“Pa, kenalkan, ini Agil calon suami Mila.” Mila memasuki kediaman keluarga Mahendra sembari menggandeng mesra tangan Agil yang berhasil dibujuknya untuk menikah.
Pemuda desa itu terkesima dengan rumah mewah milik atasannya. Matanya tak bosan memandang benda-benda yang tidak ada di tempat kosnya, seperti lampu gantung kristal, juga guci-guci antik yang tak kalah mewahnya.
“Nama kamu siapa?” tanya Danu sambil menatap pria yang dibawa putrinya tersebut.
Mila menyenggol lengan Agil dengan siku kirinya, agar dia kembali fokus pada tujuan mereka datang ke rumah ini.
“Agil, Pak,” jawabnya dengan kepala tertunduk sebagai tanda hormat. Danu mengangguk, dan menyuruhnya duduk.
Pemuda itu merasa tidak nyaman karena tatapan keluarga Mila seakan ingin mengulitinya. Dirinya seperti orang yang telah melakukan kesalahan, dan siap untuk diadili.
“Kamu bekerja di mana?” tanya Sarah, ibu tiri Mila.
“Di kantor Mila,” sahut Mila cepat.
Mila sudah memberikan pengarahan kepada Agil sebelum mereka datang. Ia meminta agar Agil diam saja, dan tak perlu menjawab pertanyaan yang dilontarkan untuknya. Mila sendiri yang akan menjawab.
“Mila, kamu bercanda?!” Danu kaget dengan pilihan anak perempuannya.
“Mila, yang benar saja kamu!” Sarah ikut-ikutan protes.
Dengan percaya diri Mila menjabarkan kepada keluarganya kalau dia sungguh-sungguh ingin menikah dengan Agil, meskipun dia bawahannya di perusahaan.
Ujung kiri bibir Delvin terangkat sedikit, seusai memandang Agil dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia berpikir jika Agil tidak pantas masuk ke keluarga Mahendra.
“Mila, seleramu buruk sekali,” cibir Delvin merendahkan. Keputusan Mila sangat disayangkan oleh adik tirinya itu.
Mila melirik tajam Delvin hingga pemuda itu terbungkam kembali.
“Orang tuamu kerja apa?” Sarah masih penasaran dengan asal usul pemuda yang akan bersanding dengan putrinya.
Ekspresi wajah Sarah mengungkapkan rasa tidak suka. Dia tidak percaya begitu saja dengan orang yang diperkenalkan Mila sebagai calon menantunya.
Penampilannya yang sederhana membuat Sarah setuju dengan Delvin, bahwa putrinya memiliki selera rendah. Dan pemuda itu tidak pantas menikahi putrinya.
“Orang tuanya sudah meninggal, dia tinggal sendiri di kota ini.” Mila kembali menjawab.
“Mila, kenapa kamu terus yang bicara? Biarkan dia yang menjawab,” ucap Sarah sedikit sewot.
Sarah mulai curiga ketika Mila tidak memberikan kesempatan kepada Agil untuk berbicara. Keinginan anak tirinya itu untuk segera menikah membuat sang ibu berpikir jika Mila hanya bernafsu untuk tetap menjabat di perusahaan ayahnya itu.
“Mila, apakah kamu sadar saat memilihnya?” Delvin kembali nimbrung, saat mengetahui calon kakak iparnya itu hanya pemuda miskin dari desa.
“Memangnya kenapa kalau dia lelaki desa?” Mila melipat kedua tangan di dadanya. Ia mengatakan bahwa miskin atau kaya itu tidak penting. Yang terpenting Agil adalah pria yang baik, setia, dan mereka saling mencintai. Soal uang, Mila bisa mencukupinya.
“Mila, hidup itu harus realistis. Kalau cuma hati baik saja kamu bisa menikah sama Pak Imam,” celoteh Sarah yang menyetarakan Agil dengan sopirnya.
Mila menaikkan kaki kanan di atas kaki kirinya seraya menyandarkan punggung ke sofa. Tatapannya tajam ke arah Sarah dan anaknya, dia kesal karena mereka berdua tidak bisa menghargai pilihannya.
“Aku yang mau menikah, kenapa kalian yang ribut? Yang penting kan aku mencintainya,” tegasnya hingga ibu dan saudara tirinya itu semakin kesal.
Mila bukanlah perempuan muda yang mudah ditindas dan mengalah. Dia akan melawan siapapun yang berani mengganggunya, atau menghalangi niatnya. Terlebih bila dia tidak melakukan kesalahan, gadis itu pasti akan melawan sampai titik darah penghabisan.
“Pa, aku akan menikah dalam minggu ini. Jadi jabatan itu tetap aku yang pegang,” imbuh Mila tanpa lebih banyak basa-basi.
Sarah dan Delvin kaget mendengar ucapan Mila, sementara Danu terdiam, dan berpikir. Bagaimanapun dirinyalah yang meminta anak perempuannya itu untuk menikah, dan ia tahu betapa keras kepalanya sang putri.
“Baiklah, jabatan itu tetap milikmu. Kita gelar pernikahanmu minggu depan,” ujar Danu memberikan persetujuannya.
Keputusan pria paruh baya itu membuat istri dan anak tirinya melongo, mereka tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Danu, yang dengan begitu cepatnya merestui sang putri.
Danu mengatakan bahwa menikah dengan siapa pun itu hak Mila, dan dia menghormati keputusan anak perempuannya.
“Pa, mau ditaruh di mana muka kita?” cerca Sarah tidak terima.
Dia sudah lama membujuk sang suami agar kedudukan sebagai pimpian perusahaan bisa dimiliki oleh Delvin, anak kandungnya sendiri. Tapi ternyata, anak tirinya mampu menggagalkan rencananya.
Sarah geram. Dia harus menyusun ulang rencana agar Delvin bisa mendapatkan posisi tertinggi di perusahaan suaminya.
“Mila, jangan egois kamu. Keluarga besar Mahendra akan malu memiliki menantu miskin seperti dia!” imbuh Sarah sembari menunjuk-nunjuk wajah Agil.
Agil mengeluh dalam hati. Anggapannya tentang orang kaya di kota itu terbukti nyata, mereka sangat angkuh dan arogan.
“Jangan keterlaluan, Ma,” tukas Mila dengan berani.
“Cukup! Musyawarah kali ini kita sudah tetapkan, Mila akan menikah dengan Agil,” pungkas Danu, mengakhiri perdebatan sengit antara putri dan istrinya.
Sarah mengangguk dengan berat hati. Ia terpaksa menyetujui pernikahan Mila dan Agil.
Ini gawat. Sarah merasa harus segera bertindak. Lalu muncullah satu ide cemerlang di otaknya.
Setelah berdeham, perempuan paruh baya itu mencetuskan satu persyaratan tak terduga. “Baiklah, kalian bisa menikah, tetapi kalian harus meninggalkan rumah ini!”
Mila dan Agil datang untuk mengambil rumah yang baru saja dibelinya."Kalian silakan keluar dari rumah ini," usir Mila."Mila, maafkan mama. Jangan usur mama dari rumah ini," kata Sarah sembari bersimpuh.Mila berusaha melepaskan kakinya, "Memangnya anda siapa?" "Mila jangan keterlaluan kau, ini mama kita." Delvin membantu mamanya berdiri."Mama kita?" Kata Mila lalu tertawa terbahak-bahak. "Aku bukan anak dari perempuan ini, mamaku sudah di surga," tegas Mila."Kalian cepat angkat kaki dari rumah suamiku!" titah Mila."Bawa semua barang kalian, jangan sampai ada yang tertinggal," imbuh Agil."Pa, bagaimana ini? Kamu harus melakukan sesuatu," pinta Sarah.Danu mengangguk, "Kamu benar, aku tidak bisa berdiam diri saja." Wajah Sarah dan Delvin mulai berubah senang mendengar ucapan Danu. Mereka berdua berpikir dengan Danu bertidak sesuatu maka mereka tidak jadi miskin."Sarah, mulai hari ini kita aku ceraikanmu. Kita bukan suami istri lagi," kata Danu."Pa, kamu bercanda?" sahutnya sam
Kau kenapa di sini?" tanya Delvin dengan kedua bola matanya yang hampir lepas.Dia kaget melihat kakak tirinya ada di perusahaannya, orang yang sudah beberapa tahun ini pergi kini datang kembali. Kedudukannya kembali terancam, ditambah lagi ayahnya yang sudah tidak percaya kepada dirinya. Mila melipat kedua tangannya di dada, "Kenapa aku tidak boleh berada di kantorku sendiri?" ujarnya dengan senyuman yang sinis."Perusahaanmu?" katanya dengan tertawa. "Sejak kapan perusahaan ini menjadi milikmu?" katanya sembari menarik paksa Mila untuk turun dari kursinya."Pergi kau di sini!kau tak pantas duduk di kursiku ini!" katanya dengan mendorong Mila setelah berhasil ditariknya.Mila menepukkan tangan sebanyak dua kali, Siska dan dua orang bertubuh besar masuk ke ruangannya."Apa-apaan ini?" tanya Delvin."Pak Delvin yang terhormat, saat ini perusahaan sudah dijual. Dan yang membeli adalah Nona Mila," katanya dengan sangat formal."Dijual, tidak mungkin. Bagaimana orang miskin sepertimu bis
Sembilan bulan sudah berlaku, Mila sudah melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik.Dia merasa pantas jika dulu selama hamil sangat melow dan manja. Ternyata bawaan anak perempuan di dalam perutnya.Kehidupan Agil dan Mila sangat membaik, pabrik yang belum berjalan satu tahun sudah maju pesat. "Aku tidak akan membiarkan semua ini baik-baik saja, kalian harus merasakan menjadi aku!" ketus Sari melihat kebahagiaan sahabatnya itu.Semenjak penolakan Agil terhadapnya membuat Sari sakit hati. Dia stres, dan sering mengurung diri di kamarnya.Dia keluar dari kamar saat mendengar Mila sudah melahirkan, dia akan menghancurkan wanita perebut gebetanya itu sekali lagi.Kali ini dia ingin melakukannya sendiri tanpa bantuan dari anak buah yang bodoh. Karena menjaga perempuan hamil saja tidak becus.Sari menyusup ke rumah Pramono yang sedang sibuk untuk acara syukuran kelahiran bayi. Sari masuk ke kamar Mila dan Agil.Ia melihat bayi manis yang sangat menggemaskan. Rasa terpesonanya langsung m
"Ada orang pingsan!" teriak petani. Di pagi buta ini petani tua yang sedang mengecek sawah terkejut melihat perempuan hamil tergeletak di jalan kecil. Para petani lain langsung berkumpul melihat yang ditemukan oleh petani pertama. "Apa dia masih hidup?" tanyanya hendak dicek tapi ditahan. "Tunggu, kalau kita cek terus dia mati apa kita akan dituduh sebagai pelakunya?" tanyanya was-was. Pemahaman orang desa masih sangat sedikit tentang hukum. Mereka takut melakukan tindakan. "Kau ini, bagaimana kalau dia hanya pingsan? Lalu kita telat memberikan pertolongan. Apa jadinya?" kata petani pertama lalu mengecek nadi Mila. "Jadi kuntilanak, yang akan bergentayangan," celetuknya. "Kau ini, syukurlah dia masih hidup. Ayo bantu aku mengkatnya," titahnya. Mereka membawa Mila ke puskesmas terdekat agar Mila mendapatkan perawatan. Wanita hamil ini tubuhnya sudah sangat dingin. "Tunggu, bukan kah ini cucu mantu Kakek Pramono," ujar salah satu perawat. Dia ingat sekali wajah Mila, karena b
Malam ini Agil tidak bisa tidur, dia memikirkan istri dan calon bayinya. Mereka pasti sangat ketakutan."Agil, sudah malam harusnya kamu tidur," kata Sari.Sari memanfaatkan moment hilangnya Mila untuk melayani Agil. Meskipun, dia selalu menolak makan dan minum apa yang dia sediakan.Agil tidak bisa makan, sedangkan istrinya di luar sana tidak tahu sudah makan atau belum."Mas, makan ya. Nanti kalau sakit malah tidak bisa cari Nona Mila," Tono menasihati Agil. "Benar kata Tono, aku siapkan makan ya," ujar Sari.Meskipun tidak ada respon Dari Agil dia tetap menyiapkan makanan. Agil memilih pergi ke kamarnya memikirkan cara mencari sang istri.Agil menoleh ke arah pintu saat terdengar suara ketukan pelan lalu terbuka."Agil, aku bawa teh hangat untumu. Minum ya," Sari menaruh cangkir berisikan teh hangat."Sari, lebih baik kamu keluar kamar. Tidak baik berduaan di kamar," titah Agil."Baiklah, tapi setelah kamu meminum teh buatanku," ujarnya.Agil mengangguk, tapi anggukan Agil tidak
"Siapa kalian?" tanya Mila dengan ketus saat melihat dua orang laki-laki bertubuh kekar dengan wajah seram."Tak perlu tahu, menurut saja jika kau ingin selamat," jawabnya dengan mengepulkan rokok.Mila mendengus, "Kalian mau apa? Uang?" tanya Mila enteng. Dia berusaha untuk tenang dan tidak takut, agar mereka tidak mudah diancam.Orang-orang itu mengerutkan keningnya, kali ini mendapatkan tawanan yang unik. Dia bukanya takut justru menawarkan uang kepadanya."Berapa uang yang diberikan tuanmu itu, aku bayar dua kali lipat," tawar Mila dengan ringan. Dia berpikir orang yang mencuri uang itu hanya memberikan uang beberapa juta saja. Karena orang desa tidak akan memberikan tawaran yang besar."Jangan sesumbar, kau ini hanya orang kaya miskin. Bagaimana mau membayar kita," jawabnya ringan juga mengimbangi omongan Mila.Mereka ingat tuannya mengatakan jika Mila itu adalah orang kaya miskin. Dan juga pekerjaannya sebagai wanita penghibur.Sehingga mereka boleh melakukan apa-apa termasuk
Delvin pulang dengan keadaan mabuk, ia mengoceh sembarangan di depan rumahnya. Sarah yang mengetahui keadaan anaknya langsung menghampiri sebelum suaminya mengetahui dan mengusirnya dari rumah. “Delvin, apa yang kau lakukan?” ucap Sarah. Ia meminta satpam memapah Delvin sampai ke dalam kamarnya. Setelah itu Sarah mengganti semua pakaian anak laki-lakinya yang masih terus mengoceh. “Itu semua gara-gara si tua bangka!” makinya. Dia terus mengomel kalau ayah tirinya itu terus memarahinya, jelas semua ini bukan kesalahannya. Melainkan anak buahnya yang tidak becus dalam bekerja. “Diam Delvin, cepatlah sadar atau kau akan menyesalinya besok,” kata mamanya sembari menyelimuti Delvin. Sarah sangat kecewa dengan anaknya itu yang tidak bisa menggunakan kesempatan yang sudah ia berikan. Menjelang pagi, Delvin mulai sadar. Ia menepuk pelipisnya yang terasa pusing. Kepalanya masih berat karena efek dari alkohol yang di tegaknya terlalu banyak. Pemuda itu bergegas mandi, sebelum telat masuk
“Pak, ini laporan perusahaan bulan ini,” Riska memberikan laporan perusahaan setelah di pegang oleh Delvin.“Terima kasih, kamu boleh keluar,” ucapnya sembari menerima berkas dari Riska.Riska menundukan kepala, lalu meninggalkan ruangan Danu.Danu sudah lama tidak mengecek perusahaan setelah di percayakan kepada Delvin. Sama halnya dulu waktu masih dipegang oleh Mila. Danu menelpon Riska agar Delvin datang ke ruangannya sekarang juga. Tapi, sangat mengejutkan Delvin belum ada di kantor padahal jam sudah siang.Riska mengatakan jika tidak ada yang jadwal bertemu klien hari ini. Akhirnya Danu memanggil Riska kembali ke ruangannya.“Riska di mana Delvin?” tanya Danu, seingat dia Delvin berangkat pagi sekali.“Saya tidak tahu Pak, tapi hampir setiap hari Pak Delvin datang telat. Bahkan sering tidak di kantor. Meeting seting digagalkan,” ucapnya.Delvin sering membatalkan meeting ketika dia tidak mood, dia menjalankan perushaan seenaknya.Danu menanyakan penjualan beberapa bulan terakhir
"Villa ini sangat bagus, ya," kata Mila sembari melihat pemandangan sore di sekeliling Villa."Kamu suka?" Agil menaruh cangkir berisikan teh hangat di samping Mila.Mila mengangguk, siapa yang tidak suka dengan Villa bagus? Pemandangan yang indah dan strategis. Pasti akan menguntungkan jika dijadikan bisnis."Tentu saja aku sangat suka dengan tempat sebagus ini," katanya sembari menoleh sebentar ke arah Agil. Agil menyesap teh hangatnya. "Kalau suka aku kasih kamu," kata Agil enteng.Mila tertawa mendengar ucapan Agil, dia menganggap Agil bercanda. Dari mana Agil memiliki uang untuk membeli Villa semahal itu?Kamu kenapa tertawa?" Agil menaruh cangkirnya. Dia memiringkan kakinya untuk menghadap ke arah Mila."Tidak apa," ucapnya sembari menggelengkan kepala."Kamu tidak percaya?" Ujar Agil.Mila mengusap punggung tangan Agil, "Diajak jalan-jalan ke sini saja aku sudah senang. Jadi kamu tidak perlu memberikan ini." Mila sadar diri, dia tidak mau memaksakan Agil memberikan barang-ba