Share

Part 3

Hanya sepuluh menit Karenia sudah sampai di tempat transit. Bagus menunjukkan kamar untuk Karenia yang terpisah dari kamar driver.

Teman Bagus mengantar driver menuju kamar yang telah disiapkan. Ada pemisahan antara tamu laki-laki dan perempuan. 

Tempat transit itu terdiri dari empat bangunan. Dua bangunan untuk tamu laki-laki dan dua untuk tamu perempuan. Satu bangunan memiliki sepuluh kamar.

Karenia merasa takjub dengan desain interior dalam kamar. Di dinding banyak ditemukan ornamen ukir kayu jati dan lampu-lampu klasik. Fasilitas kamar yang ditempatinya tak kalah dengan hotel bintang tiga.

Benar apa yang dikatakan asisten pribadi opanya. Ruang transit yang ada di kawasan sekolah sangat nyaman. Padahal tadi sekilas ia merasa terkecoh dengan tampilan luarnya.

Setelah membersihkan diri dan ganti pakaian, Karenia segera menghubungi Bagus melalui telepon yang tersedia di dalam kamar. Tak berapa lama pintu kamar diketuk dari luar.

Karenia membuka pintu dan dilihatnya Bagus telah berdiri dengan senyuman mengembang. Jujur Karenia jarang melihat lelaki seperti Bagas. Perawakannya sedang dengan kulit sawo matang dan senyum semanis gula jawa.  Gurat otot terlihat menonjol di beberapa bagian tangannya.

Mungkin Bagus adalah lelaki pekerja keras kasar. Itu jauh banget dengan lelaki yang sering ditemui kebanyakan blasteran atau lelaki dengan kulit putih dengan sentuhan perawatan mahal khas laki-laki metropolitan.

“Maaf, apakah Ibu baik-baik saja?” suara Bagus membuyarkan lamunan Karenia.

“Eh. Iya… Ayo berangkat!” ajak Karenia.

Bagus berjalan menuju mobil di depan kamar Karenia. Bagus mengemudikan sendiri mobil itu bersama dengan Karenia.

“Kita akan pergi ke asrama tempat tinggal Abiandra?”

“Tidak Bu. Kita akan menuju kantor principal dulu. Baru setelah itu, menemui putra Ibuk.”

“Kenapa harus menemui principal dulu? Bukankah anakku harus segera dirawat oleh dokter di rumah sakit?”

“Benar, Bu. Tapi lebih jelasnya principal akan menerangkan kronologisnya kenapa Abiandra bisa patah tulang kaki dan retak tulang tangan kanannya.”

“Itu tidak penting. Aku ingin menemui Abiandra dulu agar segera dipindah ke rumah sakit terbaik di kota ini.”

“Maaf Bu Karenia. Principal meminta saya mengantarkan Ibu  ke ruangannya dulu, baru setelah itu menjenguk Abiandra di asrama.”

Karenia hendak mendebat lagi namun dibatalkannya kerena dilihatnya ada bangunan megah berlantai dua terlihat di depan mata.

Mobil yang ditumpanginya pun berhenti tepat di depan pintu masuk gedung.

“Silakan Bu Karenia masuk dan bertanya kepada bagian tamu yang standby di dalam gedung. Letaknya di sebelah kanan lobi. Maaf, saya masih ada keperluan,” ucap Bagus.

Karenia turun dari mobil dan berjalan menuju bagian tamu yang ditunjukkan Bagus.

Karenia langsung menuju petugas jaga yang ada di lobi. Ada dua petugas terlihat, yang satu perempuan muda dan yang satu lelaki paruh  baya.

“Ada yang bisa kami bantu Ibu?” suara ramah perempuan berhijab  menghentikan langkah Karenia.

“Aku ingin bertemu principal,” timpal Karenia.

“Ibu udah ada janjian sebelumnya?”

“Aku ke sini ingin menemui anakku yang katanya kaki dan tangannya patah tulang. Bukan membuat janji ketemu principal, Mbak. “

“Oh, maafkan kami. Ibu Karenia ya? Silakan langsung menemui principal, ruangannya ada di lantai atas sebelah kiri tangga. Di depan pintu ada tulisannya ruang principal.”

Karenia mendengus kesal. Kakinya masih terasa pegal dan harus naik ke lantai atas. Benar-benar menjengkelkan. Ia pun berlalu tanpa permisi kepada dua orang petugas penerima tamu tadi.

Dengan langkah malas, akhirnya Karenia tiba di depan pintu ruang principal. Ia hendak mengetuk pintu namun dilihatnya pintu sudah terbuka dan muncullah seorang gadis cantik menyambutnya dengan senyuman manis.

“Silakan masuk Bu Karenia. Perkenalkan saya Indri, asisten pribadi principal.”Gadis berhijab pink itu mempersilakan Karenia masuk ruangan.

Karenia duduk di kursi depan meja kerja Indri. 

“Oh, ya.  Aku mau ketemu principal sekarang.”

“Maaf Ibuk. Principal lagi ada rapat virtual dengan donator tetap yayasan sekolah ini. Barangkali setengah jam lagi baru selesai. Ibu bisa menunggu di dalam ruangan principal atau menunggu di sofa itu bersama saya.”

“Astaga, kenapa harus menunggu lama? Aku menyempatkan datang ke sini bukan untuk menunggu sesuatu yang tidak ada gunanya. Kalo begitu aku mau menemui anakku Abiandra dulu, daripada di sini tidak ada kerjaan.”

“Maaf Bu Karenia, sesuai arahan principal. Ibu harus menunggu dulu baru bisa menemui Abiandra anak Ibu.”

“Bullshit!” umpat Karenia lirih. Mau tidak mau ia harus menunggu setengah jam lagi. Padahal rasa kantuknya sudah mulai ia rasakan semakin berat untuk ditahan.

“Bagaimana Ibu? Apakah mau menunggu di ruang principal atau duduk di sofa itu?”

“Aku tunggu di ruang principal saja!” ucap Karenia tegas.

Indri pun membukakan pintu ruang principal. Karenia bergegas masuk. Di dalam ruangan kerja principal terdengar suara musik instrumental pelan. Ada sebuah sofa beserta bantalnya yang lembut. Di atas meja tersaji beberapa buah segar.

Harum aroma terapi langsung menguar di dalam ruangan membuat mata Karenia semakin berat untuk dibuka.

Tanpa sungkan lagi Karenia melepas sepatunya dan tiduran dengan kepala beralaskan bantal sofa. Matanya mulai meredup dan kantuk sudah tak tertahankan.

Tak butuh waktu lama, Karenia pun sudah terlelap dalam mimpi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status