Share

Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa
Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa
Penulis: HarunaHana

Bab 1: Lamaran Tak Terduga

“Harus banget gitu, Pa, nerima Bang Farhan?” 

Tatap takut-takut Kalila menyapu wajah laki-laki berusia 50 tahun yang duduk di kursi malas ruang tengah. Bukan ingin membantah, tetapi sebelum hari ini, Kalila tidak pernah diajak bicara tentang rencana perjodohan atau pernikahan. Ia tidak habis pikir, tidak ada angin tidak ada badai, papanya mendadak memintanya agar menerrima Farhan. Jangan-jangan Papa kena pelet Bang Farhan

“Farhan baik, La. Papa kira tidak ada alasan untuk menolak lamarannya.” Wisnu berdiri lalu meletakkan buku di rak. Ia beralih ke sofa di dekat dinding, duduk di samping Kalila. Salah satu tangannya diletakkan di bahu sofa, tepat di belakang Kalila.

Kalila menghela napas. Wangi mint dan melati dari cangkir tehnya tidak mampu mengusir gelisah di hati. Farhan memang manusia nyaris tanpa cela. Banyak orang mengidamkan kulkas tujuh pintu itu menjadi pendamping hidup. Namun, tidak bagi Kalila. Jarak usia yang cukup jauh, sikap dingin Farhan, menjadi alasan baginya untuk menolak. Selain itu, Farhan adalah kolega sang papa di kampus. Kalila sudah overthinking membayangkan komentar teman-temannya jika pernikahannya dengan Farhan terjadi.

“Lila masih unyu-unyu, Pa. Kenapa Lila harus menikah secepat ini?”

Hening sesaat. Wisnu mengalihkan pandangan ke foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tengah merangkap ruang makan. Tiba-tiba saja dadanya sedikit sesak sehingga ia perlu menarik napas dalam-dalam dengan mengeluarkannya perlahan. Bayang wajah istrinya mengapung di depan mata selama sekian detik sebelum akhirnya berhasil ditepisnya. Pria yang masih bugar di usia lewat setengah abad itu tidak ingin menangis di depan sang putri.

“La ....”

Kalila menoleh, menunggu Wisnu melanjutkan kata. Genggaman tangan pada cangkir mengerat. Gadis itu hapal, jika papanya berbicara dengan suara berat dan pelan, itu artinya akan ada hal serius yang akan dia ucapkan.

‘Papa nggak tahu bisa nemenin kamu sampai kapan. Papa takut, Papa pergi sementara kamu belum ada yang mengayomi.” Terdiam sesaat, Wisnu berusaha melerai duka. “Mama sudah nggak ada. Cuma kamu anak Papa, harta Papa. Papa ingin lihat kamu bahagia. Papa tidak ingin kamu hidup sendiri.”

Masalah itu lagi. Kalila membatin. Beberapa kali papanya menyinggung tentang usia dan akhir kehidupan. Kalila tidak suka. Bukan ingin menolak takdir, tetapi Kalila ingin membiarkan hidup ini mengalir apa adanya. Jika saat perpisahan itu tiba, Kalila tahu tidak akan siap dan pasti butuh waktu untuk melepas duka. Namun, Kalila juga tahu, Allah tentu sudah menyiapkan jalan agar hidupnya tetap baik-baik saja. Bukankah skenerio-Nya selalu yang terbaik?

“Papa akan tenang kalau kamu sudah menikah dengan laki-laki yang tepat. Menurut Papa, Farhan laki-laki yang tepat buatmu.” Wisnu mengangkat tangannya lalu mengusap pipi Kalila. Hatinya menghangat. Paras Kalila sangat mirip dengan sang mama. “Kalau soal umur, dua puluh dua tahun tidak terlalu muda. Dulu Mama nikah sama papa setahun lebih muda dan tidak masalah.”

Pandangan Kalila tertuju pada dua lembar daun mint pada permukaan air di cangkirnya. Bibirnya terkatup rapat sementara saraf-saraf otaknya sibuk mencari jawaban.

“Atau kamu punya calon lain? Kalau lebih baik dari Farhan, pasti Papa terima.” 

Manik mata gelap milik Wisnu Naratama menelisik paras Kalila. Selarik senyum tipis tersungging di bibirnya. Sebenarnya ia memang sudah lama ingin menjodohkan putri tunggalnya dengan salah satu dosen terbaik di fakultasnya itu. Namun, Wisnu harus menunggunya sampai selesai S3 dan mengajar kembali di Fakultas Teknik. 

Rupanya semesta menyimpan harapan Wisnu. Farhan memiliki keinginan serupa. Ketika dosen muda itu datang ke rumah untuk melamar Kalila, tanpa pikir panjang Wisnu mengiyakan. Ia sudah mengenal Farhan sejak lama dan yakin kalau laki-laki itu tepat untuk Kalila. 

Kepala Kalila tertunduk. Ditelannya ludah yang mendadak terasa sedikit pahit. Lalu, tiba-tiba wajah Haiyan, salah satu dosen di fakultas yang sama dengan Wisnu dan Farhan mengisi kepala, mengoyak hatinya untuk berkata “ya” demi membebaskan diri dari tuntutan sang papa agar menerima Farhan. 

Wisnu memindai wajah Kalila. Ia tahu putrinya menyimpan sesuatu. “Gimana, kamu ada calon lain? Kalau dia memenuhi syarat 3T pasti Papa terima.” Bibir Wisnu membusur. 

“Tiga T apaan, Pa?”

“Masa kamu tidak tahu? Papa saja tahu. Kudet kamu.” Kali ini Wisnu berujar santai dan tenang.

Kalila melongo.

“Tiga T itu Tampan, Takwa, Tajir. Kalau ada cowok kayak gitu, auto Papa terima buat gantiin Farhan.” 

“Memangnya Bang Farhan punya 3T?” Kalila menatap sangsi sang papa. Seingatnya, jangankan mobil, laki-laki itu malah ke mana-mana ditemani vespa jadul, membuatnya mirip manusia dari masa lalu yang tiba-tiba muncul dari mesin waktu.

“Dia cuma 2T. Nggak tajir.” Wisnu terkekeh.

“Terus kenapa Papa terima?” 

“Duit bisa dicari, La. Tapi kalau iman, itu yang susah.” 

“Manusia bisa berubah, Pa. Hari ini buruk, belum tentu esok lusa jelek. Mana tahu justru dia bertobat dan jadi jauh lebih baik.” 

“Menikah itu bukan coba-coba, La. Mendingan cari suami yang memang bener-bener baik. Kamu nggak akan mungkin mengubah manusia yang sudah melewatkan dua puluh tahun lebih umurnya. Kamu nggak sekuat itu. Kamu bukan wonder woman atau cat woman.” 

Ucapan Wisnu disambut tawa Kalila. “Papa ada-ada saja,” ujarnya setelah tawanya reda. “Tapi Bang Farhan sudah tua, Pa. Lagian kita, kan, nggak bisa lihat iman orang lain. Dari mana Papa tahu kalau Bang Farhan baik imannya?” 

Kali ini Kalila memasang tampang memelas. Tidak terbayang oleh Kalila akan menikah dengan laki-laki yang terpaut dua belas tahun dengannya. Duh, mimpi apa dia sampai harus nikah dengan om-om. Kalila bergidik. 

“Papa sudah sering nginep sama Farhan. Dia tidak pernah tinggal salat, bisa baca Quran dengan baik. Papa anggap itu cukup jadi bekal menikahi kamu.” Wisnu menjeda kalimat dengan helaan napas dan mengusap kepala Kalila. “Kalau soal umur, justru karena itu Papa pilih Farhan.” Wisnu mengelus punggung Kalila. “Kamu itu manja, gampang nangis, baperan. Cocok sama Farhan yang tenang dan sabar.”  

“Papa, kok gitu, sih?” Kalila beringsut, menjauhi tubuh Wisnu lalu menatap kesal lelaki itu. 

Jangan ngambek dulu. Wisnu tersenyum geli. “Papa yakin Farhan bisa bimbing kamu.” 

“Nggak cuma Bang Farhan yang bisa bimbing Lila. Memangnya nggak ada gitu, orang lain yang lebih muda dari Bang Farhan, Pa? Masa iya aku nikah sama om-om?”  

“Yang lebih muda banyak. Tapi yang cocok sama kamu, cuma Farhan.” Wisnu menjawab dengan yakin. Ia sudah memikirkannya sejak lama. Wisnu juga sudah meminta petunjuk pada Allah. Dia benar-benar yakin dengan pilihannya. Ia hanya perlu memberi waktu pada Kalila untuk berpikir jernih dan memilih dengan hati tenang.

“Tapi, Pa ….” 

“Sudah cukup pembicaraan kita, La. Tolong kamu pikirkan permintaan Papa. Jangan lupa istikharah.” Wisnu bangkit kemudian meninggalkan ruang tengah, membiarkan Kalila duduk dengan raut muka jengkel. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status