로그인Hari ini, Alena memasak begitu banyak sajian makanan. Meski dia seorang Putri Raja, keahlian memasaknya tidak ketinggalan. Alena suka belajar beberapa masakan di dapur istana ketika dulu dia bosan. Yah, akhirnya, dia lumayan suka dengan kegiatan masak-memasak.
Apalagi, setelah dua hari ditinggal pergi di istana sebesar ini sendirian, Alena juga sangat bingung saking tidak punya teman. Ibu mertuanya juga sudah pulang ke Dunia Iblis. Ngomong-ngomong ibu mertua, Alena jadi teringat lagi tentang kisah hidup Arthur yang panjang dan sangat rumit itu. Membuat dia bergidik. "Ya namanya ibu, pasti menceritakan sisi baik anaknya. Tetapi, aku sebagai wanita yang bersandingan dengan iblis keturunan surgawi sepertinya tidak boleh terlena dengan cerita-cerita sedih itu," ucapnya seorang diri. Alena memang jadi tahu bagaimana cerita hidup pria yang dijuluki Dewa Iblis itu. Tetapi, cerita hanyalah cerita. Fakta yang bisa dia terima tentang kebenaran Arthur sebagai putra kandung Raja Bertodo dan Putri Kailash itu tidak ada keraguan di dalamnya. Namun, tentang tindakan membuat kekacauan dengan tujuan membalas dendam kepada peraturan semesta, ya tidak bisa ditoleransi. Alena tahu jelas itu salah. Dan dia tidak akan sepenuhnya menerima cerita sedih mertuanya dengan seketika. Sampai Alena tahu sendiri sebenarnya apa yang benar-benar terjadi. Ditambah, Alena harus cari tahu tentang kebenaran perasaan Arthur. Tertarik? Kagum? Cinta? Ambisi? Atau permainan politik? Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Pria yang sedari tadi dia renungkan di otaknya, tetiba saja muncul dari lorong meja makan. "Siapa yang memasak?" Itulah kalimat tanya yang terucap begitu pria itu duduk di meja makan. "Aku sendiri," jawab Alena atas pertanyaan suaminya. "Halo, tuan Putri. Hamba membawakan oleh-oleh untuk tuan Putri," Alan muncul juga sambil meneteng kantong kepada Alena. "Oleh-oleh?" "Betul. Ini ada beberapa serbuk perhiasan. Bisa dilebur menjadi berlian, Tuan Putri," jelas Alan. "Mengapa kau membawakan ini padaku?" Alena sedikit terkekeh. Arthur yang berada di meja makan, mencoba meraih makanan yang sudah terhidang di meja. Mengabaikan percakapan anak buah dan istrinya itu. "Itu yang suruh Tuan Arthur nona." Tangan Arthur berhenti bergerak, dia mendongak memelototi Alan. Alan hanya meringis saja. Sedang Alena fokus pada benda yang Alan serahkan. Itu benar. Serbuk perhiasan yang bisa dioleh menjadi berlian. Alena kemudian menatap Arthur. "Apa benar ini pemberianmu?" Arthur mengalihkan tatapannya dari Alan, menatap Alena kemudian. "Ya," jawab Arthur singkat. Dengan sedikit senyumnya, Alena mengucapkan terima kasih. Lalu dia langsung pergi sambil membawa kantong serbuk perhiasan itu dengan mimik wajah yang terlihat bahagia. Arthur tidak mengerti. Apanya yang bagus dari hadiah semacam itu? "Kepalamu mau dipenggal?" Alan hanya tersenyum lebar. "Hamba hanya mencoba membuat perasaan tuan terasa nyata di hati tuan putri Alena." "Jangan terlalu berlebihan." "Tuan, jika tuan tidak menunjukkan perhatian sama sekali, bisa-bisa Tuan Putri curiga. Mengira tuan memanfaatkannya. Itu akan sedikit merepotkan, tuan." "Apa hal seperti itu bisa terjadi, bukankah perempuan itu diberi harta saja cukup kenapa harus menunjukkan perhatian?" tanya Arthur dengan konyolnya. Alan menggaruk kepalanya. Berdehem,"perempuan yang seperti itu hanya pelacur saja tuan." "Alena tidak begitu?" "Tentu tidak tuan," Alan agak dongkol. Tapi, tidak mungkin dia ekspresikan di depan Arthur. Bisa tewas dia. "Jadi?" "Sejak awal, saya melamarkan Tuan Putri Alena dengan alasan ketertarikan tuan padanya agar Raja tidak curiga. Dan mungkin saja, hal ini sampai kepada tuan Putri Alena." "Pantas saja dia begitu sombong dan percaya diri. Ternyata kau biang keladinya!" "Hehe... tapi itu masuk akal Tuan. Secara adat, putri pertama lah yang harusnya diserahkan untuk menikah sebagai tawanan perang. Dengan alasan kekaguman atau jatuh cinta terhadap putri ke-5, adat tidak bisa menjadi patokan tuan. Hanya itu alasan yang paling strategis untuk membawa Tuan Putri Alena ke tujuan kita." Semua kalimat penjelasan Alan memang benar, Arthur bahkan tidak sampai berpikir sejauh itu. Bisa-bisanya, Alan berpikir. "Benar sekali akal cerdikmu. Tidak sia-sia, kau kujadikan kaki-tanganku." "Hehe... iyakan Tuan.. Ngomong-ngomong Tuan. Hingga detik ini, Tuan belum tidur sekamar dengan Tuan Putri Alena." "Hm." "Hamba sarankan, tuan kunjungi Tuan Putri Alena. Meski hanya bersandiwara, Tuan harus totalitas. Jangan biarkan Tuan Putri Alena membuat benteng pertahanan dan melawan kita, Tuan." "Saranmu cukup baik, lagipula sudah lama aku tak bersenang-senang." "Itu dia, Tuan. Silahkan tuan menikmati sandiwara ini. Selagi terlihat nyata, posisi tuan akan selalu aman." "Ya. Lanjutkan tugasmu. Aku akan ke kamar Alena. Biar kulihat, seindah apa tubuhnya." Alan lalu mengangguk dan sedikit membungkuk, "selamat bersenang-senang, Tuan." *****Sedang, di Kerajaan Surgawi, Handryc sudah menyadari bahwa putrinya ternyata hidup dalam tubuh reinkarnasi dari Putri Rosey dan Madrw Antonio di Kerajaan Romana. "Ragna, cepat bawakan utusan Kerajaan. Untuk melindungi Hutan Romana dengan baik. Jangan biarkan, Cathryna terluka di sana," titah Raja, pada Kasim Kerajaan Surgawi. Kasim bernama Ragna itu membungkuk, "hormat Yang Mulia Raja. Tetapi, saat ini Tubuh Reinkarnasi Cathryna tidak berada di sana," terang kasim Ragna. Lantas, Handryc berdiri dari singgasana emasnya, "apa surat dari Tamtama itu benar? Bahwa, putrikj menikah dengan anaknya Bertodo?" tanyanya dengan wajah tanpa ekspresi. Ragna mengangguk, dia menegakkan tubuhnya yang semula terduduk bersimpuh, "benar Yang Mulia. Untuk kabar terbaru, hamba belum mendapatkan informasi lagi. Apakah, Yang Mulia Raja berkehendak untuk mendatangi bumi?" Handryc terdiam. Dia merenungkan beberapa ingatan masalalu, yang membawanya pada masa itu. Saat, pertama kali melihat wujud
Arthur mendatangi penjara di bawah tanahnya. Dua orang terdiam di sana. Sangat terlihat begitu jelas bagaimana keadaan mereka. Sempat iba, tapi dia buang perasaan itu dengan seketika. Kedatangannya pun, tampak mengundang atensi orang yang ada di dalam penjara. Salah satunya Alena, dia masih tertunduk tanpa bergerak sama sekali. Fokus melihat pada jeruji rantainya. Walaupun memang, dia mendengar bahwa Dewa Iblis itu datang. Enggan rasanya untuk melihat. Karena penganiayaan darinya, masih teringat jelas di kepala Alena. "Tuan Arthur, apa kau baik-baik saja?" Suara Alan mengudara, pertama kali ketika ruangan itu sudah berisi tiga orang. "Kau tidak berhak bertanya ataupun berbicara," balas Arthur, akan suara Alan yang menyapa. Alan menoleh sebentar, "ergh," erangnya, karena merasakan rantai itu melukai kulit di lehernya, "hamba benar-benar mengkhawatirkan keadaan Tuan. Sudah lama hamba tak mendampingi Tuan. Tidak tahu apa yang dilakukan oleh Tuan selama hamba tidak mendampingi." A
Alan terkekeh, "tidak apa, Tuan Putri. Hamba mengerti mengapa Tuan Putri mengakuinya." Alena terdiam. Dia melihat kembali pada rantai yang mengikat di tubuhnya. Lalu, terbayang akan segala kejadian silam. Saat dirinya pertama kali bertemu Arthur. Laki-laki yang disebut Dewa Iblis itu tampak samar dan belum Alena ketahui. Namun, sekarang Alena benar-benar mengetahui siapa lelaki itu. Benar-benar cerminan sosok Dewa Iblis. "Sejak kapan kau menjadi pelayannya?" tanya Alena, menghalau segala pikirannya. "Sudah tiga tahun, Tuan Putri. Sejak pertama kali bergabung di tentara prajurit Tuan Arthur." "Tentara prajurit?" ulang Alena. "Hamba dulu sebelum menjadi tangan kanan langsung Tuan Arthur, lebih dulu bekerja sebagai prajurit." Alena mangut-mangut. Dalam pikirnya kembali mengudara. Tentara prajurit? Benar juga, saat masih di Romana banyak sekali tentara prajurit Arthur yang membuat kerusuhan. Itu yang menjadi salah satu penyebab Alena mau menyetujui pernikahan ini. Tapi,
"DIAM ALENA!" Arthur meninju dinding tempat Alena terpojokkan. Dinding itu hancur berkeping. Bersamaan dengan hati Arthur yang terluka. Bersamaan pula dengan hati Alena yang sama terlukanya. Alena memejamkan mata, akibat merasakan pusig yang mendadak menghampiri kepalanya. Perlahan-lahan, pandangannya mengabur. Terus gelap hingga dirinya kehilangan kesadaran. Setelah dinding itu hancur, Arthur memutar arah untuk mencari letak Alan. Orang yang selalu dia anggap sebagai orang terdekatnya itu, kini tengah menatapnya dengan bingung. Arthur langsung saja menyambarnya dengan hantaman tangannya. Membuat Alan lagi-lagi tersungkur jatuh tengkurap. Sudut bibirnya sudah robek, sehingga darah segar mulai menetes dari sana. Alan mendongak, "tuan. Hamba yakin kau sedang diadu-domba. Kau paling mengenal hamba, Tuan. Hamba tidak mungkin menghianatimu," terang Alan mencoba untuk menenangkan tuannya. Namun gagal, kini Arthur sudah menerjangnya lagi. Kaki Dewa Iblis itu menendang kepala
Arthur yang sudah dikuasai oleh kemarahannya tak lagi dapat membendung niat untuk segera kembali ke Athlana. "Kurang ajar kau Alan! Berani-beraninya kau menghianatiku!" rutuk Arthur dari dalam hatinya. DIa segera pergi dari rumah penyihir itu. Tidak memperdulikan Arlin yang berteriak memanggilnya. Bagaimana bisa? Alan melakukan hal ini kepadanya? Dia? Kaki tangan ter-ahlinya? Sudah menusuknya dari belakang? Dari hasil ramalan Audygta, Arthur melihat di meja ramal. Terlihat jelas Alan dan Alena sedang berhubungan badan. Mengakibatkan jantung Arthur tertohok begitu dalam. Dia tidak menyangka, Alan akan melakukan hal seperti ini padanya, setelah selama ini mereka beriringan dalam berbagai misi. Rasanya sakit. Apalagi, jika itu perihal Alena. "Alena?" "Kenapa kau melakukan ini padaku di saat aku mulai mencintaimu?" "Kenapa kau benar-benar berselingkuh dengan Alan?" Langkah kakinya kemudian semakin tegap. Sekarang, kalut di pikirannya semakin penuh. Semua terisi atas k
Di belahan Dunia Iblis, kini Arthur masih bersama Arlin. Belum usai teka-teki dari Arlin untuk membuat Arthur mendapatkan jawabannya. Arlin malah terus mengulur waktu. Hingga hari ini, Arthur sama sekali belum bertemu peramal itu. Merasa konyol dengan kegiatan di rumah Arlin ini, mulai membuat Arthur jengah. "ARLIN!" teriak Arthur memanggil wanita itu. Dengan tergopoh, Arlin mendatangi, "ada apa, Arthur kenapa berteriak?" "Sudah cukup kau mengulur waktuku?" tajam Arthur, "cepat sekarang pertemukan aku dengan peramal yang kau katakan!" Arlin merendahkan diri, terduduk bersandar pada kaki Arthut, "tunggulah dulu, Arthur,' katanya melembut, "kau sudah berjanji untuk menemui anak kita dulu. Dia sedang perjalanan kemari, setelah itu aku benar-benar akan membawamu pada peramal itu." Arthur menyibak tubuh Arlin yang bersandar di kakinya, "aku tidak peduli! Cepat pertemukan aku, atau aku akan membuka dinding persembunyian tongkat Raff dan Alan bisa menemukanku. Lebih baik aku memer







