Langit Vila Grey tampak muram meski matahari masih menyelinap di antara awan. Awan pekat menggantung rendah, seolah mengerti bahwa hari ini bukan tentang persatuan cinta antara dua anak manusia, melainkan kontrak kerjasama dua perusahaan konglomerat.
Pernikahan dua nama besar—Hartfeld dan Grey—dijadikan pesta istimewa. Semua yang hadir bukan sekadar tamu, mereka adalah saksi penggabungan dua kerajaan bisnis. Kilau permata, denting gelas kristal, aroma bunga segar, dan deretan wajah tersenyum palsu memenuhi halaman vila yang disulap menjadi altar terbuka. Dari jauh, kamera-kamera media membidik, menyiarkan secara langsung ke berbagai saluran berita dan media sosial. Dunia menyaksikan. Jocelyn Hartfeld berdiri di balik tirai putih, didampingi Amber dan Lukas. Gaun pengantinnya mewah dan ramping, disulam tangan, menyeret ke lantai seperti ombak bisu. Wajahnya cantik—dingin dan tenang seperti patung marmer klasik. “Kau masih bisa mengubah semuanya,” bisik Amber untuk yang kesekian kali, yang terburu-buru kembali dari Milan dan memaksa untuk menjadi pendamping pengantin wanita. Jocelyn terpaksa menyetujuinya, karena dia memang tidak punya pilihan lain. Jocelyn menarik napas perlahan. “Dan melihat Papa mencopotku dari kursi direksi minggu depan? Atau membiarkanmu berusaha meraih Sebastian kembali ke pelukanmu? Tidak, terima kasih.” Amber menunduk, tak sanggup menatap mata sahabatnya yang juga rivalnya, dipaksa menjalani peran hidup yang, mungkin, tidak perempuan itu inginkan. Lukas menyentuh bahu Jocelyn pelan. “Sebastian sudah menunggu. Waktunya, Jo.” Langkahnya terasa seperti dihitung. Satu… dua… tiga… hingga ia muncul dari balik tirai, menyusuri lorong marmer yang dikelilingi bunga putih dan sorakan lembut tamu. Para gadis kecil melangkah riang didepannya, ceria menaburkan bunga warna warni, siap dilangkahi Jocelyn. Kamera mengikuti setiap gerakannya, memperbesar setiap garis senyum yang terbentuk, setiap tarikan napas. Di ujung altar, Sebastian Grey berdiri tegap, mengenakan jas hitam dengan kancing perak dan dasi hitam polos. Tampan, tak bercela, tapi matanya sejuk seperti permukaan danau beku. Ia menatap Jocelyn seperti melihat angka dalam laporan keuangan. Mereka saling menatap sejenak. Tak ada anggukan manis, tak ada senyum lembut. Hanya sepasang mata tajam menakar lawan main dalam drama yang sudah lama ditulis oleh keluarga mereka. Upacara dimulai. Kata-kata pendeta terdengar seperti gema di ruang kosong. “Sebastian Tobias Grey, apakah kau bersedia—” “Saya bersedia,” jawab Sebastian dengan intonasi datar, hampir seperti membaca ulang kontrak merger. “Jocelyn Marie Hartfeld, apakah kau bersedia—” “Saya bersedia.” Apakah itu suara hati? Bukan. Itu adalah suara warisan, reputasi, dan tekanan publik. “Dengan ini, saya nyatakan kalian sebagai suami istri. Anda boleh mencium pengantin.” Sebastian mendekat. Kamera menyorot. Tamu-tamu menahan napas. Tapi yang terjadi hanya satu kecupan cepat di pipi. Formalitas. Tepuk tangan membahana. Petir menyambar di kejauhan. Langit menggelap. Resepsi mewah dimulai. Musik jazz lembut terdengar, para penyaji menyuguhkan champagne, dan tamu-tamu berlomba mengambil foto dengan mempelai. Tapi Sebastian dan Jocelyn? Mereka berdiri kaku seperti dua patung lilin di tengah museum. Tersenyum tipis di depan kamera, lalu kembali diam begitu lensa mengalihkan pandangannya. “Bisa kutebak, ini bahkan bukan hari terburuk dalam hidupmu,” kata Sebastian pelan di sela sesi foto. Jocelyn menoleh, bibirnya tak bergerak. “Jangan bicara seolah kau tahu rasanya dikawinkan demi saham.” “Percayalah, rasanya tak jauh beda dari dikawinkan demi nama baik keluarga.” Tepat saat mereka akan berjalan menuju meja utama, Clarissa Vane datang menghampiri. Gaun merah menyala yang ia kenakan hampir seperti sinyal bahaya. Senyum sinis di bibirnya sama menusuknya seperti stiletto yang ia kenakan. “Oh, pengantin paling dingin sepanjang sejarah akhirnya resmi. Selamat ya,” ucapnya manis, menatap mereka bergantian. “Clarissa,” balas Jocelyn singkat. “Seandainya aku tahu ini akan terjadi lebih awal, aku bisa mengirimi kalian peti es sebagai hadiah pernikahan. Cocok dengan tema pernikahan kalian yang tanpa detak jantung ini.” Sebastian menegang. “Apa maksudmu?” “Tenang saja. Aku hanya heran… kalian bahkan tidak saling menyentuh sejak acara dimulai. Sedikit chemistry akan menyenangkan untuk para tamu, bukan? Atau kalian takut… kepalsuan terlalu jelas di kamera?” Suasana mendadak menegang. Beberapa tamu menoleh. Beberapa wartawan mulai mendekat. Jocelyn melangkah maju. “Kau ingin jadi pusat perhatian, Clar? Silakan. Tapi jangan sentuh pernikahanku.” Clarissa tertawa kecil. “Sentuh? Sayang, aku bahkan belum menyentuh permukaannya. Tapi kalau kau ingin kupublikasikan rumor hubungan palsumu—” “Kau akan mendengar dari pengacaraku besok pagi,” potong Sebastian, nadanya seperti baja. “Itu berarti rumor ini benar,” sergah Clarissa, lalu dengan teatrikal membalikkan badan dan berjalan pergi diiringi kilatan kamera. Kerumunan mulai berbisik. Suara kamera tak henti. Sebagian tamu menarik ponsel dan merekam. Jocelyn meremas buket bunganya. Sebastian menggertakkan rahang. Lukas mendekat cepat. “Kita harus pergi. Sekarang.” “Tapi resepsi belum selesai—” ujar Amber panik. “Kalau kalian terus di sini, besok judul berita bukan merger, tapi pernikahan palsu yang gagal total,” Lukas menekankan. Jocelyn dan Sebastian saling pandang, untuk pertama kalinya sepakat tanpa bicara. Mereka berdua berjalan cepat melewati lorong samping vila, pengawal pribadi menahan kamera dan wartawan yang mengejar. Langit semakin gelap, petir menyambar, dan hujan mulai menetes. Mobil pengantin hitam—Rolls-Royce Phantom edisi khusus—sudah menunggu di bawah lengkungan gerbang. Begitu mereka masuk, pintu langsung ditutup. Hujan turun deras. Di dalam mobil, suasana hening. Sebastian menatap lurus ke depan, tangan kirinya masih mengepal. Jocelyn duduk dengan tubuh tegang, memandangi hujan di balik kaca. “Seharusnya kita menghentikan dia lebih awal,” gumam Jocelyn. “Tidak. Dia memang tak akan pernah berhenti. Tapi setelah ini, dia tak bisa sembarangan bicara lagi,” jawab Sebastian, suaranya mengeras. “Pernikahan kita bukan panggung miliknya, tapi dia membuatnya terlihat begitu.” Sebastian mendesah. “Memang bukan panggung milik Clarissa, tapi ini panggung kita. Karena memang begitulah adanya. Kamera, reaksi publik, nilai saham. Ini memang panggung, Jo. Dan kita hanya aktor yang dipaksa main.” Jocelyn memejamkan mata sejenak. “Aku muak.” Hujan makin deras. Lampu-lampu jalan terlihat kabur di balik tetesan air. “Kalau kau mau, kita bisa hentikan semua ini. Hari ini juga,” ucap Sebastian tiba-tiba. Jocelyn menoleh cepat. “Maksudmu?” “Kita pergi. Tak ada media, tak ada keluarga. Kita kabur dari semua ini.” Jocelyn tertawa pelan—pahit. “Kau tahu itu tak mungkin.” “Aku tahu,” balas Sebastian lirih. “Tapi kau butuh mendengar ini, kalau setidaknya, aku tahu kau merasa tersiksa.” Mereka saling menatap. Hening. Tidak saling cinta, tapi keduanya tahu: mereka adalah satu-satunya orang yang mengerti seberapa palsunya dunia ini. Di luar, petir kembali menyambar, menghantam pohon di kejauhan. Kilatnya memantul di kaca jendela, menyinari wajah mereka berdua yang tegang dalam keheningan. Jocelyn menoleh ke arah cermin kecil di plafon mobil. Sekilas—sangat sekilas—ia merasa pantulannya... bergerak sendiri. Tapi sebelum ia bisa berkata, mobil kembali melaju, menembus malam dan hujan. Meninggalkan vila yang kini gemuruh dengan rumor. Dan dua insan yang kini resmi menjadi suami-istri—tanpa jiwa.Lukas Crawford tak pernah membayangkan bahwa cinta bisa terasa seperti pengkhianatan. Sejak pertemuannya dengan Prof. Malik Al-Ghazi beberapa hari lalu, saat kebenaran tentang pertukaran jiwa Sebastian dan Jocelyn terkuak, segala sesuatunya terasa seperti teka-teki yang telah lama ia curigai, tapi tak berani ia susun.Dan sekarang, semuanya sudah jelas. Tapi justru karena itu, semuanya menjadi jauh lebih rumit.Ia berdiri di depan cermin kecil ruangannya, menatap wajahnya sendiri, seperti ingin menanyai refleksi itu: Apa kau benar-benar jatuh cinta pada wanita yang kini tidak lagi berada dalam tubuhnya sendiri?Lukas menyusuri lorong Hartfeld Tower dengan langkah pelan. Di tangannya ada dua folder: laporan operasional dan masalah yang jauh lebih berat, hatinya yang belum selesai bicara.Di ruang CEO, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, sedang mengetik dengan cepat. Meski mengenakan blazer hitam, ada kesan maskulin dalam sorot matanya yang tak bisa disembun
Apartemen Evelyn Grey selalu diselimuti aroma mawar kering dan teh hijau basi, seperti waktu yang mandek, berhenti di masa lalu yang enggan dilepaskan.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di depan pintu putih gading itu dengan napas yang tak stabil. Ia menatap bel pintu selama beberapa detik, seolah berharap waktu bisa dibekukan. Tapi tidak. Kali ini, ia tak bisa lari.Dengan jari gemetar, ia menekan bel. Suara lembut berbunyi di dalam. Lalu derit pintu terbuka. Seorang perawat muda membukakan pintu. Ia mengenalinya—perawat privat yang disewa Grey International untuk menjaga Evelyn selama krisis mentalnya. “Oh, Nona Jocelyn,” sapa perawat itu dengan sopan. “Ibu Evelyn sedang agak… tertekan hari ini. Tapi dia ingin ditemui.”Sebastian hanya mengangguk. Langkahnya terasa seperti berjalan di atas batu nisan kenangan.Di dalam, Evelyn duduk di kursi goyang antik. Rambut peraknya digelung setengah rapi, dan matanya menatap koson
Di dunia korporat, tidak ada yang benar-benar teman. Dan Amber Wu tahu itu lebih awal daripada siapa pun.Pagi itu, kantor pusat Grey International dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat namun nyata. Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, dan tatapan penuh penilaian selalu ada di balik layar komputer. Tapi satu hal yang paling menyita perhatian banyak mata pada hari itu adalah: sebongkah senyum di wajah Amber Wu.Ia mengenakan gaun cheongsam berwarna gading dengan bordiran emas pada bagian dada, yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Wajah khas oriental miliknya tampak sangat menawan. Di tangannya ada dua gelas kopi dari kafe premium di lantai bawah. Satu untuk dirinya. Satu lagi untuk "Sebastian."Ia mengetuk pintu ruang CEO.“Masuk,” suara dalam itu berat dan tegas. Tapi bagi Amber, ada nada baru di sana. Lebih... manusiawi? Terlalu sopan untuk Sebastian Grey yang dikenalnya dulu.Ia masuk dengan langkah halus, menye
Langit Manhattan seperti biasa tampak bagai lukisan abu-abu yang gagal diselesaikan. Hujan rintik turun sejak pagi, membasahi kaca-kaca tinggi kantor Grey International. Di ruang pertemuan privat lantai 42, suasana tak kalah muram dari cuaca.“Ini orangnya?” tanya pria berjanggut dengan sorban lepas yang diikat rapi, mengenakan jas panjang hitam dan kemeja linen kusut.“Ya,” jawab Lukas pelan, mempersilakan Prof. Malik Al-Ghazi masuk ke dalam ruang pertemuan rahasia.“Luar biasa. Getaran ruangannya berat sekali,” ucap Prof. Malik sambil menatap kearah Jocelyn berdiri disamping jendelan dengan pandangan keluar dan Sebastian yang duduk di ujung meja meeting.Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri dengan kedua tangan disilangkan di dada. “Saya tidak percaya pada spiritualisme. Kami butuh solusi, bukan mantra.” Prof. Malik menoleh. “Dan saya tidak percaya pada CEO yang hidup dalam tubuh bukan miliknya. Tapi nyatanya kita semua di sini.”
Kebenaran selalu punya cara untuk keluar dari bayang-bayang. Kadang melalui bisikan. Kadang melalui ledakan. Pagi itu, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, berdiri di lobi utama Hart Group, mengenakan setelan navy yang menjadikannya tampak persis seperti pewaris konglomerat mapan. Tapi hari ini, dia bukan hanya menghadapi rapat dewan. Hari ini, dia menghadapi masa lalu. Malam sebelumnya, Lukas mengirim pesan: “Aku menemukan sesuatu tentang ibumu. Kita perlu bicara. Segera.” Sekarang mereka berada di ruang arsip bawah tanah Hart Group. Ruangan gelap, lembab, dan penuh lemari besi tua. Lukas menarik keluar sebuah folder berlabel merah: “HARTFELD – PRIVATISASI 2003.” Di dalamnya, bukan hanya dokumen bisnis, tapi juga salinan rekaman terapi, dengan kop resmi rumah sakit swasta Swiss. Sebastia — dalam tubuh Jocelyn —mengambil halaman pertama. Tangannya gemetar. “Saya takut pada Joseph,” suara d
Dunia bisa berubah dalam semalam. Dan bagi Jocelyn Hartfeld serta Sebastian Grey, dunia mereka kini adalah sebuah panggung sandiwara raksasa—di mana satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya. Pagi itu, Jocelyn, masih terjebak dalam tubuh Sebastian, berdiri di depan cermin kamar apartemen hotel mereka. Ia mengenakan setelan abu-abu gelap, dasi hitam, dan rambut disisir rapi ke belakang. Penampilannya sempurna. Tapi yang terpancar dari matanya hanyalah kelelahan dan kegelisahan. “Kau tidak bisa terus begini,” gumamnya kepada bayangan di cermin. Di sisi lain, Sebastian, dalam tubuh Jocelyn, tengah berjuang mengaitkan kancing gaun blus satin yang terasa terlalu ketat di dada. Gaun itu pilihan Jocelyn pagi tadi untuk menghadiri galeri amal Clarissa Vane. Lengkap dengan heels 9 cm yang membuat lututnya gemetar sejak percobaan ketiga. “Kenapa sih pakaian perempuan harus jadi bentuk penyiksaan terselubung?” gerutunya. Jocelyn muncul dari b