Share

6. Tanaman

"Halo, Dad?"

Sungguh, sebenarnya Marcel hendak marah ketika melihat Kenneth dengan begitu tenang menyunggingkan senyum lebar. Padahal sejak tadi dirinya kebingungan mencari keberadaan pemuda tersebut.

"Kamu dari mana saja sebenarnya?"

"Nggak dari mana-mana," kelit Kenneth.

"Kamu tahu Daddy sudah cari-cari kamu dan hampir gila karena di setiap tempat yang Daddy datangi kamu nggak ada. Kamu ini kenapa? Nggak biasanya begini," ungkap Marcel. Ia menghela napas panjang. Kemudian menarik Kenneth ke dalam pelukan, "jangan ulangi lagi. Daddy nggak suka."

"But, Daddy ...."

"Hng?"

"Ada Kak Shenna di sini."

Marcel mendelik. Lalu buru-buru melepas pelukannya dari Kenneth. Benar saja, di sana memang ada Shenna. Namun, akibat terlalu khawatir pada Kenneth ia sampai tidak menyadari hal tersebut.

"Ah, maaf, Shenna. Saya terlalu cemas jadi tidak sempat menyapa kamu," ujar Marcel seraya menggaruk tengkuk. Mendadak kikuk.

"No probs."

Jujur saja, Shenna sedikit takjub melihat perlakuan Marcel pada Kenneth. Jelas sekali kalau Marcel merupakan seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya. Padahal Kenneth sudah besar dan bisa menjaga diri sendiri, tetapi tetap dikhawatirkan seperti anak kecil. Well, di mata orang tua memang sebesar apa pun anak mereka sudah tumbuh, akan tetap dipandang sebagai anak kecil.

"Pasti kamu yang mengantarkan Kenneth pulang," tebak Marcel.

Tawa kecil Shenna terurai. "Lebih tepatnya dipaksa mengantarkan pulang."

"Astaga. Anak ini memang!"

Sebelum disemprot oleh kemarahan sang ayah, Kenneth memilih untuk kabur lebih dulu. Lari terbirit-biri hingga hampir terjatuh. Kepala Marcel jadi pening memikirkan apa saja yang sudah Kenneth lakukan dengan Shenna. Anak itu sulit untuk dipercaya.

"Maaf atas perilaku anak saya." Marcel meminta maaf dengan tulus. Seharusnya Shenna tak perlu direpotkan oleh Kenneth, "silakan duduk dulu. Kamu mau minum apa?"

"Nggak usah. Saya mau langsung pulang aja."

"Jangan begitu. Saya jadi nggak enak," balas Marcel. Tangan kokohnya mencekal pergelangan tangan Shenna.

Lantas Shenna tampak menimang-nimang. Ia bergeming. Matanya menatap lurus, jatuh tepat ke sepasang manik sedalam samudra milik sang lawan bicara.

Bak dihipnotis, Shenna menganggukan kepala. "Baiklah. Saya terima niat baik Anda."

***

Mereka tak banyak bicara karena keduanya memang tidak pandai mencari topik. Mereka lebih banyak diam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Shenna lebih suka memandangi taman Marcel yang hijau. Dipadu dengan semburat oranye di bumantara sana. Sebuah perpaduan yang memanjakan mata.

"Kamu suka tanaman?" tanya Marcel. Setelah mengamati gerak-gerik Shenna yang terus tertuju pada tamannya.

Shenna menggeleng. "Tidak. Hanya saja mereka enak dilihat. Segar dan asri."

"Kalau begitu sering-sering kemari. Di rumah saya ada banyak tanaman."

"Anda bercanda? Untuk apa saya kemari kalau hanya untuk melihat tanaman."

"Benar juga." Marcel tertawa. Ia kemudian mengubah posisi duduknya, lebih condong ke arah Shenna. "Kalau begitu, bagaimana dengan sering-sering kemari untuk melihay saya? Bukankah saya lebih enak dilihat dibandingkan tanaman-tanaman hijau ini?"

"Sepertinya Anda memang suka bercanda."

"No, I'm being serious right now."

Aksen Amerika yang sangat sempurna itu hampir saja membuat Shenna terkena serangan jantung. Suara Marcel akan jadi berkali-kali lipat lebih menggoda jika menggunakan bahasa ibunya. Shenna berusaha berkelit akan hal tersebut di pertemuan sebelum-sebelumnya, tetapi ia yakin akan sulit di masa depan.

"Lebih baik saya tidak usah keluar rumah kalau hanya melihat Anda. Pekerjaan saya banyak."

"Ah, benar. Saya dengar kamu adalah karyawan yang sangat rajin di perusahaan."

"Anda menguntit saya?"

Marcel memutar bola mata. Wanita itu selalu saja menuduhnya yang tidak-tidak. "Atasanmu mengatakan itu pada saya ketika tidak sengaja melihat kamu melintas. Beliau bilang kamu paling rajin di antara staf yang lain. Tapi ada satu hal yang saya tidak suka dari perkataan atasan kamu waktu itu,"

"Hah? Apa?" Shenna mengernyit bingung. Apa mungkin atasannya menyebarkan rumor aneh?

"Beliau bilang kamu cantik."

"What?"

"Saya tidak suka jika orang lain memuji kamu seperti itu. Ya, kamu memang cantik, sih. Tapi saya kepanasan kalau mendengar perkataan seperti itu orang lain."

Gombalan basi tersebut menggelitik perut Shenna. Ia tak tahu kalau Marcel bisa bersikap alay begini. "Rayuan itu tidak akan mempan pada saya. Hati saya tidak akan bergetar hanya karena hal seperti itu."

"Saya serius, Shenna. Saya mengatakan apa adanya. Kata-kata yang saya ucap berasal dari hati saya. Bukan bualan semata."

"Anda ternyata juga pintar memainkan kata, ya."

Helaan napas panjang terdengar. Sulit sekali menembus benteng tinggi yang dibangun oleh Shenna. Sepertinya Marcel harus berusaha ekstra. Atau apakah Marcel lebih baik menjadi tanaman saja? Harga dirinya terjun bebas ketika tahu Shenna lebih suka melihat tanaman hijau itu ketimbang dirinya.

"Sebentar lagi malam. Saya pulang dulu. Terimakasih tehnya," kata Shenna tak lama kemudian. Raut wajah Marcel pun segera berubah. Tak rela jika ditinggalkan oleh Shenna begitu cepat.

"Mengapa tidak di sini sampai makan malam saja?"

"Apartemen saya masih berantakan. Butuh waktu lama untuk membereskannya. Lebih baik saya pulang sekarang agar nanti malam bisa bersantai."

"Kalau begitu saya antar," ujar Marcel seraya merogoh kunci mobil di saku jasnya.

Namun, Shenna menggeleng. "Saya bisa pulang sendiri. Tidak usah repot-repot."

"Anggap saja ini sebagai permintaan saya karena Kenneth mengacau. Saya tidak bisa membiarkan kamu pulang sendirian."

"Tidak apa-apa. Kenneth melakukan itu pasti ada alasannya."

"Sepertinya itu kesalahan saya. Jadi, tolong terima tawaran saya ini, ya?"

Hening sejenak. Shenna sebenarnya sayang juga kalau menolak tawaran Marcel. Namun, sekarang ia dikuasai oleh gengsi.

"Shenna? Bagaimana?"

Kepala Shenna menoleh sejenak ke langit yang makin gelap. Semburat oranye yang elok mulai pudar. "Baiklah," pungkasnya.

Sore itu Shenna bukan hanya memberi izin pada Marcel untuk mengantarkan dirinya pulang. Namun, juga untuk memasuki sedikit celah dalam relung hatinya. Di bawah senja yang makin terkikis. Percikan-percikan asmara mulai timbul di antara mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status