Share

Part 3 Bahagia yang Salah

Dinding rumah yang kini telah diselimuti dekorasi cantik, telah sempurna memperindah hari kebahagiaan yang seharusnya milik Hanum. Kamarnya kini dihias menjadi surganya para pengantin. Hanum tampil cantik dengan pakaian putih yang membalut tubuhnya.

Tanggal yang dijatuhkan telah tiba, ini adalah hari pernikahan Hanum.

Wajah yang sebelumnya dibalut luka dan darah, kini tersamarkan oleh warna make-up yang membuatnya semakin cantik. Sayangnya, tidak ada senyum sedikit pun yang terbit. Dia dituntut seseorang untuk mengikuti acara ijab qobul di tempat yang telah disiapkan.

“Selamat, ya, Neng! Udah, enggak usah tegang gitu, santai aja,” bisik seorang MUA menggoda Hanum.

Hanum hanya menyunggingkan senyum, kemarahannya di hatinya belum juga mereda. Rasa sakit yang teramat dalam yang terjadi pada hari ini, adalah sejarah paling menyakitkan dalam hidupnya.

“Hanum, ayo cepat!” perintah Yuli melihat kelambatan Hanum.

Dia telah berdiri di depan banyak orang, segunduk tamu saksi dan wali yang siap mengantarkannya menuju pintu pernikahan, telah siap. Seorang pria dengan jas pengantin pun sudah duduk dengan sigap untuk melafalkan kalimat sakral pernikahan. Hanum memandang sekelilingnya, sesekali dia matanya tertuju ke Afian–pria yang tak akan lama lagi menjadi suaminya.

“Neng Hanum sudah siap?” tanya penghulu sesaat setelah Hanum duduk di samping Afian.

Jiwa yang menangis itu membisu.

“Hanum!” bentak Yuli ke kuping Hanum, sebagai perintah agar Hanum segera menjawab pertanyaan penghulu.

Akhirnya, Hanum mengangguk.

“Ya sudah kita mulai ijab qobulnya, ya.”

Dengan penuh khidmat, acara sakral itu dimulai. Yudo belum sempat bicara untuk yang terakhir kalinya sebelum ijab qobul dimulai, dia belum sempat mengarahkan dan meyakinkan Hanum akan pernikahan. Semuanya terjadi begitu instan, Yudo sibuk mengurus keperluan, sedangkan Hanum terus-menerus mengurung diri di kamar. Dia menolak siapa pun menemuinya, sekali lagi yang ingin dia katakan. Sakit, tapi tak mampu tertolak.

***

“Bagaimana para saksi? Sah?

“Sah!”

Serentak kalimat sah mengisi seluruh ruangan. Iringan doa yang dipanjatkan penghulu, untuk kedua mempelai menambah khidmat kesakralan acara itu. Berbeda dengan Hanum, setelah kata sah terucap, bendungan air matanya roboh seketika. Tak ada lagi air mata yang mampu tertahan. Jika diizinkan, dia ingin sekali meninggalkan tempat yang dikerumuni banyak orang itu, kembali mengurung diri di kamar dan berkawan dengan sepi.

Setelah selesai ijab dan sederet keharusan yang mesti dijalani, Hanum dibawa ke tempat di mana dia duduk bersanding dengan seorang pria yang halal bagi dirinya. Di pelaminan, tempat megah dengan corak keindahan yang sempurna. Dua manusia itu duduk di sana dengan masing-masing perasaan yang berbeda.

Afian begitu menikmati harinya. Dia bangga dengan hari yang sedang terjadi ini. Surga dunia telah tergambar di matanya.

“Selamat, ya, Hanum. Enggak nyangka banget kamu nikah cepet, ih!”

“Wah, iya, loh. Aku juga enggak nyangka, kirain kamu mau kuliah dulu.”

Sederet ucapan selamat masuk ke kuping Hanum dari mulut teman-teman sekolahnya. Ucapan selamat yang justru melukai, tetapi dia tahan perasaannya demi menutupi semua yang semestinya tidak terlihat. Semakin melihat teman-temannya, Hanum semakin merasakan sakit.

Selama pesta dilaksanakan, Hanum sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Dia hanya tersenyum saat para tamu menyalaminya. Begitu pula kepada Afian, sama sekali tidak ada kalimat pembuka sebagai tanda bahagia, kalau mereka sudah menikah. Sesekali, Afian melihat wajah Hanum yang asli, ketika tamu tidak ada di depannya.

“Kamu kenapa?” tanya Afian.

“Baik-baik aja, kan?”  

Hanum menunduk sambil menggelengkan kepala, kejujuran adalah kalimat yang akan menyakiti perasaan orang-orang sekelilingnya, sehingga diam jauh lebih baik.

***

Acara pun selesai. Seluruh tamu sudah meninggalkan acara dan tidak ada lagi yang tersisa. Di rumah pun, hanya ada orang tua Hanum dan beberapa kerabatnya yang menginap, mereka memutuskan untuk tidak dulu pulang karena harus memasak untuk diantarkan ke keluarga Afian sebagai sambung hantar.

“Mbak, Hanum ke mana? Kok, enggak dari tadi enggak keliatan?” tanya Ratmi–bibi Hanum.

“Di kamar mandi dia, kebiasaan kalau udah di kamar mandi, lama banget.”

“Padahal itu pamali, loh, kalau anak perawan mah, suka susah dapet jodoh katanya. Tapi dia, mah, enggak, ya, jodohnya deket. Haha.”

“Itu pun aku yang minta, sebenernya anaknya belum mau nikah.”

“Lah, nikah dipaksa? Gimana sama mental anaknya, Mbak? Aman enggak? Kasian, loh.”

Di dapur pun masih sibuk mengurus makanan, sedangkan Hanum sengaja berlama-lama di sana, kembali gadis itu menyiksa tubuhnya. Bukan hanya wajah yang dicakar dan dipenuhi darah, tetapi tangannya penuh sayatan pisau kecil. Dia terus berusaha mengalihkan sakit hatinya ke sakit yang lain, sebagai pelarian.

Darah mengalir dari tubuhnya yang terluka, bercampur dengan air hingga membuat seisi lantai kamar mandi menjadi merah. Hanum tak sadar dengan apa yang dia lakukan, selama berjam-jam tangannya terus berusaha melukai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status