Share

Tiga

Debaran ini datang tanpa

dapat dicegah ternyata kaulah penyebabnya

-Alvin Maldiery -

---

Alvin berjalan dari lobby hotel menuju lift yang biasa digunakan. Seperti biasa kacamata bertengger manis di hidung mancungnya, ia selalu menunjukkan senyum tipis menyambut sapaan dari para pekerja yang berlalu lalang. Pintu lift terbuka dan pria berbalut jas cokelat segera masuk menekan tombol angka 7. Namun pintu kembali terbuka karena terhalang oleh sepatu pantofel berwarna putih.

Dua orang pria berkemeja maroon dan navy tersenyum lebar ke arahnya, mereka segera masuk tanpa dosa.

"Kalian meninggalkan Justine sendiri?" Tanya Alvin setelah lift membawa mereka naik.

Jake menelisik wajah tenang pria di samping kirinya sebentar, seakan menilai. "Dia tidak akan kesepian, kau yang terlihat sangat kesepian. Bukan begitu Jhon?"

Jhoni mengangguk dengan mata berbinar bagai seekor anak anjing yang melihat makanan lezat. Alvin meringis menatapnya.

"Apa yang akan kalian lakukan disini?" Alvin segera berjalan menuju gerbang hitam miliknya setelah pintu lift terbuka sempurna.

Melihat dua orang pria dari ekor mata, sebenarnya sangat tahu apa yang akan dua orang ini lakukan sebentar lagi. Jhony berlari mendahului Alvin lalu menendang gerbang hitam hingga pintu tersebut terbuka lebar berbekas tapak sepatu miliknya, diikuti oleh kekehan Jake.

"My monkey boy," ucap Jake. Tepukan keras di bahu Alvin dan kedipan mata dari pelaku membuatnya menggelengkan kepala.

Jhony segera berjalan cepat menuju bingkai kaca besar menampilkan pemandangan indah gedung tinggi dan langit biru terhampar dihiasi awan putih. Pria tinggi bermata cokelat yang selalu berdiri tepat di belakang meja kerja Alvin saat datang berkunjung.

"Kau masih tidak berniat menjualnya? Aku akan menambah satu kali lipat lagi harganya," ucap Jhony menatap Alvin. Namun yang di ajak bicara berlalu menuju ruang pribadi, mengabaikan. Alvin mengabaikannya tanpa menoleh sedikitpun.

Jake segera bergerak menuju rak bingkai kaca yang terbuat dari kayu jati berwarna cokelat tua. Segera membuka pintu bagian bawah rak, tidak ada hal lain selain minuman. Ia segera berjalan menuju ruang pribadi si pemilik hotel dan menemukannya sedang termangu menghadap televisi berukuran 90 inchi. Duduk tenang di atas sofa panjang berwarna putih.

"Kapan kau akan menjual hotel ini?" Jake membuka suara saat bokongnya berhasil menduduki sofa santai tepat di samping Alvin Maldiery.

Alvin segera mengusap wajah dan mengangkat bahu, pikirannya terpaku pada gadis cantik bermata hijau yang ditemuinya semalam. Dirinya tidak dapat menepis bayang gadis yang selalu menari di pelupuk matanya. Biasanya ia akan sangat kesal bila Jake bertanya hal seperti tadi, tapi sekarang tidak. Pikirannya terbagi.

Semua terasa biasa saja.

"Apa yang kau pikirkan?" Jake menyodorkan sebotol vodka tanpa gelas, memicing menatap Alvin.

"Entahlah, seketika aku merindukan Justine."

Jake hanya memperhatikan, wajah tenang Alvin yang terasa begitu sulit untuk di tebak. Tidak berapa lama Alvin segera berdiri.

"Ya Tuhan, bastard. Aku baru saja menghilang dari tempat berbau obat dan antiseptik. Sekarang kau mengajakku ke sana lagi?" Protesnya seraya mengacak rambut kasar.

Alvin menoleh sebentar, "aku tidak mengajakmu." Ia mengangkat bahu. "Kau boleh berada di sini sesuka hatimu, beserta monkey boy mu."

Jake berdecak namun hanya mampu menatap punggung kokoh yang menjauh, lalu menghilang di balik pintu kaca buram. Sungguh, Alvin tidak dapat di tebak dengan ketenangan dan senyum tipis yang selalu menghiasi wajahnya. Bagai air  tenang namun tidak dapat diketahui kedalamannya.

***

Keona segera berjalan keluar kelas terburu-buru, cukup lama menunggu bel berbunyi. Percuma saja dirinya mengikuti matakuliah sedangkan pikirannya terbang jauh menuju tempat pria bernama Bready Alan Daguen.

Ada begitu banyak permasalahan yang sangat mengusik ketenangannya. Menyelesaikan satu persatu hingga tak bersisa bukan perkara mudah. Permasalahan yang harus di selesaikan nya adalah pergi mengunjungi Bready meminta penjelasan apa yang terjadi kemarin, dan tentang para bodyguard sialan itu selanjutnya. Dengan cepat Keona membuka pintu audi putih, menaiki benda tersebut dan segera melaju. Terkadang universitas pilihan Bready memang sangat menguntungkan. Berada di tengah kota dan sangat dekat dengan apapun, termasuk rumah sakit yang sedang merawat Bready. Tidak butuh waktu puluhan menit Keona sampai.

Ia meringis menatap para wartawan semakin ramai siap siaga menunggu siapapun yang dapat mereka tanya, menghela napas kasar akhirnya Keona memutuskan untuk keluar. Ternyata para pria berbadan besar itu menyadari kedatangannya dan mereka segera mengepung Keona memberikan jalan yang aman.

Syukurlah, mereka masih sedikit berguna.

Keona berjalan menuju lift, wajah angkuh yang selalu terlihat sangat jelas, seakan hanya dirinya pemilik alam semesta. Ia berdiri di belakang seorang pria tinggi dengan jas hitam. Ini adalah lift tercepat yang dapat di jangkau, angka semakin menurun dan pintu terbuka, ia segera masuk. Keona menimang ponsel digenggaman untuk membunuh waktu beberapa detik hingga mencapai lantai lima. Perasaan penasarannya kian menjadi bersamaan dengan lift yang semakin meninggi. Keona penasaran dan sedikit takut dengan pria yang melihatnya sedari tadi.

"Maaf karena semalam menabrak mu."

Keona mengerutkan kedua alis tidak mengerti, namun tetap diam. Ia pikir pria itu sedang melakukan panggilan suara, atau mengetikkan pesan untuk seseorang.

"Hey Nona, kau yang berbaju biru."

Mata hijau Keona menelusuri pakaian yang sedang dikenakan, biru. Keona menghadap pria di sampingnya meneliti, tidak termasuk kategori kriminal.

"Kau berbicara pada padaku?"

Pria itu terdiam sejenak mendengar suara yang menguar dari bibir tipis Keona. Mata hijau dihadapannya seakan mampu menenggelamkan siapapun yang sedang menatap manik tersebut.

Sangat indah.

"Ya, padamu." Alvin berusaha melemparkan senyuman namun lawan bicaranya terlihat acuh dan segera membalikkan tubuh. "Maaf karena semalam telah menabrak mu." Ulangnya.

Keona terdiam mencoba mengingat sesuatu, beberapa detik kemudian ingatannya kembali berputar saat ponsel dalam genggamannya terpelanting jauh. "Tidak masalah, aku tidak menanggung kerugian apapun."

"Siapa namamu? Namaku Alvin Maldiery." Alvin berusaha berbicara agar gadis ini kembali menatapnya.

Keona mengerutkan dahi hingga alisnya hampir menyatu. Sedari tadi cukup jengah mendengar berbagai pertanyaan yang keluar dari bibir pria yang mengaku bernama Alvin.

"Sungguh banyak bicara!" Desis Keona, namun masih terdengar di telinga Alvin. "Kau tidak bisa mengajukan banyak pertanyaan pada orang asing." Pintu lift terbuka, seakan mendukung kesombongan Keona.

"Hey Nona, maka harus berkenalan agar tidak asing." Teriak Alvin dengan senyum mengembang di wajahnya.

Ini gila, dirinya baru saja dicecar oleh seorang wanita sombong tapi Alvin tidak merasakan kesal sedikitpun.

Keona hanya diam, suasana kembali sepi hanya ketukan stiletto yang terdengar. Tipe pria yang sangat banyak ditemuinya. Keona tidak ingin menerima sentuhan lagi cukup satu nama pria yang menjadi pengisi hatinya dulu hingga nanti. Tidak untuk orang

lain, ia sungguh jengah untuk berhadapan dengan seorang pria.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status