“Maaf, aku tidak sempat memberitahumu soal bekerja di Inter Tech. Aku pikir, akan lebih baik jika kau ikut bergabung,”
Leonhart berkata pelan saat mereka duduk di dalam mobil, setelah konferensi pers selesai. Nadine menunduk, lalu menatap Leonhart dengan serius. “Kenapa kau mengambil keputusan tanpa persetujuanku? Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?” kata Nadine, sedikit kesal. Leonhart terdiam sesaat sebelum akhirnya bicara. “Kupikir keputusan yang kuambil adalah keputusan terbaik untukmu. Mungkin karena aku terbiasa mengambil keputusan sendiri, aku jadi tidak mempertimbangkan perasaanmu.” Nada suaranya terdengar menyesal. Nadine mengangguk pelan. “Itu masa depanku. Mulai sekarang, aku ingin kau menanyakan dan memberitahuku lebih dulu sebelum mengambil keputusan,” ucapnya tenang tapi tegas. Leonhart menatapnya, lalu bertanya hati-hati, “Jadi … apa kau tidak ingin bergabung dan bekerja di Inter Tech?” “Siapa bilang aku tidak mau? Tentu saja aku sangat ingin bergabung disana.” jawab Nadine. Leonhart tersenyum tipis. “Oke. Aku akan mempersiapkannya semuanya.” ucapnya. Tak lama kemudian, mobil mereka sampai di apartemen tempat tinggal Leonhart. Mereka langsung naik ke lantai 20. Apartemen itu tampak sangat mewah, Kelasnya jelas berada di atas apartemen-apartemen mewah yang biasa ditemui di Jakarta. Fasilitas dan pemandangannya pun bukan main. Memang cocok untuk tempat tinggal seorang CEO sekelas Leonhart. Setelah sampai di apartemen, Leonhart langsung menunjukkan kamar Nadine. “Ini kamarmu. Sudah dibersihkan dan semuanya sudah disiapkan. Kalau ada yang kau butuhkan, langsung saja bilang padaku,” ucap Leonhart. “Baik, terima kasih.” jawab Nadine Nadine masuk dan melihat ke sekeliling kamarnya. Ruangan itu cukup luas, dengan jendela besar yang langsung menghadap pemandangan kota Singapura. Kamar mandinya bersih, wangi dan ada bathtub besar di dalamnya. Beberapa menit kemudian, Leonhart masuk membawa segelas air untuk Nadine. “Ini untukmu,” ucap Leonhart sambil menyerahkan gelas itu. “Terima kasih.” jawab Nadine Ia meneguk airnya perlahan, sambil menikmati hembusan angin yang mengenai wajahnya. “Aku tahu, ini terlalu berat untukmu,” kata Leonhart tiba-tiba. Nadine menatap lurus ke jalan raya. “Ya, kau benar. Tapi sekarang, aku akan berusaha tetap kuat,” jawabnya pelan. “Mulai sekarang, aku akan memberitahu dan melibatkanmu dalam semua keputusan. Termasuk soal pekerjaanmu nanti,” ucap Leonhart. “Ya, tolong bicarakan dulu denganku,” jawab Nadine sambil menatap Leonhart. “Jadi, kau siap untuk bekerja minggu depan?” tanya Leonhart memastikan. “Tentu saja, aku siap!” jawab Nadine dengan tegas. Leonhart terlihat lega. Ia tersenyum tipis dan berkata, “Bagus. Kau akan mulai dari Divisi Pengembangan Produk dulu.” Leonhart berdiri dan keluar dari kamar Nadine. Ia berjalan menuju ruang tamu dan membuka laptopnya. Tak terasa, hari sudah malam. Nadine bersiap ingin mandi dan berendam di bathtub, lalu mengganti pakaiannya. Saat selesai, Nadine mengenakan piyama dan membiarkan rambutnya tergerai. Wajahnya mulai terlihat santai. Nadine keluar kamar dan melihat Leonhart duduk di sofa ruang tamu dengan laptopnya. Padahal malam sudah larut, dan mereka telah melalui hari yang melelahkan namun, Leonhart masih bekerja. “Kau belum tidur?” tanya Nadine menghampiri Leonhart. “Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan,” jawab Leonhart santai. “Apa kau nyaman tinggal disini?” lanjutnya tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya. “Lumayan, aku hanya belum terbiasa, tapi aku akan beradaptasi,” jawab Nadine sambil berjalan ke dapur. “Aku sudah menyiapkan pasta untukmu dimeja makan,” ucap Leonhart “Apa kau sudah makan?” tanya Nadine yang hanya melihat satu porsi pasta di meja. “Ya, aku sudah makan tadi,” jawab Leonhart yang masih sibuk dengan laptopnya. Nadine mulai memakan pasta buatan Leonhart. Rasanya lumayan, tidak terlalu buruk, meski teksturnya sedikit keras, mungkin karena dimasak terburu-buru. Setelah selesai makan, Nadine membersihkan peralatan makannya, lalu berjalan menuju balkon. Nadine berdiri, memejamkan mata, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Rasanya segar dan menenangkan. “Indah, bukan?” tanya Leonhart yang ternyata sudah berdiri di samping Nadine. Nadine membuka mata perlahan dan menoleh sebentar ke arah Leonhart. “Ya, di sini indah dan tenang. Aku seperti merasa bebas,” jawab Nadine, tersenyum tipis. Leonhart mengangguk kecil. “Apa ada lagi yang kau butuhkan? Aku bisa menyiapkannya untukmu,” tanya Leonhart. Nadine tersenyum tipis dan menggeleng pelan. “Untuk saat ini, tidak ada.” Leonhart kembali menatap Nadine. “Minggu depan, kau akan mulai bekerja di Inter Tech,” ucapnya. “Kau sudah mengatakan itu, Leonhart,” jawab Nadine sambil terkekeh. “Benarkah? Aku takut lupa memberitahumu lagi,” tanya Leonhart, memastikan. Nadine mengangguk perlahan. “Baiklah, aku akan mempersiapkan diri dari sekarang,” kata Nadine dengan semangat. “Tak perlu terburu-buru. Nikmati dulu saja waktumu,” ucap Leonhart dengan lembut. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Angin malam makin kencang berembus, tapi tak satu pun dari mereka bergerak dari tempat. “Terima kasih, Leonhart,” ucap Nadine tiba-tiba. Leonhart mengerutkan alis sedikit. “Untuk apa?” tanyanya, bingung. “Karena kau telah menyelamatkanku dari Rafael,” jawab Nadine jujur. Leonhart mengalihkan pandangannya ke langit malam. “Tidak perlu berterima kasih, karena ini hubungan mutualisme,” ucapnya santai. Nadine menunduk, tersenyum getir, lalu berkata pelan, “Ya, ini hanya hubungan mutualisme .…”“Saya tidak menyangka bahwa paman saya ternyata juga ingin menikahi tunangan saya.”Rafael berakting sedih di depan wartawan, seolah-olah dirinya adalah korban dari Leonhart.Berita tentang konferensi pers Rafael dengan cepat menyebar hingga ke Singapura.Komentar negatif mulai bermunculan dari segala arah, dan cacian serta makian ditujukan untuk Leonhart yang dianggap merebut tunangan dari keponakannya sendiri.Nadine yang melihat konferensi pers Rafael mulai muak dengan semua tuduhannya terhadap Leonhart.“Apa kau akan diam saja?” tanya Nadine dengan nada kesal.Leonhart tak menjawab. Ia menyeruput kopinya dengan santai.Nadine yang heran dengan ketenangan Leonhart atas masalah ini, menjadi kesal.“Kenapa diam? Apa kau kehabisan cara untuk menyelesaikan ini? Apa kau akan diam saja di tuduh seperti ini oleh bajingan itu? tanyanya bertubi-tubi.Leonhart menatap Nadine, menenangkannya. Dengan percaya diri, ia tersenyum kecil.“Tenanglah, tak usah panik. Bagaimanapun, Rafael tak akan pe
“Apa kau sudah siap?”tanya Leonhart begitu melihat Nadine keluar dari kamarnya. Nadine tampak rapi dengan blouse putih dan celana panjang hitam. Rambutnya ditata rapi dan dijepit kebelakang.“Mungkin.” jawab Nadine sambil tersenyum kecil, meski wajahnya terlihat tegang.Bagaimana tidak? Hari ini Nadine akan diperkenalkan secara resmi ke tim inti Inter Tech, dan berkeliling kantor untuk melihat divisi tempat ia akan bekerja nanti.“Ini, makanlah dulu,” ucap Leonhart sambil memberikan semangkuk salad sayuran ke Nadine.“Terima kasih,” jawab Nadine.Nadine tidak langsung menyantap sarapannya. Ia cukup lama memandangi saladnya sambil melamun.Leonhart memperhatikan raut wajah Nadine yang tampak tegang. Ia mulai khawatir.“Apa kita tunda saja perkenalan hari ini?” tanyanya pelan.Nadine cepat menggeleng. “Ti-tidak, jangan ditunda. Aku sudah menyiapkan diri untuk pertemuan hari ini,” jawabnya, sedikit gugup.“Benarkah? Apa kau yakin?”Nadine menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Ya. Janga
“Ternyata ini tidak seburuk yang aku bayangkan.”Itulah yang Nadine pikirkan ketika ia membuka matanya pagi itu. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya telah menikah dengan Leonhart.Nadine bangun dan duduk ditepi tempat tidurnya, lalu menatap ke arah jendela. Samar samar terlihat pemandangan jalan raya kota dari balik tirainya.Nadine berdiri dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri serta mengganti pakaian.Setelah mandi dan berpakaian santai, Nadine keluar dari kamarnya. Ia melihat Leonhart sudah duduk di meja makan, menyantap sepotong sandwich dan secangkir kopi.“Pagi,” sapa Nadine sambil duduk di sebelah Leonhart.Leonhart menoleh, lalu mengangguk. “Pagi. Apa tidurmu nyenyak?” tanyanya.Nadine mengangguk. “Lumayan,” sahutnya.Ia mengambil sepotong sandwich dan menuangkan jus ke dalam gelasnya. Nadine menyantapnya dalam diam.Leonhart yang sudah selesai sarapan, bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruang tamu untuk kembali bekerja.“Setelah selesai sarapan, temui aku di
“Maaf, aku tidak sempat memberitahumu soal bekerja di Inter Tech. Aku pikir, akan lebih baik jika kau ikut bergabung,”Leonhart berkata pelan saat mereka duduk di dalam mobil, setelah konferensi pers selesai.Nadine menunduk, lalu menatap Leonhart dengan serius. “Kenapa kau mengambil keputusan tanpa persetujuanku? Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?” kata Nadine, sedikit kesal.Leonhart terdiam sesaat sebelum akhirnya bicara. “Kupikir keputusan yang kuambil adalah keputusan terbaik untukmu. Mungkin karena aku terbiasa mengambil keputusan sendiri, aku jadi tidak mempertimbangkan perasaanmu.” Nada suaranya terdengar menyesal.Nadine mengangguk pelan.“Itu masa depanku. Mulai sekarang, aku ingin kau menanyakan dan memberitahuku lebih dulu sebelum mengambil keputusan,” ucapnya tenang tapi tegas.Leonhart menatapnya, lalu bertanya hati-hati,“Jadi … apa kau tidak ingin bergabung dan bekerja di Inter Tech?”“Siapa bilang aku tidak mau? Tentu saja aku sangat ingin bergabung disana.” jawab
“Apa tanggapan kalian terkait video rekaman keluarga Wijaya yang tersebar?”tanya seorang wartawan yang langsung menghampiri Nadine dan Leonhart yang baru saja turun ke lobi hotel.Nadine kebingungan. Video apa yang dimaksud para wartawan? Nadine menatap Leonhart dengan penuh tanya.“Kami akan menjelaskannya dalam konferensi pers siang ini di Singapura. Tolong beri kami waktu,” jawab Leonhart dengan tenang.Konferensi pers? Nadine bertanya-tanya apa maksudnya, kenapa ia tidak diberitahu apapun?Mereka segera naik ke mobil yang sudah disiapkan dan segera berangkat menuju bandara Soekarno Hatta.“Apa maksud para wartawan tadi? Rekaman video apa? konferensi pers apa? Kenapa kau tidak memberitahuku apa pun?” Nadine menatap Leonhart, matanya penuh tanda tanya.Leonhart menatap Nadine lekat-lekat. “Rekaman itu tentang percakapan kita sehari sebelum pernikahan. Dan soal konferensi pers … maaf, aku benar-benar lupa memberitahumu.”“Maksudmu soal kau yang ingin menggantikan Rafael menikah de
“Ada apa? Apa kau datang karena berubah pikiran?”Suara Nadine pelan, tapi terasa getir. Ia duduk sambil memandangi dirinya di depan cermin rias.Leonhart meletakkan amplop coklat di meja rias Nadine, “Aku tidak berubah pikiran. Aku hanya ingin memberimu ini,” jawab Leonhart.“Apa ini kontrak pernikahan?” tanya Nadine.Leonhart hanya menganggukan kepalanya.“Aku hanya ingin kau melihat dan memeriksanya. Jika ada syarat yang mau kau tambahkan, kau bisa katakan padaku,” ucapnya tanpa basa-basi.Tanpa menunggu jawaban Nadine, Leonhart berbalik dan melangkah keluar dari ruangan.Nadine perlahan mengambil amplop itu dengan tangan yang gemetar, lalu dengan hati-hati ia membuka amplop itu dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang dijadikan satu di dalamnya.Nadine membaca satu per satu terkait pasal dalam kontrak. Nadine terdiam. Ia menarik napas panjang.Nadine sedikit lega setelah membaca isi kontrak itu. Ia sempat berpikir bahwa Leonhart akan benar-benar memperalatnya melalui kontrak t