Share

6. Keputusan Tamia

Tami berulang kali mengumpati Satria. Dia geram bukan main. Entah apa yang ada di pikiran atasannya itu hingga tiba-tiba ingin menikahinya. Apalagi mamanya yang juga ikut setuju tanpa menanyakan apa pun padanya.

Bahkan, setelah dia melontarkan penolakan dan semua orang sudah pulang, hatinya masih tak tenang. Saat ini, dia masih di rumah mamanya di dalam kamarnya sendiri dan mencari cara untuk menggagalkan semuanya. Terlebih kata-kata Satria saat dia melabrak pria itu di telepon malah terus terngiang di kepala.

“Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”

“Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”

“Dengan entengnya dia mengancamku,” gumam Tami sambil mencibir. Hatinya kesal bukan main.

Dia terdiam sesaat, menghempaskan tubuh ke kasur dan memandang langit-langit kamarnya. “Tapi apa yang dia bilang itu benar juga, apalagi mas Irwan enggak merasa salah sama sekali.”

Tami benar-benar tak tenang, dia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Terdiam sesaat kemudian sedikit membungkuk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mengucap lirih, “Tapi aku enggak mau nikah sama dia.”

Setelahnya hanya suara embusan napas yang terdengar beberapa kali, Tami gamang.

Ketukan pintu yang sedikit kencang membuyarkan konsentrasinya. Tami bangkit dan berjalan membukakan pintu. Terlihat Sissy yang memberengut dengan tangan bersedekap.

“Puas kakak udah merebut kebahagiaan aku?!” sembur Sissy. “Aku enggak mau tahu, pernikahan itu enggak boleh terjadi, kecuali aku yang jadi pengantin perempuannya.”

Melihat kakaknya yang diam saja, Sissy semakin kesal. “Belum puas kakak, ambil Papa dari aku?! Sekarang kakak juga mau ambil laki-laki yang aku suka.”

Telunjuk Sissy ditepis pelan oleh Tami, dia memejamkan mata sejenak dan menghela napas berusaha untuk tidak terpancing emosi. Dia jengah.

“Kamu bisa ngomong langsung ke mama, karena aku juga enggak menginginkan pernikahan ini,” jawabnya malas dan Tami langsung menutup pintunya pelan.

Suara omelan Sissy terdengar di luar kamarnya, tapi Tami tak mau peduli. Kepalanya sudah sakit sekali. Berhasil kabur dari Irwan malah terjebak sama Satria.

Baru saja dia ingin merebahkan diri lagi, tapi suara ketukan keras terdengar disertai dengan teriakan mamanya. “Buka pintunya Tami, kamu ini benar-benar ya anak enggak tahu di untung.”

“Apa-apaan kamu, malah menolak terang-terangan di depan kedua orang tua Satria. Malu mamah, mau di taruh mana muka mama?!” bentak Mama dengan langkah lebar memasuki kamar Tami.

Tami yang tersingkir begitu saja ke pinggir pintu hanya diam dan memijit pangkal hidungnya.

Mama menoleh dan terus menghardik Tami, “Mama enggak mau tahu, sekarang kamu telepon Satria dan bilang kalau tadi kamu enggak bermaksud begitu dan mau menikah sama dia. Cepat!”

Tami menggeleng. Berusaha menjelaskan, “Aku enggak mau nikah sama dia, Mah. Usia kami bahkan beda tiga belas tahun. Dan aku enggak cinta sama Satria.”

Mama berdecak kesal. “Cinta bisa tumbuh kapan saja dan perkara umur itu masih wajar. Apa kamu lupa apa yang sudah dia lakukan untuk kamu. Setidaknya kamu tahu diri untuk bisa balas budi baiknya sama kamu ... sama keluarga kita.”

Mama menghela napas kasar. Emosinya sedikit membuat dia sesak.

Merasa lelah berteriak, mama melangkah keluar dan menoleh ke Tami yang masih di pinggir pintu. “Ini kesempatan untuk kamu jadi anak berbakti. Mama harap kamu masih tahu diri. Kita begini semua itu gara-gara kamu!”

Tami ditinggalkan begitu saja dengan wajah yang pias. Selalu itu yang diucapkan mamanya semua gara-gara dia.

Tetes air mata yang tadinya sudah mengering akhirnya mengalir kembali, dengan perlahan Tami menutup pintu dan badannya luruh ke lantai.

Ingatan tentang Satria kemudian hadir, bagaimana saat pertama kali mereka bertemu karena pria itu tak sengaja menabrak motornya. Berkenalan dan memberi kesempatan untuk bekerja, Saat Tami sudah kehilangan harapan. Memberinya berbagai fasilitas penunjang pekerjaan, salah satunya apartemen. Gaji yang layak dan bonus yang tak terhitung.

Lalu cara laki-lagi tinggi nan tampan itu memperlakukannya dengan baik. Selalu menghargai dan memberikan banyak pengertian saat dirinya melakukan kesalahan. Selama tiga tahun bekerja dengan Satria, tak sedikit pun dia merasa sakit hati.

Satria selalu ramah dan baik hati, memberikan senyuman penuh ketenangan saat Tami panik juga mengajarkan banyak hal. Terlebih beberapa waktu lalu hidupnya diselamatkan pria itu dan tak terhitung lagi banyak kejadian terpuruk lainnya yang selalu terselamatkan karena kebaikannya.

Tami mulai goyah, ucapan ibunya terus menghantam keyakinannya.

“Apa yang harus aku lakukan?!” gumam Tami lirih.

Dia menghapus air matanya, mengerjap sesaat dan bangkit berdiri mengambil ponselnya lalu menempelkan ke telinga ketika tulisan memanggil sudah terlihat di layar.

Tanpa perlu basa basi dan sapaan seperti biasa, Tami mengajukan permintaannya. “Temui saya di apartemen nanti malam, kita harus bicara.”

“Oke.”

Panggilan terputus begitu saja.

Dalam benaknya, kali ini Tami berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dia akan menerima pernikahan ini, karena bisa jadi salah satu jalan keluar dari beban keluarga yang selama ini ditanggungnya dan juga karena dirinya memang harus membalas budi.

“Iya, ini semua demi membalas budi. Toh selama ini dia baik hati. Kuharap pernikahanku setidaknya masih bisa dijalani dengan normal.

“Demi membalas budi ... ya, balas budi."

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Pena Ilusi
Ayo, semangat up ya kak, ditunggu ......
goodnovel comment avatar
Pena Ilusi
Tami, jalanmu sangat berliku.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status