Tami berulang kali mengumpati Satria. Dia geram bukan main. Entah apa yang ada di pikiran atasannya itu hingga tiba-tiba ingin menikahinya. Apalagi mamanya yang juga ikut setuju tanpa menanyakan apa pun padanya.
Bahkan, setelah dia melontarkan penolakan dan semua orang sudah pulang, hatinya masih tak tenang. Saat ini, dia masih di rumah mamanya di dalam kamarnya sendiri dan mencari cara untuk menggagalkan semuanya. Terlebih kata-kata Satria saat dia melabrak pria itu di telepon malah terus terngiang di kepala.
“Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”
“Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”
“Dengan entengnya dia mengancamku,” gumam Tami sambil mencibir. Hatinya kesal bukan main.
Dia terdiam sesaat, menghempaskan tubuh ke kasur dan memandang langit-langit kamarnya. “Tapi apa yang dia bilang itu benar juga, apalagi mas Irwan enggak merasa salah sama sekali.”
Tami benar-benar tak tenang, dia bangun dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Terdiam sesaat kemudian sedikit membungkuk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mengucap lirih, “Tapi aku enggak mau nikah sama dia.”
Setelahnya hanya suara embusan napas yang terdengar beberapa kali, Tami gamang.
Ketukan pintu yang sedikit kencang membuyarkan konsentrasinya. Tami bangkit dan berjalan membukakan pintu. Terlihat Sissy yang memberengut dengan tangan bersedekap.
“Puas kakak udah merebut kebahagiaan aku?!” sembur Sissy. “Aku enggak mau tahu, pernikahan itu enggak boleh terjadi, kecuali aku yang jadi pengantin perempuannya.”
Melihat kakaknya yang diam saja, Sissy semakin kesal. “Belum puas kakak, ambil Papa dari aku?! Sekarang kakak juga mau ambil laki-laki yang aku suka.”
Telunjuk Sissy ditepis pelan oleh Tami, dia memejamkan mata sejenak dan menghela napas berusaha untuk tidak terpancing emosi. Dia jengah.
“Kamu bisa ngomong langsung ke mama, karena aku juga enggak menginginkan pernikahan ini,” jawabnya malas dan Tami langsung menutup pintunya pelan.
Suara omelan Sissy terdengar di luar kamarnya, tapi Tami tak mau peduli. Kepalanya sudah sakit sekali. Berhasil kabur dari Irwan malah terjebak sama Satria.
Baru saja dia ingin merebahkan diri lagi, tapi suara ketukan keras terdengar disertai dengan teriakan mamanya. “Buka pintunya Tami, kamu ini benar-benar ya anak enggak tahu di untung.”
“Apa-apaan kamu, malah menolak terang-terangan di depan kedua orang tua Satria. Malu mamah, mau di taruh mana muka mama?!” bentak Mama dengan langkah lebar memasuki kamar Tami.
Tami yang tersingkir begitu saja ke pinggir pintu hanya diam dan memijit pangkal hidungnya.
Mama menoleh dan terus menghardik Tami, “Mama enggak mau tahu, sekarang kamu telepon Satria dan bilang kalau tadi kamu enggak bermaksud begitu dan mau menikah sama dia. Cepat!”
Tami menggeleng. Berusaha menjelaskan, “Aku enggak mau nikah sama dia, Mah. Usia kami bahkan beda tiga belas tahun. Dan aku enggak cinta sama Satria.”
Mama berdecak kesal. “Cinta bisa tumbuh kapan saja dan perkara umur itu masih wajar. Apa kamu lupa apa yang sudah dia lakukan untuk kamu. Setidaknya kamu tahu diri untuk bisa balas budi baiknya sama kamu ... sama keluarga kita.”
Mama menghela napas kasar. Emosinya sedikit membuat dia sesak.
Merasa lelah berteriak, mama melangkah keluar dan menoleh ke Tami yang masih di pinggir pintu. “Ini kesempatan untuk kamu jadi anak berbakti. Mama harap kamu masih tahu diri. Kita begini semua itu gara-gara kamu!”
Tami ditinggalkan begitu saja dengan wajah yang pias. Selalu itu yang diucapkan mamanya semua gara-gara dia.
Tetes air mata yang tadinya sudah mengering akhirnya mengalir kembali, dengan perlahan Tami menutup pintu dan badannya luruh ke lantai.
Ingatan tentang Satria kemudian hadir, bagaimana saat pertama kali mereka bertemu karena pria itu tak sengaja menabrak motornya. Berkenalan dan memberi kesempatan untuk bekerja, Saat Tami sudah kehilangan harapan. Memberinya berbagai fasilitas penunjang pekerjaan, salah satunya apartemen. Gaji yang layak dan bonus yang tak terhitung.
Lalu cara laki-lagi tinggi nan tampan itu memperlakukannya dengan baik. Selalu menghargai dan memberikan banyak pengertian saat dirinya melakukan kesalahan. Selama tiga tahun bekerja dengan Satria, tak sedikit pun dia merasa sakit hati.
Satria selalu ramah dan baik hati, memberikan senyuman penuh ketenangan saat Tami panik juga mengajarkan banyak hal. Terlebih beberapa waktu lalu hidupnya diselamatkan pria itu dan tak terhitung lagi banyak kejadian terpuruk lainnya yang selalu terselamatkan karena kebaikannya.
Tami mulai goyah, ucapan ibunya terus menghantam keyakinannya.
“Apa yang harus aku lakukan?!” gumam Tami lirih.
Dia menghapus air matanya, mengerjap sesaat dan bangkit berdiri mengambil ponselnya lalu menempelkan ke telinga ketika tulisan memanggil sudah terlihat di layar.
Tanpa perlu basa basi dan sapaan seperti biasa, Tami mengajukan permintaannya. “Temui saya di apartemen nanti malam, kita harus bicara.”
“Oke.”
Panggilan terputus begitu saja.
Dalam benaknya, kali ini Tami berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Dia akan menerima pernikahan ini, karena bisa jadi salah satu jalan keluar dari beban keluarga yang selama ini ditanggungnya dan juga karena dirinya memang harus membalas budi.
“Iya, ini semua demi membalas budi. Toh selama ini dia baik hati. Kuharap pernikahanku setidaknya masih bisa dijalani dengan normal.
“Demi membalas budi ... ya, balas budi."
Tami duduk manis di salah satu kafe yang berada dekat dengan apartemennya. Rencana untuk bertemu di unitnya langsung dia batalkan saat bayangan malam buruk bersama Irwan tiba-tiba berkelebat di benaknya, membuat sekujur tubuhnya merinding dan gemetar ketakutan.Dia meminum perlahan jus alpukat yang sudah berkurang setengah, tapi Satria belum juga tampak batang hidungnya. Tami memejamkan mata dramatis berusaha menekan emosi yang mulai menyeruak di dirinya. Gadis itu tak ingin ada di sini, tapi hal ini harus dilakukan sebelum semua semakin mempercepat penyesalan.Kursi di depannya bergeser, senyum tipis terlihat dari wajah tanpa raut rasa bersalah. “Ada urusan yang harus saya lakukan terlebih dahulu tadi.”“Saya juga belum lama,” cicit Tami mengalah.Mata Satria melirik ke arah gelas Tami yang sudah hampir habis isinya, dia tersenyum miring sebelum memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. “Sudah menyerah dan siap menikah dengan saya?” Suara Satria terdengar dengan pertanyaan merem
Pernikahan yang katanya hanya diadakan secara sederhana dan mengundang keluarga terdekat saja karena persiapan dengan waktu yang singkat. Nyatanya, sejak tadi tamu tak berhenti berdatangan dan lihatlah dekorasinya. Penuh dengan lampu kristal, ruangan yang di dominasi warna putih dan emas, bunga-bunga indah juga pernak pernik lain yang sudah pasti tak murah adanya.Tami sudah berulang kali meringis, kakinya mulai lecet dan betisnya pegal karena terlalu lama berdiri menyapa tamu. Dia tahu kalau berharap perhatian dari suaminya adalah mustahil karena Satria tidak mencintainya. Benar saja, pria itu hanya meliriknya sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah tamu.“Kenapa senyummu jelek sekali hari ini. Biasanya kamu selalu ramah dan ceria.” Tegur Satria.“Tentu saja karena aku terpaksa ada di sini,” ucap Tami yang hanya berani diucapkan dalam hati. Dia mendengkus kecil dan melebarkan bibirnya dengan sangat terpaksa.“Ck ... ya, lumayan lah. Bertahanlah sampai acara ini selesai.
Tami mendorong kuat dada Satria dan mengatur napasnya ketika sudah terlepas. Dia masih tersengal dengan dada yang naik turun dan wajah memerah. Matanya terus melirik tajam ke arah Satria yang kini sudah berbaring di sebelahnya. Meski dia begitu menikmati kelembutan yang disuguhkan, tapi harga dirinya menolak untuk mengakui.“Apaan, sih, Pak,” omelnya.Satria tak menggubris, dia malah tersenyum miring lalu berbalik memunggungi Tami.“Dasar Om-om genit. Habis cium-cium malah sok jual mahal,” gerutu Tami dalam hati.Rasanya masih ingin meneruskan marah, tapi ucapan Satria kian menohoknya. “Tenang saja, saya enggak berminat sama tubuh kamu. Tadi hanya mencicip suguhan yang telah saya bayar mahal. Ternyata rasanya sungguh mengecewakan.”Tenggorokan Tami tercekat mendengarnya. Dirinya hanya dianggap sebagai “suguhan” dan mengecewakan. Hatinya bagai diremas kuat saat ini. Padahal dia sudah terbiasa direndahkan mama dan adiknya. Tapi ini sakit sekali. Air matanya sudah berkumpul di pelupuk m
Tepat pukul sepuluh pagi, pesawat sewaan mereka lepas landas. Iya, Papa Felix sengaja tidak membeli tiket pesawat komersial melainkan menyewa sebuah pesawat jet milik salah seorang sahabatnya. Dia tak ingin anak dan menantunya kelelahan di perjalanan dan malah tak ada tenaga lagi begitu sampai di sana.“Sebenarnya kita mau ke mana, sih, Pak? Eh, Mas.” Ralatnya cepat saat melihat lirikan tajam Satria padanya.“Saya juga enggak tahu!”Suara decakan terdengar, membuat Satria menoleh. “Udah sana, kamu duduk yang jauh, jangan ganggu aku!”“Jangan-jangan aku mau di buang ke pulau terpencil,” bisik Tami pada diri sendiri sambil berjalan pelan ke kursi belakang. Dan membayangkan itu dia jadi bergidik.Satria memutar matanya malas. “Dari pada saya mengeluarkan tenaga untuk membuangmu di pulau, lebih baik makananmu di taburi racun. Akan lebih hemat waktu,” cibiran ketus itu terdengar jelas.Mata Tami melotot dan gegas berjalan lebih cepat menghindari suaminya.Perjalanan yang awalnya dikira Tam
Mata Tami memejam erat, dia menahan perih di bagian tubuh bagian bawahnya. Namun, hal itu tak sesakit hatinya. Air matanya menetes perlahan, tapi hal itu tak membuat Satria menghentikan apa yang sedang dinikmatinya sekarang.“Vania ... aku mencintaimu, Sayang. Oh, Vania. Terima kasih sudah menjaganya untukku.” Suara mengeram tertahan Satria terdengar begitu jelas. Karena pria itu menyandarkan kepalanya di bahu Tami yang hanya bisa diam pasrah dalam kungkungannya.Hati Tami membuncah, dia kira Satria mulai bisa membuka hati dan akan belajar menerima dirinya dengan sungguh-sungguh sebagai istri. Tapi, senyumannya seolah melesap langsung ke perut bumi kala mendengar nama wanita lain yang di teriakkan suaminya saat pria itu mendapatkan kepuasan.“Hukuman kamu, benar-benar menghukumku, Mas,” batin Tami menangis. Dia memiringkan badannya saat Satria sudah berguling ke samping. Mereka masih di pinggir pantai, dengan beralaskan daun pisang. “Diri ini benar-benar sudah tak ada lagi harga dir
“Sayangnya mama,” suara penuh kebahagiaan terdengar dan pelukan hangat di terima Tami. Wajahnya juga tak luput dari banyaknya kecupan dari mama mertuanya.Satria entah ke mana. Begitu sampai mereka berpisah di depan bandara dan Tami langsung diantar ke rumah utama.“Maaf ya, Sayang. Kalian jadi terpaksa pulang lebih cepat dan hanya dua malam di sana. Pasti kamu sedih ya. Biasanya kalau sudah ke sana, semua pada betah dan enggak mau pulang.” Mama Emilia terlihat menyesal dan sedikit bersalah pada menantunya ini.“Aku malah bahagia bisa keluar dari pulau itu, Mah,” ucap Tami dalam hati. Yang tampak malah senyum manis menenangkan dan ucapan penuh pengertian,” Enggak kok, Mah. Kami bisa ke sana lagi kapan-kapan dan Mamah benar, di sana begitu indah.”“Iya, kamu benar. Nanti kita bisa ke sana saat liburan dan kamu bisa melanjutkan bulan madu ke negara lain.” Mama Emilia masih terus berusaha menghibur Tami.Wajah Tami malah tercipta senyum pias setiap kali mendengar kata bulan madu.“Ya uda
Ketukan pintu kembali terdengar. Dalam pikirannya dia mencoba menebak siapa yang datang. Ternyata kepala bagian keamanan di perusahaannya.“Maaf, Pak. Bapak memanggil saya?” tanyanya sopan.“Masuk, Pak. Saya mau lihat rekaman cctv kemarin. Sekaligus ada beberapa hal yang harus saya tanyakan,” ujar Satria. Dewo pria paruh baya yang sudah lama mengabdi sebagai keamanan di perusahaan itu pun beringsut mendekat dan meletakkan laptopnya di atas meja.Ruangan Satria telah rapi beberapa menit lalu dan kini dia kan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Apa ada kejadian janggal beberapa hari ini? Dan apa saja yang dilakukan adik saya kemarin?” Meski masih muda, tapi suara tenang penuh wibawa itu selalu membuat sungkan para bawahannya tak terkecuali Dewo. “Bapak bisa lihat sendiri,” ucap Dewo sembari menggeser laptopnya ke arah Satria.Dahi Satria berkerut. Dia benar-benar tak menyangka adik kandungnya bisa melakukan itu semua. Terlebih membawa orang luar yang notabene adalah saingan pe
Baru saja Satria ingin membuka pintu kamarnya, tapi pintu tersebut sudah terbuka lebih dulu dengan wajah Tami yang segar sehabis mandi. Lengannya lantas menyentuh bahu Tami, bermaksud membawanya masuk kembali ke kamar.“Mas, aku mau minum. Haus banget. Kamu masuk dulu aja, mandi. Bajunya sudah aku siapkan, nanti aku kembali lagi.” Cegah Tami seraya menahan tubuhnya agar tak di tarik masuk ke dalam kamar.“Sebentar aja. Em ... ada yang mau aku bicarakan.” Rayu Satria.“Aku haus sekali, Mas.” Tami bersikeras.Bukan Satria namanya jika tidak keras kepala. Dia merangkul Tami dan merapatkan ke tubuhnya sambil memaksa untuk melangkah ke dalam. Menutup pintu dengan kaki dan menghimpit istrinya ke dinding.Matanya menikmati setiap inci wajah cantik istrinya, mengelus pipi Tami pelan. “Kenapa kamu malah terus memenuhi kepala aku?!” tanya Satria dalam hati.Wajahnya mendekat, hidung mereka sudah bersentuhan. Tami memejamkan mata, membuat senyum miring tercipta di bibir Satria.“Satria! Turun ka