Share

Bab 3 : Simbiosis Mutualisme

"Akhirnya kau bangun, Ara." 

Suara itu? Bukankah itu suara lelaki yang kemarin menolongku? Oh Tuhan! Bagaimana aku bisa lupa, aku kan sedang berada dirumahnya. Mataku yang lesu akhirnya membulat sempurna saat melihat lelaki itu sedang duduk tepat di sebelahku. Apa aku tidak salah? Dia memperhatikan aku yang sedang tidur? 

"Pak..." Aku menutup mulutku. Aku lupa, dia tidak ingin aku memanggilnya dengan sebutan 'pak'. 

"Maksudku Gavin. Sedang apa kau di sini? Ah, bukan maksudku kenapa kau masuk ke kamar ini? Meski ini rumahmu tapi aku tetap saja kaget, kau muncul seperti hantu saat aku membuka mata, kau malah duduk di sebelahku..." putusku saat tangannya malah berada di depan bibirku. 

"Bukankah aku lebih mirip suamimu dibanding hantu?" ucapnya membuat aku melotot kaget. "Su-suami?" 

Gavin mengangkat bahunya. "Ya. Menurutku itu lebih pas dibanding kata hantu. Mana ada hantu yang setampan diriku, iyakan?" 

Aku benci mengakuinya tapi dia memang tampan. 

"Ah sudahlah, Gavin. Katakan apa tujuanmu membantuku? Bukankah aneh, kau membantu orang yang baru kau kenal. Apalagi aku ini hanyalah seorang pelacur." 

Meski aku merasa aku belum menjadi pelacur seutuhnya. Aku masih perawan hingga detik ini. 

Gavin, dia malah terkekeh geli. "Kau bukan pelacur Ara. Bahkan kau masih perawan, bukan?" 

Aku tersentak kaget. "Darimana kau tahu, brengsek!" umpat ku sambil memeriksa tubuhku. Jangan-jangan dia melakukan sesuatu padaku. 

"Tenanglah, Ara. Aku tidak melakukan apapun padamu. Aku hanya menebaknya. Lagi pula apa kau lupa bahwa aku tidak berniat meniduri mu." 

Aku menatap matanya yang berwarna abu-abu. Aku baru menyadarinya bahwa dia memiliki tatapan yang memabukkan. Bibirnya tipis dan agak menggodaku, kenapa aku malah merasa sedikit terluka karena dia bilang tidak akan meniduri ku? Apa aku gila? 

"Baguslah jika kau memang tidak berniat meniduri ku. Aku janji akan mengembalikan uang yang kau berikan untuk biaya rumah sakit ibuku. Hanya lima puluh juta, karena lima puluh juta lagi itu pemberian yang tidak aku sepakati sebelumnya."

Dia malah tertawa saat aku mengatakan itu. Apa dia merasa aku harus mengembalikan uang lima puluh juta yang dia tambahkan itu juga? Astaga, aku bisa bangkrut! 

"Baik baik. Aku akan kembalikan seratus juta full, setelah aku mendapatkan uang nanti." Aku mengatakannya dengan susah payah. Tapi aku memang harus mengembalikan uang itu, apapun caranya. 

Gavin. Kenapa dia malah tersenyum sekarang? 

"Apa kau akan mencari lelaki yang mau membayar kau seratus juta?" 

Aku terhenyak. Bingung sekaligus tidak tahu harus menjawab apa. Memang aku ini bisa apa? Kalaupun aku bekerja, aku tidak akan dengan mudah mendapatkan uang sebanyak itu. 

"Ara. Bagaimana jika kita bekerja sama? Kau mau membantuku? Maka aku akan anggap hutangmu lunas. Bahkan aku bisa memberikan uang bulanan untukmu." 

Gavin mengambil sejumput rambutku lalu menciuminya. Aku merinding, merasakan desah napasnya mengenai telingaku. "Bagaimana, Arabella?"

"Kau butuh bantuan apa?" tanyaku berharap permintaan dia tidak aneh-aneh. 

Gavin tersenyum lalu mengusap permukaan bibirku dan mendekat padaku. 

"Jadi istriku," ucapnya dan aku yakin telingaku masih berfungsi dengan baik.

Apa dia gila??

"Kau bilang istri? Hahaha kau sudah gila?" 

Baru kali ini aku melihat kegilaan seorang lelaki asing yang seperti dia. Baru kenal, sudah mengatakan jadi istrinya? Aku hanya menggeleng sambil menahan geli, walau ada rasa sedikit penasaran, apa maksud omong kosongnya itu. 

"Aku tidak sedang bercanda. Lagi pula, hidupku tidak pernah aku luangkan untuk candaan. Ini adalah bagian yang aku katakan mengenai kerja sama, simbiosis mutualisme." 

"Ja-jadi kau tidak bercanda?" 

"Tidak."

Aku tidak mungkin menikah dengan orang yang baru aku kenal. Dia benar-benar tidak waras, dia mungkin saja habis terbentur atau semacamnya. 

"Aku tidak mau menikah denganmu, Gavin." Tentu saja, aku tidak mau menikah dengan orang asing seperti dia. "Aku akan lunasi hutangku, meski dengan menjual diri sekali pun." 

Lelaki itu, dia hanya sedikit menaikkan sudut bibirnya dengan decih pelan lalu menarik napasnya agak panjang. "Kau akan kehilangan hal yang berharga dalam dirimu, jika kau menjual dirimu. Tidakkah lebih baik menerima tawaranku, dan aku akan memberikan apa yang kau butuhkan, dengan status yang sah." 

Aku mengedarkan pandangan karena merasa bingung, apa yang harus aku lakukan. Apakah aku sudah terjebak permainannya? Tapi, suka tidak suka, karena dia aku tidak jadi menjual diriku dan masih menjaga keperawanan ku hingga kini. 

"Jika ada yang ingin kau tanyakan, silahkan. Jangan memendamnya sendiri, aku akan menjawab dengan jujur, siapa tahu kau berubah pikiran." 

Baiklah. Aku memang ingin bertanya satu hal padanya. 

"Kenapa kau ingin menikah denganku?" 

"Karena tuntutan keluarga, dan aku tidak pernah memikirkan untuk menikah. Melihat mu, aku merasa sepertinya kita cocok jika bekerja sama. Kau butuh uang, dan aku membutuhkan status pernikahan." 

"Maksud mu? Kita menikah kontrak?"

Lagi-lagi dia tersenyum. Oh Tuhan, kumohon jangan biarkan orang ini terus memperlihatkan senyumannya itu di hadapanku. Tidak! Dia terlalu memperdaya, dia sangat sempurna. 

"Bukan. Apakah bagimu pernikahan kontrak itu menyenangkan?" 

"Hah?" 

Maksud dia apa? 

"Kita menikah sungguhan. Hanya saja, kita menikah untuk kepentingan yang saling menguntungkan. Ini seperti yang kukatakan, simbiosis mutualisme. Jadilah istriku, bersamaku jika aku butuh, dan selebihnya terserah kau saja. Kau bisa melakukan apa yang kau inginkan, aku tidak akan melarang mu." 

Aku masih berpikir ini hal yang gila. Lalu menurutnya aku harus menjadi seperti istri pada umumnya, termasuk? 

"Kita tidak melakukan seks. Tenanglah," katanya. Aku langsung meneguk ludahku keras, bagiku dia mengerikan, dia bisa membaca apa yang aku pikirkan. 

"Aku tidak akan melakukan hal itu, aku juga tidak tertarik." 

"Apa kau gay?" 

Ya. Jika dia normal mana mungkin tidak tertarik dengan seks bersama wanita? Dia pasti menyukai sesama jenis, pikirku. 

"Kau gila, Ara. Aku ini normal. Tapi aku bukan lelaki brengsek yang mengambil keuntungan pribadi." 

Obrolan ini semakin aneh, tidak sesuai jalan pikiranku. Apakah aku mendadak dungu? 

"Tapi kita menikah, lalu bagaimana bisa kita tidak melakukan seks?" 

Gavin. Pria itu mendekat ke arahku dengan seringai kecil. Aku bergidik merinding, pelan-pelan menjauh. "Apa yang mau kau lakukan?" 

"Apakah kau ingin melakukan seks denganku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status