"Jangan gila, Edgar!" Zura membulatkan mata tak percaya dengan apa yang dikatakan Edgar. Semudah itu pria ini berkata.
"Kenapa? Aku dan Baila hanyalah pernikahan bisnis, Zura! Tidak lebih!"
"A-apa? Pernikahan bisnis? Kamu gila! Kenapa kamu mempermainkan pernikahan seperti itu!"
"Sama seperti kamu mempermainkan perasaanku, Zura! Kenapa aku tidak boleh membuat permainanku sendiri?"
"E-Edgar ... Baila tidak bersalah, jangan menyakitinya."
"Aku tidak boleh menyakiti Baila tapi kenapa kamu menyakitiku, Zura?"
Lagi, Zura diam, dia hanya menjawab dalam hati.
"Seandainya kamu tau apa yang sebenarnya terjadi, Edgar ... aku sebenarnya tidak pernah ingin meninggalkanmu." Zura membatin dalam hatinya.
Edgar merawat Zura dengan lembut. Zura sudah terbiasa dengan sikap lembut pria ini, setahun sudah kelembutan seorang pria tidak pernah dia rasakan sebab selama setahun itu hanyalah rasa sakit dan siksaan yang diberikan Charlos padanya.
"Mau mangga atau cake?" tanya Edgar setelah sebelumnya menyuapi Zura makan. Ini makanan penutup perempuan itu.
"Mangga," sahut Zura.
"Oke." Edgar pun menyuapi mangga untuk mantan kekasihnya itu. Dia dari tadi selalu tersenyum pada Zura ketika melihat perempuan itu makan.
"Manis?" tanya Edgar yang dijawab anggukan dari Zura.
Zura merasa senang tapi di sisi lain merasa tidak enak dengan Baila. Walaupun Baila tidak tahu Edgar bersamanya.
"Satu minggu kamu di sini, kenapa aku tidak tau, ke mana saja kamu pergi Zura?"
"Aku ke rumah Papah."
"Untuk kabur dari Charlos?"
Zura mengangguk.
"Lalu? Apa Papahmu marah pada Charlos?"
Zura terdiam. Tidak mungkin ia mengatakan Papahnya tidak marah, justru malah menghubungi Charlos agar membawa Zura di rumahnya.
"Ya, Papah marah besar, tapi karena Charlos mengancam akan membunuh Papa, aku kabur dari rumah Papah dan bertemu Charlos di jalan. Dia akhirnya menyiksaku lagi."
"Apa dia setiap hari memukulmu?" tanya Edgar.
"Tidak. Jika aku tidak menuruti keinginannya saja baru dia memukulku," sahut Zura membuat rahang Edgar mengeras seketika dan tangan yang diam-diam mengepal. Tapi dia tidak mau terlihat marah di depan Zura.
"Keinginan seperti apa yang dia mau dan kamu menolaknya?"
Zura menelan salivanya susah payah. Bagaimana cara menjelaskannya pada Edgar? Kalau Edgar tahu Charlos hendak menjadikannya pelacur, sepertinya Edgar akan sangat mengamuk di Rumah Sakit ini.
"S-seperti ..."
Ucapan Zura terpotong mendengar suara ponsel berdering. Edgar segera merogoh saku celananya. Dia melihat nama Baila tertera di sana. Tidak niat mengangkat panggilan dari Baila, Edgar pun menyimpan ponselnya di meja.
"Kenapa tidak diangkat? Baila menghubungimu?"
"Ya, itu tidak penting."
"Kamu pulang saja, Edgar."
"Aku akan menjagamu sampai kamu pulih dan aku yang akan membawamu pulang."
"T-tapi ---"
"Tidak ada tapi-tapi!"
"Aku akan pulang ke rumah Papah."
"Papahmu tidak akan bisa menjagamu, Zura. Dia sudah tua, memukul seseorang saja mungkin sudah tidak bisa."
"Bisa, kok. Papaku masih kuat." Zura menjawab dengan penuh keyakinan.
"Kalau masih kuat, seharusnya Papahmu bisa mengatasi Charlos. Kamu saja memilih kabur dari rumah."
Zura mengigit bibir bawahnya. Kenapa pria ini pintar sekali menjawab setiap perkatannya. Membuat Zura selalu kalah.
"Ini, makan lagi." Edgar kembali menyuapi mangga.
***
Dokter mengatakan Zura sudah bisa pulang tapi Edgar memilih pulang di keesokan harinya seraya menunggu Anhar mencarikan apartemen terbaik untuk Zura.
Perempuan itu hanya duduk di ranjang, meluruskan kaki sambil menonton tv. Sementara Edgar terlihat sibuk dengan laptopnya, duduk di salah satu sofa. Tadi Anhar datang mengantarkan laptop juga pakaian tidur.
Lima belas menit kemudian, Edgar menutup laptopnya dan menghampiri Zura. "Mau makan malam apa?" Dia duduk di samping Zura.
Zura menggeleng. "Aku masih kenyang."
"Kenyang?" Edgar menaikkan alisnya seraya menahan senyum. Seingatnya Zura yang dia kenal makan banyak.
Tapi kemudian Edgar menyadari sesuatu, tubuh Zura semakin kurus.
"Apa Charlos membatasi makanan untukmu?"
"Hah?" Zura menaikan alisnya. "M-maksudnya?"
"Kenapa kamu jadi kurus seperti ini, Zura? Dulu kamu tidak sekurus ini." Pria itu menelisik tubuh mantan kekasihnya.
"A-aku sempat diet."
"Aku tau kamu bohong." Edgar menatap lekat bola mata Zura. Zura gugup dengan tatapan Edgar, takut Edgar tahu dia berbohong.
Zura menggeleng cepat. "Engga, aku serius."
"Seberapa parah dia menyiksamu, Zura? Jujurlah!" Dahi Edgar mengkerut, Zura tahu pria itu pasti marah.
"Aku serius, aku sempat diet, makannya aku bisa sekurus ini, Edgar!" Edgar masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Zura. Dia akan mencaritahu sendiri.
"Oke. Sekarang jangan menolak makan, aku ingin kamu terlihat lebih berisi lagi."
Zura mendesah pelan. "Dan kamu pasti memanggilku kerbau lagi kalau aku lebih berisi."
Edgar terkekeh. "Tidak, aku tidak akan memanggilmu kerbau lagi, aku janji. Mungkin akan berubah jadi Zura sapi."
Zura melebarkan mata dan kemudian memukul lengan Edgar membuat Edgar meledakan tawanya.
Dari luar ruangan, Anhar yang hendak masuk untuk mengantar Dokument yang dipinta Bos-nya, memilih menjadi patung, tidak mau masuk dan menghancurkan kesenangan Edgar.
Setelah satu tahun lamanya, akhirnya ia bisa melihat Edgar kembali tertawa.
Ponsel Anhar bergetar, panggilan masuk dari Baila. Dia segera menjauh untuk mengangkatnya.
"Hallo Anhar, di mana Edgar!" tanya Baila tanpa basa-basi.
"Tuan sedang ada meeting di salah satu hotel, Nyonya. Kemungkinan Tuan tidak akan pulang."
"Apa?! Kenapa dia tidak memberitahuku dulu!"
"Maaf Nyonya, Tuan sangat sibuk."
"Tetap saja, apa salahnya memberitahu istri! Aku ingin berbicara dengan Edgar sekarang juga!"
"Nyonya, saya tidak bisa menganggu Tuan."
"Kamu membantah perintahku, Anhar!"
"Tapi Nyonya ---"
Belum selesai bicara, ponsel Anhar langsung direbut seseorang di belakangnya. Ketika Anhar berbalik, ternyata Edgar yang mengambil ponselnya.
"Ada apa?"
"By? Astaga ... kamu kenapa tidak mengangkat telponku. Aku khawatir tau, kalau ada meeting setidaknya hubungi aku dulu."
"Aku sibuk tidak sempat melihat ponsel. Anhar sudah memberitahumu jadi jangan menghubungiku terus menerus!"
"Tapi By --- Hallo, Hallo!" Baila kesal ketika Edgar mematikan panggilan telponnya.
Edgar memberikan ponsel itu pada Anhar dan Anhar memberikan dokument yang diminta Edgar.
"Belikan martabak manis."
"Siap, Tuan."
Edgar kembali ke kamar Zura dan Anhar segera pergi membelikan martabak kesukaan Zura. Anhar sudah tahu martabak kacang coklat adalah kesukaan Zura.
"Aku sudah menyuruh Anhar membeli martabak." Edgar menyimpan dokumentnya di meja dan kembali menghampiri Zura.
Dia akan sibuk bekerja setelah Zura tidur saja. Tidak mau menyianyiakan waktu bersama mantan kekasihnya ini.
"Kalau kamu sibuk, kamu boleh bekerja saja, Edgar."
"Tidak, aku tidak sibuk," sahut Edgar.
Mereka saling diam, hanya mata Edgar yang terus menatap lekat wajah perempuan di depannya ini dan Zura yang berusaha memalingkan matanya ke tv karena merasa gugup.
Melihat wajah Zura yang terluka bahkan lebam di pipinya masih terlihat membuat Edgar benar-benar merasakan sakit hati dan marah yang teramat dalam. Tidak akan dia biarkan Charlos hidup dengan baik di penjara, dia harus merasakan apa yang dirasakan Zura.
Hanya ada satu cara untuk meredamkan amarahnya, dia menarik tengkuk leher gadis itu dan menciumnya. Zura terbelalak tapi dia kalah tenaga untuk mendorong tubuh pria itu.
"Cari siapa, Nona?" tanya seorang pria pada Baila yang masih bergeming sebab yang keluar ternyata bukan Edgar atau pun Zura. "I-ini apartemen siapa ya?" tanya Baila. Informasi yang diberikan suruhannya semalam tidak salah, tapi kenapa bukan suaminya yang keluar, Baila heran. "Ini apartemen milikku." "Sayang, siapa?" Baila menoleh pada perempuan yang menghampiri mereka. Perempuan itu datang dengan kemeja putih pendek dan rambut berantakan yang basah seperti habis mandi. "Tidak tau, Nona ini aku juga tidak mengenalnya." "Siapa yang kamu cari?" tanya perempuan itu sinis sebab berpikir Baila adalah selingkuhan kekasihnya. "M-maaf, saya salah kamar. Permisi ..." Baila segera pergi dari sana membuat pasangan tersebut saling menoleh heran. *** Baila berjalan pelan di lorong dengan kebingungan, apakah suruhannya salah mengikuti Edgar. Ia mendengus kasar.
Edgar tengah mengeringkan rambut Zura yang baru saja selesai mandi. Moment seperti ini sering dilakukan Edgar ketika masih berpacaran dengan Zura, ia sering membantu Zura mengeringkan rambut panjangnya. Apalagi hampir setiap hari Zura berada di mansion Maria, bercanda dengan Maria dan juga Elia. "Lain kali, jangan mandi terlalu malam, Zura." "Aku ketiduran tadi," sahut gadis itu. "Kamu engga mau ke luar lagi? Engga mau jalan-jalan?" "Mau, sih. Tapi ...""Aku akan mengajakmu jalan-jalan besok sore. Gimana?" "Kerjaan kamu bakalan selesai sore, bukannya baru selesai malam hari." "Tidak ada yang mengaturku, Zura. Aku pemilik perusahaan, kapanpun aku bisa pulang." Zura hanya tersenyum mendengar jawaban Edgar. "Gimana kabar Mama dan Elia?" tanya Zura tiba-tiba. "Mereka baik, si calon Dokter itu juga rajin belajar." Zura tersenyum getir. "Mereka pasti sangat membenciku ya, Edgar."
Hubungan mereka saat di UK dulu tidak terlalu baik juga tidak terlalu buruk. Jika bertemu mereka saling tidak perduli satu sama lain, tapi bagi Zura, sikap mereka lebih baik dibanding Charlos. Calvin dan Theo merasa bosan, ia menghabiskan waktu di klab sampai malam hari, Calvin mabuk parah dan main wanita sementara Theo hanya menikmati musik dan minum sedikit. Beberapa wanita klab berusaha menggoda Theo, tapi Theo tidak merasa tertarik sama sekali. Ketika ia mulai merasa bosan, ia mencoba mengajak Calvin pulang. Tapi sayangnya karena dia mabuk parah, Calvin tidak bisa diajak berbicara, malah meracau tidak jelas sambil memeluk wanita penghibur. "Tinggalkan saja dia, aku tidak keberatan," ucap si wanita penghibur itu. Theo berdecak. "Pesankan kamar untuknya, aku yang membayarnya besok." "Oke," sahut si wanita penghibur itu dengan tersenyum. Sementara Baila, dia menunggu kepulangan suaminya di
Edgar kembali membalikkan badan dengan wajah datarnya. "Dimana, Zura? Dia kembali lagi ke sini, kan? Kamu bertemu lagi dengannya. Iya kan, Edgar?" "Tanya pada matamu sendiri, jika kamu tidak pernah melihatnya, dia tidak ada di sini," jawab Edgar santai. Anhar sedari tadi hanya mematung di belakang Edgar. "Aku tau kamu menyembunyikannya!" desis Baila. "Kamu harus ingat Edgar, Ibumu tidak akan pernah setuju kamu kembali kepada wanita itu!""Dia Ibuku, bukan urusanmu!" tukas Edgar. Edgar sudah tidak mau mendengar apa-apa lagi, ia melangkahkan kakinya dengan cepat diikuti Anhar. Mengabaikan teriakan Baila di telinganya. Baila berteriak frustasi, dalam hatinya ia ingin sekali menjambak rambut Zura, melampiaskan kebenciannya terhadap gadis itu. ***Seorang pria berdiri depan istana buckingham. Rambutnya yang kecoklatan tertiup angin, ia memakai mantel tebal coklat dengan syal hitan di lehernya. Musim dingin lebi
Ponselnya Charlos yang berada di kamarnya di UK terus berdering. Nomor itu hanya Baila yang tahu dan ketika Charlos kembali ke Indonesia, dia lupa tidak memberitahu Baila, juga tidak membawa ponsel tersebut. "Firasatku benar-benar tidak enak, aku merasa Edgar bertemu kembali dengan Zura ... tapi kenapa Charlos tidak mengangkat telponku." Ia bermonolog sendirian, menghela nafas kasar, frustasi dan ketakutan, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Edgar tadi pagi mengatakan kepada Maria jika Maria tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Apa aku harus pergi ke UK saja? Tapi aku juga tidak tau dimana alamat rumahnya ... aaarrggh!" dia mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Baila juga tidak mengenal orang tua Charlos. Hari itu ia hanya bekerjasama dengan Charlos untuk memisahkan Edgar dan membawa Zura jauh dari pria itu. Baila keluar dari kamar, ia meminta kunci mobil pada supir yang selalu mengantarnya kemanapun ia pergi. "Tapi Nyonya, Tuan
"Aku tidak berbicara denganmu!" hardik Edgar menunjuk wajah Baila. Baila terus menatap Edgar, ia mengkhawatirkan sesuatu, bagaimana jika Zura ternyata ada di sini, bertemu dengan Edgar kembali dan menjadi alasan pria itu jarang pulang ke mansion. "Edgar, apapun alasannya, Mama sudah tidak menyukai Zura lagi!" "Ma ---" "Lupakan dia, Edgar!" bentak Maria membuat Edgar terdiam seketika. "Sekalipun dia merengek ingin kembali kepadamu, Mama tidak akan pernah setuju sampai kapanpun!!" Edgar mendelik pada Baila dan akhirnya memilih pergi karena tidak mau bertengkar lebih lama dengan Ibunya. "Edgar! Edgar!" teriak Maria. Tapi langkah Edgar sedikit pun tidak berhenti. "Maa ..." Baila merengek pada Maria dengan memeluk lengan mertuanya itu, seakan ia tengah menjadi istri yang menyedihkan karena tidak dicintai oleh suaminya sendiri.