Share

Part 4 Malam Pertama

Bayang-bayang mengerikan tentang sesuatu yang berhubungan dengan malam pertama, terus terngiang-ngiang di pikiran Hanum. Dia memang masih sendiri di kamar, karena sedari tadi Afian masih sibuk berkenalan dengan keluarga Hanum. Tentu, sebagai pengganti paksaan, malam ini adalah malam yang paling mengerikan bagi dirinya.

“Hanum! Nama yang cantik.”

“Kenapa harus menangis seperti itu? Kamu enggak suka dinikahin sama saya?”

Afian tiba-tiba masuk kamar, menyapa Hanum yang sedang menangis sejadi-jadinya. Dia berjalan mendekati jiwa yang sedang ketakutan itu.

“Kamu kenapa tegang banget wajahnya? Aku, kan, udah jadi suami kamu,” ujarnya sedikit menggoda.

Gerak-gerik Afian di mata Hanum adalah keasingan, ketika Afian duduk di sampingnya, Hanum malah menjauh beranjak dari tempat tidur. Dia berusaha menghindar dari kewajibannya sebagai seorang istri. Tanpa harus bertanya pun, Afian sudah paham cara Hanum bertingkah laku. Dia tahu Hanum tidak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.

“Mau ke mana?” ucap Afian sambil meraih tangan Hanum yang hendak beranjak ke luar kamar.

Gadis bertutup kepala itu segera melepaskan tangan Afian, dia merasa ketidaknyamanan menyergap dirinya.

“Maaf, Mas. Aku mau ke kamar air dulu.”

“Jangan lama-lama, ya, seorang istri memiliki kewajiban melayani suaminya, kan? Kamu pasti tahu itu.”

Semakin lama di kamar, justru semakin membuat luka batin Hayan tak kunjung mengering. Melihat wajah pria itu saja dia tidak mau, bagaimana mungkin bisa melayaninya, sedangkan rasa cinta dan kesiapan tidak adalah poin utama dalam pernikahan.

Hanum berpura-pura pergi ke kamar mandi, demi bisa keluar kamar dan menghindari malam yang tidak dia inginkan. Di ruang tengah begitu sepi, orang-orang sudah tertidur, Hanum berjalan begitu pelan menuju tempat sofa. Dia membaringkan badannya di sana, melepas penat dan jiwa yang lelah.

Memandang ke atas, tangannya menyilang sebagai alas kepala. Gundah yang dirasa begitu membuncah, tak ada satu pun obat yang dapat mengobatinya saat ini.

“Hanum, kenapa di sini?” tanya Yudo tiba-tiba mengejutkan Hanum yang sedang sembunyi-sembunyi kemungkinan pertanyaan orang.

“Eh, Ayah. Iya, aku lagi ngadem aja di sini,” jawabnya sembari mengubah posisi tubuhnya.

“Kamu lagi enggak baik-baik aja, Num? Kamu nangis? Wajah kamu kenapa banyak luka gitu? Tangan kamu juga,” tanyanya lagi penuh kekhawatiran.

Yudo duduk di dekat Hanum, naluri keayahannya timbul dan meyakini ada sesuatu yang anaknya sembunyikan.

Setelah mendengar pertanyaan Yudo, Hanum gelagapan untuk menjawab. Mencari jawaban yang tepat untuk menutupi semua yang terjadi adalah kalimat rekayasa. Dia tidak mungkin berkata jujur kepada ayahnya.

Tertunduk, lalu menangis. Lagi dan lagi rasa sakit hati itu tak mampu dia pendam sendirian, sekuat tenaga pun dia diam, tetap tak mampu menyembunyikan luka yang sedang terjadi.

“Enggak, Ayah, aku baik-baik aja. Lagian, kan, semuanya udah terjadi dan aku enggak bisa nolak buat dinikahkan,” kata Hanum bersandiwara.

Dipeluknya Hanum dengan dekapan rasa bersalah Yudo sebagai seorang ayah, dan Hanum berlindung di balik pelukan ayahnya.

“Kalau belum siap, kamu boleh, kok, tidur di luar, tapi jangan sampai ketahuan Ibu, ya! Oh, atau kamu tidurnya di ruang musala aja!”

“Maafin Ayah, Num!”

Merasa tertolong, Hanum segera mengiyakan tawaran ayahnya untuk tidur di ruang musala. Dia beranjak dari sofa menuju ruang yang dimaksud. Belum ada yang menempati dan itu bagus untuk kegiatan menyendirinya saat ini. Gadis itu merebahkan badannya di sana, menjemput kantuk, hingga akhirnya tertidur.

***

Kamar yang indah bak tempat yang dikhususkan raja dan permaisurinya. Afian duduk termenung di sana, menunggu Hanum yang tak kunjung kembali. Nalurinya sebagai laki-laki tentu hadir mengawan malam pertamanya sebagai seorang pengantin, tetapi keadaan masih tak memungkinkan untuknya melakukan malam ini.

Pria itu menggerutu dalam hati, dia merasa malam pertamanya sia-sia. Aggrr! Sialan! Gagal malam pertama lagi. Hanum ke mana, sih? Kenapa enggak balik lagi? Pasti enggak mau melayani.

Dia menghela napas panjang dan memilih untuk mengalah saja dan tak mencari di mana Hanum berada. Lagi pula, perkenalan pun belum pernah terjadi dan Afian masih merasa canggung ada di rumah keluarga barunya. Dia mencoba menutup matanya agar tertidur, biarkan pagi hari membawa cerita baru untuk membawanya sampai pada masa menikmati keberadaan Hanum sebagai istrinya.

***

“Loh, kok, kamu ngapain tidur di sini, eh, enggak baik, tahu, udah punya suami tapi pisah ranjang,” dengus Ratmi memergoki Hanum yang tidur di musala.

Hanum kaget dan merasa malu bukan kepalang, dia takut bibinya ngomel dan berceramah yang dapat membuat hatinya semakin terluka. Mendengar suaranya saja, Hanum tidak mau.

“Eh, Bibi, enggak, tadi aku ketiduran di sini sebentar abis solat,” jawabnya berbohong demi menutupi malu.

“Kamu enggak boleh enggak mau layani suami, ya, nanti! Meski enggak siap, tugas kita, kan, mengabdi, niatkan ibadah aja, Num!” ceramah Ratmi.

Gadis itu tertunduk lesu, nasihatnya memang benar tetapi hati Hanum masih belum menerima dan ikhlas memberikan dan menjalani sesuatu yang sama sekali telah menghancurkan impiannya.

Dia keluar musala, memaksakan diri masuk kamar, meskipun hatinya enggan untuk bertemu Afian. Namun, tetap dia paksakan, karena rasa bersalah dan dosa bergelantungan menghantui dirinya sebagai seorang istri yang tak baik.

Di kamar, Afian masih tertidur, padahal azan sudah berkumandang dan seharusnya dia melakukan rakaat Subuh. Hanum menghampirinya, perasaannya bercampur aduk dengan rasa kecewa, mengapa harus memiliki suami yang agamanya pun tak mampu membimbingnya?

“Mas, bangun! Ini udah Subuh!”

“Apaan, sih, kamu!”

Afian menggeliat sambil menarik tangan Hanum hingga membuatnya jatuh ke ranjang. Gadis itu nyaris ketakutan dan jijik, buru-buru dia bangun dan melangkah untuk menjaga jarak dari Afian.

“Kenapa menghindar? Kamu mau jadi istri durhaka?!” bentak Afian hingga membuat Hanum memejamkan matanya karena kaget dengan sikap suaminya itu.

“Maaf, Mas, ta–pi.”

“Ah, udahlah, capek saya punya istri kayak kamu.”

Afian berdiri pula, dia meninggalkan ranjangnya menuju kamar mandi. Pagi ini dia harus sudah siap untuk membawa Hanum pindah ke rumahnya. Afian merasa, pisah rumah dengan orang tua Hanum akan membahagiakan, dan dia tak punya untuk memperlakukan Hanum sesuai keinginannya.

“Kamu siapin air anget buat saya mandi sekarang, ya! Cepetan!” perintahnya dengan nada tinggi.

Bahu Hanum terangkat kaget, tetapi perasaannya masih bisa dia pendam karena takut. Tak menunggu waktu lama, dia segera ke dapur dan menyiapkan air hangat untuk mandi Afian. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya–melayani orang lain.

Dari belakang, Yudo memperhatikan gerak-gerik Hanum. Pria berusia lima puluh tahun itu, tak henti memperhatikan keadaan Hanum, termasuk mata Hanum yang sudah berhari-hari terlihat lebam karena tak henti menangis.

“Heem!” Yudo berdehem.

“Eh, Ayah.”

“Tumben nyiapin air anget.”

“Buat Mas Afian, Yah, tadi minta.”

“Oh, iya. Hanum udah siap buat berangkat sekarang?”

“Ke mana?”

“Ke rumah Afian.”

Deg. Hanum menghentikan gerakannya setelah mendengar jawaban Yudo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status