Share

BAB 4

Author: Ranisipenulis
last update Last Updated: 2025-07-07 09:54:15

Ternyata, dari kejauhan, Dona dan supir pribadinya menyaksikan sendiri perbuatan Arga terhadap dua orang yang tak berdaya itu. Awalnya, Dona hanya ingin mengantar ponsel yang tertinggal, namun, saat melihat Arga mendorong dan mengusir mereka keluar rumah di tengah hujan deras, ia terdiam, terkejut dan kecewa, iaa belum mengetahui bahwa pria paruh baya dan gadis kecil yang diperlakukan kasar itu adalah ayah dan adik kandung Arga sendiri.

"Nyonya, kita langsung pulang ke mansion?" tanya sang supir sopan, sambil mulai menjalankan mobil perlahan.

Ia memang terbiasa menanyakan tujuan, karena Dona kerap mampir ke beberapa tempat setelah pulang dari kantor.

Dona menoleh, matanya masih menyiratkan rasa tidak percaya atas apa yang baru saja ia lihat.

"Tidak, kita cari dua orang yang tadi diusir oleh Pak Arga," ucapnya mantap.

"Mereka terlihat sangat kasihan, diperlakukan seperti itu di tengah cuaca yang buruk. Hujannya semakin deras, petir menyambar-nyambar, dan angin pun kencang, mereka bisa sakit atau celaka."

"Baik, Nyonya, saya juga tidak menyangka, ternyata Pak Arga bisa sekejam itu. Padahal dia manajer kepercayaan di perusahaan Danendra Group," ujar sang supir, turut menunjukkan rasa tak percaya.

"Kamu saja tidak menyangka, apalagi saya," balas Dona dingin.

"Sekarang, kamu fokus saja pada jalan. Kalau kamu melihat mereka, segera hentikan mobil."

"Siap, Nyonya."

Dona kemudian menatap tajam ke luar jendela, matanya menyapu setiap sudut jalan, mencari dua sosok yang tadi terus menghantui pikirannya. Di balik ekspresinya yang tenang, hatinya berkecamuk antara marah, iba, dan ingin tahu lebih jauh tentang siapa sebenarnya kedua orang itu.

Di tempat lain...

Di sebuah pos ronda kecil yang nyaris tak bisa menahan derasnya hujan dan angin, Ergan dan Jihan duduk saling berpelukan, tubuh mereka kuyup, gemetar karena udara malam yang menusuk tulang. Angin kencang membuat air hujan menyapu dari segala arah, membasahi mereka tanpa ampun.

"Papa... aku sangat dingin..." lirih Jihan dengan suara nyaris tak terdengar. Bibirnya membiru, tubuh kecilnya menggigil hebat.

Ergan memeluk putrinya semakin erat, menutupinya dengan tubuhnya sendiri sejauh yang ia bisa.

"Peluk Papa lebih erat, Sayang... kita akan baik-baik saja. Percayalah, Nak. Allah tidak akan membiarkan kita kedinginan seperti ini selamanya..." ucap Ergan, suaranya bergetar menahan haru.

Ia tidak tahu harus ke mana lagi. Tapi satu hal yang ia yakini: ia harus menjaga Jihan, apapun yang terjadi.

Ergan menangis dalam diam.

Air matanya jatuh bersamaan dengan derasnya hujan, tersamar oleh rintik yang membasahi wajahnya. Ia menatap putrinya yang terguncang kedinginan dalam pelukannya, dan hatinya terasa hancur.

Dalam hati, ia terus berdoa memohon kepada Sang Pencipta, menyembunyikan kepedihannya dari Jihan.

"Ya Allah... jangan ambil anakku, jika Engkau ingin mengambil nyawa, ambillah nyawaku saja. Tapi izinkan aku membahagiakan anakku terlebih dahulu, ya Allah..." bisiknya lirih, penuh ketulusan dan ketakutan.

Ergan memeluk tubuh kecil Jihan semakin erat, mencoba mengalirkan sedikit kehangatan dari tubuhnya yang juga mulai menggigil. Saat itulah, seberkas cahaya lampu kendaraan tampak menghampiri., sebuah mobil berhenti perlahan di depan pos ronda.

Jantung Ergan berdegup kencang.

Seseorang keluar dari mobil dan mulai melangkah mendekat. Langkah itu mantap, tapi lambat, seolah sengaja agar tidak mengejutkan. Ergan menatap sosok yang mendekat dengan waspada, hatinya mulai cemas.

"Siapa dia...? Orang jahatkah...? Ya Allah, lindungi kami..." gumamnya lirih sambil merapatkan pelukannya pada Jihan.

Laki-laki itu kini telah mencapai undakan pos ronda. Dengan tenang, ia mengulurkan payung ke arah Ergan.

"Mari ikut saya, Pak. Jangan khawatir... saya bukan orang jahat, Anda sedang ditunggu oleh majikan saya di mobil," ujarnya ramah.

Ergan terdiam sejenak, memandang lelaki itu dengan sorot mata penuh tanya. Tapi ada ketulusan dalam nada suaranya, dan tubuhnya yang bersih meski terkena hujan menunjukkan bahwa dia bukan gelandangan atau orang sembarangan.

Ergan pun menyadari: itu adalah sopir pribadi dari wanita yang datang ke rumah Arga tadi, Bu Dona.

Rupanya, wanita itu telah memperhatikan mereka dari kejauhan. Mungkin dia menyaksikan semuanya.

Tanpa banyak pikir, Ergan mengangguk pelan. Tangannya yang gemetar meraih payung yang disodorkan, ia lalu menggendong Jihan dan bangkit perlahan.

Hati kecilnya masih ragu, tapi ada sesuatu dalam suara pria itu yang membuatnya percaya.

Mungkin... ini jawaban dari doanya barusan.

"Sebenarnya, ada apa ini? Siapa kalian? Kenapa kalian menghampiri saya?" tanya Ergan dengan suara pelan namun penuh kewaspadaan, sambil tetap menggendong putrinya yang terlelap dalam pelukannya.

Laki-laki yang mengulurkan payung itu tersenyum tipis, lalu menjawab dengan tenang, "Nanti Bapak akan tahu siapa kami. Lebih tepatnya, siapa majikan saya, saya hanyalah supir pribadinya."

Ergan terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan, ia tak punya pilihan lain, yang terpenting sekarang adalah keselamatan Jihan. Ia mengikuti langkah sopir itu menuju mobil yang terparkir tak jauh dari pos ronda.

Saat mereka semakin dekat, Dona yang duduk di kursi belakang langsung membukakan pintu mobil. Wajahnya menunjukkan kelegaan saat melihat Ergan dan Jihan selamat.

"Ayo, Pak. Cepat masuk," pinta Dona sambil menatap Ergan dengan penuh empati.

Ergan sempat hendak menaikkan Jihan terlebih dahulu ke dalam mobil, namun, ia mengurungkan niatnya. Ia menoleh kepada Dona dan berbicara dengan suara penuh keraguan.

"Maaf, Nyonya... kami basah kuyup, nanti mobil mewah Anda akan kotor dan basah. Cukup payung ini saja sudah sangat membantu kami," ucapnya dengan penuh hormat dan rasa tidak enak hati.

Namun, Dona hanya tersenyum lembut.

"Bapak dan putri kecil Anda jauh lebih berharga daripada mobil ini. Tolong masuk, kalian berdua butuh kehangatan dan tempat yang aman, jangan khawatirkan soal lainnya," katanya dengan nada tegas, namun, penuh ketulusan.

Ergan menatap wanita itu sesaat. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kebaikan ini tulus. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengangguk dan perlahan memasukkan Jihan ke dalam mobil, lalu menyusul duduk di samping putrinya, berusaha tetap berhati-hati agar tidak terlalu membasahi interior mobil.

Dona menutup pintu, lalu memberi isyarat pada sopir untuk segera melanjutkan perjalanan.

Di dalam mobil, suasana hening sesaat. Hanya suara hujan dan hembusan napas lelah yang terdengar.

Namun, di dalam hati Ergan, ia hanya bisa berkata lirih,

"Terima kasih, ya Allah... atas pertolongan-Mu malam ini."

Ergan refleks menatap ke arah anaknya. Dan benar apa yang dikatakan wanita itu, bibir Jihan mulai membiru, wajahnya semakin pucat, dan tubuh mungil itu tampak lemas dalam pelukannya.

Ergan langsung memeluk Jihan erat-erat. Dona segera menggeser duduknya untuk memberi ruang lebih, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas mewahnya dan menekan nomor cepat.

"Selamat malam juga, Dok, segera datang ke mansion saya sekarang, ini darurat. Terima kasih," tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Dona menutup telepon dan menyelipkan kembali ponselnya ke dalam tas.

Sementara itu, Ergan mulai panik. Ia menepuk-nepuk lembut pipi Jihan sambil memanggil putrinya dengan suara parau.

"Sayang... buka matamu, Nak. Papa mohon... bangun, Jihan... Papa di sini..."

Air matanya menetes perlahan, mencampur dengan sisa hujan yang masih membasahi wajahnya, dalam suasana mencekam itu, Dona segera mendekat ke arah Ergan dan menoleh ke arah depan.

"Pak, nyalakan penghangat mobil, sekarang juga!" perintahnya dengan suara keras namun penuh kekhawatiran.

"Siap, Nyonya!" jawab sang sopir, segera menyalakan sistem pemanas.

Suhu di dalam mobil mulai hangat. Kabut tipis di kaca perlahan memudar, dan udara dingin mulai berganti menjadi kehangatan yang menenangkan.

Beberapa detik kemudian, Jihan menggeliat kecil dalam pelukan ayahnya. Matanya yang semula terpejam perlahan terbuka, menatap lemah ke arah wajah Ergan.

"Pa..." bisiknya lirih.

"Alhamdulillah... Jihan sadar. Terima kasih, ya Allah..." ucap Ergan, memeluk anaknya erat dengan rasa syukur yang tak terhingga.

Dona tersenyum kecil melihat momen itu, namun di balik senyumnya, ada rasa prihatin yang sangat dalam. Hatinya terasa teriris melihat seorang ayah dan anak harus menghadapi malam yang kejam hanya karena pengkhianatan orang terdekat.

"Hangat sekali, Papa..." lirih Jihan, suaranya pelan namun cukup jelas terdengar oleh Ergan dan Dona.

Mendengar suara itu, Dona tersenyum lega. Matanya menatap haru ke arah gadis kecil yang perlahan mulai sadar.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 75

    Baru saja ia hendak duduk, suara mobil berhenti keras di depan mansion. Dari arah luar, Cakra dan Hendrian langsung bergerak cepat ke pintu depan.Tak lama kemudian, suara langkah tergesa dan bentakan terdengar."Mana Dona?! Mana Ergan?!" suara Yuli terdengar keras, menggema di aula depan.Dona menegakkan tubuh, matanya langsung menatap Ergan."Mas... itu Yuli," ucap Dona"Saya sudah duga dia akan datang," ucap Ergan sambil menghela napas panjang.Pintu ruang tamu terbuka keras. Yuli berdiri di sana, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya merah padam menahan amarah. Di tangannya, selembar surat berkop polisi tergenggam erat."Ergan! Ini apa maksudnya! Kamu benar-benar melaporkan anakmu sendiri ke polisi!" bentaknya lantang sambil mengangkat surat itu. Ergan berdiri tenang, tapi sorot matanya tegas."Itu surat panggilan untuk Arga. Polisi yang kirim, bukan saya," jawab Ergan dengan nada sedikit tinggi."Jangan berbohong!" teriak Yuli lagi. "Kalau bukan karena laporan kalian, mana mun

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 74

    "Tentu saja. Tapi sekarang kamu tidur lagi ya, tubuh kamu masih sangat lelah, Sayang," jawab Ergan sambil tersenyum hangat.Jihan kembali berbaring, dan Dona menunduk mencium kening Jihan berkali-kali. "Mama sayang kamu," bisiknya pelan."Aku juga sayang Mama dan Papa," jawab Jihan lirih sebelum matanya kembali terpejam.Ergan menatap mereka dengan pandangan penuh kasih. "Dona, saya benar-benar bersyukur kamu kuat menghadapi ini," ucapnya pelan."Aku kuat karena aku tahu kamu selalu di sampingku, Mas. Kita berdua harus jadi tembok buat Jihan, dia butuh kita sekarang," jawab Dona sambil menatap suaminya.Ergan mengangguk mantap. "Saya akan pastikan Arga tidak mendekati Jihan sampai dia benar-benar sadar akan perbuatannya," ucap Ergan sambil mengangguk mantap.Dona menatap suaminya dalam diam, lalu berkata dengan nada tegas, "Besok pagi kita ke kantor polisi jam delapan, Mas, aku sudah siapkan semua bukti dan laporan dari pihak hotel. Mereka punya rekaman CCTV di aula pesta," ucap D

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 73

    "Mas," ucap Dona lembut sambil menatap Jihan yang masih tertidur di pelukan dan gendongannya. "Malam ini, biar Jihan tidur bersama kita saja. Aku tidak tenang kalau dia di kamarnya sendiri," ucap Dona.Ergan mendekat, menatap putrinya dengan wajah iba. "Saya setuju, Dona. Setelah apa yang dia alami, lebih baik Jihan tidak jauh dari kita malam ini," jawab Ergan setuju.Dona mengangguk, lalu perlahan mengelus rambut anaknya yang lembut. "Kasihan, Mas… tubuhnya masih lemah. Setiap kali aku menatap wajahnya, rasanya seperti melihat luka yang belum kering," ucap Dona yang menatap sendu ke arah anak kesayangannya itu.Ergan menatap istrinya dalam diam, lalu menepuk bahu Dona pelan. "Saya tahu, Dona, tapi sekarang yang paling penting, kita buat dia merasa aman. Tidak ada yang bisa menyentuhnya lagi di rumah ini," jawab Ergan.Dona tersenyum tipis. "Aku akan pastikan itu, Mas. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mendekatinya tanpa izin kita," ucap Dona dengan nada serius.Mereka berjalan

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 72

    Dona masih mendekap Jihan erat di pelukannya. Hidungnya menempel pada rambut lembut putrinya itu, berkali-kali mengecup kening dan pipi Jihan. "Sayang, kamu tidak sendiri, ada Mama, ada Papa. Kamu tidak perlu takut lagi, Sayang," ucap Dona.Air mata Jihan menetes lagi. "Mama… aku takut kalau Kak Arga marah lagi. Sakit sekali tadi, Mama," ucap Jihan dengan tubuh gemetar karena ketakutan.Dona menahan perih di dadanya, ia mengecup kedua pipi Jihan bergantian dengan penuh kasih sayang. "Tidak akan ada yang menyakitimu lagi. Mama janji," jawab Dona lalu memeluk Jihan lebih erat, seolah ingin menutupinya dari seluruh dunia.Ergan berdiri tidak jauh, menatap istri dan putrinya. Pandangannya dalam, campuran antara sedih dan marah. "Dona…" panggilnya pelan.Dona menoleh, matanya basah. "Mas… aku tidak mengerti. Kenapa Arga bisa setega itu sama Jihan? Dia kakaknya sendiri," ucap Dona yang masih tidak menyangka."Saya juga tidak mengerti. Tapi satu hal yang jelas, kita tidak bisa diam," ja

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 71

    Namun Dona menoleh dengan tatapan menusuk. "Arga." Suaranya merendah tapi dingin, membuat ruangan langsung hening. "Kamu sudah menampar anak kecil yang tak bersalah sampai pingsan di pesta ulang tahunnya sendiri. Kamu masih punya keberanian bicara di sini?"Arga terdiam, wajahnya makin memerah."Kalau kamu punya sisa harga diri, lebih baik diam sebelum saya benar-benar menuntutmu secara hukum," lanjut Dona.Suasana ruangan makin tegang. Para wartawan saling menatap, jelas mereka tak menyangka seorang wanita bisa berdiri begitu berani menghadapi keluarganya sendiri.Yuli, mama kandung Jihan, melangkah maju dengan wajah pucat pasi. "Bu Dona… tolong, jangan perbesar masalah ini. Arga hanya… hanya terpancing emosi," ucap Yuli.Dona menatap Yuli, kali ini dengan sorot mata tajam bercampur jijik. "Emosi? Menampar anak lima tahun sampai pingsan itu emosi? Jangan ajari saya membenarkan kekejaman, Bu Yuli," jawab Dona."Dia bukan siapa-siapa bagi saya!" seru Yuli tiba-tiba, suaranya mening

  • Menikahi Papa Karyawanku   BAB 70

    Tanggal 4 Oktober 2025, hari ini terasa istimewa bagi Dona, putrinya, Jihan, baru saja menginjak usia lima tahun, wanita itu sudah menyiapkan pesta mewah di sebuah gedung elegan di pusat kota. Semua sudah diatur rapi, balon, dekorasi bunga, kue besar dengan lima lilin di atasnya. Namun, hanya satu hal yang ia sengaja rahasiakan, bahwa pesta ini sebenarnya ulang tahun Jihan.Pagi ini, Dona berbicara pada suaminya."Mas, tolong bawa Jihan datang lebih dulu. Katakan saja ada acara kantor. Aku menyusul nanti,,," ucap Dona dengan lembut, namun matanya menyimpan sesuatu yang belum diungkap.Ergan menatap bingung. "Baiklah, tapi kenapa saya dan Jihan harus lebih dulu?" tanya Ergan."Aku ingin memberi kejutan," jawab Dona singkat.Ergan mengangguk, lalu mengajak Jihan bersiap. Pakaian mereka sederhana. Ergan mengenakan kemeja polos biru muda dengan celana hitam, sementara Jihan memakai gaun putih sederhana yang pernah dipakainya beberapa kali.Sesampainya di gedung megah itu, musik sudah men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status