Share

4. Tamu Tak Diundang

Seminggu sudah sejak kejadian di club waktu itu. Shenna tetap menjalani rutinitas seperti biasa, meski kadang selalu ada sekelebat pikiran tentang Marcel. Namun, ia berusaha untuk mengabaikan itu semua. Menjalani keseharian seperti biasa. Seperti saat sebelum bertemu dengan Marcel. Shenna tidak mau menganggap perlakuan Marcel sebagai sesuatu yang spesial. Lebih tepatnya, ia tidak ada waktu untuk itu. Ada lebih banyak hal yang harus Shenna lakukan. 

Minggu pagi Shenna sengaja bangun telat. Memberi diri sendiri waktu tidur lebih lama. Karena saat hari kerja ia jarang sekali bisa mempertahankan pola tidur yang sehat. Shenna sering terjaga sampai dini hari dan tidak mendapat cukup waktu tidur. Agak menyedihkan memang, tetapi tuntutan pekerjaan yang mengharuskan.

Biasanya saat weekend, Shenna akan aktif di sosial media. Membuat postingan berisi endorsement. Hitung-hitung menambah pemasukan. Bertahan hidup di kota besar seperti Jakarta ini membutuhkan banyak biaya. Apa lagi jika Shenna suka membeli barang-barang bermerk. Perlu kerja keras untuk memenuhi kebutuhan sekunder serta tersiernya. 

"Siapa?" tanya Shenna lewat intercom. Seseorang memencet bel apartemennya berulang kali hingga menimbulkan suara bising yan mengganggu. "Jangan bercandaan kayak ini di apartemen gue, ya. Lagi kerja nih. Kagak usah ganggu!" lanjut Shenna setelah tak mendapat jawaban. 

Namun, bel kembali dibunyikan. Sampai Shenna kesal dan memilih membuka pintu. Lebih baik Shenna berteriak di depan wajah orang iseng itu secara langsung. Namun, ketika ia membuka pintu, seseorang malah menerobos masuk ke dalam. Memanfaatkan kelengahan Shenna sesaat setelah pintu terbuka. 

"Heh!" pekik Shenna geram. 

"Halo," sapa seseorang yang baru saja masuk ke dalam apartemen Shenna. Memamerkan deretan gigi rapinya. "Gimana kabar?" 

"Kenneth?" Shenna tidak tahu harus memberi reaksi macam apa. Di hadapannya kini berdiri putra semata wayang Marcel yang tempo hari ia temui. Memasang wajah menyebalkan seperti terakhir kali.

"Wah, masih inget ternyata!" 

"Gimana kalau sekarang pakai lo-gue aja? Saya-kamu kayaknya terlalu formal. Nggak suka. Itu cocoknya dipakai di antara orang tua aja," sambung Kenneth setelah berseru girang. Masih mempertahankan senyum lebar yang terbentang di wajahnya. 

"Ngapain di sini? Mau jadi stalker?" Shenna berkacak pinggang. Matanya menyorot Kenneth tajam. Tentu saja terganggu dengan kedatangan remaja itu. Sungguh, Shenna malas bertengkar di hari Minggu yang cerah ini. "Nggak sopan nerobos masuk rumah orang tanpa izin."

"Oh, sorry. Daddy yang suruh." 

"Suruh nerobos rumah gue?" 

"Enggak, sih. Inisiatif sendiri kalau itu." 

Bola mata Shenna berotasi, malas. "Ya udah. Gue nggak berminat buat berurusan sama lo. Lebih baik lo keluar dari sini selagi masih gue bilangin baik-baik. Atau gue bakal panggil security buat usir lo." 

"Calm down. Gue nggak akan ngerusuh, kok. Cuma mau liat-liat aja. Cewek yang disukai sama Daddy ini tinggal di tempat kayak apa dan gimana kesehariannya."

"Gue keberatan dengan yang lo lakuin," seru Shenna. Jelas saja. Ia paling tidak suka kehidupan pribadinya diusik. Apa lagi oleh orang asing. 

"Okay, maaf. Kayaknya gue salah langkah." 

Kenneth menggaruk kepala belakangnya. Memang Marcel yang memerintah ia untuk mencari tahu lebih dalam mengenai kehidupan Shenna. Dari sekian banyak bawahan yang Marcel miliki, lelaki itu malah menitah putra semata wayangnya yang belum tamat sekolah. Aneh memang. Namun, hal itu dilakukan bukan tanpa alasan. Marcel selalu melakukan sesuatu dengan pertimbangan dan alasan kuat. 

Sayang sekali, sekarang Kenneth malah mengambil langkah yang salah. Seharusnya ia tetap berkeliling di sekitar apartemen, bukannya menerobos masuk begini. Nasi sudah menjadi bubur. Selain ketahuan oleh Shenna, rencana pdkt Marcel terancam gagal karena Kenneth. Untuk yang kedua kalinya. Semoga saja nanti Marcel tidak mengamuk jika tahu. 

"Tunggu apa lagi? Silakan pergi." 

"Duh, nggak boleh stay di sini bentar aja, nih?" 

"Nggak. Gue sibuk. Banyak endorse." 

"Gue bantuin ngendrose, deh. Gue, kan, ganteng. Nanti followers lo pasti tambah banyak karena gue."

"Nggak perlu. Yang gue butuh cuma lo pergi dari sini." 

"Tapi ..." Perkataan Kenneth menggantung. 

Alis Shenna terangkat sebelah. Menatap bertanya pada Kenneth. Entah alasan macam apa lagi yang akan terucap dari pemuda itu. "Tapi apa?" 

"Gue nggak bisa pulang. Nggak bawa dompet sama hp," cicit Kenneth. 

Shenna menghela napas pelan. Ia kemudian masuk ke kamar dan kembali lagi sambil menyodorkan dua lembar uang berwarna merah. Tidak mungkin kurang untuk ongkos pulang. Bahkan bisa untuk makan siang di jalan. "Nih, ongkos," pungkasnya. 

"Nggak usah, deh. Nanti aja. Gue mau numpang makan boleh?" kata Kenneth seraya menyengir kuda. Tidak tahu diri memang. Sudah menerobos tanpa izin dan sekarang malah meminta makan pada tuan rumah yang tampak tidak welcome sama sekali. 

"Nggak ada makanan di sini." 

"Ah, bohong. Masa nggak ada? Gue serius lagi laper. Nanti kalau gue pingsan di jalan gimana? Lo tega?" ucap Kenneth disertai wajah memelas. Yang malah terlihat menyebalkan di mata Shenna. 

"Lo kayak gini karena disuruh juga?" 

Kenneth buru-buru menggeleng. "Enggak, kok! Emang beneran lapar tau." 

"Nggak dikasih makan sama Daddy lo?" tanya Shenna lagi, kali ini dibubuhi nada tak bersahabat. Kenneth membuang waktu saja. Seharusnya Shenna sudah mulai melakukan permintaan endorse. Namun, sekarang malah masih meladeni bocah SMA itu. Shenna ingin marah, tetapi ia tahan sekuat tenaga. Harinya akan jadi buruk kalau ia marah-marah. 

Tidak ada jawaban dari Kenneth. Kepala pemuda itu menunduk dalam. Dengan tangan memilin ujung jaket yang ia kenakan. Kemudian terdengar sebuah helaan napas panjang. Disusul gerakan tungkai Kenneth beranjak dari tempat semula. Membuka pintu apartemen Shenna dan duduk di luar. Tidak berniat untuk pulang. 

Kenneth ... takut pulang. Ia tidak pernah pergi keluar rumah seorang diri. Baru kali ini ia pergi sendiri. Tanpa siapa pun yang menemani. 

Namun, Shenna tidak peka akan hal itu. Ia bersyukur saja karena Kenneth tahu diri dan memutuskan untuk angkat kaki. Sampai tengah hari terlewat, Shenna pergi keluar untuk mencari udara segar sejenak, tetapi malah menemukan Kenneth hampir jatuh tertidur di depan apartemennya. Kenneth tidak pergi sungguhan. Masih di sana sambil menggenggam dua lembar uang yang Shenna berikan. 

"Kenapa nggak pulang?" Shenna buka suara. Menarik kembali kesadaran Kenneth pada kenyataan. 

Kenneth lantas mendongak. "Takut," ujarnya. 

"Kan, udah gue kasih ongkos. Itu lebih dari cukup buat pulang ke rumah lo." 

"Nggak berani pulang sendiri." 

"Nggak usah alasan," ucap Shenna memperingati. Ia tidak akan luluh dengan mudah hanya karena Kenneth memasang tampang tak berdaya begitu. Bisa saja itu bagian dari tipu muslihat yang tengah dilakoni. "Sekarang udah lewat tengah hari. Kalau lo tetep nggak mau pulang, terserah. Tapi siapa tau lo dicariin sama orang di rumah. Jangan bikin orang rumah khawatir. Anak seumuran lo seharusnya nggak ikut campur masalah orang tua."

"Di rumah nggak ada orang," balas Kenneth. Ada gurat sendu ketika kalimat tersebut terucap dari lisannya. 

Untuk sejenak, Shenna diam. Lalu mengulurkan tangan guna menyentuh pundak sempit Kenneth. Rona pucat terekam oleh manik Shenna ketika kepala Kenneth menengadah. Tak heran karena berjam-jam Kenneth di sini tanpa mencerna makanan sedikit pun. Rasa simpati dalam dada Shenna mendadak tergerak. 

Shenna menarik napas dalam. Setelah itu menarik tangannya dari pundak Kenneth. "Ya udah. Masuk aja, makan." 

Mata Kenneth langsung berbinar cerah. Buru-buru bangkit dan memekik bahagia. Seraya mengucap kata terimakasih. Akhirnya Shenna luluh juga. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status