Home / Rumah Tangga / Menikahi CEO Philophobia / Bab 2 : Penolong Arabella

Share

Bab 2 : Penolong Arabella

Author: Apple Cherry
last update Last Updated: 2021-10-29 00:00:16

Aku di usia remaja bisa dikatakan seperti gumpalan lemak yang berjalan. Tepat sekali, aku sangat gendut untuk anak seumuran ku. Tapi beruntung, aku memiliki saudara sepupu yang selalu mendukungku, dia adalah Alissa. Saat aku dijadikan bahan olok-olokan, dia selalu ada di sisiku untuk membelaku. 

"Hentikan! Arabella bukan gadis gendut! Dia itu gadis yang cantik!" Alissa membentak dua murid perempuan di sekolah hanya karena mereka berdua mengatakan aku sangat gendut dan tidak pantas berteman. 

"Apa menjadi gendut seburuk itu?" tanyaku pada Alissa. 

"Kau tidak buruk, Ara. Hati mereka yang buruk. Jangan dengarkan, tutup saja telingamu," jawab Alissa sambil menutupi kedua telingaku. Aku merasa lebih baik saat itu karena dia. 

Alissa hidup sebatang kara setelah kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal dunia. Lissa sudah seperti kakak buatku, meski dia berumur dua tahun di bawahku tapi statusnya lebih tua dariku, karena dia anak dari kakak ayahku. 

Sedangkan ayahku sendiri, entah di mana sekarang. Dia menghilang, pergi tanpa pamit meninggalkan aku dan ibuku. 

Sejak saat itulah Lissa tinggal bersamaku di rumah ibu. Lissa sangat cantik, berbeda denganku yang kerap dikata-katai gadis jelek. 

"Lissa, kau sangat cantik. Apakah aku tidak pantas di sisimu?" 

"Ara, kau cantik. Hanya saja, orang belum melihat kecantikan mu, karena mereka memiliki standar yang rendah, tentang kecantikan itu sendiri." 

Lagi-lagi Alissa selalu menenangkan ku. 

Kehidupan ku yang semakin sulit membuat aku yang tadinya sangat suka makan terpaksa harus belajar menahan lapar dan berpuasa. Keuangan ibuku sangatlah memprihatinkan. Sebagai buruh cuci dengan bayaran yang tidak seberapa, tentu aku dan Lissa seringkali harus menahan lapar sehingga berat badanku pun turun dengan sendirinya. 

Perubahan fisikku yang tadinya gemuk menjadi kurus setidaknya membawa dampak positif untukku. Aku sekarang bukan lagi Arabella yang gemuk, melainkan bobot ku sudah normal seperti gadis pada umumnya. Paras ku pun lumayan cantik, karena memang sejujurnya aku tidak jelek. Aku hanya kelebihan berat badan, sekarang aku berbeda. Aku percaya, jika kau adalah wanita maka kau akan tetap menjadi cantik bagaimanapun bentuk tubuhmu, dan apapun warna kulitmu. 

Nyatanya, ditempat kelahiran ku ini. Meski aku tidak lagi gendut dan bertumpukan lemak seperti dulu. Aku tetap saja dipandang sebelah mata. 

Kenapa demikian? Karena aku, miskin. 

Saat menjadi cantik sekali pun, aku tetap saja akan direndahkan juga. Begitulah hidupku berjalan. Tapi, aku tidak menyerah, aku yakin akan ada secercah sinar yang akan menerangi jalanku. Asalkan aku percaya bahwa kebahagiaan tidak untuk dia yang sempurna. Karena memang kesempurnaan itu tidak ada. 

Benar saja. Aku saat itu mendapatkan kesempatan yang sungguh mujur. Aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang kuliah tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun karena semua sudah ditanggung oleh sekolah. Ibuku adalah orang pertama yang mendorong aku untuk menerima kesempatan itu dan tidak boleh menolaknya. 

Kata ibuku, dia ingin aku menjadi orang yang sukses dengan pendidikan yang tinggi tidak seperti dirinya yang saat dinikahi ayahku hanya memiliki lulusan rendah. Beruntung ibuku sangat cantik, dia memiliki paras yang menawan dengan darah campuran yang melekat di dirinya. Kecantikan itulah yang membuat ayahku terpikat hingga akhirnya menikah dengan ibuku. 

Kehidupanku saat kuliah bisa dibilang lancar. Aku yang sudah bertransformasi menjadi gadis cantik acapkali mendapatkan tawaran pekerjaan paruh waktu yang cukup menggiurkan. Sebagai SPG ataupun model pembantu yang lumayan menghasilkan untukku. Uangnya tentu aku kirimkan sebagian untuk ibuku yang saat ini tinggal ditemani Alissa.

Setelah lulus. Rupanya keadaan tidak sebaik yang aku harapkan. Ibuku masuk rumah sakit karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Dia selama ini tidak memberitahuku bahwa dia merasakan sakit. Tentu aku tahu, dia tidak ingin merepotkan aku. Tapi sekarang, apa aku harus diam saja ketika dia masuk ICU dan membutuhkan perawatan yang lebih intensif. 

"Lima puluh juta. Apa kau bisa membayar ku di muka?" kataku dengan suara gemetar. Aku terpaksa melangkahkan kakiku ke sini. Pertemuan yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi. Aku sudah menolaknya dengan keras kemarin, aku bahkan ingin meludahi orang yang menawariku pekerjaan itu. Tapi nyatanya sekarang? Aku di sini, seakan menjilati ludahku sendiri. Menjijikkan! Tapi aku terpaksa melakukan ini. 

"Sayang. Untuk wajah secantik kau tentu aku bisa mendapatkan orang yang mau membayar mu segitu, di muka." Perempuan kira-kira berusia empat puluh tahun yang sering di panggil mami. Seorang mucikari yang cukup populer dikalangan nya. Keahliannya mencari gadis muda seperti aku, untuk dijadikan bank berjalan olehnya. 

"Cepatlah karena ibuku sangat membutuhkan uang itu," ucapku dengan segenap keberanian aku mengatakan itu. Aku Arabella, akan menjual diriku demi ibu. 

Rupanya tak butuh waktu lama. Hari itu juga mami membawa pelanggan untukku. Pelanggan yang berani memberikan uang cash lima puluh juta kepadaku. Aku tersentak, meneguk ludahku keras-keras. Jadi? Aku akan berakhir malam ini, aku akan melepaskan keperawanan ku dengan cara hina seperti ini. 

"Wow. Rupanya mami tidak berbohong. Berlian yang aku bayar lima puluh juta sangatlah cantik dan sepadan. Sini sayang, kemarilah. Kulitmu sangat halus, lembut dan sangat-harum." 

Demi Tuhan aku jijik dengan diriku sendiri saat pria itu mendekati aku, menyentuh tanganku menciumnya bahkan menjilati ujung jemariku. Apa yang dia lakukan? Aku ingin meludahinya saat ini juga. Tapi, ini demi Ibu kan? 

"Pak. Aku mohon lepaskan aku." Mungkin aku bodoh. Mana mungkin dia mau melepaskan aku, sementara uang lima puluh juta sudah aku pegang, selembar cek sudah dia berikan di muka dan aku sudah menerimanya. 

"Hah? Apa katamu?" ucapnya dengan tatapan tajam ke arahku. Aku bergidik, sungguh tapi aku mual sekarang. 

"Aku sebenarnya penyakitan, Pak." Entahlah aku hanya berharap dia melepaskan aku walau itu terdengar bodoh. 

"Hahahaha kucing jalang! Kau coba membodohi ku, hah? Kenapa? Apa ini cara jalang memikat pelanggan? Dengan berpura-pura lugu, belum pernah disentuh? Hah! Kemari kau!" tekannya sambil menarik paksa diriku hingga berada dalam cengkeramannya yang cukup kuat. 

"Ouch! Please, lepaskan aku!" 

"Bitch! Kau sudah ku bayar lunas, sial!" 

"Hentikan jangan sentuh aku! Brengsek!" 

Aku hanya terus meronta memohon agar pria keparat itu melepaskan aku. Ini memang sudah sesuai perjanjian awal.

Ya, aku terpaksa menjual diriku pada lelaki hidung belang. Aku terpaksa, sungguh jika bukan karena ibuku. Kumohon siapapun, tolong aku. 

"Brengsek!" Aku memekik mencoba sekuat tenaga agar bebas dari dekapan erat lelaki itu.

"Singkirkan tangan kotor mu!" 

Suara siapa itu? Aku tersentak kaget mendengar suara yang cukup keras dari belakangku. Suara itu, terdengar seperti suara pria dewasa. Parau, agak serak. Ya, apakah dia hendak menyelamatkan aku? Mustahil. Ini kamar hotel, siapa yang bisa masuk ke sini. 

Aku terkejut saat cengkeraman tangan pria brengsek itu mengendur bahkan terlepas dengan segera. Siapa sebenarnya pria itu. Pria yang berteriak di belakangku? Kenapa pria di depanku sampai ketakutan melihat dia. Tidak mungkin kan kalau dia? HANTU. 

"Pa-pak Gavin?" 

"Gavin?" aku mengulang nama yang disebutkan oleh pria itu. Jadi pria itu mengenal nama tersebut. Gavin katanya? Dia itu siapa? Aku merasa penasaran dan langsung berbalik. 

"ASTAGA." 

Jadi dia itu siapa? Gavin itu siapa? Dia sangat tampan dan terlihat seperti orang KAYA. 

"Rupanya begini kelakuanmu. Aku membayar mu untuk bekerja bukan untuk bermain dengan jalang, brengsek!" 

Aku turut tersentak saat lelaki yang dipanggil pak Gavin itu berteriak cukup keras, menggelegar dan nyaris membuat jantungku lepas. 

"Maafkan saya, Pak. Saya hanya..." putus pria itu sepertinya dia hampir semaput karena mendengar teriakan orang yang dipanggil Gavin itu. 

"Kembali ke kantor dan selesaikan apa yang harus kau selesaikan bodoh!" sentak orang itu. 

"Ba-baik Pak." 

Seperti pembantunya saja. Pria yang semula kukira orang kaya raya sehingga mampu membayar ku lima puluh juta. Rupanya dia memiliki atasan yang lebih hebat lagi. Buktinya dia sanggup mengusir pria itu menyingkir dari sisiku. Tadi itu hampir saja, kukira aku akan segera kehilangan keperawanan.

Saat ini pria yang bernama Gavin itu berjalan ke arahku. Aku hanya terdiam mematung dengan mata melebar dan tidak berkedip. Siapa dia sebenarnya? Kenapa aku seperti tersihir. Dia menyentuh bahuku yang terbuka, lalu mengelusnya. Anehnya aku hanya diam saja, tidak melawan seperti tadi. 

"Kau dibayar berapa oleh lelaki tadi?" ucapnya membuat aku bergidik saat menatap kedua matanya, seperti elang yang akan menerkam mangsanya hidup-hidup. 

"Lima puluh juta." Aku menjawab jujur. Aku tidak tahu apakah aku harus diam, atau berbohong. Tapi aku memilih jujur. 

"Oh. Kenapa kau menjual diri?" tanyanya lagi. 

"Demi ibuku. Terpaksa karena dia butuh uang untuk biaya rumah sakit." Apakah aku bodoh karena menceritakan semua itu pada pria yang baru aku kenal? Tapi sumpah, jika kau jadi aku sekarang, maka kau akan tahu rasanya berdiri di depan pria ini. Mengerikan...

"Hmmm..." dia hanya berdehem tapi sanggup membuat aku membeku di tempatku. Tangannya perlahan bergerak menaikkan tali dress tipis yang aku gunakan. Semula kukira dia akan menyentak tali itu hingga terlepas dan aku telanjang. Nyatanya tidak, dia sama sekali tidak melakukannya. 

"Pakailah ini," katanya sambil melepaskan jasnya lalu memberikannya padaku. "Tutupi tubuhmu. Ikuti aku," imbuhnya dan aku terhipnotis begitu saja mengikuti apa yang dia katakan. 

"Maaf," kataku sambil berjalan keluar dari kamar hotel mengikuti laki-laki itu. 

"Jangan bicara apapun dan ikut saja denganku. Satu hal yang perlu kau tahu. Aku tidak akan meniduri mu." 

Aku terkejut dan langsung membungkam mulutku rapat-rapat. Meski aku merasa lega, tapi kurasa ini bukan saatnya merasakan kelegaan. Bisa saja dia tidak meniduri ku bukan karena tidak akan merusak ku. Tapi, adakah yang lebih buruk? Misalkan dia akan menjual ku dengan harga yang lebih tinggi? Oh Tuhan. Lebih baik aku kembali gendut dan jelek jika menjadi cantik rupanya sangat teramat mengerikan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi CEO Philophobia   Akhir Yang Indah (2) END STORY

    "Dokter apa yang terjadi dengan istri, saya?""Istri Anda hamil.""Apa? Saya hamil, Dok?""Ya, menurut hasil pemeriksaan awal, usia kandungan memasuki bulan ke tiga. Keadaannya cukup baik. hanya saja, Nyonya harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, itu sangat penting."Evelyn masih tak menyangka, bahwa dia hamil. "Astaga Sayang! Kau dengar, ada bayi di dalam sini! Ini adalah anak kita, Sayang!" Oliver kelihatan benar-benar bahagia. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaan haru di hadapan istrinya."Aku benar-benar tidak menyangka, Oli. Aku hamil. Aku akan jadi seorang ibu?"Oliver menciumi Evelyn dengan derai air mata. Setelah penantian panjang, akhirnya dia dan Evelyn akan segera diberkati keturunan.***"Gavin, kita harus segera ke rumah sakit." "Ya, Sayang. Sebentar, aku harus menggendong Aelly dulu.""Oh, sweety. Kau benar-benar ayah yang luar biasa, Vin."Gavin menarik tubuh Ara ke sisinya, lalu mengecup keningnya. "Kau lah yang luar bia

  • Menikahi CEO Philophobia   Akhir Yang Indah (1)

    Dokter sudah mengatakan jika operasi yang dilakukan Gilbert berjalan lancar. Setelah dua puluh empat jam akhirnya Gilbert pun sadar. Arabella lah yang pertama dilihat olehnya. Laki-laki itu merasa diberkahi, sebab Tuhan masih mengasihaninya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya terhadap putrinya, Arabella. "Ara." "Kau sudah bangun, Tuan."Mungkin berlebihan dan terkesan tidak tahu diri. Gilbert merasa ingin sekali mendengar Arabella memanggilnya ayah. Tapi, dia tidak mau menyampaikan itu pada Arabella, sebab baginya melihat Ara yang mau berbicara dengannya saja, itu sudah merupakan hal yang luar biasa. "Iya, berkatmu, Arabella. Aku ingin kau memaafkan ku. Jadi, aku memohon pada Tuhan, dalam gelap, dalam kesakitan, aku mohon agar aku bisa melihatmu, walau mungkin untuk terakhir kali."Arabella menggeleng, dia tentu tidak mau itu menjadi yang terakhir. "Kau tidak boleh berkata begitu, Ayah." Gilbert yang masih terbaring lemah, mendadak menegakkan tubuhnya meski di

  • Menikahi CEO Philophobia   Berdamai Dengan Keadaan

    Rasa resah dan gelisah melingkupi Arabella. Dia harus berasa di posisi yang sangat menyulitkan nya. Laki-laki itu benar ayahnya, seburuk-buruknya tetap dia lah orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Arabella tak mau, jika Tuhan mengambil orang itu. Lebih baik, hubungan mereka buruk selamanya, asalkan Gilbert harus tetap hidup. "Sayangku, aku mengerti yang kau rasakan." Gavin, dia selalu datang memberikan setidaknya sedikit ketenangan dan juga pelukan hangat yang membuatnya kuat. "Vin, apa yang harus aku lakukan??" "Kau harus ikuti kata hatimu, Arabella. Lakukan apa yang hatimu suarakan. dengarkan dengan perasaan bukan dengan emosimu." Matanya berkaca, dia mengeratkan peluk, sembari menahan agar tidak menangis. "Jangan menangis, karena Arabella yang kukenal adalah wanita yang kuat. Sudah terlalu sering kau menangis, padahal hal yang jauh lebih sulit dari ini sudah pernah kau lalui." Keberuntungan yang Ara miliki adalah Gavin, s

  • Menikahi CEO Philophobia   Kesungguhan Gilbert

    "Saya mohon, Tuan Gavin. Izinkan Ara ikut saya ke rumah. Saya akan menjelaskan semuanya secara terang-terangan pada Oliver dan Evelyn tentang siapa Arabella, dan juga masa lalu saya bersama ibu Ara."Gavin awalnya menolak. Tapi, dia juga tidak mungkin membiarkan masalah menguap begitu saja. Padahal dia yakin Arabella juga ingin kejelasan, setidaknya itu adalah bentuk penyesalan Gilbert yang telah menyia-nyiakan Ara dan ibunya."Baiklah. Saya akan izinkan Arabella pergi. Tapi saya akan ikut bersamanya.""Ya, tentu, memang Anda harus ikut, Tuan. Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya mengajak Ara."Ara hanya diam, dia menyerahkan segalanya ke tangan Gavin. Kalau Gavin yang memintanya pergi, maka dia akan pergi. Sedangkan kalau tanpa restu Gavin, Ara tidak akan pergi."Ara, aku akan menemani mu. Kau mau ya, ikut untuk menjelaskan semuanya. Ini juga yang diinginkan ibumu, kan?"Ara menatap sekilas wajah Gilbert. Dia masih sediki

  • Menikahi CEO Philophobia   Luluh, kah?

    Evelyn benar-benar cemas karena Arabella meminta bertemu empat mata dengan papa mertuanya. Sedang dia tau, bahwa papa mertuanya itu bukan termasuk orang yang bisa diajak bicara.Setelah sekitar tiga puluh menit Arabella bersama dengan Gilbert, entah apa yang mereka berdua bicarakan. Akhirnya Arabella keluar dengan wajah yang datar pada awalnya. "Ara, kau akhirnya keluar juga. aku sangat mencemaskan mu."Barulah Arabella tersenyum. Dia menggenggam tangan Evelyn, dengan raut yang terlihat santai, seolah tak terjadi apa-apa."Aku baik-baik saja. Syukurlah, semuanya bisa diselesaikan. Aku sudah bicara, dan Tuan Gilbert akan menyelesaikan semuanya. Kau bisa lanjut dengan proyek yang sebelumnya berjalan, tanpa perlu memperpanjang semuanya lagi.""Hah? Apa maksud mu, Arabella? Bagaimana bisa?" tanya Evelyn yang kaget bukan main. Tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Karena dia tau persis bagaimana watak papa mertuanya. Apakah dia luluh? apa yang Ar

  • Menikahi CEO Philophobia   Penyesalan Gilbert

    "Selamat siang, Tuan Gilbert." "Kamu? Kamu Arabella, kan?""Ya, saya Arabella, lama tidak bertemu, Tuan. Rasanya saya juga lupa, kapan terakhir kali kita saling mengenal. Karena waktu itu saya masih sangat kecil. Kalaulah bukan karena Ibu yang memintaku menemui Anda, mungkin saya sudah mengubur nama Anda dalam-dalam." Perkataan Arabella itu sangat membuat Gilbert terpukul. Tapi, pria tua itu menyadari, dia memang bersalah. Gilbert berjalan melangkahkan kakinya mendekati Arabella hingga jarak keduanya hanya sekitar satu meter saja. "Duduklah dulu, Ara. Silakan, kita bisa berbicara dulu."Ara pun duduk, meski sejujurnya enggan. "Baik, kita bicara. Meski saya enggan, saya malas berbicara dengan orang seperti Anda, Tuan." "Arabella, maafkan Ayah, Nak.""Anda bukan ayah saya." "Ara, aku adalah ayahmu. Suka tidak suka, aku adalah suami ibumu.""Apa?" decih malas Arabella. "Kau bilang suami ibuku? Apakah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status