Share

Chapter 3. Apakah 100 Juta Cukup?

Makan malam telah usai. Ziel telah memperkenalkan calon istrinya kepada Mira dan Johan selaku tante dan omnya. Pria tampan itu tengah berbincang bersama Johan di ruang keluarga. 

 

Sementara itu, Shafiqa dan Mira masih di meja makan. Shafira sengaja diminta Ziel untuk menemani tantenya itu agar mereka saling mengenal satu dengan yang lain. Sebenarnya, Shafiqa tidak ingin. Terlebih lagi, Tante dari Ziel ini sejak awal terlihat sekali tidak menyukainya.

Melihat piring-piring kotor, Shafiqa merasa lebih baik dirinya membantu pelayan di rumah Mira.

"Duduklah dekat denganku! Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu," perintah Mira yang justru semakin kesal karena melihat Shafira sibuk bersih-bersih.

 

"Nona … pergilah ke sana! Jangan sampai dia tidak menyukaimu. Nyonya Mira itu sangat galak," bisik Tina—pelayan di rumah Mira.

 

Shafiqa mengernyitkan dahinya dan berlalu meninggalkan dapur menuju tempat di mana Mira duduk menunggunya.

 

"Maaf Nyonya … tadi saya bantu Tina sebentar," beritahu Shafiqa sebelum dia menghempaskan berat tubuhnya di sofa santai di sebelah Mira.

 

Wanita berusia 45 tahunan itu mencebikkan bibirnya, "Sepertinya, kamu memang lebih cocok bekerja di dapur ketimbang jadi istri keponakanku."

 

Dahi  Shafiqa mengerut, disertai netranya yang menyipit. Ada ketidaknyamanan ketika gadis itu mendengar perkataan Tina.

 

"Oh, ya, di mana kalian bertemu? Kamu juga tidak sedang memberinya jampi-jampi biar dia tergoda olehmu, bukan?"

 

Mira mengatakan hal tersebut dengan wajah tanpa dosa. Berbeda dengan Shafiqa, gadis itu semakin tak mengerti ke mana arah pembicaraan Tante Ziel ini

 

"Maksud Nyonya, apa, ya? Apakah wajah saya tidak cukup cantik untuk membuat Nak Ziel tertarik dengan saya?" Akhirnya, sindiran itu meluncur dari bibir  Shafiqa.

 

Gadis itu memang berbicara dengan datar tetapi penuh penekanan. Kini raut Mira sedikit berubah mendengar perlawanan dari  Shafiqa.

 

'Dasar gadis sialan! Belum apa-apa, dia sudah berani membantah perkataanku. Kita lihat saja nanti! Aku atau kamu yang akan dilempar keluar dari sini nantinya? Sok-sokan segala!' batin Mira meradang.

 

Fiqa terlihat duduk di sebelah Mira dengan mengukir senyum manis. Tak lupa dia juga menikmati salad yang disuguhkan untuknya. 

 

"Asal kamu tahu saja, Shafiqa. Ziel itu memiliki banyak koleksi cewek. Mereka semua cantik-cantik dan kaya. Jadi, untuk apa dia menikah? Yang ada, kamu cuma morotin dia dan menguasai hartanya!” Mira sengaja berkata demikian untuk membuat Shafiqa putus dari keponakannya.

 

Shafiqa tersenyum menanggapi semua cerita Mira. Gadis itu sama sekali tidak kaget dengan apa yang diceritakan Mira kepadanya. 

 

"Kau terlihat begitu tenang. Apa kamu memiliki guru spiritual untuk menaklukkan keponakanku?" cecar Mira menyudutkan Shafiqa.

 

"Maaf, Nyonya. Kurasa tuduhan itu terlalu berlebihan terhadap saya. Untuk apa pula saya harus membuang uang saya untuk hal yang tidak jelas seperti itu? Sudah sewajarnya jika pria macam Ziel memiliki banyak pacar atau penggemar. Bahkan, akan terasa janggal jika dia sama sekali tidak memiliki fans," sahut  Shafiqa dengan datar.

 

"Apa kamu tidak merasa insecure? Bukankah, lebih baik kamu bisa membatalkan rencana pernikahan kalian sebelum kamu menyesal di kemudian hari?

 

Netra indah  Shafiqa mengerjap sambil berkata, "Saya jadi merasa tertantang untuk mempertahankan Ziel di sisi saya," lirihnya. 

 

Gadis itu mencondongkan sedikit badannya tepat di samping telinga Mira. Sehingga wanita setengah baya itu tampak terkejut begitu mendengar apa yang dikatakannya.

 

"Maaf ….kalau ucapan saya membuat Anda terkejut," kata Shafiqa lagi.

 

Wajah cantiknya kembali mengukir senyum yang begitu manis. Sayangnya, senyum itu dirasa Mira bagai sebuah ejekan untuk dirinya.

 

"Well … ternyata, kamu di sini, Sayang! Mari kuantar kaupulang. Ini sudah terlalu malam untukmu. Tak baik jika Ibumu mencapku buruk," ujar Ziel yang kini sudah bersiap mengajak Shafiqa untuk pulang.

 

Pria tampan bercambang tipis itu mengulurkan tangannya. Shafiqa menyambut hangat lalu berdiri dan pamit dari sana.

 

"Senang berjumpa denganmu, Nyonya Mira. Lain waktu, aku akan datang kemari. Tentu saja, sebagai menantu keluarga ini." 

Shafiqa berkata demikian sembari membariskan senyumnya yang begitu menawan. Sebuah lesung pipi di pipi kirinya semakin menambah kesempurnaan kecantikannya.

 

Wajah Mira menampakkan ketidaksenangannya, tetapi dia berusaha menutupinya karena ada Ziel di sana.

 

"Senang juga bisa berkenalan denganmu. Kami sudah tidak sabar menantikan hari pernikahan kalian. Salamku untuk Ibumu, ya!"

 

Seusai berkata demikian, kedua perempuan berbeda generasi itu pun saling bertukar ciuman di pipi mereka. Tak lupa,  Shafiqa pun pamit kepada Johan-suami Mira.

 

"Kalian berdua tampak akrab sekali. Aku senang melihat hal itu," kata Ziel setelah di dalam mobil.

 

Pria tampan itu melajukan mobilnya membelah malam yang semakin menua. Gadis cantik di sebelahnya sama sekali tidak menanggapi pembicaraan pria tampan itu. Dia tengah asyik merasakan kehampaan hatinya di antara lalu lalang jalanan yang sedikit lenggang.

 

Tak lama, mobil mewah itu kini sudah memasuki halaman rumah keluarga Iskandar. Ziel ikut turun mengantar  Shafiqa masuk ke dalam rumah. Namun, sebuah tangan kekar menghadang tubuhnya.

 

"Siapa kamu? Berani sekali berkencan dengan Putriku sampai larut malam?" cicit Iskandar dengan pandangan menelisik ke arah Ziel.

 

"Perkenalkan saya Ziel, Calon menantu Anda." Pria itu dengan percaya diri memperkenalkan dirinya.  Shafiqa sendiri turut tak percaya jika Azriel membuat pengakuan demikian.

 

Iskandar ternganga tak percaya, netra tuanya menyelidik pria tampan itu dari atas kepala hingga ujung kaki. Lalu melihat pada benda mewah persegi yang terparkir manis di halaman rumahnya.

 

"Bukankah kamu tadi pagi yang mengantar Sha–," tanya Iskandar menggantung karena percakapan mereka keburu disela anaknya.

 

"Papa … biarkan Azriel pulang, lagian juga sudah malam," sela Shafiqa dengan cepat.

 

"Tunggu … Papa hanya ingin berbicara dengan kekasihmu itu sebentar saja."

 

"Saya siap mendengarkan Anda, Pak Iskandar."

 

Sementara Shafiqa berdiri kaku menyaksikan kedua pria yang belum saling mengenal tersebut. Wajahnya tampak menegang, takut kalau Iskandar akan membuat kacau suasana.

 

"Benar kamu ingin menikahi putriku?" Iskandar bertanya dengan memasang muka yang begitu serius.

 

"Benar, Pak. Saya berharap Bapak tidak keberatan."

 

"Owh … tentu tidak, tetapi ada syaratnya." Iskandar mulai melakukan aksinya.

 

Shafiqa melototkan netra, tanda tidak setuju dengan tindakan ayahnya. Tubuhnya semakin menegang melihat tingkah ayahnya yang mulai keterlaluan.

 

"Papa, tolong jangan bertingkah yang tidak-tidak!" Shafiqa sedikit memperingatkan ayahnya.

 

"Kamu jangan ikut campur urusan kami,  Shafiqa. Aku hanya meminta sedikit uang pada calon menantuku. Tak ada yang salah bukan? Apalagi, dia pengusaha yang namanya sedang dipuja banyak orang," ujar Iskandar dengan antusias.

 

"Apakah 100 juta cukup, Pak agar Anda mengizinkan  Shafiqa menjadi istri saya?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status