Share

Bab 8 : Basah!

Author: Apple Cherry
last update Last Updated: 2021-12-03 17:12:14

"Huh? Apa yang kau lakukan di sini, Gavin?"

Ara menganga saat Gavin mencengkeram dua bahunya kuat dan kini tepat berada di atasnya. Tatapan mata lelaki itu menggelap, auranya berbeda, tidak seperti biasanya.

"Aku menginginkanmu." Suaranya agak serak, dengan rahang yang mengeras.

"A-apa maksud kau, hah! Jangan bercanda!"

Tubuhnya seolah membeku, dia tidak dapat menggerakkan tangannya, semuanya kaku.

"Menyingkir, kau! Aku kenapa tidak dapat bergerak? Gavin, kau jangan macam-macam!" Ara terus memberi peringatan. Tapi bibir Gavin malah merebut paksa bibirnya, hingga ciuman yang memburu pun terjadi.

Apa ini? Kenapa Ara tidak dapat menghentikan aksi Gavin. Ciuman ini? Kenapa Gavin malah melakukannya pada Ara? Dia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya.

"Gavin!" Ara mendorong tubuh Gavin saat tubuhnya bisa digerakkan kembali. "Kau brengsek! Apa yang kau lakukan padaku!"

Ara bangun dari ranjang lebar yang ditidurinya tadi. Bajunya acak-acakan, rambutnya berantakan. "Astaga! Apa yang terjadi padaku? Kepalaku sakit,"

"Jangan coba kabur dariku!" Gavin seperti bukan dirinya, dia berjalan terhuyung-huyung mendekati Ara.

"Kau mabuk, brengsek! Jangan sentuh aku!" Ara menampar pipi Gavin, tapi pria itu malah tertawa.

"Aku akan membalas semua perbuatan mu, Luna! Kau adalah Luna, kan? Bisa-bisanya kau mencampakkan aku? Kau kira aku ini sampah?"

"Luna? Siapa Luna? Hei, kau mengigau ya! Sial! Kau sudah sangat mabuk, sadarlah Gavin!" pekik Ara, tapi Gavin malah memeluknya erat.

"Tubuhmu sangat seksi. Aku bahkan tidak pernah kurang ajar padamu, Luna. Tapi, kau dengan murah mengobralnya pada lelaki yang katanya lebih mencintaimu? Hahahaha dasar bodoh! Jelas aku yang paling mencintaimu! Bitch!"

Gavin Makin menggila, entah apa yang dia bicarakan sejak tadi. Nama Luna selalu dia ulang-ulang. Ara makin sesak saat pelukan Gavin sangat erat hingga hampir membuatnya kehabisan napas.

"Lepaskan!"

"Kita lakukan saja, agar kau tahu aku lebih perkasa dari dirinya!"

"Kau gila! Sadarlah Gavin, aku ini Arabella! Bukan Luna!"

Meski Ara tidak tahu siapa Luna, tapi dia sepenuhnya sadar. Ara tidak mabuk, dia ingat bahwa Gavin mabuk dan dia terhempas jatuh saat mengantar Gavin hingga dia pingsan. Kepalanya sakit karena keningnya membentur tembok, lukanya saja masih terasa pedih.

"Kau mabuk berat, Gavin! Lepaskan aku, kumohon." Ara merintih saat tangan Gavin mulai mencengkeram tubuhnya lagi.

"Hmmm..." Bibirnya menyentuh lagi bibir Ara, tapi kepala Ara terasa pening, pandangannya mulai memudar. "Please, lepaskan aku," suara Ara mulai melemah.

"Sayang, aku akan sangat lembut ...."

"Kau gila, lepaskan kubilang!" sentak Ara.

Namun semua sia-sia. Gavin malah menggendong tubuhnya lalu menghempaskan kembali ke atas ranjang hingga Ara yang merasa pusing hanya terbaring pasrah menatap Gavin yang belum juga sadar.

Tangan Gavin mulai meremas gaun yang dikenakan Ara, lalu mulai melepasnya. Tentu saja Ara menolak keras, tapi kepalanya sangat sakit sehingga tenaganya makin melemah. Kini, gaun yang membalut tubuhnya sudah berhasil disingkirkan oleh Gavin.

Kedua mata Gavin menyipit menatap Ara yang sedang menangis. Kalau saja dia tidak selemah ini tentu Ara tidak akan membuang waktu untuk menangis dan langsung menghajar Gavin.

"Kau brengsek! Aku benci kau, Gavin!"

Pria itu malah tersenyum lalu menyentuh kedua pipi Ara yang hanya mengenakan pakaian dalam saja. "Aku tidak akan menyakitimu. Kepalamu terluka?"

"Tutup mulutmu, sial! Berikan aku pakaianku! Kau sudah keterlaluan," kata Arabella entah harus bagaimana agar Gavin sadar.

Seandainya saja kepalanya tidak sakit, tentu dia akan segera mengambil air untuk menyiram wajah Gavin yang mabuk berat. Dia sadar, Gavin bisa mabuk seperti itu karena keluarga Gavin memaksa Ara untuk minum. Tapi Ara tidak pernah minum-minuman seperti itu. Akhirnya Gavin lah Yang menggantikan Ara untuk menghabisi minuman-minuman itu. Sialnya Gavin juga tidak terbiasa, hingga baru habis satu gelas saja dia sudah mabuk parah seperti sekarang.

Jemari Gavin menyentuh permukaan bibir Ara, kali ini sangat teramat lembut. Lalu lidahnya menyentuh lembut bibir Ara yang terbuka hingga ciuman itu tak dapat dielakkan lagi. Permainan lidah Gavin malah membuat Ara makin kikuk dan tidak bisa menolak. Ada yang aneh dengan Ara, dia merasakan sesuatu dalam dirinya... BASAH?

Apa ini? Kenapa aku tidak ingin menghentikan perbuatannya? Geram Ara dalam hati.

Ciuman yang teramat lembut, sama sekali tidak kasar seperti sebelumnya. Sentuhan bibir Gavin kini berpindah ke leher jenjang Ara, dia mengecupnya halus hingga membuat Ara melenguh tidak dapat menahan suaranya.

Tangan Gavin mulai menelusuri bagian perut Ara, menyingkap pakaian Ara hingga kulit halus Ara tampak.

Ara makin kalut, dia belum pernah disentuh seperti itu oleh laki-laki dan Gavin melakukannya dibawah pengaruh minuman keras.

Perlahan Gavin menelusupkan jarinya ke dalam underwear yang dikenakan Ara.

"Ah! Brengsek!" Ara melenguh tertahan. Jika dia berteriak, dia takut akan ada yang mendengarnya.

Namun tangan Gavin sudah menjamah area sensitif nya dan itu sangat menyiksa. Meski pertama kali merasakan perlakuan seperti itu, tapi Ara adalah gadis normal, dia mulai terpancing.

Raut wajah Gavin mulai meremang dalam pandangan Ara, pria itu menatapnya intens tak melepaskan sedikit pun sentuhannya di tubuh Ara yang mulai basah.

"Gavin! Hentikan kumohon..."

Ini tidak benar, aku... Batin Ara terus memberontak.

Kalau diteruskan, Ara tidak yakin dirinya bisa bertahan untuk terus menolak. Laki-laki ini sudah dikuasai Alkohol.

"Gavin tatap mataku. Lihatlah aku, aku ini Arabella, aku bukan Luna yang kau sebut-sebut!" sentak Ara sambil mengapit kedua pipi Gavin agar tersadar ini tidak boleh diteruskan. "Kau lihat ini aku Arabella! Kau janji tidak akan meniduri ku? Kau brengsek!" Ara menampar kembali pipi Gavin cukup keras.

"Kau? Ara?" Pria itu melepaskan cengkeramannya dari tubuh Ara. Dia mulai menyadari siapa dirinya, dan siapa gadis yang ada di bawahnya. "Kemana bajumu?"

"Brengsek! Kau kan yang melepasnya tadi!" Ara membentak lelaki itu. "Keluar kau! Pergi!" usir Ara, kini dia yakin bahwa Gavin sudah sadar. Secepatnya Ara mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya.

"Ara, aku... Sungguh, aku minta maaf, aku..." Gavin memijat kepalanya yang terasa berat. "Aku minta maaf, Ara."

"Pergi ku bilang!" Ara berteriak sambil menutupi tubuhnya. "Kau cuci muka dan pastikan sudah sadar dari mabuk! Biarkan aku membereskan diriku yang berantakan!"

"Ara..."

"Pergi!"

"Baiklah, maafkan aku, Ara." Gavin keluar dari ruangan kamarnya. Ya, itu adalah kamarnya di rumah keluarga besarnya. Gavin menutup pintu dengan perasaan bersalah, apa yang baru saja dia lakukan? Kenapa Ara hampir telanjang?

Suasana rumah sangat sepi. Perlahan dia mulai mengingat kejadian demi kejadian sebelumnya. Dia sangat mabuk, kepalanya sakit dan efek alkohol itu benar-benar gila.

"Sial! Ini semua karena Fabian brengsek!" umpatnya.

Dia tahu pasti kakaknya itu sekarang sama sedang mabuk juga. Tapi dia sebelumnya tidak pernah mabuk, dan kadar alkohol yang di berikan Fabian padanya pasti kadar yang cukup tinggi.

"Ara, dia pasti sangat membenciku sekarang."

"Lelaki bajingan itu. Ara apa kau gila!" Sekarang bayangan Gavin saat menyentuh tubuhnya malah terus muncul di pelupuk matanya. Ara sangat malu, dia merasakan hasrat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

"Seenaknya dia mengira aku Luna? Siapa dia?"

Tanpa sadar Ara menjatuhkan air matanya. Bukankah perbuatan Gavin tadi sama saja melecehkannya? Dan Ara sangat membenci dirinya sendiri, dia malah menikmati sentuhan Gavin itu.

"Kau bodoh Arabella! Kau sangat payah!"

Sedangkan Gavin tidak henti-hentinya menyesali apa yang sudah dia perbuat.

"Ini sangat aneh! Ini tidak bisa dipercaya? Kenapa aku dengan mudah menyentuh Arabella? Padahal sebelumnya aku selalu gemetar dan panas dingin saat dekat dengan wanita mana pun. Apakah Ara bukan wanita? Tidak! Tidak mungkin begitu! Ini pasti ada yang salah!"

Gavin langsung meraih ponsel untuk menghubungi dokter yang biasa menanganinya. Dia membuat janji untuk membicarakan apa yang baru saja dia alami.

Waktu sudah semakin larut, tapi Gavin tidak mau menunda untuk bertanya pada dokter. Setelah memastikan mabuknya hilang, Gavin segera menyalakan mesin mobil menuju tempat dokter itu. Karena Gavin adalah pasien eksklusif, dokter itu tidak keberatan Gavin datang, walau sekarang bukan jam praktiknya lagi.

"Gavin? Duduklah," titah dokter yang biasanya dipanggil Arnold oleh Gavin.

"Kau kenapa? Apa yang terjadi sampai kau menghubungiku larut malam begini? Apa kesehatanmu memburuk?" tanya dokter Arnold.

Gavin terlihat gusar, hal itu makin membuat Arnold penasaran. Di telepon tadi, Gavin belum menjelaskan apapun selain ingin bertemu dan mengatakan itu sangat penting.

"Arnold. Apa yang terjadi padaku?" tanya Gavin mulai terlihat panik.

"Apa yang terjadi? Ceritakanlah Vin, aku bukan peramal yang bisa membaca pikiranmu. Katakan, apa yang kau rasakan?" ujar dokter yang makin bingung dengan sikap Gavin.

"Kau tau aku tidak bisa dekat dengan wanita selain keluargaku, kan?" ucap Gavin.

"Ya. Itu adalah masalah yang belum berhasil kau kendalikan, Vin. Lalu ada apa? Apa itu mulai mengganggumu lagi? Bukankah kau yang bersikeras ingin menahannya dan membiarkan itu pulih dengan sendirinya?" jawab Arnold.

"Tapi aku mengalami hal aneh, aku saat ini sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita, dan aku tidak merasakan keluhan yang biasa kurasakan saat dekat dengan wanita lain. Ini sangat aneh, Ar!"

Arnold yang mendengar itu langsung tersentak dan menegakkan posisi duduknya menatap Gavin.

"Maksudmu kau sedang berpacaran? Dan kau tidak merasa gemetar ataupun sakau saat ada di dekatnya?"

Gavin mengusap wajahnya, lalu dia menganggukkan kepala. "Ya, begitu, Ar. Bukankah ini aneh? Dia jelas-jelas wanita dan aku tidak bermaksud menyentuhnya, tapi tadi aku mabuk dan aku...." ucap Gavin terputus.

"Kau menyentuhnya dan tidak terjadi apapun?" Sambung Arnold menebak dengan sangat tepat apa yang telah terjadi.

"Ini pasti ada kesalahan. Apakah aku sudah sembuh?" Tanya Gavin pada Arnold yang terlihat sedang memikirkan kembali kasus yang baru saja di alami oleh pasiennya.

"Ini memang aneh, bisa saja kau sudah kembali normal. Tapi untuk mengetahuinya kau harus mengetesnya terlebih dahulu, kau bisa coba dekati gadis lain selain kekasihmu itu, Vin. Jika tidak ada reaksi negatif, maka kau sudah pasti sembuh. Tapi jika sebaliknya, kau merasa trauma mu masih ada, maka ada yang berbeda dengan kekasihmu itu. Mungkin saja kau hanya bisa menyentuh gadis itu tidak dengan gadis yang lain."

Penjelasan Arnold itu masuk di akal dan Gavin memutuskan mengikuti saran dari Arnold untuk mengetes itu dengan gadis selain Arabella.

________

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi CEO Philophobia   Akhir Yang Indah (2) END STORY

    "Dokter apa yang terjadi dengan istri, saya?""Istri Anda hamil.""Apa? Saya hamil, Dok?""Ya, menurut hasil pemeriksaan awal, usia kandungan memasuki bulan ke tiga. Keadaannya cukup baik. hanya saja, Nyonya harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, itu sangat penting."Evelyn masih tak menyangka, bahwa dia hamil. "Astaga Sayang! Kau dengar, ada bayi di dalam sini! Ini adalah anak kita, Sayang!" Oliver kelihatan benar-benar bahagia. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaan haru di hadapan istrinya."Aku benar-benar tidak menyangka, Oli. Aku hamil. Aku akan jadi seorang ibu?"Oliver menciumi Evelyn dengan derai air mata. Setelah penantian panjang, akhirnya dia dan Evelyn akan segera diberkati keturunan.***"Gavin, kita harus segera ke rumah sakit." "Ya, Sayang. Sebentar, aku harus menggendong Aelly dulu.""Oh, sweety. Kau benar-benar ayah yang luar biasa, Vin."Gavin menarik tubuh Ara ke sisinya, lalu mengecup keningnya. "Kau lah yang luar bia

  • Menikahi CEO Philophobia   Akhir Yang Indah (1)

    Dokter sudah mengatakan jika operasi yang dilakukan Gilbert berjalan lancar. Setelah dua puluh empat jam akhirnya Gilbert pun sadar. Arabella lah yang pertama dilihat olehnya. Laki-laki itu merasa diberkahi, sebab Tuhan masih mengasihaninya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya terhadap putrinya, Arabella. "Ara." "Kau sudah bangun, Tuan."Mungkin berlebihan dan terkesan tidak tahu diri. Gilbert merasa ingin sekali mendengar Arabella memanggilnya ayah. Tapi, dia tidak mau menyampaikan itu pada Arabella, sebab baginya melihat Ara yang mau berbicara dengannya saja, itu sudah merupakan hal yang luar biasa. "Iya, berkatmu, Arabella. Aku ingin kau memaafkan ku. Jadi, aku memohon pada Tuhan, dalam gelap, dalam kesakitan, aku mohon agar aku bisa melihatmu, walau mungkin untuk terakhir kali."Arabella menggeleng, dia tentu tidak mau itu menjadi yang terakhir. "Kau tidak boleh berkata begitu, Ayah." Gilbert yang masih terbaring lemah, mendadak menegakkan tubuhnya meski di

  • Menikahi CEO Philophobia   Berdamai Dengan Keadaan

    Rasa resah dan gelisah melingkupi Arabella. Dia harus berasa di posisi yang sangat menyulitkan nya. Laki-laki itu benar ayahnya, seburuk-buruknya tetap dia lah orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Arabella tak mau, jika Tuhan mengambil orang itu. Lebih baik, hubungan mereka buruk selamanya, asalkan Gilbert harus tetap hidup. "Sayangku, aku mengerti yang kau rasakan." Gavin, dia selalu datang memberikan setidaknya sedikit ketenangan dan juga pelukan hangat yang membuatnya kuat. "Vin, apa yang harus aku lakukan??" "Kau harus ikuti kata hatimu, Arabella. Lakukan apa yang hatimu suarakan. dengarkan dengan perasaan bukan dengan emosimu." Matanya berkaca, dia mengeratkan peluk, sembari menahan agar tidak menangis. "Jangan menangis, karena Arabella yang kukenal adalah wanita yang kuat. Sudah terlalu sering kau menangis, padahal hal yang jauh lebih sulit dari ini sudah pernah kau lalui." Keberuntungan yang Ara miliki adalah Gavin, s

  • Menikahi CEO Philophobia   Kesungguhan Gilbert

    "Saya mohon, Tuan Gavin. Izinkan Ara ikut saya ke rumah. Saya akan menjelaskan semuanya secara terang-terangan pada Oliver dan Evelyn tentang siapa Arabella, dan juga masa lalu saya bersama ibu Ara."Gavin awalnya menolak. Tapi, dia juga tidak mungkin membiarkan masalah menguap begitu saja. Padahal dia yakin Arabella juga ingin kejelasan, setidaknya itu adalah bentuk penyesalan Gilbert yang telah menyia-nyiakan Ara dan ibunya."Baiklah. Saya akan izinkan Arabella pergi. Tapi saya akan ikut bersamanya.""Ya, tentu, memang Anda harus ikut, Tuan. Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya mengajak Ara."Ara hanya diam, dia menyerahkan segalanya ke tangan Gavin. Kalau Gavin yang memintanya pergi, maka dia akan pergi. Sedangkan kalau tanpa restu Gavin, Ara tidak akan pergi."Ara, aku akan menemani mu. Kau mau ya, ikut untuk menjelaskan semuanya. Ini juga yang diinginkan ibumu, kan?"Ara menatap sekilas wajah Gilbert. Dia masih sediki

  • Menikahi CEO Philophobia   Luluh, kah?

    Evelyn benar-benar cemas karena Arabella meminta bertemu empat mata dengan papa mertuanya. Sedang dia tau, bahwa papa mertuanya itu bukan termasuk orang yang bisa diajak bicara.Setelah sekitar tiga puluh menit Arabella bersama dengan Gilbert, entah apa yang mereka berdua bicarakan. Akhirnya Arabella keluar dengan wajah yang datar pada awalnya. "Ara, kau akhirnya keluar juga. aku sangat mencemaskan mu."Barulah Arabella tersenyum. Dia menggenggam tangan Evelyn, dengan raut yang terlihat santai, seolah tak terjadi apa-apa."Aku baik-baik saja. Syukurlah, semuanya bisa diselesaikan. Aku sudah bicara, dan Tuan Gilbert akan menyelesaikan semuanya. Kau bisa lanjut dengan proyek yang sebelumnya berjalan, tanpa perlu memperpanjang semuanya lagi.""Hah? Apa maksud mu, Arabella? Bagaimana bisa?" tanya Evelyn yang kaget bukan main. Tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Karena dia tau persis bagaimana watak papa mertuanya. Apakah dia luluh? apa yang Ar

  • Menikahi CEO Philophobia   Penyesalan Gilbert

    "Selamat siang, Tuan Gilbert." "Kamu? Kamu Arabella, kan?""Ya, saya Arabella, lama tidak bertemu, Tuan. Rasanya saya juga lupa, kapan terakhir kali kita saling mengenal. Karena waktu itu saya masih sangat kecil. Kalaulah bukan karena Ibu yang memintaku menemui Anda, mungkin saya sudah mengubur nama Anda dalam-dalam." Perkataan Arabella itu sangat membuat Gilbert terpukul. Tapi, pria tua itu menyadari, dia memang bersalah. Gilbert berjalan melangkahkan kakinya mendekati Arabella hingga jarak keduanya hanya sekitar satu meter saja. "Duduklah dulu, Ara. Silakan, kita bisa berbicara dulu."Ara pun duduk, meski sejujurnya enggan. "Baik, kita bicara. Meski saya enggan, saya malas berbicara dengan orang seperti Anda, Tuan." "Arabella, maafkan Ayah, Nak.""Anda bukan ayah saya." "Ara, aku adalah ayahmu. Suka tidak suka, aku adalah suami ibumu.""Apa?" decih malas Arabella. "Kau bilang suami ibuku? Apakah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status