Share

Bab 2: Manusia Sok Cakep

Ide pernikahan yang dilontarkan sang papa merusak mood  Kalila pagi itu. Jadwal kegiatan yang telah tersusun har ini seketika ambyar. Waktu dan kesempatan berpikir yang diberikan padanya hanya formalitas. Kalila yakin seratus persen kalau papanya diam-diam sudah menerima lamaran Farhan. Semakin berpikir tentang Farhan, hati Kalila semakin meradang. Tiba-tiba ia teringat surat dari Haiyan enam bulan lalu. Ia harus segera menemui Haiyan dan meminta pria itu cepat-cepat melamarnya. Kalila yakin, Haiyan bisa menggeser Farhan dari hati Wisnu.

Mengingat Haiyan, gelisah di hati Kalila sedikit berkurang. Gadis berkulit putih dengan mata bulat itu buru-buru menghabiskan sisa teh dan beranjak mendekati meja makan. Semoga Mas Haiyan bisa membantuku, batinnya sembari membereskan bekas sarapan dengan gerakan kasar sehingga menimbulkan kegaduhan akibat piring dan gelas yang saling bertemu. Dibawanya peralatan makan itu ke dapur dan diletakkan dengan keras di atas sink. Dapur semakin riuh dengan tambahan bunyi kucuran air dari keran dan Moza, kucingnya, yang sibuk mengeong minta jatah makan.

Dering bel mengagetkan Kalila yang sedang menuang makanan kucing untuk Moza. Diletakkannya mangkuk plastik berbentuk kepala kucing di halaman belakang kemudian pergi ke ruang depan. Moodnya kembali memburuk ketika melihat bayangan tubuh Farhan dari balik jendela ruang tamu. Dilihatnya jam dinding. Sepagi ini sudah bertamu. Mana hari Minggu, lagi!

“Assalamualaikum. Prof. Wisnu ada?” Suara dan wajah datar tanpa ekspresi milik Farhan menyambut Kalila ketika pintu terbuka. Lelaki itu menyibak rambut bagian depan lantas memasang senyum manis. Salah satu tangannya memegang paper bag gerai martabak favorit Kalila.

Dihsok kecakepan. Kalila mulai sensi padahal biasanya dia tidak pernah terganggu dengan keberadaan Farhan. Pria itu bukan orang asing bagi Kalila. Sebagai orang kepercayaan Prof. Wisnu, Farhan sering datang ke rumah. Tentu saja untuk urusan pekerjaan, bukan lamar-melamar. Tidak pernah terlintas di benak Kalila kalau Farhan akan melamarnya.

“Ada urusan apa ketemu Papa?” Kalila memindai pria berbalut kemeja putih dan sweater navy di hadapannya. Ia mundur selangkah ketika hidungnya mencium aroma aquatik yang segar dari tubuh Farhan.  Jangan-jangan dia mau tanya kapan lamarannikahAmit-amitJangan sampaideh.

“Kenapa? Ada yang salah dengan saya?” Wajah Farhan sedikit berkerut. Dipandanginya tubuhnya kemudian menatap heran Kalila. Pria tiga puluh lima tahun itu merasa tidak ada yang aneh dengan penampilannya.  

Kalila bergeming, membiarkan pertanyaan Farhan dibawa angin yang kebetulan berembus pelan. Salah kamu kenapa melamar sayatahu

Melihat Kalila tidak merespons ucapannya, Farhan tidak bertanya lebih jauh. Biasanya Kalila bersikap seperti ini saat badmood. Lebih baik tidak mengusik manusia dengan kesabaran setipis tissue dibelah tujuh. Ia akan kehilangan hari yang menyenangkan. 

“Prof. Wisnu sudah berangkat?” Laki-laki berambut lurus itu mengalihkan pembicaraan. Melihat jarum jam pada arloji di tangannya, seharusnya ia aman karena datang sepuluh menit lebih awal. 

Semua kolega Prof. Wisnu tahu kalau dosen senior itu punya prinsip, waktu adalah lembar-lembar nasib yang tidak akan kembali. Datang terlambat sama saja membiarkan nasibmu dan orang yang menunggumu sia-sia, tidak terisi apa pun. Prof. Wisnu sangat membenci kesia-siaan. 

“Papa masih di rumah, kok. Sebentar saya panggilkan.” 

“Kamu sudah siapkan semua berkas dan proposal penelitian kita?” 

Baru saja Kalila akan berbalik, Wisnu sudah berdiri di sampingnya dengan stelan kemeja biru muda dan celana bahan warna senada. Pria itu terlihat segar dan lebih muda dari usianya. Meski masih memungkinkan untuk menikah lagi, Wisnu tidak pernah berpikir mencari ibu sambung bagi Kalila. Ia pernah mendengar ustaz berkata kalau kelak suami istri akan disatukan di surga. Jika kebersamaannya dengan mama Kalila hanya sebentar, Wisnu ingin bersama selamanya kelak di kehidupan abadi.

“Sudah, Prof. Semua sudah siap, termasuk presentasi dan film-film yang dibutuhkan.”

Good job, Anak Muda.” Wisnu tersenyum puas. Pandangannya beralih pada Kalila. “Kamu lihat, La, Farhan selalu bisa diandalkan. Tidak hanya soal pekerjaan, urusan rumah juga beres. Dia cukup suamiable.” Sembari mengacungkan jempol, Wisnu melirik Farhan.

“Apaan, sih, Pa?” Kalila merengut. Ekor matanya masih bisa menangkap senyum samar Farhan. Nyebelin bangetsihDasar partner in crime!

“Simpan vespa kamu di garasi. Kita pergi pakai mobilku.” Wisnu melempar kunci mobil yang ditangkap dengan sigap oleh Farhan. 

“Kamu masak yang enak. Nanti malam Farhan mau makan malam di sini.” Wisnu menepuk pipi putrinya. “Dia sangat suka yukikuki.” 

Kalila memasang wajah kesal. Gawatbelum nikah saja aku sudah disuruh-suruh masakPasti Bang Farhan bersekongkol dengan Papa untuk mengujiku. Harusnya di menikah dengan chef kalau ingin makan yang aneh-aneh! Menyusahkan saja!

“Yakiniku, Prof.” Farhan tesenyum geli. 

“Nah, itulah pokoknya. Kamu denger sendiri, kan?” 

“Maaf, Pa, tapi Lila lagi banyak kerjaan. Nggak sempet masak kayanya.” Kalila tidak bohong. Ia ada rencana bertemu teman-teman Teater Semut Merah dan menyelesaikan dua naskah blog yang sudah menunggu untuk di-upload.

“Papa tahu kamu bisa mengatur waktu seperti biasanya.” Wisnu berujar santai. “Kamu belum pernah mengecewakan Papa. Okay?” Bibir Wisnu membusur. Ditinggalkannya Kalila yang mematung dengan raut muka jengkel.

Sejak mamanya meninggal lima tahun lalu, tanggung jawab dapur dan urusan perut berpindah ke pundak Kalila. Beruntung, sejak kecil sang mama sudah melatihnya sehingga tugas baru itu tidak membuat Kalila oleng. Ia cukup puas dan percaya diri karena Wisnu tidak pernah protes atau mencela hasil olahan tangannya.

“Oh, iya, ini martabak favorit kamu.” Farhan yang sudah hampir menuruni teras berbalik dan menyerahkan paper bag pada Kalila. Lagi-lagi, pria itu memberi bonus senyum manis. 

“Terima kasih.” Kalila menjawab dengan ketus lalu menutup pintu dengan keras hingga Farhan kaget. Perempuan berpostur sedang itu meletakkan begitu saja paper bag di meja makan lalu bergegas ke kamar dan mengambil ponsel. Bagian atas benda itu berkedip. Ketika telunjuknya menyentuh layar, terlihat notifikasi pesan dari Miranti, teman satu komunitas Semut Merah. 

Ujung jari Kalila menggulir layar, mencari panel telepon berwarna hijau. Ketika aplikasi W******p terbuka, pesan Miranti ada di baris pertama. Dibukanya pesan itu.

“La, ada gosip panas, nih. Tapi siapkan hati kamu biar nggak pingsan, yak.” Pesan Miranti diikuti emoticon perempuan sedang menari.

“Gosip panas apaaaa?” Kalila membalas cepat. Ia menambahkan emoticon ekspresi bertanya-tanya.

“Aku telepon, ya. Gosip ini tidak bisa diceritakan lewat chat. Kamu harus denger langsung biar puas.”

“Belibet banget!” Emoticon marah.

“Dih, sabar, dong. Aku boker dulu, yak.” Emoticon tertawa terpingkal-pingkal.

Astagfirullah! Kalila melempar ponsel ke atas ranjang. Kebiasaan Miranti selalu menggantung cerita. Mentang-mentang penulis novel. Tidak di cerita, tidak di real life, perilakunya sama.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status