"Saya bersedia menikah dengan putri Ibu!" Gilang berseru dengan lantangnya.
Membuat Ibu Mira dan bunda Alia terlonjak kaget mendengar penuturan Gilang yang tiba-tiba. Seberkas rasa bersalah muncul di benak wajah Bunda Alia saat melihat aura wajah Gilang yang sulit untuk ditebak.Beberapa menit lalu sebelum mendudukkan Gilang, ibu Mira memang memohon pada bunda Alia untuk menjodohkan Gilang dengan anak semata wayangnya, Rara. Ibu Mira pun menceritakan berbagai kekurangan Rara pada bunda Alia, namun saat Gilang dipanggil, pria muda itu mengatakan bersedia menikah sebelum ada kalimat penjelasan yang keluar dari bibir Ibu Mira ataupun bunda Alia."Ma ... maaf, Nak Gilang! Apa yang kamu katakan tadi serius, Nak?" Berbicara dengan nada terbata, ibu Mira mencoba mengkonfirmasi sekali lagi pernyataan tiba-tiba seorang Gilang."Saya serius Bu," ucap Gilang lantang. Wajah damai surganya menunjukkan aura ketenangan tanpa adanya paksaan. Membuat senyum simpul mengembang sempurna di bibir ibu Mira. Bahagia bukan main hatinya saat ini.Masih sedikit ragu, ibu Mira menyanggah pernyataan Gilang. "Ta-ta-tapi—" Gilang memutus pembicaraan ibu Mira secepat kilat. "Tidak ada tapi. Saya serius mau menikahi putri Anda, Bu!"Gilang meremas jemari seraya membenarkan posisi duduknya. Ia harap ini adalah keputusan yang tepat meskipun rasanya berat. "Mohon maaf jika sikap dan kelakuan saya kurang sopan. Terus terang saja tadi saya tidak sengaja mendengar percakapan Anda dan bunda Alia. Jika hanya seperti itu duduk perkaranya, saya bersedia menikahi putri Anda, Bu."Kembali terperanjat, ibu Mira menatap Gilang tidak percaya. "Apa Nak Gilang serius? Selain menderita lumpuh pada kakinya, putriku juga memiliki latar belakang mental yang cukup serius! Semenjak mengalami kecelakaan, hatinya sangat sensitif, dia sering marah-marah, mengamuk, bahkan membanting barang-barang yang ada di rumah. Lebih parahnya lagi, putriku tidak mau didekati oleh siapa pun. Terutama orang asing."Mendengar itu, hati Gilang tidak goyah sama sekali. Niatnya menikah untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat Islam. Ia percaya berkah baik akan menghampiri orang-orang yang berhati tulus sepertinya. Terlebih Ibu Mira adalah orang yang sangat baik. Selama ini ia sudah menjadi donatur tetap di panti asuhan tempat ia dibesarkan. Bisa dibilang, Gilang bisa tumbuh besar seperti ini juga berkat bantuan dari Ibu Mira."Ketika saya memberikan jawaban, saya sudah memikirkan hal itu matang-matang, Bu! Saya Rasa lumpuh atau apa pun itu, bukan menjadi penghalang untuk saya menikahi putri Anda!" ucap Gilang meyakinkan keraguan yang ada di dalam hati ibu Mira.Gilang beralih menatap Bunda Alia. Ibu panti sekaligus orang tua asuh yang mengurus Gilang sejak bayi—karena kedua orang tua Gilang katanya menjadi korban tabrak lari dan meninggal di tempat kejadian beberapa tahun silam. "Izinkan aku menikah dengan anak dari Ibu Mira, Bun. Insya Allah berkah," kata Gilang tanpa menghilangkan senyum indah dari bibir tipisnya."Nak, apa kamu sudah benar-benar serius ingin menikah? Kamu adalah panutan anak-anak panti. Jujur saja Bunda sangat memperhatikan kebahagiaanmu." Bunda Alia menunjukkan wajah sedih ketika mendengar keputusan Gilang. Selain menikah dengan putri yang cacat, beliau juga tidak rela jika harus kehilangan berlian paling berharga di panti asuhan tersebut. Maka dari itu, bunda Alia menolak secara terang-terangan saat ibu Mira meminta Gilang untuk menikahi putrinya."Bunda, aku memang belum memiliki perasaan apa pun pada gadis itu. Bahkan kami tidak saling mengenal. Namun, aku yakin ini adalah jalan mudah yang telah Allah berikan kepadaku dalam mencari jodoh. Gilang tidak perlu repot-repot mencari istri di luar sana. Bukankah Allah sangat baik padaku, Bunda?""Masya Allah!" Bunda Alia berdecak kagum dengan mata berkaca-kaca. Baik bunda maupun ibu Mira merasa tersentuh mendengar penuturan Gilang yang luar biasa.Berkata lagi, kali ini ada seulas senyum bahagia terukir manis di bibir manis Gilang. "Gilang bersedia menikah dengan putri Ibu Mira atas izin Allah ta'ala! Saya rasa, menikah tidak harus diawali dengan rasa cinta—cukup yakin bahwa Allah yang maha kuasa akan menunjukkan keajaiban pada hambanya yang berani berserah diri. Sayajuga akan berusaha mencintai putri Ibu Mira dengan segenap hati, menerima kekurangan dan kelebihannya. Semoga saja putri Ibu bisa bersikap demikian terhadap saya," ucap Gilang panjang lebar.Hati Bunda Alia dan Ibu Mira kembali melayang-layang mendengar penuturan lelaki yang hobinya menghafal Al Qur'an itu. Di mana usianya masih terbilang cukup muda yaitu menginjak umur dua puluh lima tahun. Beberapa detik bibir mereka masih kelu dan tak bisa berkata-kata. Terharu dengan ucapan Gilang yang menggetarkan jiwa wanita. Bahkan mereka tersipu mendengar ucapan manis Gilang."Tapi setelah menikahi putri Anda, Saya mempunyai sebuah permintaan, Bu!""I ... iya!" Sadar dari lamunannya, Ibu Mira langsung antusias dan membenarkan sedikit posisi duduknya. "Apa permintaanmu, Nak? Katakan saja. Ibu pasti akan mengabulkan selama itu bukan hal yang mustahil. Kau minta rumah, modal usaha, mobil? Apa pun itu akan kami berikan, Nak Gilang.""Saya tidak ingin yang seperti itu, Bu!" Gilang kembali memamerkan wajah damai surganya. Lengkap dengan senyum indah yang menawan hati."Jika Ibu memang berniat menikahkan putri Ibu dengan saya, maka izinkanlah saya membawa putri Ibu untuk meninggalkan segala kemewahan yang kalian miliki. Pekerjaan saya memang hanyalah pedagang kecil, tetapi saya akan berusaha memenuhi semua kebutuhan istri. Meski dalam jalur sederhana tanpa kemewahan."Walaupun ada sedikit ragu karena anaknya tidak pernah hidup susah, Ibu Mira mencoba mengiyakan permintaan mulia Gilang. Apa salahnya percaya pada lelaki berhati malaikat seperti Gilang."Baik, Nak Gilang! Ibu akan mengizinkanmu membawa Rara bersamamu. Tapi Ibu akan mengkonfirmasi sekali lagi. Kalau boleh tahu, kenapa Nak Gilang bersedia menihaki putriku, Rara? Yang notabene dia adalah gadis tidak layak untuk dinikahi. Apalagi Rara buta dalam hal agama. Keluarga kami memang hanyalah Islam KTP. Itu salah kami karena menjadi orang tua yang tak mampu membimbing putri kami satu-satunya."Gilang tertunduk dalam rasa miris. Juga bersyukur dengan hidupnya selama ini. Meskipun ia anak yatim piatu, setidaknya Gilang memiliki bunda Aulia yang mengajarinya untuk selalu menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Sehingga ia dapat merasakan kedamaian hati meski nasibnya tak sebaik anak-anak lain."Bu, Mira! Saya hanya menjalankan syariat agama Islam sesuai dengan kaidah dan ketentuan yang Nabi Muhammad SAW ajarkan pada umatnya. Istri adalah tulang rusuk suaminya. Jika pendampingku belum berada di jalan Allah, maka tugasku adalah membimbing ia ke jalan yang benar. Selama masih diberikan kehidupan, itu artinya putri Anda masih memiliki banyak kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Begitupun dengan Anda dan keluarga, Bu Mira."Mira langsung terpukul dalam rasa malu begitu mendengar ucapan Gilang. Ada niat sebesar gunung untuk menyentuh mukenah selepas pulang nanti. Mira benar-benar malu pada Allah. Ia diberikan kemewahan yang berlimpah, namun selalu merasa kurang dan tidak bersyukur dengan berkah sebanyak itu.Gilang berkata lagi, "Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, jika kamu meluruskannya, maka kamu mematahkannya. Jadi, berlemah lembutlah terhadapnya, maka kamu akan dapat hidup bersamanya.”(Sumber: HR. Al-Hakim (IV/174), dan ia menilainya shahih sesuai syarat Muslim, serta disetujui oleh adz-Dzahabi, Ibnu Hibban (no. 1308)."Seperti apa pun sikap istri saya nantinya, saya akan memperlakukannya dengan mulia selayaknya Rasullullah memperlakukan istrinya. Tidak hanya sekedar berjanji, ini adalah sesuatu yang harus aku pertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat nanti."Kembali dibuat terkagum-kagum, Ibu Mira sudah tidak mampu berkata apa-apa selain berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada Gilang. Ia harap Gilang dapat menjadi Imam yang baik untuk putrinya, Rara."Gilang sudah setuju, maka yang bisa saya lakukan hanyalah mendukung niat baiknya. Maafkan saya karena sempat menolak lamaran ibu Mira. Jujur saya takut menyakiti hati Gilang karena perjodohan ini. Keputusan Gilang untuk menikah benar-benar di luar dugaan saya, Bu!" Bunda Alia merasa tidak enak karena ia memang sempat menolak. Untungnya Ibu Mira kekeh ingin membicarakan masalah ini langsung dengan Gilang."Tidak apa, Bu! Sebagai seorang Ibu, Saya paham bahwa Anda pasti ingin yang terbaik untuk putra Anda," ucap Bu Mira.Bahagia ibu Mira sudah tidak dapat terbendung lagi. Ia bersyukur putrinya akan dinikahi pria yang tepat. Sempurna, baik akhlak dan juga agama tentunya."Terima kasih, Nak Gilang, terima kasih Bunda Alia. Saya sangat bersyukur jika Nak Gilang bersedia menikah dengan Rara tanpa rasa terpaksa."Gilang tersenyum hangat. "Tidak ada kata terpaksa ataupun dipaksa. Hidup ini tidak seperti di dalam cerita. Insya Allah pernikahanku dan putri Anda akan membawa berkah, Bu. Karena aku benar-benar ikhlas menikah atas izin Allah Yang Maha Kuasa." Menjeda ucapannya dan tersenyum sejenak, Gilang berkata lagi,"Bukan terpaksa menikah."***Rara terdiam, agak aneh menurutnya Gilang ini. Namun, ketika teringat betapa sederhana dan bijaknya Gilang, ia pun tidak berani menyela."Tapi paling tidak kita rayakan, Lang. Sebagai istri aku rasanya tidak enak kalau hanya menghabiskan hari kelahiranmu dengan hanya berdiam diri."Gilang memegang dagunya. Ia mulai berpikir."Bagaimana kalau pesan kue?" usul Rara. Matanya berbinar.Sayangnya usul itu mendapat gelengan kepala."Lalu maunya apa?" Rara kembali cemberut."Bagaimana kalau masak. Aku ingin mencicipi masakanmu," balas Gilang."Masak?"Gilang mengiakan dengan anggukan."Emang mau masakan apa?" tanya Rara lagi.Gilang pun terlihat berpikir. "Buatkan aku sayur asem dan ikan asin saja, bagaimana?""Cuma itu?" Rara benar-benar tidak habis pikir."Jangan bilang cuma, kamu tau menu itu sukses buatku nambah tiga kali.""Masa cuma itu.""Tapi aku maunya itu, bagaimana?"Mulanya Rara ragu, tapi setelah melihat Gilang yang tampak sangat berharap ia pun mengiakan dengan anggukan."W
Setahun kemudian.Rumah tangga Gilang dan Rara semakin membaik dari waktu ke waktu. Layaknya rumah tangga pada umumnya, di rumah sederhana Gilang itu selalu ada canda, tawa, kadang ada sedikit pertengkaran kecil antara mereka.Namun, itu tak jadi pemicu keretakan. Justru sebaliknya, mereka saling memahami antara lain, membuat rumah tangga mereka kian kokoh.Satu tahun itu pula Gilang berhasil menunjukkan keseriusan. Cinta yang tulus membuatnya tak pernah lelah maupun mengeluh dengan kondisi Rara yang cacat. Justru, rasa sayang serta peduli untuk Rara makin menggebu.Rara sendiri sama, dia terus berusaha sembuh. Kabar baiknya sekarang sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Terakhir, Rara juga sudah mulai berjalan dengan dua kaki, meskipun hanya bertahan lima langkah.Kendati demikian tak buat asanya putus. Ada Gilang yang selalu menyemangati dan itu buat Rara semangat lagi. Ia ingin cepat berjalan normal agar bisa mengimbangi langkah Gilang. Ingin seperti pasangan kebanyakan yang men
Dari semenjak kejadian tadi siang, Rara menjadi lebih banyak diam. Gilang sendiri juga belum berani cerita apa-apa. Pria itu masih berusaha menyusun kata yang pas supaya tidak menyakiti hati Rara Nantinya."Ra, kamu baik-baik aja 'kan?" Gilang melongok ke kamar. Tampak Rara tengah duduk sembari membaca buku bertema islami dengan posisi kaki selonjoran."Itu pertanyaan kamu yang ke empat kali. Memangnya kamu tidak bosen?" balas Rara tanpa menatap.Diperlakukan seperti membuat Gilang salah tingkah. Kelakuannya saat ini makin tambah belingsatan saja."Ra, kamu baca apa?" Gilang mendekat, matanya seketika membola saat mengetahui halamaan buku yang Rara baca. "Kamu ngapain baca begituan?" tanya Gilang spontan."Memangnya kenapa? Aku hanya penasaran saja dengan hukum poligami. Ternyata poligami sangat indah jika dijalani sesuai kaidah. Aku tidak menyangka pahala istri yang dipoligami sangat besar!"Mendengar itu, Gilang makin tambah misuh-misuh. Ia berebut buku tersebut lantas menaruhnya ke
Pemandangan yang baru saja dilihat membuat Rara memutuskan untuk menutup pintu mobil. Di titik ini, Rara merasa harga dirinya dijatuhkan seketika. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana suaminya itu dipeluk oleh wanita lain, akan tetapi ia tidak bisa berlari untuk sekadar mencegah, apalagi sampai membuat perhitungan kepada Nayla.Dari jendela mobil juga, Rara melihat Nayla yang terus menyeret koper lalu hilang di balik pintu gerbang. Setelah itu ia melihat ke arah Gilang. Lelaki itu terlihat memapah Bunda Alia masuk ke dalam rumah.Kini tinggallah Rara di dalam mobil seorang diri. Kesunyian halaman di panti asuhan saat ini sukses menambahkan momen sakit di hati Rara semakin menggebu-gebu. Ia menangis. Hatinya menjerit atas semua yang baru saja ia saksikan.Rara bukan mempermasalahkan pelukan perpisahan yang dilakukan oleh Nayla, tapi Rara menyayangkan dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa saat semua itu terjadi. Bahkan untuk sekadar menyusul Gilang saja, Rara tak mampu melakukannya
Gilang baru saja hendak menurunkan Rara dari mobil saat suara ribut-ribut terdengar di pelataran panti. Lelaki itu gagas menoleh, dari kejauhan ia melihat Bunda Alya sedang terlibat cekcok dengan Nayla. Sepertinya perdebatan mereka cukup serius. Gilang pun segera meminta izin pada Rara agar melerai keduanya terlebih dahulu."Ra, kamu di mobil sebentar ya! Kayaknya Bunda lagi bertengkar sama Nayla. Aku pisahin mereka dulu."Saking paniknya, Gilang gagas berlari tanpa menunggu jawaban Rara terlebih dahulu. Di sofa mobil yang pintunya sudah terbuka, Rara hanya dapat menatap punggung Gilang yang semakin menjauh darinya. Ia juga menatap kursi roda yang baru saja dibentangkan oleh Gilang. Namun, sayang, Rara tidak bisa menggapai benda yang sangat dibutuhkannya tersebut karena posisinya terlalu jauh.Sementara Gilang. Lelaki itu berlari secara membabi buta. Lalu berdiri di tengah-tengah mereka." Ada apa ini?" seru Gilang sambil menatap Bunda Alya dan Nayla secara bergantian, bahkan ia lupa
***"Gawat, Ra! Gawat!"Gilang masuk ke kamar begitu saja saat Rara sedang asik membaca buku panduan salat. Wanita itu sedang menghafalkan beberapa hafalan doa dan tata cara salat tahajud saat Gilang mendekat dengan mimik wajah cemas."Ada apa? Kenapa kamu cemas begitu?""Nayla Ra … Nayla ….""Nayla kenapa?" Rara memekik.Hati Rara sedikit tercubit melihat Gilang begitu mencemaskan Nayla. Namun, ia tepis segala perasaan tidak baik itu karena Nayla dan Gilang memiliki ikatan persaudaraan yang cukup kuat meski bukan saudi kandung."Anak panti bilang Bunda Alia bertengkar dengan Nayla. Ternyata kepergiannya Nayla ke Singapur terlalu mendadak, dan tanpa sepengetahuan Bunda.""Kok bisa, Lang?""Entahlah, Ra! Anak panti bilang Nayla mau berangkat sore nanti, dia juga bilang kalau Nayla sudah terlanjur tanda tangan kontrak dan menerima dana sebesar 150 juta.""Astagfirullahallazim. Kamu serius, Lang? Aku takutnya Nayla itu ditipu. Perusahaan mana yang berani memberi DP sebanyak itu?""Maka d