Share

6. Keputusan Tamia

Penulis: Keke Chris
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-25 14:20:38

Tami berulang kali mengumpati Satria. Dia geram bukan main. Entah apa yang ada di pikiran atasannya itu hingga tiba-tiba ingin menikahinya. Apalagi mamanya yang juga ikut setuju tanpa menanyakan apa pun padanya.

Bahkan, setelah dia melontarkan penolakan dan semua orang sudah pulang, hatinya masih tak tenang. Saat ini, dia masih di rumah mamanya di dalam kamarnya sendiri dan mencari cara untuk menggagalkan semuanya. Terlebih kata-kata Satria saat dia melabrak pria itu di telepon malah terus terngiang di kepala.

“Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”

“Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”

“Dengan entengnya dia mengancamku,” gumam Tami sambil mencibir. Hatinya kesal bukan main.

Dia terdiam sesaat, menghempaskan tubuh ke kasur dan memandang langit-langit kamarnya. “Tapi apa yang dia bilang itu benar juga, apalagi mas Irwan enggak merasa salah sama sekali.”

Tami benar-benar tak tenang, dia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Terdiam sesaat kemudian sedikit membungkuk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mengucap lirih, “Tapi aku enggak mau nikah sama dia.”

Setelahnya hanya suara embusan napas yang terdengar beberapa kali, Tami gamang.

Ketukan pintu yang sedikit kencang membuyarkan konsentrasinya. Tami bangkit dan berjalan membukakan pintu. Terlihat Sissy yang memberengut dengan tangan bersedekap.

“Puas kakak udah merebut kebahagiaan aku?!” sembur Sissy. “Aku enggak mau tahu, pernikahan itu enggak boleh terjadi, kecuali aku yang jadi pengantin perempuannya.”

Melihat kakaknya yang diam saja, Sissy semakin kesal. “Belum puas kakak, ambil Papa dari aku?! Sekarang kakak juga mau ambil laki-laki yang aku suka.”

Telunjuk Sissy ditepis pelan oleh Tami, dia memejamkan mata sejenak dan menghela napas berusaha untuk tidak terpancing emosi. Dia jengah.

“Kamu bisa ngomong langsung ke mama, karena aku juga enggak menginginkan pernikahan ini,” jawabnya malas dan Tami langsung menutup pintunya pelan.

Suara omelan Sissy terdengar di luar kamarnya, tapi Tami tak mau peduli. Kepalanya sudah sakit sekali. Berhasil kabur dari Irwan malah terjebak sama Satria.

Baru saja dia ingin merebahkan diri lagi, tapi suara ketukan keras terdengar disertai dengan teriakan mamanya. “Buka pintunya Tami, kamu ini benar-benar ya anak enggak tahu di untung.”

“Apa-apaan kamu, malah menolak terang-terangan di depan kedua orang tua Satria. Malu mamah, mau di taruh mana muka mama?!” bentak Mama dengan langkah lebar memasuki kamar Tami.

Tami yang tersingkir begitu saja ke pinggir pintu hanya diam dan memijit pangkal hidungnya.

Mama menoleh dan terus menghardik Tami, “Mama enggak mau tahu, sekarang kamu telepon Satria dan bilang kalau tadi kamu enggak bermaksud begitu dan mau menikah sama dia. Cepat!”

Tami menggeleng. Berusaha menjelaskan, “Aku enggak mau nikah sama dia, Mah. Usia kami bahkan beda tiga belas tahun. Dan aku enggak cinta sama Satria.”

Mama berdecak kesal. “Cinta bisa tumbuh kapan saja dan perkara umur itu masih wajar. Apa kamu lupa apa yang sudah dia lakukan untuk kamu. Setidaknya kamu tahu diri untuk bisa balas budi baiknya sama kamu ... sama keluarga kita.”

Mama menghela napas kasar. Emosinya sedikit membuat dia sesak.

Merasa lelah berteriak, mama melangkah keluar dan menoleh ke Tami yang masih di pinggir pintu. “Ini kesempatan untuk kamu jadi anak berbakti. Mama harap kamu masih tahu diri. Kita begini semua itu gara-gara kamu!”

Tami ditinggalkan begitu saja dengan wajah yang pias. Selalu itu yang diucapkan mamanya semua gara-gara dia.

Tetes air mata yang tadinya sudah mengering akhirnya mengalir kembali, dengan perlahan Tami menutup pintu dan badannya luruh ke lantai.

Ingatan tentang Satria kemudian hadir, bagaimana saat pertama kali mereka bertemu karena pria itu tak sengaja menabrak motornya. Berkenalan dan memberi kesempatan untuk bekerja, Saat Tami sudah kehilangan harapan. Memberinya berbagai fasilitas penunjang pekerjaan, salah satunya apartemen. Gaji yang layak dan bonus yang tak terhitung.

Lalu cara laki-lagi tinggi nan tampan itu memperlakukannya dengan baik. Selalu menghargai dan memberikan banyak pengertian saat dirinya melakukan kesalahan. Selama tiga tahun bekerja dengan Satria, tak sedikit pun dia merasa sakit hati.

Satria selalu ramah dan baik hati, memberikan senyuman penuh ketenangan saat Tami panik juga mengajarkan banyak hal. Terlebih beberapa waktu lalu hidupnya diselamatkan pria itu dan tak terhitung lagi banyak kejadian terpuruk lainnya yang selalu terselamatkan karena kebaikannya.

Tami mulai goyah, ucapan ibunya terus menghantam keyakinannya.

“Apa yang harus aku lakukan?!” gumam Tami lirih.

Dia menghapus air matanya, mengerjap sesaat dan bangkit berdiri mengambil ponselnya lalu menempelkan ke telinga ketika tulisan memanggil sudah terlihat di layar.

Tanpa perlu basa basi dan sapaan seperti biasa, Tami mengajukan permintaannya. “Temui saya di apartemen nanti malam, kita harus bicara.”

“Oke.”

Panggilan terputus begitu saja.

Dalam benaknya, kali ini Tami berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dia akan menerima pernikahan ini, karena bisa jadi salah satu jalan keluar dari beban keluarga yang selama ini ditanggungnya dan juga karena dirinya memang harus membalas budi.

“Iya, ini semua demi membalas budi. Toh selama ini dia baik hati. Kuharap pernikahanku setidaknya masih bisa dijalani dengan normal.

“Demi membalas budi ... ya, balas budi."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Pena Ilusi
Ayo, semangat up ya kak, ditunggu ......
goodnovel comment avatar
Pena Ilusi
Tami, jalanmu sangat berliku.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menikahi Kakak Ipar   47. Widya Tertangkap

    Suara debur ombak yang memecah karang terdengar begitu menghanyutkan. Penuh ketenangan dan mematikan dalam satu saat. Sudah beberapa bulan Widya hidup tenang di pesisir pantai sana walaupun harus menekan diri dari hidup mewah, tapi tak apa. ‘Hanya beberapa tahun dan setelahnya kemewahan akan kembali padanya.’ Pikirnya.Sedari jauh hari, Widya sudah berjaga-jaga dalam menjaga hartanya. Dia sengaja menguras tenaga dan pendapatan Tami agar uangnya sendiri tak tersentuh. Meskipun suaminya tak sekaya Christian, tapi dia mendapatkan harta warisan yang tak sedikit ditambah beberapa aset yang diam-diam dia rebut dari Tami. Belum lagi hasil klaim dari asuransi, sebenarnya dia dan kedua putrinya bisa hidup dengan nyaman tanpa kekurangan.Nyatanya, dia berpura-pura mendadak miskin dan memaksa Tami untuk bekerja keras untuk menghidupi mereka tak peduli apa yang dikerjakan oleh putri sulungnya itu.Lalu kini, meski dia harus bertahan jauh dari semua orang yang terpenting adalah seluruh kekayaannya

  • Menikahi Kakak Ipar   46. Bukti terkumpul

    Keadaan Tami perlahan mulai membaik dan hari ini sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah dengan beberapa catatan dari dokter.“Ada yang mau dibeli sebelum sampe rumah, Sayang?” tanya Satria.Setelah perdebatan yang memakan waktu, Satria akhirnya berhasil membawa Tami dalam mobilnya. Dia melirik ke belakang lewat spion tengah dan terkikik saat mobil mewah warna hitam itu mengiringi. Wajah mertuanya saat ini pasti sedang cemberut dan itu membuatnya geli sekaligus puas. “Enak saja mau memonopoli istri cantikku,” batinnya.“Enggak usah deh, Mas. Aku hanya mau istirahat,” jawab Tami.Anggukan kepala diberikan Satria sebagai jawaban dan perlahan memelankan laju kendaraan karena jarak rumah mereka yang sudah tak terlalu jauh lagi.“Mau aku gendong?”Mobil mereka sudah parkir dengan sempurna di halaman rumah. Begitu juga mobil Christian, pria itu bahkan sudah turun dan menunggu di dekat pintu masuk.“Enggak usah, Mas. Aku udah sehat,” jawab Tami sambil cemberut.Satria terkekeh dan mencubit

  • Menikahi Kakak Ipar   45. Widya Kabur

    Aryo sedang menunggu perintah selanjutnya. Dia tak berani untuk melangkah lebih dulu meski sudah bisa menebak tindakan apa yang akan diambil oleh atasannya. Kembali lagi, dia bukan pria gegabah dan selalu tenang dalam kondisi apa pun.Satria ingin sekali melakukan panggilan telepon kepada Aryo. Akan tetapi, pandangan tajam yang menghunus dirinya membuat dirinya membeku. Seolah sedang terikat kencang, tubuhnya sulit digerakkan saking terpaku pada mata mertuanya.Dia berdeham.Tami meringis melihat itu. Namun tak sedikit pun keinginan untuk membantu suaminya. Mendengar Vania di kasus itu bukan sepenuhnya korban, membuat hatinya kembali perih. Pertanyaan kenapa dan kenapa terus berputar di kepalanya. Mereka bahkan tidak saling kenal. “Saya tidak akan tinggal diam jika Vania benar-benar terlibat. Mantan tunangan kamu telah merampas kebahagiaan putri saya.” Ancaman Christian memecahkan kesunyian yang tercipta.“Papi,” panggil Satria pelan. Dia menyadari kalau saat ini mertuanya itu sedang

  • Menikahi Kakak Ipar   44. Datangnya Petunjuk

    “Kalau memang sudah tidak ada yang mau dibahas lagi, saya tunggu laporannya segera dari masing-masing divisi.”Satria mengakhiri rapat mingguannya dengan cepat. Pikirannya sedang tidak fokus, alih-alih mengalihkan pada pekerjaan dia lebih memilih untuk menyelesaikan yang membuat kepalanya riuh belakangan ini.Langkahnya semakin cepat begitu dia keluar dari ruang rapat. Sejak pagi rencananya sudah matang dan itu hanya bisa dilakukan bila tumpukan dokumen di mejanya menghilang. Dan saat ini hal itu yang akan dilakukannya, dengan cepat.“Pak.”Satria gegas berbalik badan dengan wajah kesal. Dia bahkan belum sampai ke mejanya, pintu ruangannya baru tertutup tapi Aryo sudah berani menginterupsinya. Baru saja kemarahan hendak terlontar, tapi bibirnya langsung mengatup lagi begitu Aryo menyampaikan laporannya.“Saya menemukan alamat bengkel yang ada di video Bu Widya. Juga pria yang berbicara dengan Bu Widya kala itu.”Satria mengangkat ujung bibirnya dan mengangguk pelan. Wajah kesalnya aib

  • Menikahi Kakak Ipar   43. Ketakutan Widya

    “Apa katamu?” tanya Widya dengan suara tercekat.Tami mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa reaksi wanita itu menjadi sedikit berbeda, seperti sedang menahan sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu.Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Widya sedikit mendesak, “Aku tanya, tadi kamu bilang apa? Christian mencari tahu soal kecelakaan ayahmu? Buat apa?” Sebisa mungkin dirinya bersikap tenang di depan Tami, meski menahan emosi yang siap meledak.Tami yang masih bingung mengangguk pelan, kemudian dia menjawab, “Iya, Ma. Memangnya kenapa? Bukannya itu bagus?”“Buat apa mencari tahu tentang informasi orang yang sudah mati?!”Tami mengerjap kaget. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Widya akan berteriak bahkan untuk masalah seperti ini. Jika dilihat-lihat, memang ada yang aneh dari sikap wanita itu semenjak dirinya menyebutkan tentang kasus kecelakaan ayahnya, padahal sebelumnya masih meributkan soal uang. Tami bertanya, “Mama kenapa, sih? Kenapa malah berteriak begitu?”Widya mengg

  • Menikahi Kakak Ipar   42. Mengusut Kecelakaan Ayah

    “Itu yang kamu mau, Nak?” tanya Christian pada putrinya.“Iya, Pi.” Tami membulatkan tekadnya untuk mengungkapkan kematian sang ayah. Dia ingin mengetahui fakta di balik tragedi naas itu.Christian terdiam sesaat, kemudian dia akhirnya memutuskan, “Iya, baiklah. Kalau memang itu yang kamu mau, Nak.”Christian merealisasikan niatnya untuk mencari tahu kebenaran di balik kecelakaan ayah Tami. Kejadian itu sudah berlalu sejak enam tahun dan tentunya itu bukan hal yang mudah untuk bisa mengungkap kasus dalam waktu singkat.Namun, bukan Christian kalau tidak bisa mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang putri tercinta. Lelaki itu memanggil orang suruhannya untuk mengulik kasus itu, tidak peduli dengan cara dan bagaimana semuanya terungkap.“Papi akan kasih kamu kabar secepat yang Papi bisa,” kata Christian pada Tami.“Aku enggak mau bikin Papi merasa terburu-buru, jadi gunakan waktu yang Papi punya dengan perlahan.” Tami hanya tidak mau terlalu membebani lelaki itu. Dia sudah cukup membuat

  • Menikahi Kakak Ipar   41. Dirawat Papi

    Tami sudah berulang kali memijit pelipisnya. Meski bibirnya terkatup rapat, tapi dalam hati dia menggerutu sepuasnya. Bagaimana tidak kesal, kalau sejak matanya terbuka kedua pria gagah di depannya ini berebut untuk memberikan perhatian padanya.Sekali lagi dia menghela napas. Dia sungguh lapar tapi lihatlah suami dan ayah kandungnya malah rebutan piring untuk bisa menyuapi Tami. Dengan wajah malas, akhirnya dia tak tahan mengeluarkan keluhan. “Kalian enggak cape? Aku lihatnya aja cape.”Kedua pria itu menoleh, hening sesaat sebelum akhirnya piring itu berhasil direbut oleh Christian yang memanfaatkan situasi dan Satria mendengkus kesal.“Makan sama Papi ya, Nak. Biar Papi suapi.” Lagi-lagi Satria kalah cepat untuk duduk di samping Tami. Dengan langkah gontai dan sesekali melirik kepada Tami, Satria beranjak menuju sofa di sudut ruang dan memasang wajah cemberut. Melihat itu Tami hanya menggelengkan kepala karena geli melihat suaminya tantrum.“Makan yang banyak biar cepat sembuh. K

  • Menikahi Kakak Ipar   40. Panggil Papi, Nak.

    Belakangan ini Tami sering merasakan tubuhnya mudah lelah. Hari-hari bahkan terasa berat dan lama untuk dijalani, padahal tumpukan pekerjaan tidak pernah usai. Biasanya saat dia tenggelam dalam pekerjaan, waktu akan cepat berakhir bahkan terkadang dia lupa mengisi perutnya dan di penghujung hari masih akan ada banyak senyuman yang tersisa di wajah cantiknya.Namun, kini sebaliknya. Dia kehilangan semangat dan isi kepalanya begitu riuh seolah ada angin topan berkepanjangan di dalam sana. Konsentrasinya menurun, bahkan belum jam makan siang tapi tenaganya sudah habis-habisan.Tami menunduk, menopang kepalanya dengan tangan yang menumpu di meja sambil sesekali memijat pelipis juga pangkal hidungnya. Mata berair. Kepalanya sakit sekali, perutnya terasa berputar dan rasa mual itu kini seolah menambah panjang daftar rasa tak nyaman dan disempurnakan dengan desakan isi perutnya yang tiba-tiba saja memaksa untuk keluar.Dengan sisa tenaga, dia berlari memasuki kamar mandi. Mengeluarkan semua

  • Menikahi Kakak Ipar   39. Salting

    Pagi ini kantor dihebohkan dengan sebuah bingkisan bunga besar yang diletakkan di lobi. Dengan sebuah kartu ucapan teruntuk kepada Tami, tapi bukan nama suaminya sebagai pengirim di sana.Suara penuh cibiran kembali terdengar, bisik-bisik di beberapa titik terlihat begitu seru.“Bener ‘kan, sekarang kelihatan deh belangnya.”“Kok enggak malu ya terang-terangan begitu.”“Gimana perasaan Pak Satria ya pas lihat istrinya dikirimin bunga dari laki-laki lain.”“Paling sebentar lagi juga bakal diceraiin.”Tami tutup telinga dari segala macam cibiran negatif yang datang. Tak juga menanggapi ucapan positif yang mendukungnya. Dia hanya diam, tersenyum tipis dan berlalu begitu saja.Begitu memasuki ruangannya, dia langsung menghempaskan punggungnya ke sofa. Memijit pelan pelipisnya, sembari menghela napas lelah. Rasanya begitu kesal, bagaimana pria yang mengaku ayah kandungnya tega melakukan ini hanya untuk sebuah perhatian. “Aku harus bicara sama mama,” gumamnya. Tami beranjak menuju meja ke

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status