Share

4. Sapi Perah

Mei berkedip-kedip takjub memandangi cincin bermata berlian dengan rangka platinum yang melingkari jari manisnya. Indah. Seindah perasaan yang melingkupi dirinya saat ini. Padahal Mei sadar jika pernikahan yang akan dijalaninya dengan Juna nanti didasari kepalsuan. Tapi setidaknya Juna tak memberikan cincin yang palsu padanya.

Secara mengejutkan, esoknya Juna membawanya ke gerai Tiffany & Co setelah Mei mengangguk, menerima lamarannya dalam mobil. Dan Juna membelikan cincin indah ini untuknya. Padahal Mei tak keberatan dengan cincin sederhana yang sudah diberikan Juna sebelumnya.

“Jangan, sebenarnya itu cincin pengasuh gue yang sudah lama meninggal. Gue menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Cincin itu biasanya gue pakai di kelingking setiap kali gue lagi cemas. Ide lamaran kemarin itu dadakan, gue nggak ada persiapan cincin buat elu. Jadi gue pakai cincin itu buat sementara.”

“Jadi, kemarin itu elu lagi cemas? Makanya datang ke resepsi Raya memakai cincin itu?”

“Begitulah,” aku Juna seraya tertawa lirih.

“Tapi Jun, apa cincin ini nggak too much?” Mei memutar-mutar cincin Tiffany & Co yang ikonik di tangannya.

“Ck, jangan kayak orang susah ‘napa, Mei? Duit segitu doang mah nggak ada apa-apanya dibanding harga diri kita. Duit bisa dicari, harga diri nggak bisa dibeli.”

“Duit segitu doang lu kata? Serius ‘napa, Jun?”

Yang benar saja. Harga cincin ini bahkan jauh lebih mahal daripada gaji bulanan Mei!

“Ya seriuslah gila. Duit gue banyak. Apalah artinya beli cincin doang?”

Mei jadi keki. Juna santai sekali. Seakan dia cuma membicarakan uang sejuta-dua juta saja. Mei terdiam dan menoleh lebih lama kepada Juna yang begitu kasual saat menyetir.

“Napa liat-liat? Baru sadar ya kalau gue ternyata lebih ganteng dari si Kevin, gebetan lu itu?”

“Cih! Dasar narsis ...,” Mei membuang tatapannya sambil tertawa lirih. “Tetap aja lu kalah dari Kevin karena Raya lebih pilih dia. Berarti di mata Raya, Kevinlah yang lebih ganteng.”

Juna mendengkus. “Ck. Sialan!” lalu tertawa dan melirik Meilani. “No no no. Jangan dilepas! Never,” cegahnya begitu melihat Mei sedang memutar-mutar cincin mahal itu dan akan mengeluarkan dari jari manisnya.

“Tapi, Jun. Gue jadi takut pakainya,” kata Mei sambil menggigit bibirnya.

Juna membuang tatapannya menyingkir dari bibir Mei yang tiba-tiba saja mengubah irama jantungnya jadi tak biasa. ‘Jangan gigitin bibir kayak gitu bisa nggak sih, Mei ...,’ desahnya dalam hati, sambil tertawa lirih, menertawakan pikirannya yang mulai absurd tentang bibir itu.

Juna terkekeh. “Ngapain takut sih, memangnya cincinnya bakal gigit elu?” selorohnya.

“Soalnya__.” Mei urung menyelesaikan ucapannya dan menelan ludah. Lalu menggeleng pelan sambil tersenyum pahit. Lalu gadis itu tersentak kala menyadari sesuatu. “Eh, Jun ..., kan tadi gue bilang mau nebeng sampai perempatan Slipi aja? Kok malah bablas? Udah, stop ..., gue turun sini aja.” Mei menyesal keasyikan mengobrol.

“Apaan sih kok turun sini, gue anterin ajalah. Nanggung. Rumah lu di Puri, ‘kan?”

“Tahu dari mana?”

“Tahulah. Pas SMA gue kan sering main ke rumah Rio, tetangga elu. Dia teman basket gue. Tapi sejak dia pindah ke Jepang gue nggak pernah main ke sana lagi. Gue dulu sering lihat kok, lu suka  jogging di sekitar komplek. Gue juga ngeliat lu kecebur parit gara-gara dikejar anjing ..., inget kan lu?” Juna terkikik teringat kejadian menggelikan itu, yang masih begitu membekas dalam memorinya.

Mei tersenyum kecut. Ya. Rumah Mei di sana, dalam sebuah komplek perumahan yang cukup elit. Tapi itu 10 tahun lalu. Sebelum dijual karena orangtuanya bangkrut dan meninggal. Meninggalkan utang begitu besar, yang membuat Mei harus membayarnya dengan kelelahan dan air mata sampai sekarang.

“Gue udah lama pindah, Jun.”

Juna terkejut dan merasa bodoh karena tak memastikan dulu lokasi rumah Mei, apa masih di sana atau tidak. “Eh, ... sorry ... sorry. Kalau gitu rumah lu sekarang di mana? Gue anterin.”

“Gue sekarang tinggal di Depok, Jun. Parah kalau ke sana pakai mobil jam-jam segini. Macetnya sinting, bisa bikin lu gila. Mending lu langsung balik aja. Biar bisa lekas istirahat.”

“Tapi, Mei__”

“Gue dah biasa naik kereta kok.”

***

Sebenarnya beban bagi Mei memiliki cincin semewah ini. Perhiasan yang Mei simpan di kamar sering hilang. Karena itulah Mei enggan membeli perhiasan atau barang berharga lainnya, kecuali sepasang anting yang selama ini melekat di telinganya. Mei tahu, pelakunya tak lain tante Dilla. Namun Mei memilih diam karena menghindari keributan dan pilih mengikhlaskannya saja. Tetapi dia harus menjaga cincin yang satu ini, bukan hanya karena harganya yang sangat mahal, tapi karena ini cincin pertunangannya. Mei bertekad tak akan pernah melepaskannya agar tak hilang.

Sejak orangtuanya bangkrut dan meninggal, Mei tinggal bersama tante Dilla, adik kandung ibunya. Tante Dilla sangat kasar, berbanding terbalik dengan ibu Mei yang lemah lembut dan penyayang. Membuat Mei banyak menangis saat awal-awal tinggal di rumah ini, karena sikap si tante yang tak ubahnya seperti ibu tiri. Bahkan si tante tak segan mengguyur wajahnya dengan segayung air kalau Mei telat bangun setiap pagi.

“Ma, jangan begitu kepada Mei. Kasihan. Dia kan keponakanmu sendiri. Dia bahkan yatim-piatu,” tegur Danu, suami Dilla.

Tapi Dilla berdalih, “Biar saja, Pa. Soalnya Mei itu biasa dimanja sama kak Dita mentang-mentang anak semata wayang. Aku hanya mendisiplinkannya, biar dia nggak manja tinggal di sini. Mulai sekarang dia harus terbiasa bangun pagi dan mengerjakan pekerjaan dapur dan rumah tangga. Biar dia sadar kalau bukan princess lagi sekarang.”

Dilla sebenarnya menyimpan iri, sebab dulu tak bisa memanjakan anak-anak mereka seperti Dita memanjakan Mei dengan kemewahan karena keterbatasan ekonomi. Meski Dita sangat baik dan kerap berbagi, namun Dilla telanjur iri terhadap kakaknya sendiri. Bahkan Dilla justru diam-diam senang saat Dita jatuh bangkrut, sedangkan perekonomian keluarganya gantian meroket.

‘Hmm ..., meskipun galak dan cerewet, ternyata jiwa sosialnya tinggi juga,’ pikir Danu saat Dilla bilang kepadanya ingin membiayai kuliah Mei sampai lulus, dan benar-benar membuktikannya.

Tanpa Danu ketahui ternyata Dilla mempunyai maksud tersembunyi. Begitu lulus kuliah dan mendapat pekerjaan, Dilla lekas memanggil Mei dan mengajaknya bicara empat mata. “Baguslah kau sudah bekerja sekarang. Nah, ini dia biaya yang harus kau ganti,” ujarnya seraya menyodorkan beberapa lembar catatan keuangan.

“Tan, ini ... a-apa maksudnya?” Mei gemetar melihat tabel rincian angka dalam jumlah sangat besar.

Tante Dilla bersedekap sambil mengedikkan dagunya. “Jangan pura-pura lupa. Kau bahkan sampai bersujud di kakiku dan berjanji  akan membayarnya sampai lunas setelah punya penghasilan sendiri.”

“Ta-tapi ..., 1 milliar?”

Mei berkedip-kedip menelusuri angka demi angka yang tertera di kertas itu. Tantenya ini memang seorang renternir, orang-orang banyak yang meminjam uang darinya dengan bunga yang sangat tinggi. Tapi Mei tak menyangka jika si tante bakal bersikap sebagai seorang renternir juga kepadanya, keponakannya sendiri. Terlebih tante Dilla tahu buat apa Mei menggunakan uang itu dulu, yaitu untuk biaya pengobatan sang ibu yang tak lain kakak kandungnya sendiri!

“Tapi, Mei tak punya uang sebesar itu, Tan.”

“Tante nggak memintamu untuk mengembalikannya secara kontan. Tapi saat Tante butuh uangmu, kau harus menyediakannya.”

Mei menghela napas panjang. Merasa keberatan, tapi kepalanya dengan bodoh malah mengangguk.

“Bagus. Sekarang Tante butuh 30 juta. Tante beri waktu paling lama 2 minggu,” ucap Dilla sambil memeriksa catatan keuangannya. Dia butuh tambahan modal untuk memberi pinjaman orang-orang yang sedang mengantre utang padanya.

Mei memucat. “Dari mana Mei dapat uang sebanyak itu, Tan?”

“Cari pinjaman dong! Sekarang mengajukan pinjaman ke bank itu gampang prosesnya. Kau kan punya gaji buat bayar cicilan.”

“Ta-tapi__”

“Nggak ada tapi-tapian!”

Karena itulah, Mei harus bekerja keras seperti orang gila. Mengumpulkan uang demi melunasi utang 1 miliar pada si tante.

.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
mey lebih baik kmu nge kos dr pada tinggsl sama tante mu yg se orang rentenir dn nanti klo tau kmu mau d lamar sama orang kaya malah kmu d teken suru minta yg ngga2 ..
goodnovel comment avatar
Yeni Rosdiani
akh mles aing. ceritanya jdi berbelok gini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status