Mag-log inLampu kamar sudah padam, menyisakan setitik cahaya kuning dari lampu tidur di sisi ranjang.
Aku duduk di sofa, masih dengan pakaian yang sama sejak pagi tadi. Rasanya tubuhku terlalu berat bahkan untuk sekadar berdiri dan mengganti baju.Tanganku terasa dingin, tapi pergelangan kiriku berdenyut panas.
Di bawah cahaya redup, bekas cengkeraman Hans tampak semakin jelas—ungu kebiruan, kontras dengan kulitku.Aku menyentuhnya pelan. Nyeri itu langsung menjalar.“Kau akan terus duduk di sana sampai pagi?”
Suara Tama memecaLampu kamar sudah padam, menyisakan setitik cahaya kuning dari lampu tidur di sisi ranjang.Aku duduk di sofa, masih dengan pakaian yang sama sejak pagi tadi. Rasanya tubuhku terlalu berat bahkan untuk sekadar berdiri dan mengganti baju.Tanganku terasa dingin, tapi pergelangan kiriku berdenyut panas.Di bawah cahaya redup, bekas cengkeraman Hans tampak semakin jelas—ungu kebiruan, kontras dengan kulitku.Aku menyentuhnya pelan. Nyeri itu langsung menjalar.“Kau akan terus duduk di sana sampai pagi?”Suara Tama memeca
Aku bisa merasakan permukaan pintu mobil yang keras menekan punggungku saat Hans mempersempit jarak, memutus semua celah bagiku untuk menghindar. Tangannya bergerak perlahan, mantap, menarik ujung map."Aku… aku tidak bisa memberikannya," jawabku, mencoba terdengar tenang meski napasku tercekat. Tanganku mengepal, jantungku berdetak cepat.Hans tersenyum tipis. Senyum dingin yang tak menyentuh matanya. Ia menarik map lebih kuat, tubuhku tersentak ke depan. Napasku tertahan, punggungku menghantam pintu mobil. Detik itu, aku benar-benar merasa terjebak.Aku menatap mata Hans, mencoba membaca maksudnya. "Anda… Anda tidak akan berhasil begitu saja," ucapku, berusaha untuk tak terlihat gemetar.Hans mencondongkan tubuh, hampir menyentuh wajahku
“Hari ini belum selesai, Anya. Kita akan melanjutkan skenarionya,” ucap Tama.“Aku akan pulang lebih dulu. Aku harus terlihat kelelahan, seolah rapat tadi telah menguras seluruh sisa energiku. Dan kau… kau tetap di sini.”Instruksinya membuatku membeku.“Kenapa aku harus tetap di sini?”“Karena kau adalah umpannya,” jawabnya tanpa ragu.Tama mencengkeram bahuku, memastikan aku menyimak setiap kata. “Kau harus tetap di ruang kerja ini. Pak Hans akan datang membawa semua berkas administrasi dan legalitas perbanka
Mobil hitam yang kami tumpangi berhenti tepat di depan lobi megah Adikara Group. Aku meremas ujung rok hitamku, merasakan jemariku perlahan mendingin.Di sampingku, Tama duduk tegak dengan wajah yang tak terbaca. Tatapannya lurus ke depan—tajam, dingin. Sama sekali tak menunjukkan celah.Tama meraih tanganku, lalu menggenggamnya.Ia menarikku sedikit lebih dekat.“Anya, dengarkan aku baik-baik,” bisiknya. Suaranya rendah dan berat, bergetar tepat di samping telingaku.“Hari ini, aku akan mempercayakan segalanya padamu. Aku hanya akan memancing dan
Suasana kamar terasa pengap.Entah sudah kali keberapa pipiku terasa panas pagi ini.Aku mengalihkan pandangan.Kalimatnya tentang “pernah menciumku” masih menggantung di udara, mengusik setiap gerak-gerik yang kulakukan.“Berhenti membahas itu,” potongku cepat sambil berjalan menuju lemari besar di sudut ruangan.“Kau seharusnya memikirkan pertemuan nanti, bukan malah sibuk menggodaku.”“Aku tidak menggodamu, Anya. Sudah kukatakan, ini hanya latihan,” jawabnya tenang.Suara gesekan kain terdengar—ia baru saja turun dari ranjang. Langkah kakinya masih sedikit kaku, namun tetap tegas saat mendekat.“Atau…” lanjutnya pelan, “…kau merasa tergoda?”“Diam, Tama. Berhenti main-main.” Jantungku berdetak tak karuan.Aku berbalik menuju lemari, mengambil terusan hitam yang sudah kusiapkan semalam, lalu berjalan cepat dan menutup pintu kamar mandi.Setelah selesai, aku menatap diriku di cermin.Napasku masih cepat, pipiku masih terasa panas.Tama mengetuk pintu. “Anya, bantu aku,” katanya pe
Pagi datang lebih cepat dari yang kubayangkan.Aku bangun perlahan—atau lebih tepatnya, tersadar. Ada sesuatu yang menghangatkan pinggangku. Sesuatu yang berat, namun terasa nyaman.Terlalu dekat untuk kusebut kebetulan.Saat mataku terbuka, kulihat Tama. Dia menatapku, entah sejak kapan.Aku menelan ludah.Hembusan napasnya terasa hangat, dan pelukan ini, terasa nyaman… terlalu nyaman.“Tama?” suaraku gemetar.“Ssstt.. tetaplah seperti ini, sebentar lagi.” Tama menutup matanya, mengabaikan pertanyaanku.Aku menatanya sejenak, kemudian sedikit menggerakkan tubuh. Tama tetap diam, matanya masih tertutup, tapi genggamannya semakin terasa kencang.“Bukankah kita harus bersiap untuk pertemuan?” “Kita masih punya waktu, Anya. Lagipula mereka takkan memulainya sebelum aku datang.”“Tapi–”Tama membuka matanya.“Anggap saja kita sedang latihan. Kita harus memiliki chemistry yang bagus dihadapan mereka. Kau harus terbiasa.”“Latihan?”“Iya. Latihan untuk bersikap seperti suami istri. Kau







