Chapter 5
HONEYMOON
Maudy terbangun dan menyadari dirinya berada di tempat yang tidak dikenal. Ini bukan kamarnya! Ini juga bukan rumah sakit. Namun, mengapa dia terbaring di lantai dan hanya beralaskan sehelai selimut?
Kamar ini terlihat acak-acakan dan sepasang gelas wine serta gelas wine yang kosong tergeletak tidak beraturan di atas meja.
Perempuan itu berdiri dengan sedikit terhuyung lalu melihat ke arah tempat tidur yang kosong. Pakaian pria tergeletak rapi di sana. Pakaian Marcel?
Ugh, kepala Maudy sedikit pusing. Dia mencari cermin di sekeliling ruangan dan ternyata menemukan sebuah cermin besar di dinding. Cermin itu hampir menutupi satu sisi dinding ruangan ini. 'Wah, ini sih cermin sultan!' Maudy membatin.
"Mataku bengkak sekali? Pantas aku sulit untuk membukanya!" gerutu perempuan itu sambil mengamati matanya yang sembab. "Apakah aku menangis semalaman?"
Dilihatnya lagi ke arah bayangan dirinya di cermin. Rambutnya acak-acakan dan dia mengenakan kemeja laki-laki tanpa bawahan. Kakinya jadi terlihat begitu jenjang.
"Tu...tunggu! Tanpa bawahan? Apa-apaan ini? Apa yang sudah terjadi? Di mana pakaianku?" Maudy berputar-putar karena begitu panik.
Rupanya pakaian yang dipakai olehnya tadi malam teronggok di salah satu sudut kamar dan dekat dengan pintu kamar mandi. Belum sempat menyentuhnya, pintu kamar mandi sudah terbuka dan Marcel keluar dengan hanya lilitan handuk sepinggang.
"Tidak!" jerit Maudy sambil berlari dan bersembunyi di balik selimut yang ada di atas kasur.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Marcel heran.
Maudy terpana. Mau tidak mau dia mengagumi laki-laki ini. Indah saja tidak cukup untuk menggambarkan kehadiran Marcel di hadapannya. Wajah tampan dengan rambut terlihat basah dan bagian atas tubuhnya yang dipamerkan dengan ekspresi wajah polos itu malah membuatnya semakin memikat. Dia begitu maskulin dan mampu membuat seseorang lupa bernapas.
Alarm bahaya berbunyi di kepala Maudy apalagi saat Marcel semakin mendekatinya. Tidak! Laki-laki itu musuhnya yang menikahinya untuk membuatnya menderita. Laki-laki itu adalah musuhnya yang bersembunyi di balik wajah tampan.
Maudy menggelengkan kepala kuat-kuat. "Jangan mendekat!" Maudy menggerakkan tangan untuk mengusir laki-laki itu.
Suami kontraknya itu menatap Maudy dengan ekspresi sinis. "Sepertinya kamu lupa posisimu dalam pernikahan ini. Kita sekarang "suami istri" dan sedang berbulan madu, bukan? Su-a-mi-is-tri. Paham? Sepertinya kita sudah sepakat dengan itu." tukas Marcel mengingatkan.
"Aku sudah bilang tidak boleh ada pelecehan." Maudy tidak mau kalah pendapat dengan laki-laki di hadapannya.
Marcel mendekatkan wajahnya ke telinga Maudy. "Hmm... Apakah hubungan suami istri setelah menikah itu pelecehan?"
"Te ...tentu tidak. Bukan itu maksudku. Kamu salah paham." Maudy tergagap dan salah tingkah. Dia segera mengatur ekspresi dan berusaha duduk tenang.
"Ba... baiklah. Aku siap," kata Maudy dalam rasa waswas dan takut yang berusaha ditekan.
Marcel tersenyum lebar dan tiba-tiba menyentil kening perempuan berusia hampir sama dengannya itu dengan ibu jari dan ujung jari telunjuk.
"Tidak usah memaksakan diri. Aku sudah bilang tadi malam, aku akan menunggu hingga kamu siap dan mandi saja sana. Apa kamu mau menontonku pakai baju?" tanya Marcel. Dia ternyata ingin mengambil bajunya yang terlipat di atas tempat tidur.
"Tidak!" jerit Maudy sambil berlari ke arah kamar mandi, tetapi terhenti lagi di tengah jalan. Dia ingin berbalik, tetapi diurungkan karena Marcel sama sekali tidak segan berganti pakaian meskipun Maudy ada di sana.
"Bagaimana bisa aku, maksudku mengapa aku jadi memakai kemejamu?" Maudy bertanya tanpa membalikkan badan.
"Kamu tidak ingat kejadian kemarin?" tanya Marcel dengan senyum jahil.
"Aku hanya ikut naik pesawat denganmu. Lalu, setelah makan malam, Kamu bilang sudah ada yang mengurus barang bawaan kita. Setelah itu...oh, iya, Kita ke hotel lalu minum wine."
Maudy melirik gelas dan botol wine yang kosong. "Setelah itu..." Maud berpikir keras, tetapi tidak mampu mengingat apa pun.
"Setelah itu, kamu mabuk, menangis dan bercerita banyak hal sampai aku muak, memintaku berjanji membayar semua biaya pengobatan adikmu, berjanji akan menjadi istri yang baik selama dua tahun ini, bla, bla, bla..., tetapi pada akhirnya kamu tidur tanpa melakukan tugas istri di malam pertama."
Maudy memahami kalimat itu secara spontan dan positif. "Hahaha. Jadi...aku masih perawan kan?" teriak Maudy.
Tanpa sengaja dia membalikkan badan. Matanya membulat melihat Marcel belum selesai berganti pakaian.
Marcel melempar handuknya ke wajah Maudy. Handuk itu sempurna menutup wajah istrinya yang naif itu. "Sudah kubilang jangan mengintip! Lagipula, membahas masalah perawan tanpa tahu malu. Kalau didengar seseorang bagaimana?"
"Maaf!" Maudy segera membalikkan badan kembali. Rasa malunya tidak sampai di situ saja. Bayangan lain pun menyerang imajinasinya. "Tetapi, mengapa bajuku bisa berganti. Mengapa aku mengenakan kemejamu? Apa yang kamu lakukan saat aku tidak sadar? Kamu melecehkan aku?"
"Yang melecehkan kamu siapa, sih? Aku yang merasa dilecehkan. Kamu muntah di bajuku hingga aku harus mandi berapa kali. Terpaksa aku harus mengganti pakaianku supaya aku bisa tidur. Baunya ke mana-mana. Masalahnya kamar yang sudah disediakan untuk kita hanya satu," tukas Marcel.
"Ah, tenang saja tidak ada yang menarik, kok. Tidak ada yang indah untuk dipandang. Jadi, segera mandi sana. Tidak perlu berpose sok seksi seperti itu. Kamu bukan tipeku," kata Marcel. "Aku tunggu di bawah untuk sarapan."
"Ah!" Maudy segera memasuki kamar mandi dengan perasaan malu dan kesal. Didengarnya pintu kamar terbuka lalu terkunci lagi. Maudy mengintip sedikit dan benar saja, Marcel sudah keluar.
"Laki-laki kurang ajar. Tidak ada yang menarik? Hah...aku kesal sekali!"
'Mengapa aku jadi marah, ya? Bukankah bagus kalau dia menganggapku tidak menarik dan menyentuhku? Ah, tapi aku marah sekali. Masa dia bilang tidak ada yang indah untuk dipandang?' Maudy mencak-mencak sendiri di kamar hotel.
"Tarik napas. Huft. Baiklah! Aku juga akan memanfaatkan kamu secara maksimal. Aku akan menikmati liburan ini dengan bersenang-senang. Setidaknya, aku akan mandi lama untuk membuatnya menungguku."
Maudy tersenyum licik sambil menggosok tubuhnya dengan spons. "Tunggulah aku hingga lumutan Marcel brengsek!"
Apa yang terjadi? Yang diharapkan Maud sama sekali tidak terjadi. Jangankan lumutan, peduli pun tidak. Ternyata, laki-laki itu sudah sarapan duluan sebelum Maudy datang. Dia juga tidak melirik sama sekali saat istrinya itu datang dengan penampilan yang sempurna.
Dengan menutupi rasa dongkolnya, Maudy pura-pura tidak melihat Marcel juga. Dipakainya kaca mata hitam lalu berjalan ke meja lain. Setelah memesan makanan yang disukainya, dia mengizinkan dirinya menikmati makanan sepuasnya tanpa gangguan orang lain.
"Wah! Enak sekali," puji Maudy keras-keras setelah mencicipi salah satu makanan.
"Lho, istriku tersayang kok duduk jauh dari aku?" goda Marcel sambil duduk di sebelah Maudy.
"Mengapa si pengganggu ini ada di sini, sih?" gumam Maudy pelan sekali. 'Okelah. Aku juga bisa berakting,' pikirnya.
"Oh, sayang? Kupikir kamu tidak di sini. Aku tidak melihat ada manusia lain tadi di sini," kata Maudy.
"Sini!" pinta Marcel sambil menarik tubuh Maudy mendekat. Didekapnya tubuh wanita itu dengan mesra lalu mengambil beberapa foto.
"Perfect! Fotonya mesra dan laut di belakang kita juga terlihat sangat indah." Marcel menatap foto itu dengan puas.
"Mengapa tiba-tiba mengambil foto?" Wajah Maudy menunjukkan ekspresi heran.
"Untuk laporan tentu saja. Untuk apa lagi?" tanya Marcel lagi-lagi dengan nada sarkas.
Maudy menahan rasa kesalnya sebisa mungkin.
" Kamu tidak berpikir orang-orang terutama kelurgaku akan menganggap bulan madu pasangan yang baru menikah tanpa memiliki selembar foto itu sebagai sesuatu hal yang wajar, bukan? Sudah, ya. Aku kembali ke Indonesia sekarang juga. Nikmatilah harimu sampai besok di sini. Aku ada pekerjaan. Gunakan kartu ini sepuasmu." Tangannya ditempelkan ke atas meja dan meninggalkan sebuah kartu setelah diangkat kembali.
Marcel meninggalkan Maudy yang bengong di tempat duduknya. Namun, perempuan itu segera menguasai diri.
"Terima kasih atas uangnya, ya, suamiku. Aku akan menggunakannya sepuasku. Tentu saja sebanyak yang kumau."
Marcel membalas kata-kata Maudy dengan gerakan tangan tanpa menoleh. "Sama-sama."
Tentu saja, Maudy merasa semakin jengkel dan memaki dalam hati.
(Bersambung)
Chapter 6SENYUM MAUDIVESSepeninggal Marcel, Maudy memakan banyak kuliner khas Pulau Male sepuasnya. 'Kuliner Maldives memang luar biasa,' pikirnya.Dia berharap kegiatan memanjakan lidah ini akan mampu menelan sebagian rasa dongkolnya terhadap laki-laki angkuh itu."Dia pasti berpikir bahwa semua bisa diukur dengan uang. bukan? Dia tidak berubah," gerutu Maudy kesal. "Ugh, aku malah teringat masa lalu. Bodohnya aku sempat tergoda sedikit pada ketampanannya tadi pagi. Itu benar-benar penyamaran dari iblis yang tersembunyi. Iblis yang tersembunyi di balik wajah itu suatu saat mungkin akan menerkam ku. Hi...!" Maudy mengoceh dan bergidik sendirian.Wanita itu tidak tahu mau apa lagi di sini. Semua yang pernah direncanakannya tentang perjalanan dan petualangan ke luar negeri sejak dia masih duduk di bangku sekolah terasa tidak menarik untuk dilakukan. Semua rusa
Chapter 7PENGANTIN BARU, RUMAH BARUDrrt!Maudy menatap sejenak ke layar ponselnya yang dihiasi wallpaper matahari tenggelam. Setelah menghadapi kemarahan dari teman satu kantornya tadi pagi, dia memutuskan untuk mengaktifkan nada getar ponselnya.Dia lalu memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya. Namun, baru saja benda itu tersimpan di balik tas berwarna hitam, sebuah getaran merambat ke permukaan tas dan menyentuh tangannya.Maudy menghela napas. Dibukanya lagi resleting tasnya dan mengambil benda persegi panjang itu. Gerakannya terhenti setelah melihat nama yang tertera di layar.Maudy ingin mengabaikan panggilan itu, tetapi dia ingat betul bahwa itu melanggar kontrak secara terang-terangan. Bisa saja memang ada hal penting yang akan disampaikan Marcel padanya."Halo!" Perempuan itu menyapa lawan bicaranya dengan nada sedik
Chapter 8MASUK KANTORKeesokan harinya, pagi-pagi benar, Maudy langsung berangkat ke kantor. Sebenarnya, seluruh badannya terasa penat. Namun, ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.Wanita yang memiliki tinggi badan 155 cm itu merasa beruntung karena Marcel tidak benar-benar datang seperti pemberitahuannya di telepon kemarin sore. Jadi, dia bisa berbaring sepuasnya.Setibanya di kantor, tubuhnya langsung dihenyakkan ke atas kursi kerjanya yang lumayan empuk. Baru izin beberapa hari, rasanya Maudy sudah sangat merindukan tempat kerjanya ini.Dia sangat senang duduk di kursi kerjanya yang menghadap pemandangan luar gedung yang luas. Sepatu hak tingginya dilepas lalu kakinya diluruskan sebentar ke atas permadani yang hangat. Maudy tersenyum. Dinikmatinya suasana ini sepenuh hati.Wah, tidak disangka, tiba-tiba saja dia sedikit mengantuk. Apakah kar
Chapter 9LEKAS SEMBUH, ALYSAHanya berkisar kurang lebih sepuluh menit, angkutan umum yang dinaiki oleh Maudy hampir tiba di kawasan rumah sakit. Bangunan putih itu sudah terlihat menjulang tinggi dari kejauhan.Untunglah Rumah Sakit Mitra Sehat berdiri di pusat kota sehingga tidak menyulitkan untuk dijangkau dengan angkutan umum. Letaknya yang strategis dan jaraknya yang dekat dengan tempat tinggal maupun kantor sangat menguntungkan bagi Maudy.Tet. Teeett.Bunyi klakson mobil bersahut-sahutan. Udara panas dan jalanan yang macet sepertinya membuat semakin sulit mengontrol emosi."Minggir Kau, ah!Kau tidak tahu kalau jalan ini jalan umum? Bertelepon pula di jalan raya."Maudy terkejut dan takut mendengar suara makian sopir angkutan yang membawanya. Padahal, wajah sopir yang menjadi lawannya sama-sama san
Chapter 10PULANGMarcel baret duduk di sofa sambil menahan kemarahan yang menggelegak dalam dirinya. Pesan dari Jod membuatnya geram.Dasinya sudah dilonggarkan sejak tadi. Kegerahan yang dirasakannya tentunya bukan karena setelan jas hitam yang dikenakannya.Ditatapnya asisten Jod yang bernama Teddy berdiri mematung dengan wajah pucat. Jika bisa, laki-laki berkacamata dan bertubuh ceking itu mungkin ingin segera menghilang saja dari sini."Hei! Kamu yang di sana!" Tangan Marcel yang menyatu di bawah dagunya yang terlihat kuat."Ya, Tuan Marcel?" Sebisa mungkin, Teddy menahan ketakutannya."Sebenarnya, sepenting apa urusan ini sehingga aku harus menunggu tuanmu?""Maaf, Tuan. Sa... saya kurang tahu," kata Teddy gemetaran. "Maaf, sekali lagi."Marcel menghela napas lalu berdiri t
Chapter 11TINGGAL BERSAMAJarum jam terus berdetak dalam tempo yang teratur. Jarum pendek kini mengarah ke angka sembilan. Tidak ada suara lain yang terdengar di ruangan seolah-olah tiada penghuni yang tinggal dan beraktivitas setiap harinya di rumah itu.Maudy yang terbaring kelelahan sejak tadi mulai bangkit lalu masuk ke kamar mandi. Dia mulai menghapus lalu mencuci sisa riasan di wajahnya. Dengan perlahan, ditepuk-tepuknya kulit wajahnya dengan handuk wajah lalu mengoleskan krim malam tipis-tipis.Beberapa saat kemudian, dia duduk dalam diam sambil menatap dirinya sendiri di dalam cermin. Entah mengapa, akhir-akhir ini dia sering melakukannya.Sebenarnya, meskipun di luar dia terlihat tidak takut apa-apa, dia juga memiliki rasa takut. Dia benci terlalu sepi seperti ini. Tinggal di rumah besar dan sendirian serta diabaikan. Ini membuatnya teringat akan kesendirian
Chapter 12LATIHAN MENJADI ISTRIPagi menyapa. Maudy terbangun dan menyadari bahwa dia telah berada di tempat tidur. Kedua bola matanya mengarah kepada Marcel yang masih terbaring di sebelahnya."Apa tanpa sadar aku pindah ke sini tadi malam?" gumam Maudy sambil menggosok matanya.Laki-laki itu itu juga terbangun dan memicingkan mata. Untuk sesaat, mereka bertatapan. Segera saat bibit kesadaran menyusup ke otak mereka masing-masing, Maudy segera menjauh dan Marcel segera terduduk."Apa kamu yang memindahkan aku ke tempat tidur?" tanya Maudy.Marcel mendengus. "Apa aku terlihat seperti orang yang mau repot-repot melakukan hal itu?" ejek Marcel sambil bertopang dagu."Jadi...aku pindah sendiri?" tanya Maudy bingung. "Sepertinya aku berjalan sambil tidur," sambungnya lagi."Aku tidak tahu apa-apa.
Chapter 13 PASANGAN MESRA Marcel menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dengan wajah datar. Sesungguhnya, dia agak gelisah, tetapi menutupinya karena mama dan papanya hampir tiba. Saat ini, dia duduk manis menunggu menantu rumah ini sambil berbincang rahasia dengan salah satu asisten rumah tangga. Banyak hal yang perlu disampaikan kepada mereka agar mamanya tidak curiga apabila jawaban yang mereka terima berbeda-beda. Pandangan Marcel kembali terarah ke pintu masuk, lalu kembali sibuk dengan koran yang dibacanya. "Apa seharusnya aku membiarkan sopir menjemputnya tadi?" gumam laki-laki itu sambil mencoba meningkatkan perhatian pada lembar koran yang dipegangnya. Akan tetapi, huruf-huruf yang bertaburan di lembar koran itu seakan-akan menari dan berebutan untuk memecah logikanya. Dia tidak mengerti apa isinya karena tidak bisa berkonse