Share

7. Katanya Takdir

Semburat kemerahan di langit menandakan tak lama lagi, malam akan datang. Saat itulah Shenna baru dapat meninggalkan kantor. Hari ini cukup padat dan ia agak kewalahan. Ia ingin segera pulang ke apartemen, bercengkrama kembali dengan empuknya kasur. Namun, sudah 10 menit lebih Shenna berdiri di pinggir jalan, ojol yang ia pesan tak juga datang.

Shenna mendecak. Kalau saja ia memiliki kendaraan pribadi, pasti tak perlu menunggu seperti ini. Wanita itu tentu ingin mempunyai kendaran sendiri, tetapi banyak pertimbangan yang Shenna pikirkan. Membayar pajak, service, isi ulang bahan bakar, dan lain-lain. Selain itu juga Shenna tidak terlalu bisa mengendarai motor ataupun mobil.

Tin! Tin!

Kepala Shenna segera berotasi. Sebuah mobil BMW berhenti tepat di hadapan wanita tersebut. Entah dari mana datangnya dan apa tujuannya berhenti di situ.

Hingga seorang pria menyembulkan kepala dari balik jendela mobil. Senyum lebar terlukis sempurna di potret orang itu. "Sedang apa? Menunggu seseorang?" tanyanya.

"Iya. Nunggu ojol." Shenna membalas singkat.

Pria yang tak lain tak bukan adalah Marcel itu malah tertawa. Padahal Shenna hanya mengucap beberapa patah kata, tetapi Marcel merasa Shenna itu menggemaskan.

"Kalau begitu ikut saya saja. Orderannya cancel, nanti tukang ojolnya saya yang bayar untuk ganti rugi. Daripada kamu menunggu lama di sini. Bagaimana?"

Shenna menggeleng. "Terima kasih. Tapi saya rasa nggak perlu."

Selama beberapa hari terakhir ini Shenna tidak pernah melihat Marcel lagi. Terakhir saat ia ke rumah pria itu. Anehnya, ia merasa sedikit senang. Walau ia tidak mau mengakui hal tersebut dengan jujur.

"Ey ... ayolah! Nggak baik menolak tawaran baik seseorang."

"Sekali lagi terima kasih. Tapi sepertinya arah kita juga berbeda. Saya tidak mau merepotkan."

"Saya sama sekali tidak merasa direpotkan, tuh."

"Tetap saja—"

Ucapan Shenna terpotong akibat dering ponselnya. Ada notifikasi dari ojol yang ia pesan.

[Maaf, ya, Mbak. Motor saya mendadak mogok padahal udah deket. Kayaknya motor saya nggak akan bisa dipakai dalam waktu dekat. Mbaknya cari ojol yang lain aja, ya. Sekali lagi saya minta maaf.]

Dalam hati, Shenna mengumpat. Mengapa harus pas sekali dengan kedatangan Marcel, sih? Apa pria itu juga yang merencanakan mogolnya mas ojol ini?

"Kenapa?" Marcel melontarkan tanya. Merasa bingung karena raut wajah Shenna mendadak muram Seperti telah terjadi sesuatu yang tak ia kehendaki.

"Nggak."

"Beneran?"

Lagi-lagi wanita itu mendecak. "Kenapa, sih? Pengen banget pulang sama saya, ya?"

"Not gonna lie, yes. Jadi mau pulang sama saya atau enggak?"

"Kenapa harus saya?"

"Karena kamu Shenna."

Bibir Shenna membeku. Mata mereka saling bertemu. Manik sebiru lautan itu tampak berbinar ketika bersibobrok dengan miliknya. Ada setitik rasa rindu dan candu yang datang ke relung Shenna. Marcel ini benar-benar.

"Baiklah. Terima kasih."

"My pleasure," balas Marcel tersenyum cerah.

Mobil yang kali ini mereka tumpangi, tampak seperti baru keluar dari kemasan. Aroma mobil baru yang menyengat menguar begitu pekat. Padahal kemarin Shenna lihat masih banyak mobil lain berjejer di dalam garasi Marcel. Orang kaya memang beda, ya.

"Bagaimana harimu?" Marcel membuka pembicaraan. Sore ini lalu lintas padat. Butuh waktu lama untuk sampai ke apartemen Shenna.

"Biasa saja. Hanya bekerja, makan siang, lalu dimarahi atasan karena kesalahan kecil." Sebelum ini, tak pernah ada yang menanyakan pada Shenna bagaimana hari wanita itu berlalu. Sebuah senyum kecil lantas timbul di wajah Shenna. "Kalau Anda, bagaimana?"

"Sangat baik karena bisa bertemu dengan kamu. Beberapa hari ini saya ingin menemui kamu, tapi tidak pernah ada waktu luang."

"Anda sepertinya sedang banyak pekerjaan."

"Ya, begitulah."

"Lalu bagaimana bisa sampai ke kantor saya? Padahal setahu saya Anda sudah tidak ada urusan di sana."

Marcel menoleh sejenak ke Shenna. Wajah sang wanita tampak begitu menawan di bawah terpaan cahaya oranye. "Tidak ada alasan khusus. Hanya ingin lewat, siapa tahu bisa bertemu kamu. Dan sepertinya pertemuan kita memang sudah takdir."

"Takdir? Lucu sekali."

"Ah, iya!" Mendadak nada bicara Marcel naik. Shenna mengerjap-ngerjap bingung. "Bisakah kita berhenti menggunakan bahasa yang formal? Gunakan bahasa yang lebih santai saja."

"Kenapa? Kita bahkan tidak sedekat itu."

"Apa kita tidak bisa dikatakan dekat setelah apa yang sudah terjadi selama ini?" tanya Marcel. Kali ini ia terdengar serius.

Benar juga. Shenna bahkan sudah pernah mengunjungi rumah Marcel. Namun, Shenna merasa itu hanya segelintir kejadian yang tak bisa membuat mereka dikatakan dekat. Mereka belum saling mengenal lebih dari satu bulan. Hanya beberapa hari dan tidak terlalu intensif.

"Shenna," panggil Marcel. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan, "kamu tahu, kan, kalau saya tertarik dengan kamu? Saya tidak tahu apa pendapat kamu tentang saya, tetapi saya ingin berusaha untuk mendapatkan hati kamu. Saya akan berusaha sebaik mungkin."

"Kenapa—"

"Tolong jangan tanya mengapa saya bisa tertarik dengan kamu. Karena saya sendiri juga tidak tahu pasti. Di mata saya hanya kamu yang terlihat bersinar dan sangat ingin saya miliki."

Mendadak sekali. Shenna tidak menyangka Marcel akan seblak-blakan inu padanya. Dan sialnya pria itu terlihat sangat keren. Seperti seorang lelaki sejati.

"O-oke."

"Oke untuk apa?" Alis Marcel menyatu. Bingung.

"O ... ke? Oke, kalau Anda memang tertarik dengan saya. Saya tidak keberatan dengan itu."

"Kalau begitu saya juga dipersilakan untuk mendapatkan hatimu juga, kan?" Marcel mendekatkan wajahnya ke Shenna. Beruntung saat ini mereka sedang berada di lampu merah. Sehingga Marcel bisa curi-curi kesempatan tanpa takut menyebabkan kecelakaan.

Degupan jantung Shenna menjadi tak tenang. Ia buru-buru berpaling dari Marcel. Dari jarak sedekat itu, ia bisa mencium aroma maskulin yang menguar dari tubuh Marcel. Efeknya benar-benar tidak baik untuk tubuh Shenna.

"Pipi kamu merah. Lucu sekali," kekeh Marcel.

"Aish!"

Shenna malu. Apakah ia harus membiarkan Marcel untuk mendapatkan hatinya? Lagi pula Shenna yakin, kalau ia tak memberi ijin pun Marcel akan tetap melakukannya. Toh, Marcel juga bukan pria aneh.

"Baiklah, baiklah! Lakukan saja apa yang Anda mau," putus Shenna kemudian.

"Kalau begitu bagaimana kalau kita mulai berbicara santai saja? Pakai aku-kamu dan biasakan panggil nama saya. Saya ingin sekali mendengar kamu memanggil nama saya."

Shenna mendengkus. Pria itu memang banyak mau. "Harus?"

"Tentu saja!"

"Baiklah, Marcel." Shenna berucap dengan ogah-ogahan.

"Apa? Aku nggak dengar, nih!"

"Marcel!"

Pria berdarah Amerika itu lantas terbahak. Lalu mengusak puncak kepala Shenna gemas. "Gadis pintar. Kamu ini lucu sekali, sih! Saya jadi tidak sabar untuk mendapatkan hatimu."

Senja hari itu membawa mereka pada babak baru dalam kehidupan. Shenna yang selama beberapa tahun ke belakang ini tak pernah menjalin kasih, perlahan mencoba membuka hati. Semoga saja ia membukakan hati untuk orang yang tepat.

Karena ia belum siap jika harus terluka saat baru saja terbuai asmara.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rastri Quinn
Keren ceritanya ...️...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status