Share

7. Perjanjian pra nikah

Tami duduk manis di salah satu kafe yang berada dekat dengan apartemennya. Rencana untuk bertemu di unitnya langsung dia batalkan saat bayangan malam buruk bersama Irwan tiba-tiba berkelebat di benaknya, membuat sekujur tubuhnya merinding dan gemetar ketakutan.

Dia meminum perlahan jus alpukat yang sudah berkurang setengah, tapi Satria belum juga tampak batang hidungnya. Tami memejamkan mata dramatis berusaha menekan emosi yang mulai menyeruak di dirinya. Gadis itu tak ingin ada di sini, tapi hal ini harus dilakukan sebelum semua semakin mempercepat penyesalan.

Kursi di depannya bergeser, senyum tipis terlihat dari wajah tanpa raut rasa bersalah. “Ada urusan yang harus saya lakukan terlebih dahulu tadi.”

“Saya juga belum lama,” cicit Tami mengalah.

Mata Satria melirik ke arah gelas Tami yang sudah hampir habis isinya, dia tersenyum miring sebelum memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. 

“Sudah menyerah dan siap menikah dengan saya?” Suara Satria terdengar dengan pertanyaan meremehkan.

“Iya. Tapi ... saya ingin ada perjanjian pra-nikah.” Tegas Tami.

Alis Satria berkerut dalam lalu terkekeh dalam hati. Dia memperhatikan Tami yang terlihat gugup dan dirinya sangat yakin sekali kalau sekarang kedua tangan gadis di depannya sedang saling bertaut di bawah sana.

“Baiklah. Saya setuju.”

Tami menunduk pelan dan menghembuskan napasnya lega. Dia mendongak dengan penuh percaya diri, merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan selembar kertas lalu menyodorkan ke hadapan Satria.

Satria membacanya pelan. “Saling menghargai, jika suami selingkuh maka semua hartanya akan menjadi milik istri, jika ada kebohongan maka istri boleh mengajukan cerai dan menafkahi mertua juga ipar.” Dia mengangguk dan sekali lagi bertanya. “Hanya ini?”

Anggukan cepat diberikan Tami.

“Kau lebih memikirkan nafkah keluargamu dibanding dirimu sendiri?” 

“Em ... pernikahan ini memang karena mereka. Saya hanya tak sanggup bila ada perselingkuhan dan kebohongan. Selebihnya tidak ada masalah. Apa ada yang ingin di tambahkan?” Suara Tami tegas saat menjelaskan, membuat Satria hanya diam.

Tak lama pria yang hari ini tampil lebih santai dengan polo shirt hitam dan celana chino warna khaki itu berdeham. “Hanya satu. Apa pun yang terjadi dalam pernikahan kita, saya tak mau mendengar ada keluhan. Karena saya tidak akan melepaskanmu, kecuali karena syarat yang kamu ajukan.”

Mata Tami mengerjap. Dia mencoba mencerna maksud dari perkataan calon suaminya itu, tapi karena tidak ingin memiliki pikiran buruk maka dia segera menyanggupi. “Baiklah. Apa pun itu, saya akan bertahan.”

Satria menyeringai puas mendengar itu.

Mereka menikmati sisa waktu kebersamaan mereka dengan makan siang bersama dalam diam dan berpisah begitu saja setelah selesai. Padahal bisa saja mereka berjalan bersama, mengingat unit apartemen mereka bersebelahan. Tapi Satria sudah pergi lebih dulu meninggalkan Tami setelah membayar tagihan mereka.

Tami sendiri tak keberatan sama sekali. Mereka memang masih memerlukan waktu sendiri untuk menerima dan membiasakan diri dengan perubahan yang akan terjadi.

Dirinya beranjak dari kafe tersebut masih dengan banyaknya hal yang meletup-letup di kepalanya.

“Kenapa dia setuju-setuju aja tanpa sanggahan apa-apa ya? Masa iya dia suka sama aku, itu enggak mungkin banget. Selama ini, dia bersikap profesional selama di kantor.” 

Jarinya menekan tombol lift dan ketika tubuhnya sudah ada di dalam, pikiran lain kembali menyapa.

“Dia enggak punya niat jahat, kan, sama aku? Tapi buat apa juga ya.”

Tami tersenyum sesaat pada seorang gadis yang turut masuk ke dalam lift.

“Ini mendadak banget, aku curiga tapi enggak ketemu hal janggal yang bisa membuktikan kecurigaanku.”

Suara denting lift berbunyi, itu tandanya Tami sudah sampai di lantai tempat tinggalnya. Dia keluar dari kotak besi itu dan melangkah sangat lambat. Kepalanya sesekali bergerak miring ke kanan dan ke kiri sambil mengerutkan alis, dia mencoba mengingat kembali apakah memang ada hal mencurigakan pada Satria. Dan jawabannya – nihil.

Tami menggelengkan kepalanya pelan, dia menghela napas lalu bergegas kembali ke unitnya. Rasanya tak sanggup untuk memikirkan apa-apa lagi. Seminggu ini semua emosi campur aduk hingga tubuh begitu letih.

Dia melemparkan tubuh ke atas sofa dan tak lama tertidur saking lelahnya.

Suara bunyi bel membuat tubuh Tami tersentak. Dia bahkan langsung terduduk, membuat kepalanya sedikit pusing. 

“Aahh...” tangannya sontak naik memijit pelipis, masih dengan mata yang terpejam.

Mengatur napasnya sesaat lalu memicingkan mata berusaha mengembalikan kesadarannya secara utuh.

Lagi-lagi suara bel berbunyi, itu tandanya untuk Tami bangkit dan melangkahkan kakinya masih dengan gontai ke arah pintu. Begitu mengintip dari lubang pintu, dia cemberut.

“Ada apa lagi?” tanyanya ketus.

“Aku membawa pengacara untuk mengesahkan surat perjanjian pra-nikah kita,” jawab Satria datar.

Lalu tanpa dipersilakan, Satria menggeser pundak Tami dan masuk ke dalam bersama dengan seorang pria paruh baya yang berpakaian rapi.

Tami mengentakkan kaki menyusul, duduk dengan sedikit kesal dan menggerutu, “Besok bisa, kan?!”

Satria malah menjawab dengan perkataan lain, “Cuci mukamu dulu. Lalu minum air dingin. Setelah itu baru kembali ke sini.”

Gadis itu menganga. Tapi dia tetap bangun dan mengikuti apa yang dipinta atasannya itu. Eh, calon suaminya itu. “Ah, kenapa begitu menyebalkan status ini sekarang,” gumam Tami.

Dia kembali ke ruang tamu dengan nampan berisi tiga gelas jus jeruk dan satu toples biskuit. “Maaf, aku belum belanja. Hanya ada ini di tempatku.”

“Tidak apa, Bu Tami,” jawab pria paruh baya itu. Kemudian dia melanjutkan, “saya Edwin Pranoto, pengacara keluarga Pak Satria. Ini silakan dibaca dulu surat perjanjiannya. Jika sudah cukup, bisa langsung di tanda tangani. Bila ada perubahan besok akan segera saya perbaiki.” Tangannya menyodorkan kertas tersebut ke depan Tami bersamaan dengan penjelasannya yang lugas.

Tami mengambilnya, membaca dengan serius dan sesekali melirik ke arah wajah datar Satria lalu mengangguk. “Ini sudah cukup, Pak. Semua poin yang kami sepakati sudah tertera semua di sana.”

“Baiklah, kalau begitu silakan di tanda tangani,” ucap Pak Edwin.

Mereka bergantian menandatanganinya. Masing-masing memiliki salinan surat perjanjian tersebut dan pengacara tersebut langsung pamit dari sana.

Tami masih memandang kesal pada Satria saat dia mengantar pria itu ke pintu. Tak tahan lagi, akhirnya dia bertanya, “Kenapa terburu-buru sekali, sih, Pak?”

“Karena pernikahannya akan saya percepat.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status