Tami duduk manis di salah satu kafe yang berada dekat dengan apartemennya. Rencana untuk bertemu di unitnya langsung dia batalkan saat bayangan malam buruk bersama Irwan tiba-tiba berkelebat di benaknya, membuat sekujur tubuhnya merinding dan gemetar ketakutan.
Dia meminum perlahan jus alpukat yang sudah berkurang setengah, tapi Satria belum juga tampak batang hidungnya. Tami memejamkan mata dramatis berusaha menekan emosi yang mulai menyeruak di dirinya. Gadis itu tak ingin ada di sini, tapi hal ini harus dilakukan sebelum semua semakin mempercepat penyesalan.Kursi di depannya bergeser, senyum tipis terlihat dari wajah tanpa raut rasa bersalah. “Ada urusan yang harus saya lakukan terlebih dahulu tadi.”“Saya juga belum lama,” cicit Tami mengalah.Mata Satria melirik ke arah gelas Tami yang sudah hampir habis isinya, dia tersenyum miring sebelum memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. “Sudah menyerah dan siap menikah dengan saya?” Suara Satria terdengar dengan pertanyaan meremehkan.“Iya. Tapi ... saya ingin ada perjanjian pra-nikah.” Tegas Tami.Alis Satria berkerut dalam lalu terkekeh dalam hati. Dia memperhatikan Tami yang terlihat gugup dan dirinya sangat yakin sekali kalau sekarang kedua tangan gadis di depannya sedang saling bertaut di bawah sana.“Baiklah. Saya setuju.”Tami menunduk pelan dan menghembuskan napasnya lega. Dia mendongak dengan penuh percaya diri, merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan selembar kertas lalu menyodorkan ke hadapan Satria.Satria membacanya pelan. “Saling menghargai, jika suami selingkuh maka semua hartanya akan menjadi milik istri, jika ada kebohongan maka istri boleh mengajukan cerai dan menafkahi mertua juga ipar.” Dia mengangguk dan sekali lagi bertanya. “Hanya ini?”Anggukan cepat diberikan Tami.“Kau lebih memikirkan nafkah keluargamu dibanding dirimu sendiri?” “Em ... pernikahan ini memang karena mereka. Saya hanya tak sanggup bila ada perselingkuhan dan kebohongan. Selebihnya tidak ada masalah. Apa ada yang ingin di tambahkan?” Suara Tami tegas saat menjelaskan, membuat Satria hanya diam.Tak lama pria yang hari ini tampil lebih santai dengan polo shirt hitam dan celana chino warna khaki itu berdeham. “Hanya satu. Apa pun yang terjadi dalam pernikahan kita, saya tak mau mendengar ada keluhan. Karena saya tidak akan melepaskanmu, kecuali karena syarat yang kamu ajukan.”Mata Tami mengerjap. Dia mencoba mencerna maksud dari perkataan calon suaminya itu, tapi karena tidak ingin memiliki pikiran buruk maka dia segera menyanggupi. “Baiklah. Apa pun itu, saya akan bertahan.”Satria menyeringai puas mendengar itu.Mereka menikmati sisa waktu kebersamaan mereka dengan makan siang bersama dalam diam dan berpisah begitu saja setelah selesai. Padahal bisa saja mereka berjalan bersama, mengingat unit apartemen mereka bersebelahan. Tapi Satria sudah pergi lebih dulu meninggalkan Tami setelah membayar tagihan mereka.Tami sendiri tak keberatan sama sekali. Mereka memang masih memerlukan waktu sendiri untuk menerima dan membiasakan diri dengan perubahan yang akan terjadi.Dirinya beranjak dari kafe tersebut masih dengan banyaknya hal yang meletup-letup di kepalanya.“Kenapa dia setuju-setuju aja tanpa sanggahan apa-apa ya? Masa iya dia suka sama aku, itu enggak mungkin banget. Selama ini, dia bersikap profesional selama di kantor.” Jarinya menekan tombol lift dan ketika tubuhnya sudah ada di dalam, pikiran lain kembali menyapa.“Dia enggak punya niat jahat, kan, sama aku? Tapi buat apa juga ya.”Tami tersenyum sesaat pada seorang gadis yang turut masuk ke dalam lift.“Ini mendadak banget, aku curiga tapi enggak ketemu hal janggal yang bisa membuktikan kecurigaanku.”Suara denting lift berbunyi, itu tandanya Tami sudah sampai di lantai tempat tinggalnya. Dia keluar dari kotak besi itu dan melangkah sangat lambat. Kepalanya sesekali bergerak miring ke kanan dan ke kiri sambil mengerutkan alis, dia mencoba mengingat kembali apakah memang ada hal mencurigakan pada Satria. Dan jawabannya – nihil.Tami menggelengkan kepalanya pelan, dia menghela napas lalu bergegas kembali ke unitnya. Rasanya tak sanggup untuk memikirkan apa-apa lagi. Seminggu ini semua emosi campur aduk hingga tubuh begitu letih.Dia melemparkan tubuh ke atas sofa dan tak lama tertidur saking lelahnya.Suara bunyi bel membuat tubuh Tami tersentak. Dia bahkan langsung terduduk, membuat kepalanya sedikit pusing. “Aahh...” tangannya sontak naik memijit pelipis, masih dengan mata yang terpejam.Mengatur napasnya sesaat lalu memicingkan mata berusaha mengembalikan kesadarannya secara utuh.Lagi-lagi suara bel berbunyi, itu tandanya untuk Tami bangkit dan melangkahkan kakinya masih dengan gontai ke arah pintu. Begitu mengintip dari lubang pintu, dia cemberut.“Ada apa lagi?” tanyanya ketus.“Aku membawa pengacara untuk mengesahkan surat perjanjian pra-nikah kita,” jawab Satria datar.Lalu tanpa dipersilakan, Satria menggeser pundak Tami dan masuk ke dalam bersama dengan seorang pria paruh baya yang berpakaian rapi.Tami mengentakkan kaki menyusul, duduk dengan sedikit kesal dan menggerutu, “Besok bisa, kan?!”Satria malah menjawab dengan perkataan lain, “Cuci mukamu dulu. Lalu minum air dingin. Setelah itu baru kembali ke sini.”Gadis itu menganga. Tapi dia tetap bangun dan mengikuti apa yang dipinta atasannya itu. Eh, calon suaminya itu. “Ah, kenapa begitu menyebalkan status ini sekarang,” gumam Tami.Dia kembali ke ruang tamu dengan nampan berisi tiga gelas jus jeruk dan satu toples biskuit. “Maaf, aku belum belanja. Hanya ada ini di tempatku.”“Tidak apa, Bu Tami,” jawab pria paruh baya itu. Kemudian dia melanjutkan, “saya Edwin Pranoto, pengacara keluarga Pak Satria. Ini silakan dibaca dulu surat perjanjiannya. Jika sudah cukup, bisa langsung di tanda tangani. Bila ada perubahan besok akan segera saya perbaiki.” Tangannya menyodorkan kertas tersebut ke depan Tami bersamaan dengan penjelasannya yang lugas.Tami mengambilnya, membaca dengan serius dan sesekali melirik ke arah wajah datar Satria lalu mengangguk. “Ini sudah cukup, Pak. Semua poin yang kami sepakati sudah tertera semua di sana.”“Baiklah, kalau begitu silakan di tanda tangani,” ucap Pak Edwin.Mereka bergantian menandatanganinya. Masing-masing memiliki salinan surat perjanjian tersebut dan pengacara tersebut langsung pamit dari sana.Tami masih memandang kesal pada Satria saat dia mengantar pria itu ke pintu. Tak tahan lagi, akhirnya dia bertanya, “Kenapa terburu-buru sekali, sih, Pak?”“Karena pernikahannya akan saya percepat.”Suara debur ombak yang memecah karang terdengar begitu menghanyutkan. Penuh ketenangan dan mematikan dalam satu saat. Sudah beberapa bulan Widya hidup tenang di pesisir pantai sana walaupun harus menekan diri dari hidup mewah, tapi tak apa. ‘Hanya beberapa tahun dan setelahnya kemewahan akan kembali padanya.’ Pikirnya.Sedari jauh hari, Widya sudah berjaga-jaga dalam menjaga hartanya. Dia sengaja menguras tenaga dan pendapatan Tami agar uangnya sendiri tak tersentuh. Meskipun suaminya tak sekaya Christian, tapi dia mendapatkan harta warisan yang tak sedikit ditambah beberapa aset yang diam-diam dia rebut dari Tami. Belum lagi hasil klaim dari asuransi, sebenarnya dia dan kedua putrinya bisa hidup dengan nyaman tanpa kekurangan.Nyatanya, dia berpura-pura mendadak miskin dan memaksa Tami untuk bekerja keras untuk menghidupi mereka tak peduli apa yang dikerjakan oleh putri sulungnya itu.Lalu kini, meski dia harus bertahan jauh dari semua orang yang terpenting adalah seluruh kekayaannya
Keadaan Tami perlahan mulai membaik dan hari ini sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah dengan beberapa catatan dari dokter.“Ada yang mau dibeli sebelum sampe rumah, Sayang?” tanya Satria.Setelah perdebatan yang memakan waktu, Satria akhirnya berhasil membawa Tami dalam mobilnya. Dia melirik ke belakang lewat spion tengah dan terkikik saat mobil mewah warna hitam itu mengiringi. Wajah mertuanya saat ini pasti sedang cemberut dan itu membuatnya geli sekaligus puas. “Enak saja mau memonopoli istri cantikku,” batinnya.“Enggak usah deh, Mas. Aku hanya mau istirahat,” jawab Tami.Anggukan kepala diberikan Satria sebagai jawaban dan perlahan memelankan laju kendaraan karena jarak rumah mereka yang sudah tak terlalu jauh lagi.“Mau aku gendong?”Mobil mereka sudah parkir dengan sempurna di halaman rumah. Begitu juga mobil Christian, pria itu bahkan sudah turun dan menunggu di dekat pintu masuk.“Enggak usah, Mas. Aku udah sehat,” jawab Tami sambil cemberut.Satria terkekeh dan mencubit
Aryo sedang menunggu perintah selanjutnya. Dia tak berani untuk melangkah lebih dulu meski sudah bisa menebak tindakan apa yang akan diambil oleh atasannya. Kembali lagi, dia bukan pria gegabah dan selalu tenang dalam kondisi apa pun.Satria ingin sekali melakukan panggilan telepon kepada Aryo. Akan tetapi, pandangan tajam yang menghunus dirinya membuat dirinya membeku. Seolah sedang terikat kencang, tubuhnya sulit digerakkan saking terpaku pada mata mertuanya.Dia berdeham.Tami meringis melihat itu. Namun tak sedikit pun keinginan untuk membantu suaminya. Mendengar Vania di kasus itu bukan sepenuhnya korban, membuat hatinya kembali perih. Pertanyaan kenapa dan kenapa terus berputar di kepalanya. Mereka bahkan tidak saling kenal. “Saya tidak akan tinggal diam jika Vania benar-benar terlibat. Mantan tunangan kamu telah merampas kebahagiaan putri saya.” Ancaman Christian memecahkan kesunyian yang tercipta.“Papi,” panggil Satria pelan. Dia menyadari kalau saat ini mertuanya itu sedang
“Kalau memang sudah tidak ada yang mau dibahas lagi, saya tunggu laporannya segera dari masing-masing divisi.”Satria mengakhiri rapat mingguannya dengan cepat. Pikirannya sedang tidak fokus, alih-alih mengalihkan pada pekerjaan dia lebih memilih untuk menyelesaikan yang membuat kepalanya riuh belakangan ini.Langkahnya semakin cepat begitu dia keluar dari ruang rapat. Sejak pagi rencananya sudah matang dan itu hanya bisa dilakukan bila tumpukan dokumen di mejanya menghilang. Dan saat ini hal itu yang akan dilakukannya, dengan cepat.“Pak.”Satria gegas berbalik badan dengan wajah kesal. Dia bahkan belum sampai ke mejanya, pintu ruangannya baru tertutup tapi Aryo sudah berani menginterupsinya. Baru saja kemarahan hendak terlontar, tapi bibirnya langsung mengatup lagi begitu Aryo menyampaikan laporannya.“Saya menemukan alamat bengkel yang ada di video Bu Widya. Juga pria yang berbicara dengan Bu Widya kala itu.”Satria mengangkat ujung bibirnya dan mengangguk pelan. Wajah kesalnya aib
“Apa katamu?” tanya Widya dengan suara tercekat.Tami mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa reaksi wanita itu menjadi sedikit berbeda, seperti sedang menahan sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu.Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Widya sedikit mendesak, “Aku tanya, tadi kamu bilang apa? Christian mencari tahu soal kecelakaan ayahmu? Buat apa?” Sebisa mungkin dirinya bersikap tenang di depan Tami, meski menahan emosi yang siap meledak.Tami yang masih bingung mengangguk pelan, kemudian dia menjawab, “Iya, Ma. Memangnya kenapa? Bukannya itu bagus?”“Buat apa mencari tahu tentang informasi orang yang sudah mati?!”Tami mengerjap kaget. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Widya akan berteriak bahkan untuk masalah seperti ini. Jika dilihat-lihat, memang ada yang aneh dari sikap wanita itu semenjak dirinya menyebutkan tentang kasus kecelakaan ayahnya, padahal sebelumnya masih meributkan soal uang. Tami bertanya, “Mama kenapa, sih? Kenapa malah berteriak begitu?”Widya mengg
“Itu yang kamu mau, Nak?” tanya Christian pada putrinya.“Iya, Pi.” Tami membulatkan tekadnya untuk mengungkapkan kematian sang ayah. Dia ingin mengetahui fakta di balik tragedi naas itu.Christian terdiam sesaat, kemudian dia akhirnya memutuskan, “Iya, baiklah. Kalau memang itu yang kamu mau, Nak.”Christian merealisasikan niatnya untuk mencari tahu kebenaran di balik kecelakaan ayah Tami. Kejadian itu sudah berlalu sejak enam tahun dan tentunya itu bukan hal yang mudah untuk bisa mengungkap kasus dalam waktu singkat.Namun, bukan Christian kalau tidak bisa mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang putri tercinta. Lelaki itu memanggil orang suruhannya untuk mengulik kasus itu, tidak peduli dengan cara dan bagaimana semuanya terungkap.“Papi akan kasih kamu kabar secepat yang Papi bisa,” kata Christian pada Tami.“Aku enggak mau bikin Papi merasa terburu-buru, jadi gunakan waktu yang Papi punya dengan perlahan.” Tami hanya tidak mau terlalu membebani lelaki itu. Dia sudah cukup membuat
Tami sudah berulang kali memijit pelipisnya. Meski bibirnya terkatup rapat, tapi dalam hati dia menggerutu sepuasnya. Bagaimana tidak kesal, kalau sejak matanya terbuka kedua pria gagah di depannya ini berebut untuk memberikan perhatian padanya.Sekali lagi dia menghela napas. Dia sungguh lapar tapi lihatlah suami dan ayah kandungnya malah rebutan piring untuk bisa menyuapi Tami. Dengan wajah malas, akhirnya dia tak tahan mengeluarkan keluhan. “Kalian enggak cape? Aku lihatnya aja cape.”Kedua pria itu menoleh, hening sesaat sebelum akhirnya piring itu berhasil direbut oleh Christian yang memanfaatkan situasi dan Satria mendengkus kesal.“Makan sama Papi ya, Nak. Biar Papi suapi.” Lagi-lagi Satria kalah cepat untuk duduk di samping Tami. Dengan langkah gontai dan sesekali melirik kepada Tami, Satria beranjak menuju sofa di sudut ruang dan memasang wajah cemberut. Melihat itu Tami hanya menggelengkan kepala karena geli melihat suaminya tantrum.“Makan yang banyak biar cepat sembuh. K
Belakangan ini Tami sering merasakan tubuhnya mudah lelah. Hari-hari bahkan terasa berat dan lama untuk dijalani, padahal tumpukan pekerjaan tidak pernah usai. Biasanya saat dia tenggelam dalam pekerjaan, waktu akan cepat berakhir bahkan terkadang dia lupa mengisi perutnya dan di penghujung hari masih akan ada banyak senyuman yang tersisa di wajah cantiknya.Namun, kini sebaliknya. Dia kehilangan semangat dan isi kepalanya begitu riuh seolah ada angin topan berkepanjangan di dalam sana. Konsentrasinya menurun, bahkan belum jam makan siang tapi tenaganya sudah habis-habisan.Tami menunduk, menopang kepalanya dengan tangan yang menumpu di meja sambil sesekali memijat pelipis juga pangkal hidungnya. Mata berair. Kepalanya sakit sekali, perutnya terasa berputar dan rasa mual itu kini seolah menambah panjang daftar rasa tak nyaman dan disempurnakan dengan desakan isi perutnya yang tiba-tiba saja memaksa untuk keluar.Dengan sisa tenaga, dia berlari memasuki kamar mandi. Mengeluarkan semua
Pagi ini kantor dihebohkan dengan sebuah bingkisan bunga besar yang diletakkan di lobi. Dengan sebuah kartu ucapan teruntuk kepada Tami, tapi bukan nama suaminya sebagai pengirim di sana.Suara penuh cibiran kembali terdengar, bisik-bisik di beberapa titik terlihat begitu seru.“Bener ‘kan, sekarang kelihatan deh belangnya.”“Kok enggak malu ya terang-terangan begitu.”“Gimana perasaan Pak Satria ya pas lihat istrinya dikirimin bunga dari laki-laki lain.”“Paling sebentar lagi juga bakal diceraiin.”Tami tutup telinga dari segala macam cibiran negatif yang datang. Tak juga menanggapi ucapan positif yang mendukungnya. Dia hanya diam, tersenyum tipis dan berlalu begitu saja.Begitu memasuki ruangannya, dia langsung menghempaskan punggungnya ke sofa. Memijit pelan pelipisnya, sembari menghela napas lelah. Rasanya begitu kesal, bagaimana pria yang mengaku ayah kandungnya tega melakukan ini hanya untuk sebuah perhatian. “Aku harus bicara sama mama,” gumamnya. Tami beranjak menuju meja ke