Share

Part 5 Ruang Baru

Semua yang terlihat adalah pembaruan. Dunianya umpama perawan–tak pernah tersentuh. Gadis dengan tubuh mungil itu dipaksa siap pergi meninggalkan tempat dan ruang di mana dia dia dilahirkan. Raut muka yang sedih dibalut air mata yang terus mengalir mengiringi langkahnya menuju luar rumah.

“Kamu yang betah, ya, di sana!” ujar Yudo sambil mengelus kepala Hanum lembut.

Hanum hanya tersenyum keberatan mendengar ucapan ayahnya, menerima dengan sakit adalah kunci jawaban atas kehidupannya saat ini. Dia melanjutkan langkahnya untuk menaiki kendaraan jemputan dari keluarga Afian.

Mobil mewah membawa keluarga Hanum menuju rumah Afian, dengan segala perbekalan sembari menyerahkan Hanum sebagai istri Afian.  Kerabat yang semalam menginap pun tak ingin ketinggalan supaya bisa ikut mengantarkan Hanum tinggal di rumah keluarga barunya. Semuanya begitu bahagia, tidak peduli dengan perasaan Hanum yang sebenarnya.

Hanum duduk di kursi paling belakang, jiwanya masih bergemuruh disertai rasa takut akan bayang-bayang bertemu dengan mertua dan saudara iparnya nanti. Pikiran itu terus berkelebat, hingga membuatnya tak ingin sampai pada tujuan.

***

“Akhirnya sudah sampai. Ini rumah yang akan ditempati Hanum nanti, ya,” ujar Yuli ketika turun dari mobil.

Afian tersenyum bangga mendengar ucapan mertuanya, tak menunggu lama dia langsung mempersilakan mertuanya itu masuk ke rumah untuk bertemu orang tuanya yang sudah sedari tadi menunggu.

Penyambutan yang hangat diterima orang tua Afian, sungguh sangat membahagiakan, tetapi tidak bagi Hanum. Dia hanya mengekori ayahnya dari belakang dengan wajah yang semakin memelas.

“Nak Hanum sini!” sapa Prapto–bapaknya Afian.

“Kami sudah lama ingin punya mantu perempuan, ingin tahu rasanya gimana,” tambahnya lagi sambil tertawa dan membuat suasana menjadi lebih cair.

“Tapi maaf, Pak, anak saya ini pemalu banget sama yang baru dikenal. Susah akrab, jadi mohon maklum, ya,” timpal Yuli.

Bincang demi bincang menghiasi rumah yang akan ditempati Hanum dan Afian, hingga tak terasa kalimat penutup sudah keluar untuk meninggalkan mereka di sana. Keluarga Hanum pamit pulang, begitu pun dengan orang tua Afian yang telah menghadiahkan anaknya itu sebuah rumah.

***

“Selamat menjalankan ibadah istri, Hanum! Haha!” ucap Afian sambil terbahak.

Melihat ekspresi Hanum yang dingin, membuat Afian menaruh ketidaksukaan kepadanya. Hanum masih mematung, melihat bekas gelas yang diminum ayahnya tadi, lalu menitikkan air mata, karena tidak mau diditinggal.

Afian berjalan mendekati Hanum, menatap setiap inci tubuh Hanum dengan tajam.

“Kamu enggak suka nikah sama saya, kan? Kamu pikir saya mau, hah?! Enggak usah merasa saya akan memuliakan kamu, deh!” bentak Afian membuat jantung Hanum berdebar begitu kencang.

“Terus kenapa mau nikahin aku?” Hanum terisak.

“Ya, karena saya enggak mau kalah saing sama mantan kekasih saya yang udah sialan ninggalin.”

“Terus saya enggak bakal dikasih harta kalau belum nikah-nikah. Kebetulan, Papa nawarin kamu buat jadi istri saya. Kenapa enggak, kan?” cakap Afian terus terang.

Batin Hanum semakin terbentur, selain kehilangan impiannya untuk meraih ketinggian cita-cita, dia juga kehilangan kelembutan dalam hidup. Mendengar jawaban Afian, air mata mengalir deras tanpa permisi. Dia ingin pulang, tetapi pulang adalah kata mustahil untuknya.

“Udah enggak usah drama, ikutin aja alurnya! Sekarang, mending kamu siapin makanan, deh!”

Dengan berat hati dan dipenuhi keterpaksaan, Hanum menuruti perintah Afian, dia segera ke dapur dan membuka makanan yang dibawa dari rumahnya. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya, harus melayani orang lain seperti ini.

Dia menata makanan dan minum, lalu memberikannya ke Afian. Pria itu begitu santai dengan duduk selonjoran di sofa, sepatu yang baru saja dia lepas sambil dilempar ke arah Hanum. Begitu bahagia dia saat ini, seperti memiliki pembantu gratisan.

***

Duduk menghadap kiblat sambil menatap ke objek yang tak tentu. Pria yang bergelar ayah itu tak henti dihujani perasaan gelisah, berbagai pertanyaan, Hanum sedang apa, apa dia senang, apa dia tenang, apa dia baik-baik aja, terus terngiang-ngiang di pikirannya yang komplek.

Dia merogoh saku celananya, membuka ponsel dan melihat kontak atas nama Hanum. Jarinya tertahan saat hendak menekan panggil, tiba-tiba saja pikirannya mengatakan kalau menelepon Hanum, ditakutkan dia semakin ingat rumah.

Dari belakang, Yuli memerhatikan Yudo. Dari tadi dia melihat suaminya yang sedang terlihat begitu gelisah. Gontai dia melangkah dan membuyarkan seluruh lamunan suaminya.

“Ayah!” tegurnya sambil menepuk pundak Yudo.

“Apa, Bu?”

“Kenapa masih di luar? Masuk, Yah! Ayah kenapa, sih, dari tadi, kok, melamun terus?”

“Hanum gimana, ya, sekarang? Lagi apa dia, Afian apa bisa jagain Hanum? Jadi suami yang baik.”

“Ayah itu, ya, kayak perempuan hatinya. Hanum itu dibawa suaminya, bukan dibawa penculik. Dia udah gede, Yah, banyak, kok, yang seumuran dia udah pada nikah. Ayah bebasin pikiran yang enggak-enggak!”

Yudo diam sejenak sambil mencerna ucapan istrinya itu, sembari membenarkannya supaya pikiran menjadi lebih tenang. Dia bangkit dari duduknya, mengajak Yuli untuk masuk, karena malam pun semakin larut. Terlalu dalam memikirkan Hanum, membuatnya semakin cemas.

***

“Maaf, Mas, aku enggak bisa berbuat layaknya seorang istri,” lirih Hanum sambil Hanum saat Afian mendorongnya ke lantai kamar.

Amarah Afian membuncah saat Hanum terus menghindar. Namun, layaknya sedang haus mangsa, Afian justru semakin tidak memberi ampun kepada Hanum. Dia semakin mendekat, mengangkat dagu Hanum sembari menatapnya tajam. Kemarahannya begitu terlihat di matanya yang merah, sedangkan Hanum memejamkan mata sambil memendam ketakutan yang tiada tara.

“Mau jadi istri penghuni neraka, kamu? Pelajaran agama yang selama ini kamu cari tuh, buat apa, kalau ke suami aja durhaka?!” maki Afian dengan suara yang meninggi.

“Lepasin, Mas!”

“Tuh, sana! Tidur di gudang, biar dijamah tikus!” bentak lagi sambil mendorong tubuh Hanum keluar kamar.

Menangis lagi dan terus saja menangis menahan kemarahan yang tak terlupakan. Hanum mengepalkan tangannya erat-erat, jiwanya tengah berkecamuk, lalu dia bangkit dan mencari tempat yang nyaman untuk jauh dari Afian.

Masuk ke gudang, mengunci pintu, dan mengacak-acak barang yang ada di sana. Satu persatu, barang dia lempar, bahkan sampai merusaknya.

“Aaghrr! Ini enggak adil! Dunia terlalu sialan untuk aku yang baru dewasa! Kenapa takdir hidup harus sesakit ini, ya Allah!” teriaknya histeris.

“Ya Allah, aku ingin pulang!”

“Aku takut!”

“Aku takut, ya Allah! Jemput aku, tolooong!”

Malam semakin larut, sedangkan Hanum menjalani malamnya dengan hal mengerikan. Di gudang itu, setelah puas melempar barang, dia lanjut memukul badannya sendiri sambil menggedor-gedorkan kepalanya ke tembok.

Dihentikan oleh luka di kepalanya terkena paku yang menempel di dinding, Hanum mulai diam. Dengan isaknya yang masih tak samar, dia berjalan mengelilingi ruangan itu sambil menengadah. Berharap semua kehidupan berjalan sesuai dengan keinginannya. Namun, pikiran buruk datang ke alam bawah sadarnya, bahwa saat ini Hanum tidak bisa menjadi apa yang dia inginkan. 

Dia kembali memukul dirinya sendiri untuk mengalihkan rasa sakit di hati. Sudah seperti orang gila, dia di ruang gelap sendirian dengan batin yang penuh kecewa. 

"Hanum, kamu ngapain, sih di dalem? Berisik!" teriak Afian dari luar. 

Mendengar suara Afian, Hanum menghentikan aksinya. Dia justru ketakutan mendengar suara suaminya. Matanya melotot, sedangkan dadanya kembang-kempis. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status