Beranda / Rumah Tangga / Menikahi CEO Philophobia / Bab 3 : Simbiosis Mutualisme

Share

Bab 3 : Simbiosis Mutualisme

Penulis: Apple Cherry
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-29 01:28:52

"Akhirnya kau bangun, Ara." 

Suara itu? Bukankah itu suara lelaki yang kemarin menolongku? Oh Tuhan! Bagaimana aku bisa lupa, aku kan sedang berada dirumahnya. Mataku yang lesu akhirnya membulat sempurna saat melihat lelaki itu sedang duduk tepat di sebelahku. Apa aku tidak salah? Dia memperhatikan aku yang sedang tidur? 

"Pak..." Aku menutup mulutku. Aku lupa, dia tidak ingin aku memanggilnya dengan sebutan 'pak'. 

"Maksudku Gavin. Sedang apa kau di sini? Ah, bukan maksudku kenapa kau masuk ke kamar ini? Meski ini rumahmu tapi aku tetap saja kaget, kau muncul seperti hantu saat aku membuka mata, kau malah duduk di sebelahku..." putusku saat tangannya malah berada di depan bibirku. 

"Bukankah aku lebih mirip suamimu dibanding hantu?" ucapnya membuat aku melotot kaget. "Su-suami?" 

Gavin mengangkat bahunya. "Ya. Menurutku itu lebih pas dibanding kata hantu. Mana ada hantu yang setampan diriku, iyakan?" 

Aku benci mengakuinya tapi dia memang tampan. 

"Ah sudahlah, Gavin. Katakan apa tujuanmu membantuku? Bukankah aneh, kau membantu orang yang baru kau kenal. Apalagi aku ini hanyalah seorang pelacur." 

Meski aku merasa aku belum menjadi pelacur seutuhnya. Aku masih perawan hingga detik ini. 

Gavin, dia malah terkekeh geli. "Kau bukan pelacur Ara. Bahkan kau masih perawan, bukan?" 

Aku tersentak kaget. "Darimana kau tahu, brengsek!" umpat ku sambil memeriksa tubuhku. Jangan-jangan dia melakukan sesuatu padaku. 

"Tenanglah, Ara. Aku tidak melakukan apapun padamu. Aku hanya menebaknya. Lagi pula apa kau lupa bahwa aku tidak berniat meniduri mu." 

Aku menatap matanya yang berwarna abu-abu. Aku baru menyadarinya bahwa dia memiliki tatapan yang memabukkan. Bibirnya tipis dan agak menggodaku, kenapa aku malah merasa sedikit terluka karena dia bilang tidak akan meniduri ku? Apa aku gila? 

"Baguslah jika kau memang tidak berniat meniduri ku. Aku janji akan mengembalikan uang yang kau berikan untuk biaya rumah sakit ibuku. Hanya lima puluh juta, karena lima puluh juta lagi itu pemberian yang tidak aku sepakati sebelumnya."

Dia malah tertawa saat aku mengatakan itu. Apa dia merasa aku harus mengembalikan uang lima puluh juta yang dia tambahkan itu juga? Astaga, aku bisa bangkrut! 

"Baik baik. Aku akan kembalikan seratus juta full, setelah aku mendapatkan uang nanti." Aku mengatakannya dengan susah payah. Tapi aku memang harus mengembalikan uang itu, apapun caranya. 

Gavin. Kenapa dia malah tersenyum sekarang? 

"Apa kau akan mencari lelaki yang mau membayar kau seratus juta?" 

Aku terhenyak. Bingung sekaligus tidak tahu harus menjawab apa. Memang aku ini bisa apa? Kalaupun aku bekerja, aku tidak akan dengan mudah mendapatkan uang sebanyak itu. 

"Ara. Bagaimana jika kita bekerja sama? Kau mau membantuku? Maka aku akan anggap hutangmu lunas. Bahkan aku bisa memberikan uang bulanan untukmu." 

Gavin mengambil sejumput rambutku lalu menciuminya. Aku merinding, merasakan desah napasnya mengenai telingaku. "Bagaimana, Arabella?"

"Kau butuh bantuan apa?" tanyaku berharap permintaan dia tidak aneh-aneh. 

Gavin tersenyum lalu mengusap permukaan bibirku dan mendekat padaku. 

"Jadi istriku," ucapnya dan aku yakin telingaku masih berfungsi dengan baik.

Apa dia gila??

"Kau bilang istri? Hahaha kau sudah gila?" 

Baru kali ini aku melihat kegilaan seorang lelaki asing yang seperti dia. Baru kenal, sudah mengatakan jadi istrinya? Aku hanya menggeleng sambil menahan geli, walau ada rasa sedikit penasaran, apa maksud omong kosongnya itu. 

"Aku tidak sedang bercanda. Lagi pula, hidupku tidak pernah aku luangkan untuk candaan. Ini adalah bagian yang aku katakan mengenai kerja sama, simbiosis mutualisme." 

"Ja-jadi kau tidak bercanda?" 

"Tidak."

Aku tidak mungkin menikah dengan orang yang baru aku kenal. Dia benar-benar tidak waras, dia mungkin saja habis terbentur atau semacamnya. 

"Aku tidak mau menikah denganmu, Gavin." Tentu saja, aku tidak mau menikah dengan orang asing seperti dia. "Aku akan lunasi hutangku, meski dengan menjual diri sekali pun." 

Lelaki itu, dia hanya sedikit menaikkan sudut bibirnya dengan decih pelan lalu menarik napasnya agak panjang. "Kau akan kehilangan hal yang berharga dalam dirimu, jika kau menjual dirimu. Tidakkah lebih baik menerima tawaranku, dan aku akan memberikan apa yang kau butuhkan, dengan status yang sah." 

Aku mengedarkan pandangan karena merasa bingung, apa yang harus aku lakukan. Apakah aku sudah terjebak permainannya? Tapi, suka tidak suka, karena dia aku tidak jadi menjual diriku dan masih menjaga keperawanan ku hingga kini. 

"Jika ada yang ingin kau tanyakan, silahkan. Jangan memendamnya sendiri, aku akan menjawab dengan jujur, siapa tahu kau berubah pikiran." 

Baiklah. Aku memang ingin bertanya satu hal padanya. 

"Kenapa kau ingin menikah denganku?" 

"Karena tuntutan keluarga, dan aku tidak pernah memikirkan untuk menikah. Melihat mu, aku merasa sepertinya kita cocok jika bekerja sama. Kau butuh uang, dan aku membutuhkan status pernikahan." 

"Maksud mu? Kita menikah kontrak?"

Lagi-lagi dia tersenyum. Oh Tuhan, kumohon jangan biarkan orang ini terus memperlihatkan senyumannya itu di hadapanku. Tidak! Dia terlalu memperdaya, dia sangat sempurna. 

"Bukan. Apakah bagimu pernikahan kontrak itu menyenangkan?" 

"Hah?" 

Maksud dia apa? 

"Kita menikah sungguhan. Hanya saja, kita menikah untuk kepentingan yang saling menguntungkan. Ini seperti yang kukatakan, simbiosis mutualisme. Jadilah istriku, bersamaku jika aku butuh, dan selebihnya terserah kau saja. Kau bisa melakukan apa yang kau inginkan, aku tidak akan melarang mu." 

Aku masih berpikir ini hal yang gila. Lalu menurutnya aku harus menjadi seperti istri pada umumnya, termasuk? 

"Kita tidak melakukan seks. Tenanglah," katanya. Aku langsung meneguk ludahku keras, bagiku dia mengerikan, dia bisa membaca apa yang aku pikirkan. 

"Aku tidak akan melakukan hal itu, aku juga tidak tertarik." 

"Apa kau gay?" 

Ya. Jika dia normal mana mungkin tidak tertarik dengan seks bersama wanita? Dia pasti menyukai sesama jenis, pikirku. 

"Kau gila, Ara. Aku ini normal. Tapi aku bukan lelaki brengsek yang mengambil keuntungan pribadi." 

Obrolan ini semakin aneh, tidak sesuai jalan pikiranku. Apakah aku mendadak dungu? 

"Tapi kita menikah, lalu bagaimana bisa kita tidak melakukan seks?" 

Gavin. Pria itu mendekat ke arahku dengan seringai kecil. Aku bergidik merinding, pelan-pelan menjauh. "Apa yang mau kau lakukan?" 

"Apakah kau ingin melakukan seks denganku?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikahi CEO Philophobia   Akhir Yang Indah (2) END STORY

    "Dokter apa yang terjadi dengan istri, saya?""Istri Anda hamil.""Apa? Saya hamil, Dok?""Ya, menurut hasil pemeriksaan awal, usia kandungan memasuki bulan ke tiga. Keadaannya cukup baik. hanya saja, Nyonya harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, itu sangat penting."Evelyn masih tak menyangka, bahwa dia hamil. "Astaga Sayang! Kau dengar, ada bayi di dalam sini! Ini adalah anak kita, Sayang!" Oliver kelihatan benar-benar bahagia. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaan haru di hadapan istrinya."Aku benar-benar tidak menyangka, Oli. Aku hamil. Aku akan jadi seorang ibu?"Oliver menciumi Evelyn dengan derai air mata. Setelah penantian panjang, akhirnya dia dan Evelyn akan segera diberkati keturunan.***"Gavin, kita harus segera ke rumah sakit." "Ya, Sayang. Sebentar, aku harus menggendong Aelly dulu.""Oh, sweety. Kau benar-benar ayah yang luar biasa, Vin."Gavin menarik tubuh Ara ke sisinya, lalu mengecup keningnya. "Kau lah yang luar bia

  • Menikahi CEO Philophobia   Akhir Yang Indah (1)

    Dokter sudah mengatakan jika operasi yang dilakukan Gilbert berjalan lancar. Setelah dua puluh empat jam akhirnya Gilbert pun sadar. Arabella lah yang pertama dilihat olehnya. Laki-laki itu merasa diberkahi, sebab Tuhan masih mengasihaninya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya terhadap putrinya, Arabella. "Ara." "Kau sudah bangun, Tuan."Mungkin berlebihan dan terkesan tidak tahu diri. Gilbert merasa ingin sekali mendengar Arabella memanggilnya ayah. Tapi, dia tidak mau menyampaikan itu pada Arabella, sebab baginya melihat Ara yang mau berbicara dengannya saja, itu sudah merupakan hal yang luar biasa. "Iya, berkatmu, Arabella. Aku ingin kau memaafkan ku. Jadi, aku memohon pada Tuhan, dalam gelap, dalam kesakitan, aku mohon agar aku bisa melihatmu, walau mungkin untuk terakhir kali."Arabella menggeleng, dia tentu tidak mau itu menjadi yang terakhir. "Kau tidak boleh berkata begitu, Ayah." Gilbert yang masih terbaring lemah, mendadak menegakkan tubuhnya meski di

  • Menikahi CEO Philophobia   Berdamai Dengan Keadaan

    Rasa resah dan gelisah melingkupi Arabella. Dia harus berasa di posisi yang sangat menyulitkan nya. Laki-laki itu benar ayahnya, seburuk-buruknya tetap dia lah orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Arabella tak mau, jika Tuhan mengambil orang itu. Lebih baik, hubungan mereka buruk selamanya, asalkan Gilbert harus tetap hidup. "Sayangku, aku mengerti yang kau rasakan." Gavin, dia selalu datang memberikan setidaknya sedikit ketenangan dan juga pelukan hangat yang membuatnya kuat. "Vin, apa yang harus aku lakukan??" "Kau harus ikuti kata hatimu, Arabella. Lakukan apa yang hatimu suarakan. dengarkan dengan perasaan bukan dengan emosimu." Matanya berkaca, dia mengeratkan peluk, sembari menahan agar tidak menangis. "Jangan menangis, karena Arabella yang kukenal adalah wanita yang kuat. Sudah terlalu sering kau menangis, padahal hal yang jauh lebih sulit dari ini sudah pernah kau lalui." Keberuntungan yang Ara miliki adalah Gavin, s

  • Menikahi CEO Philophobia   Kesungguhan Gilbert

    "Saya mohon, Tuan Gavin. Izinkan Ara ikut saya ke rumah. Saya akan menjelaskan semuanya secara terang-terangan pada Oliver dan Evelyn tentang siapa Arabella, dan juga masa lalu saya bersama ibu Ara."Gavin awalnya menolak. Tapi, dia juga tidak mungkin membiarkan masalah menguap begitu saja. Padahal dia yakin Arabella juga ingin kejelasan, setidaknya itu adalah bentuk penyesalan Gilbert yang telah menyia-nyiakan Ara dan ibunya."Baiklah. Saya akan izinkan Arabella pergi. Tapi saya akan ikut bersamanya.""Ya, tentu, memang Anda harus ikut, Tuan. Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya mengajak Ara."Ara hanya diam, dia menyerahkan segalanya ke tangan Gavin. Kalau Gavin yang memintanya pergi, maka dia akan pergi. Sedangkan kalau tanpa restu Gavin, Ara tidak akan pergi."Ara, aku akan menemani mu. Kau mau ya, ikut untuk menjelaskan semuanya. Ini juga yang diinginkan ibumu, kan?"Ara menatap sekilas wajah Gilbert. Dia masih sediki

  • Menikahi CEO Philophobia   Luluh, kah?

    Evelyn benar-benar cemas karena Arabella meminta bertemu empat mata dengan papa mertuanya. Sedang dia tau, bahwa papa mertuanya itu bukan termasuk orang yang bisa diajak bicara.Setelah sekitar tiga puluh menit Arabella bersama dengan Gilbert, entah apa yang mereka berdua bicarakan. Akhirnya Arabella keluar dengan wajah yang datar pada awalnya. "Ara, kau akhirnya keluar juga. aku sangat mencemaskan mu."Barulah Arabella tersenyum. Dia menggenggam tangan Evelyn, dengan raut yang terlihat santai, seolah tak terjadi apa-apa."Aku baik-baik saja. Syukurlah, semuanya bisa diselesaikan. Aku sudah bicara, dan Tuan Gilbert akan menyelesaikan semuanya. Kau bisa lanjut dengan proyek yang sebelumnya berjalan, tanpa perlu memperpanjang semuanya lagi.""Hah? Apa maksud mu, Arabella? Bagaimana bisa?" tanya Evelyn yang kaget bukan main. Tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Karena dia tau persis bagaimana watak papa mertuanya. Apakah dia luluh? apa yang Ar

  • Menikahi CEO Philophobia   Penyesalan Gilbert

    "Selamat siang, Tuan Gilbert." "Kamu? Kamu Arabella, kan?""Ya, saya Arabella, lama tidak bertemu, Tuan. Rasanya saya juga lupa, kapan terakhir kali kita saling mengenal. Karena waktu itu saya masih sangat kecil. Kalaulah bukan karena Ibu yang memintaku menemui Anda, mungkin saya sudah mengubur nama Anda dalam-dalam." Perkataan Arabella itu sangat membuat Gilbert terpukul. Tapi, pria tua itu menyadari, dia memang bersalah. Gilbert berjalan melangkahkan kakinya mendekati Arabella hingga jarak keduanya hanya sekitar satu meter saja. "Duduklah dulu, Ara. Silakan, kita bisa berbicara dulu."Ara pun duduk, meski sejujurnya enggan. "Baik, kita bicara. Meski saya enggan, saya malas berbicara dengan orang seperti Anda, Tuan." "Arabella, maafkan Ayah, Nak.""Anda bukan ayah saya." "Ara, aku adalah ayahmu. Suka tidak suka, aku adalah suami ibumu.""Apa?" decih malas Arabella. "Kau bilang suami ibuku? Apakah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status