waktu lama bagi Brian untuk mencari pengganti dirinya, yang bahkan sudah tidak gadis lagi. Menyadari hal itu, Karenia merasa dirinya kerdil. Tak berguna ikut bersaing mendapatkan hati lelaki idaman para gadis kaya di kotanya.

Ini kali, Karenia tidak akan memukul guling jumbonya. Rasanya percuma membuang energi dan waktu namun tidak menghasilkan apa-apa. Ada sasaran lain dari kekesalan  hari ini yang lebih enak  dari pada guling. Sasaran itu adalah Kepala Sekolah  atau wali kelasnya Abiandra.

Ya, Karenia akan meluapkan semua kekesalan dan kemarahannya pada mereka.

Bukankah karena kelalaian mereka  menyebabkan anaknya patah kaki dan tulang bahu kiri? Atau kalau perlu, sekalian  ia akan buat press realise di media dan minta kompensasi ganti rugi yang nilainya setara dengan nilai uang yang menguap beberapa waktu yang lalu?

Tunggu saja! Bisik Karenia dalam hati. Kini ia telah berdamai dengan keadaan. Ia mulai berkemas dan mempersiapkan segalanya dengan baik. Lalu ia mulai berselancar dengan hape-nya mencari nama SD Alam yang menjadi sekolah Abiandra.

Tidak sampai sepuluh menit, Karenia telah mengantongi seluruh identitas standar para guru SD Alam  Bina Insani beserta dengan kepala sekolahnya sekalian. Lalu mencari foto-foto fisik gedung sekolah yang katanya bonafid itu. Aneh, pikirnya. Ada sekolah bonafid tapi dibangun di pelosok kaki pengunungan.

Karenia mengeryitkan dahinya. Jujur, ia sempat takjub dengan foto gedung SD alam yang tampak beda seratus delapan puluh derajat dengan perkiraannya selama ini. Gedung itu tidak seperti bangunan kelas SD, tapi lebih seperti sebuah laboratorium kerja. Gila! 

Karenia jadi penasaran. Ia ketik media sosial dan langsung scroll akun  SD Alam yang kini telah ia follow. Ia terperanjat. Ternyata salah satu pendirinya adalah tokoh nasional yang ia kagumi selama ini. Nyalinya jadi ciut. Sanggupkah ia akan menuntut sekolah alam itu?

Tok … tok … tok ….

Pintu kamar kembali terdengar pelan.

Karenia bergegas membukanya. Muncul wajah Bi Sum dari balik pintu kamarnya.

“Ada apa, Bi?” Karenia memandangi wajah Bi Sum yang kebingungan.

“Ada dua orang tamu yang maksa pengin ketemu, Den,” ucap Bi Sum agak gemetar.

“Sekarang di mana orang itu, Bi?”

“Masih di teras, Den.”

Karenia menganggukkan kepalanya. Ia memang telah melarang Bi Sum menerima tamu asing masuk ke rumah tanpa ada kata janjian dengan dirinya. Sambil berjalan menuju ruang tamu, ia terus mengingat-ingat  agenda kegiatannya hari ini. Sepertinya tidak ada janjian dengan orang lain, selain dengan Brian yang baru saja ia batalkan.

Lalu siapa? Sialnya, Karenia justru jadi menebak-nebak dengan hati dongkol.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status